2 Dec 2025 • bedah
Gawat darurat gastrointestinal (GI) dalam bidang bedah meliputi kondisi-yang memerlukan intervensi cepat atau segera karena risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Beberapa contoh termasuk ileus atau obstruksi usus, peritonitis, perdarahan gastrointestinal masif, dan appendicitis akut. Dalam konteks bedah, penanganan yang tepat waktu sangat krusial agar mencegah komplikasi seperti iskemia usus, perforasi, sepsis, syok, atau kematian. Sebagai latar belakang, penelitian menunjukkan bahwa bedah darurat GI (“emergency gastrointestinal surgery”) membawa beban komplikasi morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi lima skenario penting dengan pendekatan klinis yang komprehensif.
Ileus adalah kondisi berhentinya atau sangat tertundanya peristaltik usus tanpa ada penyumbatan mekanik yang jelas. Namun dalam praktik bedah sering kita bicara pula tentang obstruksi usus mekanik yang berbatasan dengan ileus fungsional. Pada literatur “Ileus in Adults: Pathogenesis, Investigation and Treatment” dijelaskan bahwa ileus pasca operasi sering terjadi dan bermula hari ke-3 hingga ke-5 setelah operasi dengan gejala seperti mual, muntah, retensi feses dan gas.
Patofisiologi ileus melibatkan gangguan motilitas usus — bisa karena rangsangan simpatis, pelepasan mediator inflamasi, manipulasi usus selama operasi, opioida, dan faktor lain seperti infeksi atau sepsis.
Sedangkan pada obstruksi mekanik usus, penyebab meliputi adhesi, hernia, volvulus, tumor, intusussepsi, dan sebagainya.
Pada obstruksi usus atau ileus, gejala yang muncul umumnya: distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah (terutama pada obstruksi usus halus), tidak bisa buang gas atau feses, dan peristaltik yang berkurang atau bahkan absent.
Pada artikel Vilz et al. disebutkan bahwa ileus pasca operasi muncul pada hari ke-3 hingga ke-5 pasca bedah dan paling cepat pulih pada usus halus (0-24 jam), lambung (24-48 jam), dan kolon (48-72 jam).
Diagnosis awal mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik (abdomen, suara usus, peristaltik, adanya tanda-tanda obstruksi seperti retensi gas/feses), dan pemeriksaan radiologis. Pada obstruksi mekanik, pemeriksaan gambar seperti foto polos abdomen (air-fluid level), CT abdomen dengan kontras kadang perlu untuk mengidentifikasi titik transisi usus.
Pada ileus fungsional, tidak tampak “titik transisi” khas seperti obstruksi, dan terdapat udara dalam kolon/rectum.
Laboratorium seperti leukositosis, peningkatan CRP, laktat (jika dicurigai iskemia) juga berguna.
a. Stabilitas pasien
Pasien harus dipantau secara ketat: hemodinamik, hidrasi, elektrolit (hipokalemia, hipomagnesemia memperparah ileus)
Puasa dari oral (NPO), pemberian cairan IV, koreksi elektrolit, pemberhentian obat-obat yang memperlambat motilitas (opioida, antikolinergik)
b. Terapi konservatif
Dekontinuitas oral hingga motif usus pulih
Nasogastrik tube (NGT) bila muntah/mual hebat atau distensi besar
Mobilisasi dini pasien pasca operasi
Pengurangan penggunaan opioid; multimodal analgesia
Protokol “enhanced recovery after surgery (ERAS)” yang terbukti mempercepat pemulihan motilitas usus.
c. Indikator pengamatan
Kehadiran bunyi usus, buang gas, feses → menunjukkan pemulihan motilitas
Jika tidak ada perbaikan dalam 48-72 jam (tergantung kondisi), perlu evaluasi ulang ada/tidaknya komplikasi seperti obstruksi terselubung, iskemia usus, perforasi.
d. Indikasi bedah atau intervensi
Bila dicurigai obstruksi mekanik, iskemia usus atau perforasi → segera konsultasi bedah.
Tanda bahaya: nyeri hebat, leukositosis tinggi, laktat naik, distensi progresif, pneumoperitoneum, mesenteric fluid di CT scan.
e. Monitoring & Komplikasi
Perpanjangan ileus (> 3-5 hari) dapat meningkatkan risiko pneumonia, tromboemboli, sepsis, lama rawat inap meningkat.
Perlu pemantauan terus-menerus fungsi usus, status nutrisi, dan pencegahan komplikasi.
Sebagai katakan contoh, dewasa dengan riwayat operasi abdomen, presentasi distensi, muntah, tidak buang gas/feses → imaging menunjukkan dilatasi usus besar/halus tanpa udaraberlebihan di kolon = ileus vs obstruksi parsial. Pendekatan komprehensif seperti di atas penting: evaluasi etiologi, stabilisasi pasien, konservatif atau jika ada indikasi kuat bedah maka intervensi dini.

Obstruksi parsial usus adalah kondisi di mana terjadi penghalangan sebagian aliran usus sehingga masih ada passage sebagian gas/feses, tetapi motilitas tetap terganggu. Dibandingkan obstruksi total, gejala mungkin lebih ringan, tapi tetap memerlukan perhatian karena risiko progresi menjadi obstruksi total atau iskemia. Perbedaan dengan ileus fungsional adalah adanya penyumbatan mekanik sebagian.
Pembedahan atau intervensi bedah direkomendasikan bila terdapat salah satu dari:
Tanda-tanda iskemia usus atau strangulasi: nyeri hebat, peritoneal sign, leukositosis, laktat ↑
Perforasi: free air under diaphragm, peritonitis
Gagal terapi konservatif setelah 48-72 jam
Obstruksi mekanik yang tegas (misalnya tumor, hernia, volvulus)
Kondisi yang mengancam nyawa atau komplikasi yang berkembang cepat
Penelitian menunjuk bahwa kebingungan antara ileus dan obstruksi mekanik dapat menunda intervensi yang diperlukan.
Evaluasi pre-operatif: status umum pasien, komorbiditas, risiko anestesi
Menentukan akses: laparotomi vs laparoskopi jika memungkinkan
Saat operasi: identifikasi lokasi obstruksi, tenjadikan tindakan tepat (reseksi usus nekrotik, detorsio volvulus, herniorafi, adhesiolisis)
Perhatian terhadap status nutrisi dan risiko sepsis/kerusakan usus
Setelah operasi: manajemen pasca operasi yang baik (mobilisasi cepat, pengurangan opioid, monitoring usus)
Meskipun artikel spesifik tentang obstruksi parsial dalam konteks darurat sedikit, literatur umum tentang ileus dan obstruksi menekankan pentingnya kecepatan diagnosis dan keputusan pembedahan tepat waktu. Misalnya, latar belakang “emergency gastrointestinal surgery” menunjukkan bahwa penundaan dalam intervensi meningkatkan morbiditas/mortalitas.
Untuk obstruksi parsial dan belum ada indikasi bedah segera → mulai konservatif dengan pengawasan ketat.
Klarifikasi etiologi: CT abdomen dengan kontras bila perlu.
Bila kondisi memburuk → konversi ke indikasi bedah.
Diskusi multi-disipliner bedah & anestesi & intensivis bila pasien berisiko tinggi.
Dokumentasi alur keputusan penting sebagai bagian dari manajemen kegawatdaruratan.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum yang dapat bersifat lokal maupun umum (diffuse). Dalam konteks bedah, peritonitis umumnya disebabkan oleh perforasi viskus gastrointestinal, infeksi intra-abdominal, atau komplikasi pasca operasi. Peritonitis termasuk kondisi gawat darurat karena risiko sepsis dan syok.
Anamnesis: nyeri abdomen hebat, distensi, demam, meningkatnya leukosit, tanda-tanda peritoneal (rigidity, guarding, rebound).
Pemeriksaan laboratorium: CBC, CRP, procalcitonin, elektrolit, fungsi ginjal/hepar, laktat (untuk melihat iskemia).
Imaging: Foto polos abdomen (free air), CT abdomen/pelvis dengan kontras untuk melihat perforasi, abses, lokalisasi penyebab.
Perbedaan penting: peritonitis sekunder (akibat perforasi GI) vs peritonitis primer (misalnya Spontaneous Bacterial Peritonitis pada sirosis) — dalam bedah, fokus pada peritonitis sekunder.
a. Resusitasi awal
Cairan IV, monitoring hemodinamik, stabilisasi pasien
Antibiotik empiris segera setelah darah/kultur diambil jika dicurigai infeksi intra-abdominal
Koreksi elektrolit, oksigenasi, analgesia
b. Intervensi Bedah/Non-Bedah
Indikasi operasi: perforasi usus, abses banyak, nekrosis usus, peritonitis difus dengan deteriorasi hemodinamik.
Prosedur bedah: laparotomi laparoskopi, pembedahan sumber perforasi, reseksi usus nekrotik, lavage abdominal, drainase abses.
Non-bedah/Intervensi minimal invasif: drainase radiologi atau endoskopik abses intra-abdominal jika pasien stabil dan sumber terbatas.
c. Antibiotik dan Perawatan Lanjutan
Pilih antibiotik spektrum luas mencakup gram negatif, anaerob, enterokokus (tergantung protokol rumah sakit)
Durasi terapi tergantung respons klinis dan temuan intra-operative/imaging
Pemantauan ICU jika pasien kritis
Nutrisi awal (enteral lebih baik jika memungkinkan)
Artikel “Gastro-intestinal emergency surgery: Evaluation of morbidity and mortality” menunjukkan bahwa kondisi ini masih membawa risiko besar dan memerlukan sistem perawatan yang baik. Meskipun tidak secara spesifik membahas semua protokol terbaru, bukti menunjukkan bahwa pendekatan cepat dan terstruktur sangat penting.
Waspadai peritonitis pada setiap pasien dengan perforasi GI atau kondisi post-operasi yang memburuk.
Lakukan imaging segera bila dicurigai perforasi.
Mulai antibiotik empiris segera, persiapan operasi atau drainase.
Gunakan tim bedah, intensivis, radiologi intervensi dan mikrobiologi secara terpadu.
Setelah operasi, perhatikan manajemen pasca operasi: mobilisasi, kontrol nyeri, ISPA, nutrisi, dan drainase efektif.
Appendicitis akut adalah salah satu kegawatdaruratan bedah GI yang paling sering. Tradisionalnya, terapi bedah yaitu Appendektomi menjadi standar pengobatan. Namun dalam beberapa tahun terakhir muncul bukti bahwa terapi antibiotik saja dapat menjadi alternatif pada kasus-tertentu.
Misalnya, studi besar CODA Trial (dipublikasikan di The New England Journal of Medicine) membandingkan antibiotik versus appendektomi pada appendicitis uncomplicated. Artikel review dalam HJS menyebut bahwa antibiotik-first strategy dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko peritonitis bila kondisi lebih kompleks. Pedoman dari Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) membahas diagnosis dan tatalaksana appendicitis termasuk non-operatif.
Dalam CODA: pasien yang mendapat antibiotik dapat menghindari operasi pada sebagian besar kasus dalam jangka pendek tetapi sekitar 20-30 % memerlukan appendektomi dalam waktu 90 hari atau lebih.
Risiko lebih tinggi pada yang memiliki appendicolith (fecalith) atau temuan imaging yang menunjukkan abses atau perforasi.
Operasi tetap memberikan resolusi definitif, tetapi dengan beban bedah (risiko anestesi, infeksi, lama tinggal).
Non-operatif memberikan pilihan yang lebih konservatif dan kurang invasif, tetapi harus ada persiapan bahwa 1/5-1/3 pasien mungkin akan memerlukan operasi kemudian.
Terapi antibiotik saja cocok untuk pasien:
Dengan appendicitis uncomplicated (tidak ada perforasi, abses besar, peritonitis difus)
Kondisi medis pasien membuat operasi berisiko tinggi
Pasien setuju dengan strategi ini dan memahami potensi kebutuhan operasi kemudian
Appendektomi tetap menjadi pilihan pada:
Appendicitis komplikasi (perforasi, abses, peritonitis)
Appendicolith yang besar atau tanda iskemia/perforasi
Pasien yang ingin resolusi definitif atau bila fasilitas konservatif tidak memadai
Evaluasi dengan imaging (USG/CT) untuk memeriksa status komplikasi.
Diskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan risiko masing-masing strategi.
Jika memilih antibiotik saja, harus dilakukan protokol pemantauan ketat dan kesiapan untuk operasi bila memburuk.
Tim bedah/bedah usus harus siap menangani konversi ke operasi.
Dokumentasi klinis lengkap mengenai pilihan strateginya.
Hematochazia berarti perdarahan segar dari saluran gastrointestinal bagian bawah (misalnya darah merah terang dalam tinja). “Masif” berarti volume perdarahan besar yang dapat menyebabkan hemodinamik tidak stabil. Ini merupakan kegawatdaruratan bedah-gastrointestinal yang memerlukan pendekatan cepat.
Triage pasien: stabilitas hemodinamik (tekanan darah, denyut jantung, perfusi)
Resusitasi cairan dan darah (jika diperlukan)
Pasang dua jalur IV besar, monitoring intensif
Anamnesis: onset, frekuensi perdarahan, riwayat penyakit GI (divertikula, angiodisplasia, kolitis, polip, kanker), obat-obatan antikoagulan/antiplatelet
Pemeriksaan fisik: tanda syok, abdomen, rektal digital untuk menilai sumber perdarahan
Laboratorium: Hb/Hct, tipe dan cross-match darah, koagulasi, fungsi ginjal/hepar
Endoskopi: apabila sudah stabil, kolonoskopi segera untuk mengidentifikasi sumber (divertikula, angiodisplasia, tumor).
Radiologi: bila perlu (angiografi, CT angiografi) untuk perdarahan aktif.
Pertimbangkan pencitraan cepat atau skintigrafi perdarahan jika perdarahan aktif tapi sumber tak ditemukan.
Pasien tidak stabil → resusitasi hemodinamik → konsultasi segera bedah/intervensi.
Stabil → kolonoskopi emergensi dalam 12-24 jam jika memungkinkan.
Bila ditemukan sumber aktif dan endoskopi berhasil → terapi endoskopi (injeksi, klip, cauterisasi, balloon tamponade).
Bila endoskopi gagal atau tidak memungkinkan → angiografi intervensi (embolisation).
Bila perdarahan terus menerus atau kontrol gagal → pembedahan explorasi laparotomi/laparoskopi dengan reseksi atau ligasi sumber perdarahan.
Pasca kontrol: monitoring Hb, perfusi, dan pencegahan re-bleeding (penghentian antikoagulan bila perlu, optimasi tekanan darah).
Tim bedah harus dilibatkan sedini mungkin saat perdarahan masif.
Persiapan transfusi darah dan unit darah harus dilakukan cepat.
Jejaring antara bedah, gastroenterologi, radiologi intervensi sangat penting.
Dokumentasi alur algoritma tatalaksana perdarahan harus ada dalam protokol rumah sakit untuk kegawatdaruratan GI.
Kegawatdaruratan gastrointestinal dalam bidang bedah mencakup sejumlah kondisi yang memerlukan diagnosis cepat, intervensi tepat waktu, dan manajemen terpadu antar disiplin (bedah, gastroenterologi, anestesi, intensif, radiologi intervensi). Artikel ini telah membahas lima skenario kritis: ileus/obstruksi usus, obstruksi parsial dengan pertimbangan operasi, peritonitis dengan perkembangan terkini, appendicitis dengan pilihan antibiotik vs operasi, dan perdarahan gastrointestinal masif dengan algoritma tatalaksana. Dalam praktik sehari-hari, update literatur dan protokol internal rumah sakit sangat penting agar outcome pasien dapat ditingkatkan—baik dari sisi morbiditas maupun mortalitas.
Selalu lakukan evaluasi kasus secara individual, diskusikan pilihan terapi bersama tim, dan lakukan monitoring ketat pada pasien kritis.
Vilz, T.O., Stoffels, B., Strassburg, C.P., & Schild, H.H. (2017) Ileus in Adults: Pathogenesis, Investigation and Treatment. Frontiers in Surgery / . [Online] Available at: https:// . .nlm.nih.gov/articles/ 5569564/ [Accessed 4 November 2025].
Connor, F.L. & Di Lorenzo, C. (2006) Chronic Intestinal Pseudo-obstruction: Assessment and Management. Gastroenterology, 131(3). [Online] Available at: https://www.gastrojournal.org/article/S0016-5085(05)02411-X/fulltext [Accessed 4 November 2025].
SAGE Journals. (2022) [Article from SAGE Journals]. SAGE Open Medicine. [Online] Available at: https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/08968608221080586 [Accessed 4 November 2025].
The CODA Collaborative, Davidson, G.H., Flum, D.R., Monsell, S.E., Kao, L.S., Voldal, E.C., Heagerty, P.J. et al. (2020) Antibiotics versus Appendectomy for Acute Appendicitis — Longer-Term Outcomes. The New England Journal of Medicine, 383(20), pp.1907–1919. DOI: 10.1056/NEJMoa2014320. [Online] Available at: https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa2014320 [Accessed 4 November 2025].
Karger Publishers. (2021) [Digestive Diseases – Supplement Issue]. Digestion, 99(Suppl. 1), p. 1. [Online] Available at: https://karger.com/dig/article-pdf/99/Suppl.%201/1/4083011/000495282.pdf [Accessed 4 November 2025].