Lotus Birth, sebuah metode persalinan yang mulai populer di kota Metropolitan. Metode melahirkan back to nature ini mulai banyak diminati sejak beberapa tahun lalu di Indonesia. Namun, hari ini peminat metode lotus birth terus meningkat secara signifikan.
Lotus birth sederhananya adalah metode melahirkan tanpa memotong tali pusat. Javier A. Galvan, dalam A Cultural Encyclopedia of Extraordinary and Exotic Customs from around the World, menceritakan bahwa metode lotus birth banyak dilakukan oleh suku Aborigin di Australia dan satu suku dari Indonesia. Lotus birth muncul pada kisah kelahiran Dewa Pencipta Alam semesta yang banyak dipercaya pemeluk salah satu agama besar di dunia. Lotus birth dipercaya sebagai simbul turunnya roh suci ke dunia.
Beberapa pendukung lotus birth, diantaranya Jeannine Parvati Baker (bidan) dan Sarah Buckley (dokter) mengklaim bahwa lotus birth akan memberikan manfaat tidak hanya secara lahiriah namun juga manfaat spiritual yang luar biasa untuk si bayi di masa depan.
Pro vs Kontra
Lotus birth pada intinya adalah delayed clamping (pemotongan tali pusat yang ditunda). Sebuah kajian literatur oleh Tolosa dkk (2010), yang banyak dikutip pendukung lotus birth, melaporkan bahwa metode delayed clamping (lebih dari 1-2 menit) akan memberikan manfaat klinis yang lebih baik untuk bayi dibandingkan metode early clamping (30 detik sampai 1 menit).
Kajian literatur tersebut sempat "menggebrak" dunia kedokteran karena dipublikasikan di The Journal of Cellular and Molecular Medicine. Lebih lanjut, kajian literatur tersebut menyimpulkan bahwa pemotongan tali pusat yang ditunda akan memberikan kesempatan plasenta untuk mentransfer cukup darah, oksigen dan stem cell.
Namun penundaan yang dilakukan dalam praktek lotus birth tidak hanya 1-3 menit, tetapi 3-10 hari!!!
Itu artinya membiarkan jaringan mati "menempel" ditubuh bayi selama berhari-hari, yang kita tahu bahwa jaringan mati adalah sumber infeksi yang sangat potensial "mematikan". Melakukan praktek lotus birth sama saja dengan memotong tali pusat bayi kita dengan bahan-bahan tidak steril (contohnya bambu yang diasah tajam), kembali pada jaman nenek moyang sebelum mengenal ilmu pengetahuan kedokteran.
Memang banyak bapak dan ibu kita yang masih hidup segar bugar dengan pertolongan persalinan tradisional seperti itu, tetapi sudahkah kita menghitung berapa "bayi tak berdosa" yang harus mati bergelimpangan?
Upaya kita bersama untuk mengurangi angka kematian bayi akan sangat "terganggu" dengan trend lotus birth ini. Pemerintah susah payah mengirim dokter PTT dan Internship ke daerah terpencil, namun dikacaukan dengan banyak "dukun beranak" yang mengampanyekan praktek lotus birth!!!
Bagaimana Pandangan Evidence Based Medicine?
Para pakar evidence based medicine tegas dalam hal ini, lotus birth tidak memiliki bukti yang cukup terkait manfaat medis yang diopinikan. Bahkan sampai sejauh ini saya masih belum menemukan sebuah penelitian Randomized Controlled Trial yang mencoba menyelidiki manfaat metode persalinan lotus birth.
Dokter Patrick O’Brien dari Royal College of Obstetricians and Gynecologists, mengatakan bahwa:
“If left for a period of time after the birth, there is a risk of infection in the placenta which can consequently spread to the baby.
The placenta is particularly prone to infection as it contains blood. At the post-delivery stage, it has no circulation and is essentially dead tissue."
Bagaimanapun juga, plasenta yang ditinggalkan (tidak dipotong) dalam kurun waktu tertentu paska melahirkan, beresiko terinfeksi mikroba yang dapat menular ke bayi. Plasenta lebih rentan terinfeksi karena berisi darah (yang merupakan sumber makanan mikroba). Apalagi ketiadaan sirkulasi pada plasenta tersebut memastikan bahwa plasenta tersebut menjadi jaringan mati (yang harus "diamputasi").
Jadi, bagaimana menurut sejawat? Layakkah lotus birth dilakukan?