Dokter Post - Tatalaksana CKD: Dialisis vs CAPD | Panduan Klinis Lengkap

Webinar SKP Kemenkes: Panduan Komprehensif Tatalaksana CKD: Dialisis vs CAPD dalam Fokus Klinis

11 Aug 2025 • SKP

Deskripsi

Webinar SKP Kemenkes: Panduan Komprehensif Tatalaksana CKD: Dialisis vs CAPD dalam Fokus Klinis

Pendahuluan

Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan global yang terus meningkat prevalensinya. CKD didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal yang berlangsung selama ≥3 bulan, ditandai oleh GFR <60 mL/min/1.73 m² atau adanya kelainan struktural/fungsional ginjal. 

Dalam tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD), terapi pengganti ginjal mutlak diperlukan, baik melalui hemodialisis, continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), atau transplantasi ginjal.

Tulisan ini akan mengulas secara komprehensif perbandingan antara dialisis konvensional dan CAPD dalam konteks klinis berdasarkan bukti ilmiah terkini, termasuk penanganan komplikasi akses vaskular, indikasi pemilihan CAPD, serta strategi menangani infeksi peritoneum pada pasien CAPD.

A. Komparasi Dialisis dan Konservatif dalam Kasus CKD

Pada pasien dengan CKD stadium lanjut (stadium 5), pilihan antara terapi konservatif dan dialisis menjadi titik krusial. Terapi konservatif lebih cocok untuk pasien geriatrik, komorbid berat, atau yang tidak layak untuk dialisis. Pendekatan ini menitikberatkan pada manajemen gejala, kontrol tekanan darah, koreksi anemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, serta suportif paliatif.

Sebaliknya, dialisis menjadi andalan pada pasien dengan uremia berat atau kondisi yang mengancam jiwa. Hemodialisis konvensional dilakukan 2–3 kali seminggu di rumah sakit dengan menggunakan alat dialyzer untuk menyaring racun dan cairan dari darah. CAPD, di sisi lain, memberikan alternatif yang lebih fleksibel, terutama bagi pasien yang masih memiliki fungsi ginjal residual dan ingin tetap produktif di rumah.

B. Penanganan Komprehensif Masalah pada Akses Dialisis: Double/Triple Lumen HD, AV Shunt

Akses vaskular pada hemodialisis merupakan tulang punggung keberhasilan terapi. Tiga tipe utama akses adalah:

  1. Kateter Double/Triple Lumen – sering digunakan secara temporer. Kateter ini biasanya dimasukkan ke vena jugularis interna. Risiko infeksi tinggi, maka penggunaannya harus dibatasi.

  2. AV Shunt (Fistula dan Graft) – merupakan pilihan terbaik untuk jangka panjang. AV fistula (koneksi arteri dan vena secara langsung) menunjukkan hasil terbaik dari segi patensi dan komplikasi yang rendah.

Komplikasi utama akses vaskular meliputi trombosis, stenosis, infeksi, dan aneurisma. Intervensi dari dokter bedah toraks-kardiovaskular (SpBTKV) sangat penting, mulai dari pembuatan fistula, tindakan angioplasti, hingga revisi bedah bila terjadi komplikasi.

C. Pertimbangan Penggunaan CAPD pada Kasus CKD

CAPD menjadi pilihan yang layak terutama untuk:

  • Pasien dengan hemodinamik tidak stabil (misalnya pasien dengan gagal jantung).

  • Lansia atau pasien dengan keterbatasan akses vaskular.

  • Pasien yang ingin menjalani dialisis di rumah secara mandiri.

Kelebihan CAPD antara lain mempertahankan diuresis residu lebih lama, beban cairan lebih mudah diatur, serta mengurangi kebutuhan kunjungan ke rumah sakit. Namun, CAPD tidak cocok untuk pasien dengan gangguan fungsi peritoneum, adhesi abdomen berat, atau infeksi peritoneum berulang.

Kontraindikasi CAPD juga mencakup obesitas ekstrem, hernia abdomen, dan peritonitis kronik.

D. Komparasi CAPD dan Dialisis dalam Kasus CKD

Efektivitas Klinis

Beberapa studi menunjukkan CAPD memberikan hasil survival yang sebanding, terutama pada 1–2 tahun pertama dialisis. CAPD juga lebih efektif dalam menjaga fungsi ginjal residu dan memperbaiki kualitas hidup pada pasien dengan gaya hidup aktif.

Risiko Komplikasi

Hemodialisis lebih berisiko terhadap penurunan tekanan darah mendadak, kram otot, serta gangguan elektrolit. CAPD, di sisi lain, rentan terhadap infeksi peritoneum (peritonitis) dan malnutrisi karena kehilangan protein lewat dialysate.

Biaya dan Akses

CAPD memiliki keunggulan dari sisi pembiayaan di beberapa negara karena mengurangi biaya transportasi dan perawatan rumah sakit. Namun, CAPD menuntut edukasi dan disiplin pasien serta lingkungan rumah yang bersih dan memadai.

E. Tatalaksana Terkini dalam Kasus Infeksi pada CAPD: Fokus pada Transisi CAPD ke Dialisis

Peritonitis merupakan komplikasi paling sering dan serius pada CAPD. Gejala klinis meliputi:

  • Nyeri perut

  • Demam

  • Kekeruhan cairan dialisis

Tatalaksana meliputi pemberian antibiotik intraperitoneal dan/atau intravena. Antibiotik yang lazim digunakan antara lain:

  • Cefazolin

  • Ceftazidime

  • Vancomycin bila dicurigai infeksi MRSA

Evaluasi respon terapi dilakukan dengan melihat perbaikan gejala dan penurunan leukosit cairan dialisis dalam 48–72 jam. Bila tidak membaik dalam 5 hari, maka penggantian ke hemodialisis dan pengangkatan kateter perlu dipertimbangkan.

Kasus yang dilaporkan dalam jurnal Pielęgniarstwo w Opiece Długoterminowej mengungkapkan keberhasilan pengelolaan infeksi peritoneal dengan kombinasi terapi antibiotik dan edukasi ulang pasien CAPD. Catatan keperawatan yang menggunakan klasifikasi ICNP® menunjukkan bahwa edukasi intensif, pengawasan cairan, serta evaluasi klinis ketat menjadi pilar sukses dalam pemulihan pasien.

Kesimpulan

Pemilihan antara CAPD dan hemodialisis pada pasien CKD tidak bisa disamaratakan. Pendekatan yang bersifat individual, mempertimbangkan kondisi klinis, preferensi pasien, status sosial, serta risiko komplikasi, sangatlah penting. Peran tim multidisiplin (SpPD-KGH, SpBTKV, perawat, edukator, dan pasien itu sendiri) menentukan hasil terapi yang optimal.

CAPD menawarkan banyak keuntungan, terutama bagi pasien yang ingin menjalani terapi di rumah. Namun, risiko infeksi harus diantisipasi dengan edukasi berkelanjutan dan monitoring ketat. Sementara itu, akses vaskular yang optimal tetap menjadi tantangan tersendiri dalam hemodialisis. Penanganan infeksi CAPD dengan pendekatan terkini serta transisi ke hemodialisis bila diperlukan menunjukkan bahwa fleksibilitas dan kesiapan menjadi kunci dalam manajemen CKD.

Referensi :

  1. PLoS One. (2017). Barriers to peritoneal dialysis in patients with end-stage renal disease. https://journals.plos.org/plosone/article/file?id=10.1371/journal.pone.0181345&type=printable

  2. ScienceDirect. (2023). Economic evaluation of CAPD vs hemodialysis. Link PDF

  3. Jurnal Konseling Indonesia. (2022). Kualitas hidup pasien CKD dengan CAPD. https://jurnal.konselingindonesia.com/index.php/jkp/article/view/1396/653

  4. Journal of Public Health Research. (2021). Nutritional and psychosocial aspects of CKD treatment. https://journals.sagepub.com/doi/epub/10.4081/jphr.2021.2209

  5. Journal of the American Society of Nephrology. (2023). Infection control in CAPD. https://journals.sagepub.com/doi/epub/10.1177/08968608231209849

  6. PLoS One. (2023). Outcomes of dialysis in CKD patients: a systematic review. https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0286579

  7. Grączewska N. (2022). Treatment of a patient with chronic renal failure dialyzed with CAPD method hospitalized due to peritoneal infection. Pielęgniarstwo w opiece długoterminowej, 7(3), 21-29. [PDF]