Diagnosis dan Terapi Sengatan Lebah: Prinsip Tatalaksana dan Peran Epinefrin

17 Mar 2025 • Interna

Deskripsi

Diagnosis dan Terapi Sengatan Lebah: Prinsip Tatalaksana dan Peran Epinefrin


Sengatan lebah merupakan kejadian yang sering ditemui dalam praktik sehari-hari dokter umum 1. Reaksi terhadap sengatan lebah dapat bervariasi, mulai dari respons lokal yang ringan hingga reaksi alergi sistemik yang berpotensi mengancam jiwa, yang dikenal sebagai anafilaksis 2.

Pemahaman yang mendalam mengenai diagnosis dan tatalaksana yang tepat sangat penting bagi dokter umum untuk memberikan tatalaksana yang efektif dan menyelamatkan nyawa pasien.

Meskipun sebagian besar kasus sengatan lebah hanya menimbulkan reaksi lokal yang tidak berbahaya, insiden anafilaksis akibat sengatan serangga (termasuk lebah) dilaporkan terjadi pada sekitar 3% populasi dewasa dan bahkan dapat berakibat fatal 2.

Data ini menekankan pada pentingnya kewaspadaan dan kesiapan dokter umum dalam menghadapi kasus-kasus yang lebih serius. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan panduan ringkas namun komprehensif mengenai prinsip-prinsip tatalaksana sengatan lebah, dengan fokus utama pada peran dan tata cara pemberian epinefrin sebagai terapi lini pertama pada kasus anafilaksis.

Untuk dapat memberikan tatalaksana yang tepat, penting bagi dokter umum untuk mampu membedakan berbagai jenis reaksi sengatan lebah 4.

Secara umum, reaksi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama:

  1. Reaksi lokal biasa

  2. Reaksi lokal luas, dan

  3. Reaksi sistemik (anafilaksis) 2

Tabel 1: Tingkatan Keparahan Reaksi Anafilaksis Akibat Sengatan Lebah (Adaptasi dari Mueller's Severity Score) 7

Grade

Tanda dan Gejala

1

Reaksi umum ringan: Urtikaria generalisata, gatal, malaise, dan ansietas

2

Reaksi umum: Salah satu di atas ditambah dua atau lebih dari berikut: edema generalisata; rasa tertekan di dada; mengi; nyeri perut; mual dan muntah; dan pusing

3

Reaksi umum berat: Salah satu di atas ditambah dua atau lebih dari berikut: dispnea; disfagia; suara serak atau bicara pelo; kebingungan; dan perasaan akan terjadi bencana

4

Reaksi syok: Salah satu di atas ditambah dua atau lebih dari berikut: sianosis; penurunan tekanan darah; kolaps; inkontinensia; dan tidak sadar

Reaksi Lokal Biasa ditandai dengan timbulnya nyeri sesaat, rasa gatal, dan pembengkakan terbatas di area sengatan 2. Respons ini merupakan respons fisiologis normal terhadap venom lebah dan umumnya tidak berbahaya, biasanya mereda dalam beberapa jam hingga beberapa hari.

Reaksi Lokal Luas merupakan respons inflamasi lokal yang lebih hebat, dengan area kemerahan dan pembengkakan berdiameter lebih dari 10 cm di sekitar lokasi sengatan 1. Reaksi ini dapat disertai dengan nyeri yang lebih intens dan berlangsung lebih lama, hingga 2-10 hari 2.

Meskipun dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran bagi pasien, Reaksi Lokal Luas jarang mengancam jiwa 2. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dengan Reaksi Lokal Luas memiliki antibodi IgE spesifik terhadap venom lebah, yang mengindikasikan adanya komponen alergi dalam respons ini 2.

Meskipun riwayat Reaksi Lokal Luas sebelumnya tidak secara otomatis meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis pada sengatan berikutnya, penting untuk tetap mempertimbangkan faktor risiko lain seperti riwayat anafilaksis sebelumnya terhadap sengatan serangga, adanya asma, atau riwayat penyakit alergi lainnya 1.

Reaksi Sistemik (Anafilaksis) adalah reaksi alergi generalisata yang terjadi dengan cepat dan berpotensi mengancam jiwa 3. Onset gejala biasanya terjadi dalam beberapa menit hingga satu jam setelah sengatan 3.

Manifestasi klinis anafilaksis dapat melibatkan berbagai sistem organ, termasuk kulit (urtikaria, angioedema, pruritus, flushing), sistem pernapasan (sesak nafas, mengi, stridor), sistem kardiovaskular (hipotensi, pusing, sinkop, kolaps), dan sistem gastrointestinal (mual, muntah, nyeri perut) 2.

Pada anak-anak, manifestasi pada kulit mungkin menjadi satu-satunya gejala awal yang terlihat, namun keterlibatan sistem pernapasan sering terjadi pada semua kelompok usia 2.

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan kriteria klinis yang mencakup onset akut dengan keterlibatan kulit atau mukosa disertai setidaknya satu gejala gangguan pernapasan atau hipotensi, atau keterlibatan dua atau lebih sistem organ (kulit, pernapasan, kardiovaskular, gastrointestinal) setelah terpapar alergen yang mungkin 3.

Prinsip utama dalam tatalaksana anafilaksis adalah bertindak dengan cepat dan tepat. Langkah pertama yang krusial adalah menilai dan mengelola Airway (jalan napas), Breathing (pernapasan), dan Circulation (sirkulasi) pasien (ABC) 3.

Memastikan jalan napas pasien terbuka, memberikan oksigen jika diperlukan, dan memantau tanda-tanda vital seperti tekanan darah dan denyut jantung merupakan prioritas utama dalam penanganan awal.

PERAN EPINEFRIN DALAM TATALAKSANA ANAFILAKSIS AKIBAT SENGATAN LEBAH

Epinefrin merupakan terapi lini pertama dan obat pilihan yang tidak tergantikan untuk mengatasi anafilaksis akibat sengatan lebah 3. Pemberian epinefrin secara intramuskular (IM) sesegera mungkin setelah diagnosis anafilaksis ditegakkan sangat penting untuk membalikkan gejala yang mengancam jiwa dan secara signifikan mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas 9. Penundaan dalam pemberian epinefrin dapat berakibat fatal, terutama mengingat onset anafilaksis yang cepat.

Terapi tambahan seperti pemberian antihistamin (baik H1 maupun H2 blocker) dan kortikosteroid dapat diberikan untuk membantu meredakan gejala seperti urtikaria, pruritus, dan peradangan, namun perlu ditekankan bahwa obat-obatan ini tidak menggantikan peran krusial epinefrin dalam mengatasi manifestasi anafilaksis yang mengancam jiwa seperti bronkokonstriksi dan hipotensi 3.

Pemberian cairan intravena (IV) juga mungkin diperlukan untuk mengatasi hipotensi yang disebabkan oleh vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas vaskular yang terjadi selama anafilaksis 3.

Pada pasien yang sedang menggunakan obat beta-blocker, respons terhadap epinefrin mungkin tidak seefektif pada populasi umum, terutama dalam hal peningkatan tekanan darah dan mengatasi bronkokonstriksi 2.

Dalam situasi klinis ini, pemberian glukagon dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif karena glukagon bekerja melalui mekanisme yang berbeda, yaitu dengan meningkatkan cyclic AMP secara intraseluler, sehingga dapat mengatasi efek beta-blocker 3.

Epinefrin bekerja sebagai agonis reseptor alfa dan beta adrenergik non-selektif, yang berarti ia berikatan dan mengaktifkan kedua jenis reseptor ini di seluruh tubuh 3. Melalui aktivasi reseptor alfa-1 adrenergik, epinefrin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer, yang membantu meningkatkan tekanan darah yang seringkali menurun drastis selama anafilaksis, serta mengurangi edema (angioedema) akibat peningkatan permeabilitas vaskular 3.

Aktivasi reseptor beta-1 adrenergik meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung, yang sangat penting untuk mengatasi hipotensi dan memastikan perfusi organ yang adekuat 3.

Selain itu, efek beta-2 adrenergik epinefrin menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga melegakan bronkokonstriksi dan memperbaiki gejala pernapasan seperti mengi dan sesak napas yang sering menyertai anafilaksis 3.

Lebih lanjut, epinefrin juga berperan dalam menstabilkan sel mast dan basofil, yang merupakan sel-sel imun yang melepaskan mediator inflamasi seperti histamin selama reaksi alergi. Dengan menstabilkan sel-sel ini, epinefrin membantu mencegah pelepasan mediator lebih lanjut, sehingga membatasi keparahan reaksi alergi 1.

Pemberian epinefrin yang tepat dalam hal dosis dan cara pemberian sangat krusial untuk efektivitas terapi.

Untuk dewasa, dosis epinefrin yang direkomendasikan untuk tatalaksana anafilaksis adalah antara 0.3-0.5 mg (yang setara dengan 0.3 mL hingga 0.5 mL larutan epinefrin dengan konsentrasi 1:1000) yang diberikan secara intramuskular (IM) 3.

Beberapa pedoman klinis mungkin merekomendasikan dosis awal 0.5 mg untuk pasien dewasa dengan gejala anafilaksis yang sangat berat 12.

Untuk anak-anak, dosis epinefrin yang dianjurkan adalah 0.01 mg/kg berat badan, dengan dosis maksimum 0.3 mg. Untuk anak dengan berat badan lebih rendah, dosis yang lebih kecil seperti 0.15 mg mungkin sesuai 4. Penting untuk dicatat bahwa tersedia sediaan epinefrin auto-injector (EAI) dengan dosis yang telah disesuaikan untuk anak-anak dengan berat badan yang berbeda.

Rute pemberian epinefrin yang paling direkomendasikan dalam kondisi anafilaksis adalah melalui injeksi intramuskular (IM) di paha bagian anterolateral, tepatnya pada otot vastus lateralis 3.

Area ini dipilih karena memberikan penyerapan obat yang lebih cepat dan efektif dibandingkan dengan injeksi subkutan atau area otot deltoid di lengan atas 3.

Jika gejala anafilaksis tidak menunjukkan perbaikan atau justr

u memburuk setelah pemberian dosis pertama, dosis epinefrin dapat diulang setiap 5-15 menit sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dan respons terhadap pengobatan 3.

Penggunaan epinefrin intravena (IV) umumnya diberikan untuk kasus anafilaksis yang sangat berat dengan hipotensi yang tidak responsif terhadap resusitasi cairan agresif atau pada kasus henti jantung 3.

Pemberian epinefrin IV harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan oleh dokter yang terlatih dalam resusitasi dan penggunaan obat-obatan vasoaktif, mengingat potensi risiko komplikasi kardiovaskular seperti aritmia jantung 9. Konsentrasi epinefrin yang digunakan untuk pemberian IV adalah 1:10.000, yang berbeda dengan konsentrasi untuk injeksi IM (1:1000) 9.

Pasien dengan riwayat anafilaksis akibat sengatan lebah atau alergi lain yang diketahui memiliki risiko tinggi untuk mengalami reaksi serupa di masa depan harus diresepkan epinefrin auto-injector (EAI) untuk penggunaan mandiri jika terjadi reaksi di luar fasilitas kesehatan 1.

Dokter umum memiliki peran penting dalam memberikan edukasi yang jelas dan komprehensif kepada pasien dan keluarga mengenai cara mengenali gejala anafilaksis, langkah-langkah yang harus diambil jika terjadi reaksi, dan cara penggunaan EAI yang benar 10.

Terdapat beberapa pertimbangan khusus yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana anafilaksis akibat sengatan lebah.

Pada pasien yang sedang mengonsumsi obat beta-blocker, respons terhadap epinefrin mungkin tidak seoptimal pada pasien lain karena efek beta-adrenergik epinefrin dapat terhambat oleh obat tersebut 2.

Dalam situasi ini, pemberian glukagon dapat menjadi alternatif terapi yang efektif karena bekerja melalui jalur yang berbeda untuk meningkatkan tekanan darah dan mengatasi bronkokonstriksi 3.

Meskipun epinefrin merupakan obat yang sangat efektif dalam mengatasi anafilaksis, penting untuk menyadari potensi efek sampingnya.

Efek samping yang umum meliputi kecemasan, palpitasi (jantung berdebar-debar), tremor, dan sakit kepala 13. Efek samping yang lebih serius seperti aritmia jantung, nyeri dada (angina pektoris), atau bahkan infark miokard jarang terjadi, tetapi perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular 2.

Namun, perlu ditekankan bahwa pada kasus anafilaksis yang mengancam jiwa, manfaat epinefrin dalam menyelamatkan nyawa umumnya jauh lebih besar daripada risiko efek sampingnya, dan tidak ada kontraindikasi absolut untuk penggunaannya dalam situasi ini 8.

Penggunaan epinefrin untuk mengatasi anafilaksis pada ibu hamil memerlukan pertimbangan yang cermat mengenai potensi risiko dan manfaat bagi ibu dan janin 15. Hipotensi berat akibat anafilaksis dapat mengurangi aliran darah ke plasenta, yang berpotensi membahayakan janin.

Meskipun epinefrin dapat menyebabkan vasokonstriksi uterus, penundaan pengobatan anafilaksis yang mengancam jiwa pada ibu dapat memiliki konsekuensi yang lebih buruk bagi keduanya.

Oleh karena itu, epinefrin harus diberikan jika secara klinis diindikasikan, tanpa menunda karena kekhawatiran teoritis mengenai efek samping pada janin 15.

Setelah pemberian epinefrin, penting untuk diingat bahwa reaksi anafilaksis dapat bersifat bifasik, yaitu gejala dapat mereda setelah pemberian epinefrin awal, namun kemudian muncul kembali beberapa jam kemudian tanpa adanya paparan alergen lebih lanjut 2.

Reaksi bifasik dilaporkan terjadi pada sebagian kecil kasus anafilaksis akibat sengatan serangga 2. Oleh karena risiko reaksi bifasik ini, pasien yang mengalami anafilaksis akibat sengatan lebah perlu diobservasi di fasilitas kesehatan selama minimal 3-6 jam setelah pemberian epinefrin 2.

Sebelum pasien dipulangkan, mereka harus diberikan edukasi yang jelas mengenai kemungkinan terjadinya reaksi bifasik dan instruksi yang spesifik mengenai kapan harus segera mencari pertolongan medis kembali jika gejala muncul kembali 2.

Lesson Learned

Diagnosis yang akurat dan cepat dalam kasus reaksi sengatan lebah, terutama identifikasi anafilaksis, merupakan langkah krusial dalam tatalaksana. Epinefrin tetap menjadi terapi lini pertama yang tidak tergantikan dan penyelamat nyawa pada kasus anafilaksis akibat sengatan lebah.

Pemberian epinefrin secara intramuskular pada dosis yang tepat dan sesegera mungkin setelah onset anafilaksis adalah faktor penting keberhasilan penanganan. Dokter umum perlu memahami dengan baik indikasi, dosis, cara pemberian, serta pertimbangan khusus terkait penggunaan epinefrin pada kasus sengatan lebah.

Edukasi pasien mengenai pencegahan sengatan lebah, pengenalan gejala anafilaksis, dan penggunaan auto-injector epinefrin (jika diresepkan) merupakan bagian integral dari manajemen jangka panjang pasien dengan risiko alergi sengatan lebah.

Observasi pasien setelah pemberian epinefrin sangat penting untuk mendeteksi dan menangani potensi reaksi bifasik.

Referensi:

1. Injection of Lidocaine With Epinephrine for Bee Sting Large Local Reactions - PMC, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11852953/

2. INSECT STING ANAPHYLAXIS - PMC, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1961691/

3. Hymenoptera Stings - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed March 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518972/

4. Project protocol - A Systematic Review of the Clinical Effectiveness and Cost-Effectiveness of Pharmalgen® for the Treatment of Bee and Wasp Venom Allergy - NCBI, accessed March 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK97557/

5. Anaphylaxis to insect stings - PubMed, accessed March 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25841552/

6. [Insect sting allergy--clinical aspects, diagnosis and therapy] - PubMed, accessed March 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2658345/

7. Pre-hospital treatment of bee and wasp induced anaphylactic reactions: a retrospective study - PMC, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5237483/

8. Epinephrine: The Drug of Choice for Anaphylaxis--A Statement of the World Allergy Organization - PMC - PubMed Central, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3666145/

9. Anaphylaxis - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed March 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482124/

10. Adrenaline in the Acute Treatment of Anaphylaxis - PMC - PubMed Central, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6131363/

11. Epinephrine in the Management of Anaphylaxis - PubMed, accessed March 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32276687/

12. Evidence update for the treatment of anaphylaxis - PMC, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8139870/

13. Transient Neurologic Deficits Following Intramuscular Epinephrine Administration for the Treatment of Anaphylaxis - PMC, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10501788/

14. Emergency treatment of anaphylaxis in infants and children - PMC - PubMed Central, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3043023/

15. Epinephrine - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed March 16, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482160/

16. Epinephrine - PubMed, accessed March 16, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29489283/

17. After Administration of Intravenous Epinephrine for bee Sting-induced Anaphylaxis, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4800859/

18. Anaphylactic death due to bee sting – a comparison case study - PMC, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4126019/

19. Who Needs Epinephrine? Anaphylaxis, Autoinjectors, and Parachutes - PMC, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10259181/

20. Epinephrine Treatment is Infrequent and Biphasic Reactions Are Rare in Food-Induced Reactions During Oral Food Challenges in Children, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2798852/

21. Diagnosis and management of anaphylaxis - PMC, accessed March 16, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC180656/