Webinar SKP Kemenkes: Tatalaksana Kegawatdaruratan Trauma Thoraks: Diagnosis dan Penanganan Komprehensif

18 Dec 2025 • Webinar SKP Kemenkes

Deskripsi

Webinar SKP Kemenkes: Tatalaksana Kegawatdaruratan Trauma Thoraks: Diagnosis dan Penanganan Komprehensif

Pendahuluan

Trauma thoraks (trauma pada dada/toraks) merupakan tantangan signifikan dalam pengelolaan kegawatdaruratan medis bedah trauma. Baik trauma tumpul maupun penetran dapat mengancam nyawa karena keterlibatan struktur vital seperti jantung, paru, pembuluh besar, dan dinding thoraks. Menurut berbagai tinjauan, trauma dada mencapai sekitar 20-25% dari semua kematian akibat trauma. Meskipun banyak cedera dapat diatasi dengan tindakan minimal invasi, keterlambatan diagnosis atau pengelolaan tidak tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam lima sub-topik utama, yaitu:
a) Diagnosis dan Tatalaksana Cedera Jantung (Cardiac Injury) pada Trauma Tumpul Thoraks
b) Update Terkini Tatalaksana Flail Chest Injury
c) Prosedur Aplikasi Chest Tube pada Kasus Trauma Thoraks
d) Manajemen Komprehensif Trauma Tumpul Thoraks
e) Manajemen dan Evaluasi Penetrating Chest Trauma

Tujuannya: memberikan gambaran informatif bagi praktisi medis, terutama yang menangani kegawatdaruratan trauma toraks, maupun pembaca profesional kesehatan.

a. Diagnosis dan Tatalaksana Cedera Jantung (Cardiac Injury) pada Trauma Tumpul Thoraks

Latar Belakang

Cedera jantung akibat trauma tumpul (blunt cardiac injury, BCI) merupakan entitas yang sering terabaikan karena presentasinya dapat sangat variatif dan tidak spesifik. Dalam tinjauan oleh Shoar et al., disebutkan bahwa definisi BCI sangat heterogen, dan penanganan harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan hasil diagnostik.
Mekanisme cedera meliputi kompresi langsung toraks (misalnya kecelakaan kendaraan bermotor), decelerasi tiba-tiba, dan transmisi gaya ke jantung atau perikardium.
Karena jantung memiliki volume darah besar dan berada dalam ruang yang relatif tertutup, cedera seperti contusio miokardium, ruptur dinding jantung, tamponade perikardial, dan gangguan konduksi dapat terjadi.

Diagnosis

Diagnosis BCI memerlukan kombinasi anamnesis trauma, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berikut beberapa poin utama:

  • Anamnesis: mekanisme trauma yang signifikan (misalnya tabrakan kendaraan dengan kecepatan tinggi, kompresi dada) meningkatkan kecurigaan.

  • Pemeriksaan fisik: bisa mencakup takikardia, hipotensi, distensi vena jugularis, bunyi jantung melemah, tanda tamponade (misalnya triad Beck: hipotensi, distensi vena jugularis, bunyi jantung tumpul).

  • ECG: perubahan konduksi, blok atau bundel cabang baru, ST-T abnormalitas; Shoar et al menyebut bahwa ECG tetap sebagai pemeriksaan rutin awal.

  • Biomarker jantung: troponin dan CK-MB dapat membantu — meski tidak spesifik — untuk menilai apakah terdapat cedera miokardial. Sebagai contoh, elevasi troponin pada pasien trauma toraks harus dipertimbangkan sebagai kemungkinan BCI.

  • Echocardiografi (TTE atau TEE): membantu mendeteksi efusi perikardial, tamponade, disfungsi ventrikel. Shoar et al membahas TEE sebagai “next step” dalam situasi kecurigaan tinggi.

  • CT toraks dengan kontras: bermanfaat bila kecurigaan cedera struktural besar (misalnya ruptur aorta, kontusio ekstensif).

  • Ultrasonografi “focused” (FAST/eFAST): bisa digunakan untuk mendeteksi efusi perikardial dengan cepat di ruang gawat darurat, terutama saat pasien hemodinamik tidak stabil.

Shoar et al menyajikan algoritma pengelolaan pasien dengan blunt chest trauma dan tersangka BCI.

Tatalaksana

Tatalaksana cedera jantung dari trauma tumpul bergantung pada keparahan, kelainan yang ditemukan, dan stabilitas hemodinamik pasien. Berikut rangkuman langkah-penting:

  1. Stabilisasi awal: sesuai prinsip trauma (A-B-C: airway, breathing, circulation). Pastikan jalan napas, ventilasi, dan volume sirkulasi.

  2. Pemantauan hemodinamik: pasien dengan BCI memerlukan monitoring ketat (ECG kontinu, tekanan darah arteri, saturasi oksigen, output urin).

  3. Analgesia dan ventilasi yang optimal: untuk mencegah penurunan ventilasi yang dapat memperburuk kondisi jantung/paru.

  4. Intervensi khusus:
    • Jika terdapat tamponade perikardial dengan hemodinamik tidak stabil → tindakan emergensi seperti perikardiosentesis atau thorakotomi/perikardiektomi.

    • Jika terdapat ruptur dinding jantung atau pembuluh besar intrathoraks → segera ke bedah kardiotoraks/trauma.

    • Untuk kontusio miokardium tanpa indikasi bedah → manajemen konservatif: observasi, analgesia, monitoring ICU, koreksi aritmia jika muncul.

  5. Follow up: pasien yang stabil namun memiliki faktor risiko (misalnya elevasi troponin, perubahan ECG) mungkin memerlukan observasi inap 24-48 jam dengan evaluasi ulang.

  6. Keterlibatan tim multidisiplin: termasuk trauma, kardiologi, kardiotoraks, intensivis.

Catatan Khusus dan Tips Klinis

  • Cedera jantung mungkin terjadi meskipun tidak ada cedera dada yang nyata atau fraktur costae; sehingga harus ada kecurigaan tinggi apabila mekanisme berisiko tinggi.

  • Pada pasien usia lanjut atau dengan komorbiditas kardiovaskular, risiko komplikasi lebih tinggi.

  • Pentingnya kontrol aritmia dan dukungan ventilasi/oksigenasi, karena kompromi fungsi jantung dan paru dapat memperburuk satu sama lain.

  • Penggunaan algoritma pencitraan (CT, echo) sangat membantu dalam pengambilan keputusan—termasuk apakah perlu intervensi bedah atau cukup observasi.

Ringkasan

Cedera jantung pada trauma tumpul merupakan kondisi serius yang memerlukan diagnosis dini dan tatalaksana terstruktur. Kombinasi penilaian klinis, pemeriksaan penunjang, dan monitoring intensif menjadi kunci. Model manajemen yang sistematis dapat meningkatkan outcome.

b. Update Terkini Tatalaksana Flail Chest Injury

Definisi dan Signifikansi

Flail chest merupakan kondisi di mana terdapat dua atau lebih fraktur kostal pada setidaknya dua tempat berbeda sehingga segmen dinding dada menjadi “melayang” (free-floating) dan berkontraksi secara paradox saat napas. Kondisi ini sering muncul dalam konteks trauma tumpul toraks berat, dan berisiko tinggi menyebabkan gangguan ventilasi, kontusio paru, atelectasis, pneumonia, bahkan gagal napas.
Dalam tinjauan intervensi blunt chest trauma, tambahan fraktur iga meningkatkan probabilitas komplikasi seperti pneumonia, ventilasi mekanik, hospital stay yang lebih lama.

Update Tatalaksana

Dalam beberapa tahun terakhir, baik manajemen konservatif maupun intervensi bedah telah mengalami perkembangan. Berikut detailnya:

  1. Manajemen konservatif
    • Analgesia adekuat: sangat penting untuk memungkinkan pasien bernapas dalam, batuk efektif, dan mobilisasi cepat. Tanpa analgesia yang baik, pasien cenderung menghindari pernapasan dalam → hipoventilasi → atelectasis/pneumonia.

    • Fisioterapi paru dan mobilisasi dini: mengurangi risiko komplikasi paru, tromboemboli, dan mempercepat pemulihan.

    • Ventilasi non-invasif atau dukungan ventilasi bila diperlukan, terutama jika ada kontusio paru atau insufisiensi ventilasi.

    • Observasi intensif: karena segmen flail dapat menyebabkan instabilitas respirasi yang dinamis.

  2. Fixasi bedah kostal (rib fixation surgery)
    Baru-baru ini semakin banyak diterapkan, khususnya pada kasus flail chest yang berat atau disertai kontusio paru signifikan. Manfaat yang dilaporkan meliputi: waktu ventilator yang lebih singkat, nyeri lebih sedikit, mobilisasi lebih cepat, dan panjang rawat inap yang lebih pendek.
    – Indikasi yang relatif: flail chest dengan >3-4 fraktur iga, dislokasi iga, segmen yang menekan paru atau pleura, kegagalan ventilasi, nyeri tak terkontrol.
    – Teknik: penggunaan pelat atau klip logam untuk stabilisasi iga, sering dilakukan oleh tim bedah toraks atau trauma.

  3. Algoritma manajemen
    Satu tinjauan besar menyebut bahwa manajemen multidisciplinary sangat penting—termasuk trauma, anestesi, fisioterapi, bedah rib fixation jika diperlukan.

  4. Pemantauan dan komorbiditas
    Pasien lanjut usia atau dengan komorbiditas (misalnya penyakit paru kronis, jantung) memiliki risiko tinggi komplikasi. Oleh karena itu, pendekatan agresif lebih disarankan.

Saran Klinis Praktis

  • Evaluasi secara dini jumlah fraktur iga, adanya segmen jantung atau paru yang terdampak, dan kondisi ventilasi pasien.

  • Pastikan analgesia multimodal (paracetamol, NSAID, opioid jika perlu) dan pertimbangkan blok epidural atau regional (jika tidak ada kontraindikasi) untuk nyeri iga berat.

  • Libatkan fisioterapi paru sejak hari pertama jika memungkinkan.

  • Konsiderasi untuk bedah stabilisasi iga harus dibicarakan bila: ventilasi mekanik >48 jam, segmen flail menghambat mobilisasi atau nyeri tidak terkontrol.

  • Monitor secara ketat untuk komplikasi: pneumonia, atelectasis, gagal napas, tromboemboli.

Ringkasan

Tatalaksana flail chest telah berkembang dari pendekatan konservatif murni ke integrasi antara analgesia intensif, fisioterapi agresif, dan dalam kasus tertentu stabilisasi bedah. Pendekatan multidisiplin dan intervensi tepat waktu adalah kunci.

c. Prosedur Aplikasi Chest Tube pada Kasus Trauma Thoraks

Indikasi dan Konteks

Salah satu prosedur yang paling umum dilakukan dalam manajemen trauma toraks adalah pemasangan selang dada (tube thoracostomy atau chest tube). Prosedur ini menjadi langkah cepat untuk mengatasi pneumotoraks, hemotoraks, dan komplikasi intrathoraks lain. Dalam pengelolaan trauma tumpul maupun penetran, dalam banyak kasus chest tube cukup — bahkan hingga >80 % pasien blunt chest trauma memerlukan sedikit atau tanpa invasi tambahan.

Langkah Prosedur

Berikut garis besar tahapan prosedur pemasangan chest tube:

  1. Persiapan pasien
    • Pastikan stabilitas hemodinamik dan oksigenasi.

    • Jelaskan prosedur kepada pasien (jika sadar), berikan analgesia/sedasi jika perlu.

    • Siapkan alat: selang dada ukuran sesuai (biasanya 28-32 Fr untuk darah cair banyak, bisa lebih kecil untuk pneumotoraks), set pemasangan aseptik, sarung tangan steril, kit thoracostomy.

  2. Posisi
    • Posisi samping atau semi-miring dengan lengan di atas kepala atau sejajar bahu untuk akses interkostal anteterolateral (antara iga ke-4 atau ke-5, di garis mid-aksiler—tergantung kondisi).

  3. Insisi dan pembedahan akses
    • Lakukan anestesi lokal di kulit dan jaringan subkutan.

    • Insisi kulit ±2-3 cm di antara ruang interkostal yang ditentukan.

    • Diseksi subkutan dan otot interkostal secara halus hingga pleura parietal.

    • Masukkan jari untuk membuka jalan dan memeriksa rongga pleura (akan terasa udara/daerah kosong jika pneumotoraks, atau darah/gelap jika hemotoraks).

  4. Pemasangan selang
    • Selang dimasukkan ke rongga pleura via insisi dan diarahkan ke atas untuk pneumotoraks (biasanya ke apex), atau ke dasar rongga untuk hemotoraks (ke arah rejeksi darah).

    • Pastikan tidak ada lipatan atau kinking selang.

  5. Sambungan ke sistem drainage
    • Sambungkan ke kantong pengumpul dengan satu-way valve atau sistem suction (tergantung institusi).

    • Aktifkan aspirasi negatif ringan bila diperlukan (tergantung ukuran koleksi).

  6. Fiksasi dan penilaian akhir
    • Jahit selang ke kulit dan pasang pembalut steril.

    • Lakukan radiografi dada (CXR) segera setelah pemasangan untuk memastikan posisi selang dan resolusi pneumotoraks/hemotoraks.

Indikasi Operatif dan Monitoring

  • Indikasi pemasangan chest tube antara lain: pneumotoraks besar atau progresif, hemotoraks dengan koleksi signifikan, ventilasi terkompromi, atau pasien dengan trauma toraks dan gejala respirasi/hemodinamik.

  • Monitoring output selang: terutama pada hemotoraks—jika darah awal >1500 mL atau >200–300 mL/jam selama beberapa jam → indikasi eksplorasi bedah.

  • Perhatikan pula adanya udara terus-menerus keluar (persistent air leak) yang bisa menandakan bronkial/trakeobronkial injury, dan memerlukan evaluasi lanjut seperti bronkoskopi.

Tips Klinis Praktis

  • Pastikan selang dalam posisi bebas (tidak terlipat) dan tetap berada dalam rongga pleura, bukan dalam parenkim atau jaringan subkutan.

  • Observasi secara berkala keluaran darah/udara—jangan hanya pasang lalu dilupakan.

  • Perhatikan kondisi analgesia pasien agar napas dalam dan batuk efektif tetap berjalan, mengurangi risiko atelectasis/pneumonia.

  • Setelah stabilisasi, pertimbangkan drain removal bila tidak ada udara keluar, dan keluaran darah minimal serta CXR menunjukkan resolusi.

Ringkasan

Pemasangan chest tube adalah prosedur kunci dalam tatalaksana trauma toraks — cepat, efektif, dan sering menjadi langkah pertama dalam pengelolaan. Pemilihan indikasi yang tepat, teknik aseptik, dan monitoring yang baik sangat penting untuk hasil optimal.

d. Manajemen Komprehensif Trauma Tumpul Thoraks

Epidemiologi dan Tantangan

Trauma tumpul thoraks (blunt chest trauma) menjadi lebih umum akibat kecelakaan kendaraan bermotor, tabrakan pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, dan mechanisme decelerasi lainnya. Sekitar 70-80 % dari semua trauma toraks adalah tumpul.
Walaupun sebagian besar pasien dapat pulih dengan penanganan minimal, bagian dari pasien memiliki cedera komorbid seperti fraktur iga, kontusio paru, cedera aorta, cedera diafragma, atau cedera multisistem.

Prinsip Manajemen

Manajemen komprehensif trauma tumpul toraks mencakup:

  1. Survey primer & sekunder
    • Segera lakukan penilaian A-B-C-D-E (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) sesuai protokol ATLS/EMST.

    • Identifikasi cedera mengancam nyawa: pneumotoraks tekanan, hemotoraks besar, tamponade, ruptur aorta, flail chest berat.

    • Setelah stabil, lakukan survey sekunder secara menyeluruh untuk cedera tersembunyi.

  2. Penilaian diagnostik lanjutan
    • Radiografi dada (CXR) segera untuk mendeteksi pneumotoraks, hemotoraks, deviasi mediastinum, fraktur iga.

    • eFAST atau USG fokal untuk deteksi efusi perikardial atau pleura.

    • CT toraks dengan kontras bila dicurigai cedera vaskuler, mediastinum, diafragma, atau bila mekanisme sangat berat.

    • Analisis laboratorium: termasuk troponin bila dicurigai BCI, gas darah, koagulasi, Hb/Hct, dan lainnya.

  3. Penanganan supportif dan spesifik
    • Oksigenasi dan ventilasi adekuat: pastikan saturasi oksigen baik, dan bila diperlukan, ventilasi mekanik.

    • Analgesia adekuat segera—ini memungkinkan pernapasan dalam dan batuk efektif, mencegah komplikasi paru.

    • Drainage pleural: chest tube seperti dijelaskan di sub-bagian sebelumnya jika hematotoraks atau pneumotoraks signifikan.

    • Stabilitas dinding dada: pada fraktur iga banyak atau flail chest, pertimbangkan stabilisasi bedah atau intervensi.

    • Mobilisasi dini dan fisioterapi paru: untuk menghindari atelectasis, pneumonia, dan tromboemboli.

  4. Manajemen komplikasi dan monitor lanjut
    • Pantau komplikasi seperti pneumonia, ARDS (acute respiratory distress syndrome), gagal napas, tromboemboli, cedera neuro/abdomen tersembunyi.

    • Pada pasien lanjut usia atau dengan komorbiditas, risiko meningkat ­— pendekatan proaktif lebih penting.

  5. Tim multidisiplin
    • Integrasi antara trauma bedah, anestesi/ICU, fisioterapi, keperawatan, dan rehabilitasi sangat penting untuk hasil optimal.

Contoh Alur Manajemen

Misalnya pasien kecelakaan mobil dengan fraktur banyak iga, kontusio paru dan pneumotoraks:

  • Survey primer: aman, saturasi menurun → oksigenasi + chest tube

  • CXR → pneumotoraks dan beberapa fraktur iga

  • CT toraks → kontusio paru, tidak ada ruptur aorta

  • Analgesia + fisioterapi dini + mobilisasi

  • Monitoring ICU, tidak butuh bedah iga karena ventilasi bagus

  • Pulih dalam beberapa hari, lalu dipindahkan ke Bangsal, lalu ke rehab.

Hal-hal yang Perlu Diingat

  • Jumlah fraktur iga dan usia pasien adalah faktor risiko kuat untuk komplikasi. Misalnya, setiap tambahan fraktur iga pada pasien lanjut usia meningkatkan risiko pneumonia dan kematian.

  • Meski tampak ringan, mekanisme trauma yang “berenergi tinggi” (kecepatan tinggi, tidak mengenakan sabuk pengaman) harus dievaluasi secara menyeluruh karena cedera tersembunyi mungkin.

  • Komunikasi dan transfer antar rumah sakit harus jelas bila pasien butuh level referensi yang lebih tinggi (misalnya bedah toraks, angiografi).

Ringkasan

Manajemen trauma tumpul toraks yang komprehensif tidak hanya sekadar menanggulangi cedera primer tetapi juga mengantisipasi komplikasi dan melibatkan tim multidisiplin. Pendekatan sistematis dari survey awal hingga rehabilitasi sangat menentukan outcome.

e. Manajemen dan Evaluasi Penetrating Chest Trauma

Latar Belakang

Trauma penetran toraks (penetrating chest trauma) meliputi luka tembus atau tusuk yang melewati dinding dada dan bisa mengenai jantung, paru, mediastinum, atau pembuluh besar. Meskipun frekuensinya lebih rendah dibanding trauma tumpul, tingkat mortalitas dan kebutuhan bedahnya lebih tinggi.
Prosedur emergensi dan deteksi cepat sangat krusial dalam kasus ini, karena cedera bisa sangat kompleks dan tersembunyi.

Evaluasi Awal

  • Anamnesis dan mekanisme: lokasi luka, apakah proyektil, arah penetrasi, apakah ada cedera multitrauma.

  • Pemeriksaan fisik: tanda hemodinamik tidak stabil, distensi vena jugularis, bunyi jantung tumpul, asimetri dada, suara napas menurun, murmur baru, dsb.

  • CXR dan FAST/eFAST: menilai adanya pneumotoraks, hemotoraks, efusi perikardial, mediastinum lebar.

  • CT angio jika kondisi stabil dan ada dugaan cedera vaskuler mediastinum atau aorta.

Tatalaksana Darurat

Berdasarkan literatur, berikut langkah penanganan:

  1. Stabilisasi A-B-C: Pastikan jalan napas terjaga, ventilasi/oksigenasi memadai, sirkulasi aktif.

  2. Intervensi awal:
    • Jika pneumotoraks tegang → decompression segera (jarum lalu chest tube).

    • Hemotoraks besar (>1500 mL awal) → chest tube dan persiapan bedah segera.

    • Torsi jantung atau tamponade → perikardiosentesis atau thorakotomi emergensi.

    • Jika hemodinamik tidak stabil dengan cedera dada yang berat → indikasikan emergensi thorakotomi di ruang gawat darurat.

  3. Operasi definitif
    – Bedah toraks atau sternotomi tergantung jalur luka, struktur yang terlibat, dan kondisi pasien. Menurut Birrer et al, sebagian besar pasien penetran (≈ 79%) dapat dikelola non-operatif, tetapi ≈18% memerlukan chest tube dan ≈3% memerlukan sternotomi/thorakotomi.

  4. Post-operative care dan monitoring
    – ICU, monitor output drain, fungsi jantung/parui, aritmia, komplikasi infeksi.
    – Mobilisasi dini bila memungkinkan, analgesia, fisioterapi paru.

Evaluasi Lanjut dan Follow-Up

  • Pastikan tidak ada cedera tersembunyi seperti diafragma, trakeobronkial, esofagus yang dapat terlewat jika hanya fokus pada luka permukaan.

  • Pemantauan jangka panjang: status fungsi paru, nyeri kronik dinding dada, kemungkinan syaraf interkostal terganggu.

Tips Klinis Praktis

  • Waktu itu emas: keterlambatan dalam menangani tamponade atau hemo/pneumotoraks besar sangat mempengaruhi hasil.

  • Jangan menunggu hasil CT bila pasien hemodinamik tidak stabil—penilaian klinik dan intervensi cepat lebih utama.

  • Komunikasi cepat dengan tim bedah toraks, anestesi, ICU sangat penting.

Ringkasan

Penetrating chest trauma memerlukan pendekatan yang sangat cepat dan terkoordinasi. Evaluasi awal yang sistematis dan mitigasi cedera mengancam nyawa menjadi pusat pengelolaan. Dengan algoritma yang tepat, banyak kasus dapat diselamatkan.

Penutup

Trauma thoraks, baik tumpul maupun penetran, merupakan kondisi yang kompleks namun jika ditangani dengan tepat dan cepat dapat memperbaiki outcome secara signifikan. Diagnostik yang cepat, tatalaksana prosedural yang tepat (seperti chest tube), manajemen komprehensif dari pasien trauma tumpul, hingga evaluasi dan intervensi pada trauma penetran adalah elemen-kunci dalam praktik klinis. Pendekatan multidisiplin, protokol yang jelas, dan kesiapan tim trauma sangat penting. Dengan pemahaman yang baik terhadap tiap sub-topik yang telah dibahas—cedera jantung, flail chest, chest tube, manajemen komprehensif blunt trauma, serta penetrating trauma—diharapkan para praktisi dapat meningkatkan kualitas penanganan dan memperbaiki hasil pasien.

Daftar Pustaka

  1. Shoar, S., et al., 2021. Cardiac injury following blunt chest trauma: diagnosis, management, and uncertainty. International Journal of Burns and Trauma, 11(2), hlm. 80–89. [Online] Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8166660/ [Diakses 4 November 2025].

  2. Mistry, R.N., et al., 2022. Management of blunt thoracic trauma. Galle Medical Journal, [Online] Tersedia di: https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s00068-022-02152-1.pdf [Diakses 4 November 2025].

  3. Medscape, 2022. Blunt Chest Trauma Treatment & Management. Medscape, [Online] Diperbarui November 2022. Tersedia di: https://emedicine.medscape.com/article/428723-treatment [Diakses 4 November 2025].

  4. Unsworth, A., Curtis, K. & Asha, S.E., 2015. Treatments for blunt chest trauma and their impact on patient and hospital outcomes. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 23(99). [Online] Tersedia di: https://sjtrem.biomedcentral.c... [Diakses 4 November 2025].

  5. Jain, A., et al., 2023. Penetrating Chest Trauma. StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. [Online] Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535444/ [Diakses 4 November 2025].

  6. Edgecombe, L., et al., 2023. Thoracic Trauma. StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. [Online] Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459123/ [Diakses 4 November 2025].

  7. Birrer, D.L., et al., 2020. Penetrating chest trauma. Journal of Visualized Surgery. [Online] Tersedia di: https://jovs.amegroups.org/art... [Diakses 4 November 2025].

  8. Queensland Health, 2024. Blunt chest trauma – Clinical Practice Guideline (Version 2.0). Queensland Health. [Online] Tersedia di: https://clinicalexcellence.qld.gov.au [Diakses 4 November 2025].

  9. Harrington, D.T., et al., 2010. Factors Associated With Survival Following Blunt Chest Trauma in Older Patients. Archives of Surgery, 145(5), hlm. 432–437. [Online] Tersedia di: https://jamanetwork.com/journals/jamasurgery/fullarticle/405943 [Diakses 4 November 2025].