Dispepsia adalah salah satu kasus yang paling sering kita temui di poli umum rumah sakit, balai pengobatan puskesmas, bahkan IGD rumah sakit. Tidak jarang dokter jaga IGD RS mendapat pasien dispepsia pada dini hari dengan gejala dispepsia maupun dengan keluhan mirip dispepsia. Dari beberapa negara Asia, dilaporkan 43-79,5% pasien dengan gejala dispepsia terdiagnosis sebagai dispepsia fungsional.
Diagnosis dan Terapi Dispepsia di Puskesmas
Walaupun dispepsia merupakan salah satu penyakit yang sering kita temui saat praktik, namun kita perlu memahami definisi yang tepat dari dispepsia.
Dispepsia ditegakkan dengan satu atau lebih keluhan yang meliputi:
- Rasa penuh postprandial yang mengganggu
- Rasa cepat kenyang
- Nyeri epigastrium
- Rasa terbakar di epigastrium
Gejala ini dapat disertasi dengan keluhan kembung, mual, atau muntah.
Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Dispepsia fungsional adalah kondisi ketika gejala ini menetap setidaknya 12 minggu.
Pembatasan waktu dalam dispepsia fungsional berfungsi untuk menentukan penyebab organik yang memerlukan investigasi lebih lanjut.
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 3, yaitu:
- Dispepsia tipe ulkus, dengan gejala nyeri epigastrium yang dominan
- Dispepsia tipe seperti dismotilitas, dengan gejala dominan berupa rasa penuh atau kembung, mual, muntah, dan cepat kenyang
- Dispepsia tipe non-spesifik, yaitu ketika pasien tidak memiliki keluhan yang lebih dominan.
Uninvestigated dyspepsia adalah dispepsia akut ataupun kronis yang belum pernah dilakukan pemeriksaan lebih jauh. Uninvestigated dyspepsia lebih banyak dijumpai di layanan primer daripada di layanan sekunder.
Sebagian besar (43-79,5%) dispepsia jenis ini dapat diterapi tanpa pemeriksaan lebih jauh karena merupakan dispepsia fungsional.
Diagnosis Dispepsia
Dispepsia ini susah-susah gampang didiagnosis karena merupakan penyakit yang terlihat remeh tapi mempunyai banyak diagnosis banding. Diantaranya:
- angina pektoris
- asma bronkial
- bronkitis akut
- gastroenteritis
- herpes zoster
- hiperemesis gravidarum
- kehamilan
- infark miokard
- infeksi pada umbilikus
- infeksi sistemik
- keracunan atau intoleransi makanan
- kolesistitis
- peritonitis
- pneumonia
- refluks gastroesofageal
- dan tetanus.
Anamnesis yang tepat dapat menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding dispepsia yang cukup banyak ini. Menegakkan diagnosis dispepsia tidak sederhana karena definisi dispepsia yang meliputi rasa nyeri dan tidak nyaman akan memiliki ambang yang berbeda pada setiap pasien.
Beberapa hal yang perlu menjadi fokus kita adalah dispepsia pada kelompok faktor risiko penyakit jantung koroner karena gejala yang mirip. Pemeriksaan EKG dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Pasien perempuan usia subur perlu ditanya tentang siklus menstruasi dan kemungkinan sedang hamil karena kadang gejalanya mirip dengan kehamilan ektopik terganggu. Pemeriksaan betaHCG urine dan darah serial diperlukan untuk observasi pasien dengan curiga KET.
Terapi Dispepsia
Terapi dispepsia yang direkomendasikan adalah menganjurkan pasien untuk mengubah gaya hidup. Gaya hidup yang dianjurkan adalah makan dalam porsi yang wajar, menurunkan kelebihan berat badan, berhenti minum alkohol, mengurangi atau mengganti atau menghentikan konsumsi NSAID, menghindari makanan atau minuman yang mencetuskan gejala, makan terakhir maksimal 3 jam sebelum tidur, dan meninggikan tempat tidur di bagian kepala 10-20cm.
Terapi empiris dispepsia adalah menggunakan PPI dengan dosis penuh (eg Omeprazole 20 mg 1×1) selama 2-4 minggu. Dispepsia dengan H.pylori yang positif diterapi dengan PPI dosis standar 2 x sehari 30 menit sebelum makan, Amoxicillin 2 x 1 gram, dan Klaritromisin 2 x 500 mg. Apabila dispepsia berulang dapat ditambahkan H2 reseptor antagosist seperti ranitidin.
Beberapa pasien dengan pengobatan dispepsia jangka panjang dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulang setiap tahun dan mengurangi dosis terapi. Bila respon pengobatan baik, direkomendasikan mengganti terapi dengan antasida saat gejala muncul.
Indikasi merujuk pasien dispepsia
Ini adalah aspek penting dalam tatalaksana dispepsia, tahu kapan harus merujuk pasien. Tidak semua pasien dispepsia layak untuk dirawat di Puskesmas. Beberapa pasien dengan indikasi tertentu sebaiknya dirujuk ke RS atau Praktik Dokter Spesialis.
Beberapa pasien dispepsia diindikasikan untuk dirujuk bila ditemukan alarm sign. Alarm sign yang mengharuskan kita merujuk pasien dispepsia ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi adalah:
- Penurunan berat badan progresif
- Disfagia progresif
- Muntah yang persisten dan berulang
- Perdarahan saluran cerna, yang jelas maupun samar
- Anemia defisiensi besi
- Demam
- Massa epigastrium
- Riwayat keluarga dengan kanker lambung
- Dispepsia awitan baru pada pasien berusia >45 tahun
Menurut NICE Referral Guidelines for Suspected Cancer 2015, urgent upper endoscopy direkomendasikan pada pasien berusia lebih dari 55 tahun dengan penurunan berat badan yang disertai nyeri perut atas, refluks, dan dispepsia.
Non-urgent upper endoscopy direkomendasikan pada pasien berusia lebih dari 55 tahun dengan salah satu gejala:
- Pasien dispepsia lama yang tidak membaik dengan terapi, atau
- Anemia dengan nyeri perut bagian atas, atau
- Trombositosis dengan gejala penyerta mual, muntah, penurunan berat badan, refluks, nyeri perut atas, atau
- Mual atau muntah dengan gejala penyerta penurunan berat badan, dispepsia refluks, dan nyeri perut bagian atas.
Menurut Duggan (2009), pemeriksaan endoskopi yang ditemukan pada pasien dengan dispepsia, diurutkan dari paling sering adalah: normal, esofagitis refluks, ulkus gaster, gastritis erosiva, ulkus duodenum, erosi duodenum, dan keganasan.
Dispepsia mungkin memang bukan suatu kasus kegawatdaruratan. Hal yang perlu kita garis bawahi adalah kemungkinan diagnosis banding lain dan alarm sign pasien yang perlu dirujuk. Penatalaksanaan yang tepat dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. (mqa)
Semoga Bermanfaat^^
=
Sposored Content
Penjelasan dr Ragil, SpJP yang lebih detail untuk menjawab kasus-kasus yang dihadapi dokter Puskesmas dan IGD juga sudah dirangkum di DVD Sindroma Koroner Akut. Berikut sedikit preview DVD Sindroma Koroner Akut in Daily Practice tentang pentingnya analisis faktor risiko dalam membedakan kelainan Sindroma Koroner Akut vs Dispepsia.
DVD Sindroma Koroner Akut (seri Kardiologi Primer) sudah rilis 20 Juni 2017, dan sudah dimiliki 150++ Dokter di Indonesia. Harganya 156 ribu (belum termasuk ongkos kirim).
Pemesanan via SMS/WA 0856 0808 3342 (YAHYA)