Setidaknya saat ini lebih dari 1,5 juta orang di Indonesia hidup dengan Diabetes. Depkes memperkirakan akan ada 21,3 juta pasien Diabetes di Indonesia. Meminjam istilah Prof. Askandar Tjokroprawiro, bom waktu itu akan segera meledak. Jauh sebelum hari ini, Prof. Askandar Tjokroprawiro sudah memprediksi bahwa Diabetes akan menjadi penyakit Bom Waktu (Time Bomb Disease). Sedentary life style dianggap merupakan faktor resiko utama perkembangan penyakit Diabetes.
Glibenclamide vs Metformin
Sebagai dokter tentu kita telah faham banyak hal terkait Diabetes Melitus ini. Namun, saya masih sering menemui beberapa perdebatan tentang terapi lini pertama untuk pasien yang baru terdiagnosis.
Masih banyak dokter terutama yang praktek di daerah yang menjatuhkan pilihan kepada obat golongan sulfonilurea untuk mengontrol kadar gula pasien Diabetes. Pilihan biasanya banyak dijatuhkan kepada glibenclamide, bukan glimepiride atau pun gliclazide.
Tentu lagi-lagi harga obat masih menjadi dasar pemilihan, meski beberapa dokter berpendapat memilih glibenclamide karena efek menurunkan gula darah yang cepat dan punya efek lama. Beberapa dokter juga berpendapat pasien lebih patuh untuk mengkonsumsi glibenclamide karena frekuensi konsumsi, satu kali sehari.
Beberapa penelitian terakhir menyarankan kita untuk mulai berfikir ulang ketika hendak meresepkan glibenclamide, terutama pada pasien diatas 65 tahun. Penelitian besar yang melibatkan lebih dari 13.000 pasien diabetes menyimpulkan bahwa glibenclamide menyebabkan hipoglikemia paling sering bila dibandingkan dengan obat golongan sulfonilurea yang lain.
Sekitar 16,9 dari 1000 orang mengalami insiden hipoglikemia setelah diterapi glibenclamide. Penelitian lain di Inggris menyebutkan bahwa pasien berusia diatas 65 tahun yang diterapi glibenclamide memiliki kemungkinan mengalami hipoglikemia 1,27 kali dibandingkan pasien yang lebih muda. Kemungkinan glibenclamide menyebabkan hipoglikemia 52% lebih tinggi bila dibandingkan sulfonilurea lain.
Bagaimana angka keberhasilan glibenclamide vs metformin?
Sebuah penelitian menarik di Swedia dipublikasi tahun 2015 di jurnal British Medical Journal (BMJ). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa glibenclamide dan Sulfonilurea lain memiliki resiko kegagalan terapi tunggal (monoterapi) empat kali lebih besar bila dibandingkan dengan metformin.
Penelitian lain yang dilakukan tahun 1995 juga menyebutkan bahwa terapi tunggal metformin dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki kemampuan mengontrol kadar gula darah lebih baik bila dibandingkan dengan terapi tunggal glibenclamide.
Glibenclamide Lebih Sering Diresepkan di Era BPJS
Ekosistem baru dalam sistem pembayaran kesehatan kita, yang dikelola oleh BPJS, mendorong sejawat dokter dan kawan manajemen klinik/rumah sakit untuk melakukan kendali biaya. Akibatnya, beberapa manajemen klinik/rumah sakit "membuat kebijakan" untuk tidak meresepkan berbagai obat paten yang berharga mahal. Beberapa dari mereka "mendorong" penggunaan glibenclamide sebagai terapi lini pertama diabetes.
Hal ini sah-sah saja bila sudah didukung data yang cukup bahwa penggunaan glibenclamide terbukti lebih cost effective dibanding obat anti-diabetes yang lain. Nyatanya, banyak penderita diabetes yang sudah berusia tua dan rentan mengalami komplikasi hipoglikemia iatrogenik karena konsumsi glibenclamide.
Apakah sudah ada penelitian efek kerugian yang ditimbulkan hipoglikemia berulang terhadap resiko sindroma koroner akut atau gagal ginjal karena konsumsi glibenclamide? Saya rasa belum.
Seorang dokter spesialis penyakit dalam pernah "curhat". Beliau terpaksa resign dari klinik spesialis tempat praktik karena manajemen klinik mewajibkan hanya meresepkan glibenclamide sebagai terapi diabetes rawat jalan. Padahal, pasien klinik tersebut rata-rata adalah pensiunan yang sudah berumur di atas 60 tahun.
Apa jadinya jika mereka rutin mengkonsumsi glibenclamide, tanpa monitoring selama 24 jam? Bagaimana jika suatu saat pasien hipoglikemia dan tidak ada yang tahu? Bagaimana bila pasien meninggal sebelum sempat dibawa ke fasilitas kesehatan? Didorong idealismenya, sejawat tersebut memutuskan untuk resign dari klinik yang sudah "menghidupinya" hingga menyelesaikan sekolah PPDS.
Namun, kita tidak bisa mengelak bahwa mendicine is science and art. Kita tentu memiliki judgement sendiri dalam memilih suatu terapi. Tidak bisa sejawat yang memilih terapi tunggal glibenclamide disalahkan, begitu pula sebaliknya. Mungkin sejawat tersebut memiliki alasan tersendiri memilih suatu terapi. Yang paling penting adalah jangan pernah menjelekkan teman sejawat dihadapan pasien, karena teman sejawat adalah saudara kandung.
Salam sejawat.
Baca Juga: Pasien DKA saat puasa???
=
Sponsored Content
Bukan rahasia umum, EKG adalah kompetensi "penting" dokter umum. Tidak hanya pada kasus nyeri dada spesifik (kecurigaan Sindroma Koroner Akut), ilmu EKG diperlukan untuk banyak kasus kegawatdaruratan lain (misal Henti Jantung dan Aritmia).
Kemarin tim DokterPost.com minta dr. Ragil Nur Rosyadi, SpJP untuk ngajari sejawat DokterPost.com tentang bagaimana biar sejawat bisa MAHIR BACA EKG. Ini behind the scene pembuatan videonya.
Videonya gedhe banget, hampir 7 GB. Biar sejawat di Papua dan Indonesia Timur yang lain bisa ikut belajar juga, akhirnya kami putuskan untuk distribusikan videonya dalam bentuk DVD.
Yang mau pesan MAHIR BACA EKG versi lengkap (BASIC-Non Aritmia-Aritmia), bisa kontak kami disini ya
SMS/WA 085608083342 (Yahya) atau kontakin.com/dokterpost