Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit katastropik di era-BPJS yang paling banyak "menyedot" biaya biaya kesehatan. Salah satu yang cukup banyak menghabiskan dana klaim BPJS adalah komplikasi penyakit kardiovaskuler yang rentan terjadi pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Sehingga, pengendalian hipertensi pada pasien Diabetes Mellitus di PPK 1 dianggap sebagai langkah strategis untuk upaya efisiensi biaya pelayanan kesehatan nasional.
Dokter umum yang bekerja di PPK 1 juga akan mendapatkan "insentif" yang seharusnya cukup menarik untuk mendukung upaya pengendalian hipertensi pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 di PPK 1. Bayangkan, dengan upaya pengendalian hipertensi yang baik, komplikasi kardiovaskular pada pasien sejawat di PPK 1 akan menurun. Itu artinya biaya pengobatan di masa depan akan dihemat, dan tentu saja angka rujukan akan menurun.
Baik, mari kita cermati angka-angka dibalik komorbidas hipertensi-diabetes. Empat puluh persen pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang usia 45 tahun dan lebih dari 60 persen berusia 75 tahun atau lebih tua, akan memiliki tekanan darah lebih dari 140/90 mm Hg.
Hipertensi adalah komorbid yang cukup umum ditemukan pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang tepat akan sangat bermanfaat dalam upaya pencegahan komplikasi kardiovaskuler di masa depan.
Setiap tahun, ada sekitar 5 persen kasus komplikasi kardiak mayor yang terjadi pada pasien dengan hipertensi-Diabetes Mellitus tipe 2, yang masih mendapatkan penatalaksanaan sub-standar. Resiko komplikasi kardiak mayor semakin meningkat pada pasien yang memiliki faktor resiko tambahan, contohnya nyeri neuropati diabetes.
Diagnosis Hipertensi pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2
Hipertensi pada Diabetes secara klasik didefinisikan sebagai tekanan darah sistol ≥ 140 mm Hg, atau tekanan darah diastol ≥ 90 mm Hg atau lebih pada pasien dengan diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2.
Pasien hipertensi secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok.
- Pre-hipertensi merupakan keadaan tekanan darah sistol sebesar 120-139 mmHg, atau tekanan darah diastol sebesar 80-89 mmHg.
- Hipertensi stage 1 ditandai dengan tekanan darah sistol 140-159 mmHg, atau tekanan darah distol 90-99 mmHg.
- Hipertensi stage 2 terjadi ketika tekanan darah sistol ≥ 160 mmHg, atau tekanan darah diastole ≥ 100 mmHg
Hipertensi bersiko 1,5-3 kali lebih tinggi terjadi pada pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 dibandingkan dengan pasien berusia produktif pada populasi umum. Dengan menggunakan kriteria diagnosis hipertensi 140/90 mm Hg, sekitar 40% dari pasien dengan diabetes memiliki hipertensi pada usia 45 tahun, dan lebih dari 60% memiliki memiliki hipertensi pada usia 75 tahun.
Hipertensi disebabkan oleh banyak faktor, yang berinteraksi secara kompleks, dan belum diketahui secara pasti mekanismenya. Pada populasi umum, ada beberapa faktor risiko mayor yang diduga dapat menyebabkan hipertensi. Banyak faktor risiko spesifik hipertensi pada populasi umum juga didapatkan pada populasi pasien Diabetes Mellitus tipe 2.
Usia merupakan faktor predominan terjadinya hipertensi, data menunjukkan bahwa prevalesi meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Faktor genetika juga memiliki peran penting dalam kemunculan penyakit hipertensi. Individu dengan paling tidak satu orang tua yang terkena hipertensi dua kali beresiko terkena hipertensi dibanding populasi umum.
Faktor ras adalah salah satu faktor risiko mayor "non-modifiable" yang diduga dapat menyebabkan hipertensi. Di Amerika Serikat, orang kulit hitam memilki prevalensi hipertensi 7-10% persen lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih non-Hispanik.
Berat badan jelas merupakan faktor risiko hipertensi yang logis. Orang dengan berat badan lebih (obese) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipertensi. Untuk setiap peningkatan satu unit body mass index (BMI), maka prevalensi akan meningkat sekitar 1 sampai 1,5%.
Resistensi insulin yang sering dikaitkan dengan obesitas juga diduga dapat meningkatkan risiko hipertensi. Pasien obesitas sering jatuh pada kondisi resistensi insulin yang dapat memicu Diabetes Mellitus tipe 2 dan Hipertensi. Kumpulan gejala tersebut sering disebut sindroma metabolik.
Penatalaksanaan Hipertensi pada Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 di PPK 1
Pedoman tatalaksana terbaru menyarankan bahwa terapi obat anti-hipertensi harus diberikan sebagai terapi awal pada pasien dengan diabetes dan hipertensi, tanpa memperhatikan stage dari penyakit.
Banyak dokter senior yang merekomendasikan angiostensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau diuretik sebagai obat anti-hipertensi yang efektif diberikan sebagai obat lini pertama tatalaksana hipertensi pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Tentu saja, dua jenis obat ini masih cukup baik ketersediaannya di PPK 1 serta cukup murah secara ekonomi.
ACE inhibitor direkomendasikan karena dapat mengurangi resiko penyakit ginjal secara lebih bermakna pada pasien secara umum, termasuk pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang memiliki resiko mengalami penyakit ginjal kronik lebih besar. ACE inhibitor juga dilaporkan memiliki efek pencegahan munculnya komplikasi kardiovaskular bila dibandingkan dengan obat golongan calcium channel blocker (CCB).
Salah satu obat ACE inhibitor yang populer diresepkan adalah captoril. Dosis peresepannya adalah 12,5 mg-25 mg diberikan 2×1. Efek samping yang terkadang mengganggu (meskipun jarang) adalah batuk dan angiodema.
Diuretik, direkomendasikan karena juga memiliki efek preventif terhadap komplikasi kardiovaskular yang cukup baik. Harganya yang sangat murah dan efektivitas kontrol hipertensi yang baik perlu mendapatkan pertimbangan khusus ketika memulai terapi hipertensi pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2.
Obat diuretik yang sering diresepkan di PPK 1 adalah Hydrochlorothiazide. Dosis peresepan hydrochlorothiazide (HCT) sangat bervariasi tergantung respon pasien. Biasanya dokter akan memulai dengan 12,5 mg/hari. Selanjutnya dosis akan disesuaikan dengan respon terapi. Efek samping diuretik yang tidak disukai adalah secara relatif dapat meningkatkan kadar glukosa, kolesterol, dan asam urat.
Hasil penelitian di Amerika menyebutkan bahwa diuretik memiliki efektivitas yang relatif sama dengan ACE inhibitor untuk mencegah terjadinya kejadian kardiovaskular. Dua obat tersebut lebih unggul dalam pencegahan penyakit gagal jantung bila dibandingkan calcium channel blocker.
Beta bloker sebenarnya cukup bagus mencegah onset timbulnya penyakit ginjal, komplikasi kardiovaskular, dan komplikasi mikrovaskular. Namun, obat golongan beta bloker sering menyebabkan penambahan berat badan dan “mengganggu†regulasi kadar gula darah sehingga obat ini kurang dipilih dalam tatalaksana hipertensi pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2.
Calcium channel blocker memiliki efektivitas yang kurang superior bila dibandingkan dengan ACE inhibitor dalam mencegah komplikasi kardiovaskular. Meskipun beberapa penelitian menyebutkan bahwa calcium channel blocker memiliki efektivitas yang hampir sama dengan diuretik dalam mencegah komplikasi kardiovaskular, namun secara spesifik amlodipin (obat golongan calcium channel blocker) kurang efektif bila digunakan sebagai strategi prevensi penyakit gagal jantung bila dibandingkan dengan obat golongan ACE inhibitor.
Berbagai penelitian tentang obat anti-hipertensi pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 sudah banyak dilakukan di dunia, meskipun penelitian secara spesifik di Indonesia belum cukup intensif dilakukan. Dokter di Indonesia dapat memanfaatkan informasi penelitian klinis yang sudah dilakukan di luar negri untuk diterapkan dalam praktek sehari-hari, khususnya di PPK 1, sebelum ada penelitian yang cukup relevan dilakukan di Indonesia.
Hipertensi yang tidak terkontrol pada pasien dengan diabetes sering dihubungkan dengan tingginya angka penyakit kardiovaskular (contohnya infark miokard akut, gagal jantung kronik, dan stroke) dan penyakit mikrovaskular (contohnya penyakit ginjal dan retinopati diabetes). Kontrol tekanan darah yang tidak baik dalam penatalaksanaan hipertensi pada pasien diabetes dapat berujung pada kematian pasien karena komplikasi penyakit kardiovaskuler.
Semoga bermanfaat^^
=
Sponsored Content
Hipertensi mesti dikelola dengan disiplin. Meskipun sering tanpa gejala, hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi gawat darurat seperti stroke dan sindroma koroner akut.
Penjelasan dr Ragil, SpJP yang lebih detail untuk menjawab kasus-kasus sindroma koroner akut yang sering dihadapi dokter Puskesmas dan IGD sudah dirangkum di DVD Sindroma Koroner Akut. Berikut sedikit preview DVD Sindroma Koroner Akut in Daily Practice tentang pentingnya analisis faktor risiko dalam membedakan kelainan Sindroma Koroner Akut vs Dispepsia.
Harganya 156 ribu (belum termasuk ongkos kirim).
Pemesanan via SMS/WA 0856 0808 3342 (YAHYA)