Perforasi dapat terjadi pada setiap organ atau bagian tubuh yang bersifat berongga dimana terjadi lubang tembusan dari rongga organ atau bagian tubuh yang satu dengan lainnya atau dengan luar tubuh. Oleh sebab itu saluran cerna termasuk organ yang dapat mengalami perforasi, mulai dari esofagus, gaster, usus halus, dan kolon, dengan berbagai macam sebab.
EPIDEMIOLOGI PERFORASI USUS
Angka kejadian perforasi pada kasus ulkus peptikum saat ini sudah mengalami penurunan dengan telah ditemukannya terapi yang efektif terhadap penyebab ulkus peptikum, misalnya Helicobacter pylori dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS).
Perforasi dapat terjadi pada 10-15% pasien divertikulitis akut dan dapat disertai keadaan peritonitis umum. Tindakan endoskopi bukanlah penyebab utama dari perforasi saluran cerna, dimana tindakan invasif seperti endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) hanya berkomplikasi 1% kasus perforasi. Sekitar 2% kasus tuberkolosis usus halus berkomplikasi perforasi usus.
ETIOLOGI PERFORASI USUS
Perforasi saluran cerna dapat terjadi oleh karena banyak sebab, seperti trauma tajam (misal: pisau, gunting) di dada sebelah bawah atau abdomen dan biasanya mengenai usus halus karena organ ini menempati besar rongga perut.
Penggunaan aspirin maupun OAINS pada usia lanjut juga bisa berpotensi menimbulkan perforasi pada gaster dan duodenum atau bahkan saluran cerna bawah dengan komorbid divertikulosis. Dengan adanya manajemen endoskopik dan penggunaan obat-obat penghambat pompa proton (PPI) (mis: omeprazole, dan lain-lain) kasus perforasi ulkus peptikum sudah jarang terjadi.
Faktor-faktor predisposisi diantaranya adalah apendisitis akut dan divertikulitis akut. Appendisitis akut juga menjadi penyebab tersering perforasi usus pada usia lanjut karena umumnya ada komorbid lain. Tindakan endoskopi khususnya kolonoskopi meskipun jarang juga bisa menjadi penyebab perforasi karena faktor kesulitan kesulitan melewati sigmoid, kolonoskopi yang sulit pada wanita, dan pemeriksaan kasus sulit yang dilakukan oleh trainee.
Dislokasi dan migrasi stent bilier juga bisa berakibat perforasi usus. Laparoskopi pada kasus obestias, kehamilan dan obstruksi usus, infeksi bakterial seperti tifoid, inflammatory bowel disease, dan kolitis iskhemik juga berpotensi perforasi usus. Penyebab-penyebab lainnya diantaranya karena keganasan intraabdominal, radioterapi keganasan intraabdominal, transplantasi ginjal, menelan bahan kasutik, tuberculosis usus dan demam tifoid.
PATOFISIOLOGI PERFORASI
Adanya bakteri di dalam saluran cerna menambah risiko terjadinya perforasi usus maupun pemberatan perforasi usus tersebut yang bisa disertai keadaan peritonitis. Perforasi gaster yang disertai peritonitis kimiawi karena limpahan asam lambung ke rongga perut mungkin tidak segera menimbulkan gejala hingga terjadinya peritonitis bakteriil.
Populasi bakteri yang lebih dominan pada usus halus bagian distal (yeyunum, ileum) ternyata juga memberi risiko lebih besar terjadinya perforasi usus dibandingkan duodenum. Pada perforasi kolon umumnya omentum akan melokalisir daerah inflamasi, namun keadaan hipoksia di area tersebut akan mengakibatkan peningkatan pertumbuhan bakteri anaerob, melemahkan efek bakterisidal granulosit hingga terjadi abses abdominal dan bila tidak ditangani dapat berkembang menjadi sepsis, gagal multiorgan, dan syok.
MANIFESTASI KLINIK PERFORASI USUS
Pengambilan anamnesis perlu dilakukan dengan cermat, tentang riwayat trauma tajam atau tumpul pada bagian bawah atau perut, riwayat pemakaian obat-obatan aspirin, yang banyak digunakan pada penyakit jantung koroner, OAINS yang bersifat ulserogenik, dan mungkin steroid, terutama pada pasien usia lanjut.
Khususnya mengenai keluhan nyeri perut, perlu ditanyakan onset nyeri, lama, dan lokasi nyeri, karateristik nyeri, faktor pemberat atau yang meringankan keluhan kalau ada, dan gejala-gejala yang menyertainya. Vomitus juga merupakan gejala yang menonjol pada kolesistitis akut dan justru tidak begitu beratpada ulkus peptikum yang perforasi, sedangkan pada appendicitis akut nyeri perut biasanya 3-4 jam mendahului muntah-muntah.
Cegukan (hiccup) seringkali juga menjadi tanda dari perforasi ulkus peptikum. Perforasi ulkus duodenum sering disertai rasa nyeri epigastrium yang mendadak dengan atau tanpa radiasi kedaerah bahu, dengan peritonitis umum yang dapat timbul dalam beberapa jam kemudian dan pasien akan berbaring diam untuk menahan nyeri.
Sangat penting menanyakan tindakan-tindakan medis sebelumnya, misal kolonoskopi, riwayat berpergian ke daerah endemis demam tifoid atau penyakit-penyakit kronik yang berpotensi komplikasi perforasi, seperti inflammatory bowel disease.
Pada pemeriksaan fisik perlu dicermati keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital, apakah dijumpai keadaan syok atau tidak. Pemeriksaan inspeksi, apakah ada tanda-tanda luka, benturan, ekhimose, laserasi. Palpasi secara hati-hati seluruh abdomen, apakah teraba massam atau nyeri tekanan umum atau lokasi-lokasi tertentu di abdomen.
Adanya demam, takikardia, dan nyeri abdomen menyeluruh perlu di curigai adanya peritonitis. Nyeri pada perkusi mungkin juga suatu tanda peradangan peritoneum, dan suara usus biasanya hilang pada peritonitis umum.
Rectal dan vaginal toucher, serta pemeriksaan pelvis perlu dilakukan untuk menilai keadaan seperti apendisitis akut, abses tuboovarian yang ruptur, dan divertikulitis akut yang perforasi.
Pemeriksaan darah rutin maupun kimia meskipun tidak mempunyai nilai diagnostik langsung terhadap diagnosis perforasi usus, namun penting untuk mengetahui kemungkinan problem multiorgan yang menyertainya.
Pemeriksaan penunjang foto X-Ray dengan ditemukannya pneumoperitoneum pada foto toraks posteroanterior dan lateral dapat membantu dalam penegakan diagnosis perforasi usus pada saat pasien masih di ruang gawat darurat, demikian juga pemeriksaan foto X-Ray abdomen tiga posisi untuk mendiagnosis dugaan adanya ileus obstruktiva yang mungkin menyertainya.
TATALAKSANA PERFORASI USUS
Keadaan perforasi usus adalah keadaan darurat medik dan umumnya memerlukan tindakan pembedahan segera, namun pada kasus-kasus tertentu, seperti pada ulkus duodeni yang perforasi mungkin dapat terjadi penutupan perforasi sendiri sehingga tidak memerlukan tindakan pembedahan.
Sebuah studi RCT tatalaksana non operatif pada ulkus peptikum dengan perforasi menunjukan bahwa penanganan awal non-operatif (resusitasi cairan intravena, nasogastric suction, dan antibiotik intravena – cefotaxim, ampisilin, dan metronidazol, ranitidin) dengan observasi seksama dapat dilakukan kecuali pada mereka yang berusia di atas 70 tahun, dan upaya ini dapat mengurangi kebutuhan tindakan pembedahan darurat lebih dari 70% pasien.
Semoga bermanfaat.
=
Sponsored Content
Anda Seorang Internis?? PPDS Interna?? atau Dokter Umum di IGD???
Buku EIMED BIRU (Emergency in Internal Medicine Advance) adalah buku yang anda butuhkan.
Buku Seberat 1,3 kg ini berisi puluhan topik kegawatdaruratan spesifik di bidang penyakit dalam
- Kegawatdaruratan Sidroma Koroner Akut
- Kegawatdaruratan Pneumonia (CAP, HAP dan VAP)
- Kegawatdaruratan Krisis Hiperglikemia (KAD dan HONK)
- Kegawatdaruratan Sepsis
- Kegawatdaruratan Infeksi Virus Dengue
- Kegawatdaruratan Penyakit Ginjal Kronik
- dan Puluhan Topik Kegawatdaruratan Spesifik yang lain
Jika anda sudah membaca EIMED MERAH (Emergency in Internal Medicine Basic), melengkap kompetensi anda dengan EIMED BIRU adalah pilihan cerdas di era BPJS dan MEA seperti saat ini.
Harga Buku Rp 375.000,00
Jadi Tunggu Apalagi, segera pesan buku EIMED BIRU melalui SMS/WA ke 0856 0808 3342 (Yahya)
Semoga Bermanfaat^^