Syok kardiogenik adalah suatu kondisi hipoperfusi dan hipoksia organ akibat cardiac output (CO) yang berkurang. Keadaan ini dapat mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan baik. Adanya kelainan pada jantung sebagai kausa primer dari syok memberikan manifestasi klinis dan biokimia. Gejala klinis yang dapat terjadi adalah hipotensi yang persisten (<90 mmHg) walaupun telah dilakukan terapi penggantian cairan, disertai dengan gejala hipoperfusi organ ditandai dengan diperlukannya obat-obatan maupun alat mekanik. Infark miokard akut dengan disfungsi ventrikel kiri merupakan penyebab yang paling sering dari syok kardiogenik.
Secara umum pada syok kardiogenik kontraktilitas dari otot jantung berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya CO, menurunkan tekanan darah, menimbulkan iskemi koroner lebih lanjut, dan akhirnya semakin mengurangi kontraktilitas otot jantung. Siklus ini dapat menimbulkan kematian. Kompensasi patologis yang dilakukan oleh tubuh adalah dengan vasokonstriksi sistemik dalam usahanya meningkatkan CO.
Namun disisi lain, acute cardiac injury dapat merangsang inflamasi sistemik sehingga mengakibatkan vasodilatasi patologis. Endotel dan nitric oxide (NO) synthase berperan dalam produksi NO dan peroxynitrite yang memiliki efek inotropik negatif dan kardiotoksik. Mediator inflamasi lain seperti interleukin dan tumor necrosis factor juga berkontribusi dalam vasodilatasi sistemik yang berhubungan dengan mortalitas syok kardiogenik.
Karakteristik hemodinamik yang sering terjadi pada syok kardiogenik adalah akral “dingin dan basahâ€, karakteristik ini didapatkan pada dua pertiga pasien syok kardiogenik yang berhubungan dengan infark miokard. Sedangkan pada pasien syok kardiogenik yang euvolemik atau “dingin dan kering†biasanya responsif terhadap diuretik dengan gagal jantung kronis dengan dekompensasi subakut.
Ruptur dari plak pada pembuluh darah koroner dapat merangsang respon inflamasi sistemik sehingga menyebabkan vasodilatasi, hal ini yang menimbulkan klinis “basah dan hangatâ€. Dua jenis syok kardiogenik yang tidak umum adalah syok kardiogenik normotensi (hipoperfusi perifer namun tekanan darah sistolik > 90 mmHg), dan syok kardiogenik ventrikel kanan.
Sponsored Content
Terapi Farmakologis pada Syok Kardiogenik
Tatalaksana utama dari syok kardiogenik adalah resusitasi dan stabilisasi, selanjutnya perlu dilakukan identifikasi penyebab yang mendasarinya dan diperbolehkan menggunakan obat-obatan farmakologis maupun terapi mekanik.
Sebanyak 81% dari syok kardiogenik disebabkan oleh sindrom koroner akut (SKA), maka pada pasien dengan faktor risiko penyakit arteri koroner harus didiagnosis segera dengan menggunakan elektrokardiogram dalam 10 menit pertama. Komplikasi yang perlu diwaspadai adalah ruptur muskulus papillaris, defek septum ventrikel, atau ruptur dinding jantung. Ekokardiografi segera perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
Setelah mengidentifikasi penyebab syok kardiogenik, tatalaksana selanjutnya adalah dengan manajemen dari kausa tersebut, yaitu reperfusi dan revaskularisasi pada SKA. Teknik reperfusi dan revaskularisasi dapat berupa terapi mekanik yaitu percutaneous coronary intervention (PCI), coronary artery bypass graft (CABG), maupun dengan terapi farmakologis dengan fibrinolitik.
Apabila pendekatan invasif dini tidak dapat dilakukan, fibrinolisis dapat dipertimbangkan pada syok kardiogenik dengan STEMI dengan tetap mempertimbangkan keuntungan, risiko perdarahan, dan waktu penundaan angiografi. Pada seluruh pasien syok kardiogenik yang telah dilakukan PCI dan tidak ada komplikasi perdarahan serius, disarankan untuk terus mengonsumsi dual antiplatelet.
Ketika obat oral tidak dapat diberikan karena masalah absorbsi, penggunaan inhibitor glikoprotein IIb/IIa intravena atau inhibitor P2Y12 intravena (misalnya cangrelor) dapat diberikan. Pada pasien yang membutuhkan terapi antikoagulasi setelah PCI, disarankan untuk menggunakan unfractionated heparin intravena.
Pada syok kardiogenik, obat-obatan vasopressor umum digunakan untuk memperbaiki keadaan pasien. Kondisi hemodinamik pasien dengan syok kardiogenik perlu dimonitor untuk dapat mentitrasi obat-obatan vasopressor yang digunakan, salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan kateter vena sentral (CVP), dan pemeriksaan laktat plasma.
Target tekanan darah sistolik dan mean arterial pressure (MAP) yang harus dicapai sebenarnya masih belum jelas, namun MAP 65 mmHg dapat dijadikan target berdasarkan hasil penelitian pada syok non kardiogenik. Indikator lain seperti saturasi oksigen, produksi urin, kreatinin, tes fungsi liver, status mental, temperatur dan variabel hemodinamik invasif lain juga dapat digunakan.
Obat vasopressor/ inotropik dapat dipilih berdasarkan dengan kebutuhan masing-masing pasien. Dopamin dosis rendah 0,5-2 µg/kg/menit bekerja pada reseptor β1 dan memberikan efek kronotropik sehingga dapat meningkatkan CO. Dopamin dosis sedang yaitu 5-10 µg/kg/menit bekerja pada reseptor α1, β1, dan β2, terutama pada reseptor β1. Efek yang dihasilkan adalah inotropik sehingga dapat meningkatkan CO dan tahanan perifer. Dopamin dosis 10-20 µg/kg/menit utamanya bekerja pada reseptor α1 (selain bekerja pada reseptor β1) sehingga menimbulkan efek vasokonstriksi sistemik. Efek samping dari dopamin adalah aritmia.
Vasopressor lain yang dapat digunakan adalah norepinefrin dengan dosis 0,05-0,4 µg/kg/menit, ia lebih poten bekerja pada reseptor α1 dibandingkan dengan dopamin dan fenilefrin, sehinga menimbulkan vasokonstriksi perifer. Selain itu norepinefrin juga memiliki efek kronotropik dan inotropik.
Epinefrin dapat meningkatkan CO dan tahanan perifer karena efeknya yang kuat pada reseptor α1 dan β1. Dosis yang digunakan adalah 0,01-0,5 µg/kg/menit. Fenilefrin dengan dosis 0,1-10 µg/kg/menit bekerja pada reseptor α1 dan menimbulkan efek vasokonstriksi. Vasopressin merangsang reseptor V1 di otot polos pembuluh darah sehingga meningkatkan tahanan perifer. Dosis yang dapat diberikan adalah 0,02-0,04 U/menit.
Obat-obatan inodilator juga dapat diberikan sesuai kondisi pasien. Dobutamin dengan dosis 2,5-20 µg/kg/menit memiliki efek agonis β adrenergik non selektif, sehingga dapat memberikan efek inotropik sehingga meningkatkan CO, namun dapat menurunkan tahanan perifer dan resistensi vaskular paru. Dobutamin diberikan bila terdapat hipotensi dengan tekanan darah sistolik 70-100 mmHg tanpa gejala syok.
Pada syok kardiogenik klasik dengan manifestasi klinis “basah dan dinginâ€, cardiac index (CI) pasien rendah, dengan tahanan sistemik yang meningkat, maka pilihan vasoaktif yang diberikan adalah norepinefrin (bila nadi tinggi, atau aritmia), atau dopamin (bila nadi rendah).
Obat inotropik dapat diberikan ketika kondisi telah stabil dan setelah revaskularisasi. Pada keadaan euvolemik didapatkan klinis “dingin dan keringâ€, pilihan vasoaktif sama dengan kondisi “basah dan dingin†namun dapat diberi tambahan sedikit bolus cairan, hal ini disebabkan kemungkinan kurangnya left ventricle end diastolic pressure. Pasien dengan kondisi “hangat dan basah†memiliki tahanan perifer yang rendah, sehingga vasoaktif yang cocok diberikan adalah norepinefrin.
Pada syok akibat kelainan pada ventrikel kanan, tujuan dari terapi adalah mempertahankan preload, menurunkan afterload ventrikel kanan (tekanan vaskular paru), menangani bradikardi absolut atau relatif, dan mempertahankan sinkronisasi atrioventrikular. Bolus cairan menjadi salah satu penanganan utama. Norepinefrin dapat diberikan pada pasien ini.
Dopamin lebih disarankan diberikan pada pasien dengan nadi yang rendah walau efek aritmia lebih tinggi. Vasopresin dapat meningkatkan tahanan perifer dan berefek netral pada resistensi pembuluh darah paru. Agen inotropik dan vasodilator paru inhalasi dapat ditambahkan. Sedangkan pada syok kardiogenik normotensi, terapi inotropik inisial dapat diberikan karena tekanan darah sistolik > 90 mmHg dan resistensi perifer yang relatif tinggi.
Pemberian penyekat beta pada pasien STEMI dengan tanda-tanda gagal jantung atau keadaan low output perlu dihindari, begitu pula dengan obat-obatan antagonis renin angiotensin aldosteron system (RAAS). Bila pasien euvolemik atau telah lepas dari obat-obatan inotropik dan vasopressor setidaknya 24 jam, penyekat beta dapat diberikan.
Sedangkan antagonis RAAS bisa diberikan bila pasien telah lepas vasopressor selama 24 jam, dan fungsi ginjal telah kembali ke baseline serta risiko hiperkalemia dan hipotensi rendah. Antagonis RAAS dapat diberikan pada pasien dengan edema paru dikombinasikan dengan inodilator. Pemberian statin direkomendasikan pada pasien syok kardiogenik dengan infark miokard. Statin yang diberikan secara dini menurunkan risiko kematian dalam 30 hari setelah revaskularisasi (alv).
Semoga Bermanfaat^^
=
Sponsored Content
Kamu bisa pelajari Tatalaksana Syok Kardiogenik akibat komplikasi Infark Miokard Akut lebih lanjut di DVD Sindroma Koroner Akut (dr Ragil, SpJP). Ada sebuah video 60 menit yang menjelaskan tentang
- Algoritma Penanganan Pasien Sindroma Koroner Akut
- Diagnosis Sindroma Koroner Akut
- Kelainan EKG pada Sindroma Koroner Akut
- Tatalaksana Sindroma Koroner Akut
- Obat Pilihan dan Dosis Terapi Sindroma Koroner Akut
- Patofisiologi Sindroma Koroner Akut
- Penanganan komplikasi Sindroma Koroner Akut
Harganya cuma Rp 156.000,00 (Belum Ongkir)
Berita baiknya, setiap pembelian DVD Sindroma Koroner Akut dan DVD Hipertensi Faskes Primer (312 ribu) via Yahya, kamu akan dapat bonus
-
Ebook Diagnosis Decomp Cordis
-
Ebook Tatalaksana Gagal Jantung Akut
-
Ebook Tatalaksana Gagal Jantung Kronik
Mau pesan? SMS/WA saja ke 0856 0808 3342 (YAHYA) atau klik link order ini => Pesan DVD Cardio