2 Dec 2025 • Obgyn
Servisitis, atau inflamasi pada epitel kolumnar endoserviks uterus, harus dipahami bukan sebagai peradangan sederhana, melainkan sebagai sindrom klinis yang kompleks. Kondisi ini dibedakan menjadi servisitis akut yang umumnya bersifat infeksius, dan servisitis kronis (berlangsung tiga bulan atau lebih) yang seringkali non-infeksius.
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan temuan kunci berupa adanya duh (sekret) endoserviks yang mukopurulen dan/atau friabilitas serviks, yaitu perdarahan yang mudah terjadi saat serviks disentuh dengan instrumen tumpul seperti kapas lidi.
Signifikansi klinis servisitis tidak dapat diremehkan. Kondisi ini merupakan prekursor penting untuk sekuel yang parah, termasuk endometritis, salpingitis, dan Penyakit Radang Panggul (PRP), yang dapat berujung pada infertilitas dan kehamilan ektopik. Lebih lanjut, servisitis terbukti menjadi kofaktor yang meningkatkan risiko transmisi HIV. Pada kehamilan, servisitis yang tidak tertangani berhubungan dengan luaran kehamilan yang merugikan, seperti ketuban pecah dini dan peningkatan morbiditas janin.
Tantangan diagnostik utama terletak pada dua fakta. Pertama, hingga 80% pasien servisitis bersifat asimtomatik, menjadikan kecurigaan klinis dan skrining sebagai pilar utama deteksi. Kedua, pada sebagian besar kasus (seringkali lebih dari 50%), patogen yang paling umum dicurigai, yaitu
Chlamydia trachomatis (CT) dan Neisseria gonorrhoeae (NG), tidak teridentifikasi. Hal ini mengarah pada diagnosis servisitis non-spesifik atau idiopatik, yang menciptakan dilema klinis: bagaimana menatalaksana pasien dengan tanda inflamasi yang jelas namun tanpa penyebab "klasik" yang dapat diidentifikasi.
Oleh karena itu, temuan servisitis, terutama jika CT dan NG tidak ditemukan, sebaiknya tidak dipandang sebagai masalah lokal yang akan sembuh dengan sendirinya. Temuan ini harus dianggap sebagai peristiwa penanda (sentinel event) yang mengisyaratkan potensi gangguan yang lebih luas pada mikrobioma genitourinaria, seperti Vaginosis Bakterialis (VB), atau adanya patogen baru yang jarang diperiksa, seperti Mycoplasma genitalium (MG).
Bagi dokter umum, hal ini mengubah kerangka diagnosis dari sekadar "infeksi yang harus disembuhkan" menjadi "sindrom yang harus diinvestigasi lebih lanjut". Pendekatan proaktif ini, yang dipicu oleh temuan awal servisitis, dapat mengarah pada diagnosis kondisi lain (VB, MG) yang memiliki implikasi kesehatan tersendiri, sehingga dapat mencegah morbiditas di masa depan.

Secara historis, CT dan NG diakui sebagai penyebab utama servisitis infeksius. Namun, bukti klinis terkini menunjukkan bahwa kedua patogen ini hanya bertanggung jawab atas kurang dari 40% kasus servisitis, bahkan terkadang hanya sekitar 20%. Fakta ini sangat penting untuk memandu strategi terapi yang rasional.
MG telah muncul sebagai patogen menular seksual yang signifikan. Prevalensinya di populasi umum berada di antara CT dan NG. Berbagai studi dan meta-analisis mengonfirmasi hubungan kuatnya dengan servisitis. Sebuah studi menunjukkan bahwa wanita dengan MG memiliki risiko lebih dari tiga kali lipat untuk mengalami servisitis mukopurulen. Tantangan klinisnya meliputi kesulitan diagnosis tanpa Tes Amplifikasi Asam Nukleat (NAAT) spesifik dan tingginya tingkat resistensi antimikroba, menjadikannya patogen kunci untuk diselidiki pada kasus servisitis persisten atau berulang.
Hubungan antara VB dan servisitis semakin diakui. Pada kasus servisitis non-klamidia dan non-gonokokus, VB adalah temuan yang sangat umum, terdeteksi pada sekitar sepertiga kasus. Satu studi bahkan menemukan bahwa kasus servisitis dengan hasil tes IMS negatif lima kali lebih mungkin menderita VB dibandingkan kontrol asimtomatik. Inflamasi serviks ini mungkin merupakan akibat langsung dari disbiosis vagina, di mana pertumbuhan berlebih bakteri terkait VB dan defisiensi spesies Lactobacillus protektif menciptakan lingkungan pro-inflamasi yang meluas hingga ke serviks.
Kondisi ini mendukung sebuah model konseptual di mana servisitis seringkali merupakan fenomena "dua pukulan" (two-hit). "Pukulan pertama" adalah gangguan mikrobioma vagina (seperti VB), yang menciptakan lingkungan pro-inflamasi yang rentan. "Pukulan kedua" adalah patogen spesifik (seperti CT, NG, atau MG) yang kemudian dapat dengan lebih mudah menginfeksi dan memperkuat respons inflamasi.
Model ini menjelaskan mengapa hanya sebagian kecil wanita dengan CT atau NG yang mengalami servisitis klinis dan mengapa VB sangat sering ditemukan bersamaan. Implikasi klinisnya sangat besar: tatalaksana yang berhasil mungkin memerlukan penanganan kedua "pukulan" tersebut. Mengobati patogen saja tanpa mengatasi disbiosis yang mendasarinya dapat menyebabkan inflamasi persisten atau kekambuhan yang cepat.
Untuk melengkapi gambaran, penyebab lain yang perlu dipertimbangkan meliputi Trichomonas vaginalis dan Herpes Simplex Virus (HSV) sebagai penyebab infeksius yang sudah terbukti. Penyebab non-infeksius, yang krusial pada kasus persisten, termasuk trauma mekanis, iritan kimia (misalnya, douching), alergen (misalnya, lateks), ektropion serviks, atau polip.
Dasar diagnosis adalah pemeriksaan panggul, dengan temuan kunci berupa duh mukopurulen dan/atau friabilitas serviks. Namun, perlu diingat bahwa banyak pasien, terutama dengan infeksi klamidia, tidak menunjukkan gejala.
Standar emas untuk diagnosis adalah Tes Amplifikasi Asam Nukleat (NAAT), yang merupakan alat diagnostik paling sensitif dan spesifik untuk CT, NG, T. vaginalis, dan MG. Ketersediaannya yang luas telah merevolusi tatalaksana dengan memungkinkan terapi yang ditargetkan. NAAT dapat dilakukan secara efektif pada usap endoserviks, usap vagina, atau sampel urin, memberikan fleksibilitas di berbagai tatanan klinis.
Pemeriksaan penunjang lainnya termasuk pemeriksaan mikroskopis sediaan basah untuk diagnosis bersamaan VB (adanya clue cells), ragi, dan trikomonad motil. Pewarnaan Gram untuk melihat adanya ≥30 sel darah putih per lapang pandang besar secara historis digunakan sebagai kriteria servisitis, tetapi presisi diagnostiknya bervariasi.
Tabel 1. Algoritma Diagnostik untuk Dugaan Servisitis
Langkah Klinis | Tindakan / Observasi | Rasional & Tes Kunci |
Presentasi Awal | Pasien melaporkan duh vagina, perdarahan abnormal, atau skrining asimtomatik. | Gejala klinis bersifat spesifik tetapi tidak sensitif. |
Pemeriksaan Panggul | Lakukan pemeriksaan spekulum. Observasi adanya duh mukopurulen dari ostium serviks dan/atau friabilitas (mudah berdarah). | Tanda-tanda ini adalah kriteria diagnostik utama untuk servisitis klinis. |
Penilaian Risiko | Kaji faktor risiko IMS: usia <25 tahun, pasangan seks baru atau multipel, pasangan dengan IMS. | Stratifikasi risiko memandu keputusan untuk terapi empiris sesuai pedoman CDC. |
Pengambilan Spesimen | Ambil spesimen usap endoserviks/vagina atau urin. | Tes Kunci: NAAT untuk CT, NG, MG, dan T. vaginalis adalah standar emas. Sediaan basah untuk VB dan ragi. |
Keputusan Terapeutik | Putuskan antara terapi empiris (segera) atau terapi target (menunggu hasil tes). | Terapi empiris untuk pasien risiko tinggi. Terapi target lebih disukai untuk pasien risiko rendah dengan tindak lanjut yang terjamin. |
Keputusan utama dalam tatalaksana servisitis adalah antara terapi empiris (presumtif) dan terapi target (berdasarkan hasil tes).
Terapi ini direkomendasikan untuk wanita dengan risiko tinggi IMS (misalnya, usia <25 tahun, pasangan baru), terutama jika tindak lanjut tidak dapat dipastikan atau NAAT tidak tersedia. Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi seperti PRP. Namun, pendekatan ini dapat menyebabkan penggunaan antibiotik yang tidak perlu, mengingat lebih dari separuh kasus bukan disebabkan oleh CT/NG, yang berisiko meningkatkan resistensi antibiotik dan efek samping.
Ini adalah pendekatan yang lebih disukai untuk wanita dengan risiko IMS yang lebih rendah dan tindak lanjut yang terjamin. Strategi ini sangat didukung oleh prinsip-prinsip penatagunaan antimikroba (antimicrobial stewardship). Ini menghindari penggunaan antibiotik spektrum luas yang berlebihan, terutama seftriakson, di tengah ancaman global resistensi gonore.
Tabel 2. Dosis Obat dan Rejimen Antibiotik yang Direkomendasikan untuk Servisitis Infeksius
Patogen | Rejimen Lini Pertama | Rejimen Alternatif | Catatan Penting |
Chlamydia trachomatis | Doksisiklin 100 mg per oral, 2x/hari selama 7 hari | Azitromisin 1 g per oral, dosis tunggal (tes kesembuhan dianjurkan) ATAU Levofloksasin 500 mg per oral, 1x/hari selama 7 hari | Doksisiklin menunjukkan efikasi yang lebih tinggi untuk infeksi rektal. |
Neisseria gonorrhoeae | Seftriakson 500 mg IM, dosis tunggal (1 g jika BB >150 kg) | Cefixime 800 mg per oral, dosis tunggal ATAU Gentamisin 240 mg IM, dosis tunggal | Selalu tambahkan terapi untuk klamidia (misalnya, Doksisiklin) jika belum disingkirkan. |
Mycoplasma genitalium | Terapi 2 tahap: Doksisiklin 100 mg per oral, 2x/hari selama 7 hari, DIIKUTI Moksifloksasin 400 mg per oral, 1x/hari selama 7 hari | Jika sensitif makrolida: Doksisiklin 100 mg 2x/hari selama 7 hari, DIIKUTI Azitromisin (1 g dosis awal, lalu 500 mg/hari selama 3 hari) | Resistensi tinggi terhadap azitromisin. Terapi 2 tahap sangat penting untuk eradikasi. |
Trichomonas vaginalis | Metronidazol 500 mg per oral, 2x/hari selama 7 hari | Tinidazol 2 g per oral, dosis tunggal. | |
Vaginosis Bakterialis | Metronidazol 500 mg per oral, 2x/hari selama 7 hari ATAU Metronidazol gel 0.75% intravaginal, 1x/hari selama 5 hari | Klindamisin krim 2% intravaginal, 1x/hari selama 7 hari. |
Untuk mencegah reinfeksi, yang merupakan penyebab umum kegagalan pengobatan, tatalaksana pasangan sangat penting.
Expedited Partner Therapy (EPT) adalah strategi pengurangan bahaya yang terbukti meningkatkan jumlah pasangan yang diobati dan mengurangi tingkat reinfeksi. Mekanismenya adalah dokter memberikan resep atau obat kepada pasien untuk diberikan kepada pasangan seksualnya tanpa evaluasi medis terlebih dahulu. Rejimen EPT yang direkomendasikan Adalah Cefixime 800 mg dosis tunggal (untuk gonore) ditambah Doksisiklin 100 mg 2x/hari selama 7 hari atau Azitromisin 1 g dosis tunggal (untuk klamidia).
Tatalaksana Skenario Kompleks dan Populasi Khusus
Ketika terapi awal gagal, pendekatan sistematis sangat diperlukan:
Re-evaluasi: Pastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan kemungkinan reinfeksi dari pasangan yang tidak diobati.
Perluas Tes Patogen: Jika belum dilakukan, NAAT untuk M. genitalium sangat penting, karena ini adalah penyebab umum gejala persisten setelah terapi dengan azitromisin atau doksisiklin.
Pertimbangkan Penyebab Non-Infeksius: Jika semua etiologi infeksius telah disingkirkan, selidiki penyebab non-infeksius seperti polip serviks atau iritasi kimia. Rujukan ke spesialis ginekologi dianjurkan pada tahap ini.
Tatalaksana Servisitis Kronis Non-Spesifik: Sebagian besar kasus merespons antibiotik lini kedua. Namun, sebagian kecil mungkin memerlukan intervensi prosedural seperti aplikasi perak nitrat atau Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) untuk penyembuhan definitif.
Ini adalah skenario berisiko tinggi yang memerlukan pengetahuan spesifik tentang keamanan obat. CDC merekomendasikan skrining universal untuk CT dan NG pada semua wanita hamil <25 tahun dan skrining berbasis risiko untuk usia ≥25 tahun.
Tabel 3. Tatalaksana Servisitis Infeksius pada Kehamilan
Patogen | Rejimen Aman yang Direkomendasikan | Obat yang Dikontraindikasikan | Tindak Lanjut Wajib |
C. trachomatis | Azitromisin 1 g per oral, dosis tunggal | Doksisiklin dan tetrasiklin lainnya | Tes kesembuhan 4 minggu setelah pengobatan. |
N. gonorrhoeae | Seftriakson 500 mg IM, dosis tunggal | Tidak ada | Tes ulang dalam 3 bulan setelah pengobatan. |
T. vaginalis / VB | Metronidazol 500 mg per oral, 2x/hari selama 7 hari | Tidak ada |
Tatalaksana servisitis modern menuntut pergeseran paradigma dari fokus CT/NG ke lanskap etiologi yang lebih luas, menyeimbangkan antara terapi empiris dan penatagunaan antimikroba, serta menekankan pendekatan terstruktur untuk diagnosis, tatalaksana pasangan, dan tindak lanjut.
Rekomendasi Praktis untuk Dokter Umum:
Perluas Diagnosis Banding: Pada setiap pasien dengan tanda klinis servisitis, terutama jika tes CT/NG negatif, pertimbangkan secara aktif untuk melakukan tes M. genitalium dan evaluasi adanya VB.
Prioritaskan Terapi Berbasis NAAT: Jika memungkinkan, gunakan pendekatan "tes dan obati" untuk memastikan penggunaan antibiotik yang tepat sasaran dan memerangi resistensi.
Gunakan Terapi Empiris Secara Bijaksana: Simpan pengobatan spektrum luas presumtif untuk pasien dengan risiko tinggi infeksi dan kemungkinan putus tindak lanjut.
Kuasai Rejimen Kompleks: Sadari bahwa mengobati patogen resisten seperti MG memerlukan protokol antibiotik multi-tahap yang spesifik.
Jadikan Pengobatan Pasangan sebagai Praktik Standar: Tawarkan EPT secara rutin untuk memutus rantai reinfeksi secara efektif.
Atasi Masalah secara Sistematis: Pada kasus servisitis persisten, ikuti algoritma logis: konfirmasi kepatuhan dan pengobatan pasangan, tes untuk MG, lalu pertimbangkan penyebab non-infeksius sebelum memberikan antibiotik berulang tanpa target yang jelas.
Arah masa depan akan berfokus pada pengawasan resistensi antimikroba yang berkelanjutan, pengembangan NAAT di tempat perawatan (point-of-care) untuk menyederhanakan terapi target , dan penelitian lebih lanjut tentang peran mikrobioma dalam patogenesis servisitis non-spesifik.
PubMed (n.d.) Cervicitis. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32965864/ (Accessed: 19 July 2025).
StatPearls (2023) Cervicitis. NCBI Bookshelf. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562193/ (Accessed: 19 July 2025).
López-Lafuente, A., et al. (2020) ‘Cervicitis: Etiology, diagnosis and treatment’, Enfermedades Infecciosas y Microbiología Clínica (English Edition). Available at:
https://www.elsevier.es/es-revista-enfermedades-infecciosas-microbiologia-clinica-english-428-articulo-cervicitis-etiology-diagnosis-treatment-S2529993X19301790 (Accessed: 19 July 2025).
Cleveland Clinic (n.d.) Cervicitis: Causes, Symptoms, Diagnosis & Treatment. Available at: https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/15360-cervicitis (Accessed: 19 July 2025).
Bae, J.-H. & Lee, S.J. (2013) ‘Prevalence and Treatment Outcome of Cervicitis of Unknown Etiology’, Yonsei Medical Journal. Available at: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3868214/ (Accessed: 19 July 2025).
CADTH (2018) Management and Treatment of Cervicitis: A Review of Clinical Effectiveness and Guidelines. NCBI Bookshelf. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525875/ (Accessed: 19 July 2025).
Getman, D. et al. (2022) ‘Cervicitis: Balancing the Goals of Empiric Therapy and Antimicrobial Stewardship to Improve Women's Health’, Clinical Infectious Diseases. Available at: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8711327/ (Accessed: 19 July 2025).
Stamm, W.E. et al. (1994) ‘Chlamydial cervicitis: complications and new treatment options’, American Journal of Obstetrics and Gynecology. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8203320/ (Accessed: 19 July 2025).
BMJ Best Practice (n.d.) Cervicitis: Symptoms, diagnosis and treatment. Available at: https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/662 (Accessed: 19 July 2025).
Eschenbach, D.A. (2007) ‘Cervicitis: a review’, Obstetrics and Gynecology Clinics of North America. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18192786/ (Accessed: 19 July 2025).
Workowski, K.A. (2007) ‘Management of women with cervicitis’. Obstetrics & Gynecology. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17342663/ (Accessed: 19 July 2025).
Romero, R. et al. (2022) ‘Breaking Down the Barrier: The Role of Cervical Infection and Inflammation in Preterm Birth’. American Journal of Obstetrics and Gynecology. Available at: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8803751/ (Accessed: 19 July 2025).
StatPearls (2023) Chlamydia. NCBI Bookshelf. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537286/ (Accessed: 19 July 2025).
Yilmaz, Y. et al. (2025) ‘Trends in infections detected in women with cervicitis over a decade’, Frontiers in Reproductive Health. Available at:
https://www.frontiersin.org/journals/reproductive-health/articles/10.3389/frph.2025.1539186/full (Accessed: 19 July 2025).
Manhart, L.E. (2011) ‘Mycoplasma genitalium: An Emerging Cause of Sexually Transmitted Disease in Women’. Infectious Disease Clinics of North America. Available at: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3102684/ (Accessed: 19 July 2025).
Taylor-Robinson, D. & Jensen, J.S. (2001) ‘Nongonococcal and Nonchlamydial Cervicitis’. Sexually Transmitted Infections. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11722812/ (Accessed: 19 July 2025).
Merck Manual Professional Edition (n.d.) Cervicitis – Gynecology and Obstetrics. Available at:
https://www.merckmanuals.com/professional/gynecology-and-obstetrics/vaginitis-cervicitis-and-pelvic-inflammatory-disease/cervicitis (Accessed: 19 July 2025).
Bayraktar, B. et al. (2023) ‘Prevalence of Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, and Mycoplasma genitalium among Patients with Urogenital Symptoms in Istanbul’. Journal of Medical Microbiology. Available at: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10094226/ (Accessed: 19 July 2025).
Manhart, L.E. et al. (2003) ‘Mucopurulent cervicitis and Mycoplasma genitalium’. Sexually Transmitted Diseases. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12599082/ (Accessed: 19 July 20225). (Catatan: cek ulang akses—saya salin dari request.)
CADTH (2018) Summary Included Evidence-Based Guidelines – Management and Treatment of Cervicitis. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525875/table/app4.t2/ (Accessed: 19 July 2025).
Workowski, K.A. & Bolan, G.A. (2022) ‘Sexually Transmitted Infections: Updated Guideline From the CDC’. American Family Physician. Available at: https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2022/0500/p553.html (Accessed: 19 July 2025).
CADTH (2018) Characteristics of Included Clinical Studies – Management and Treatment of Cervicitis. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525875/table/app2.t1/ (Accessed: 19 July 2025).
Golden, M.R. et al. (2019) ‘Expedited partner therapy for sexually transmitted infections’. Sexually Transmitted Infections. Available at: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6357222/ (Accessed: 19 July 2025).
California Department of Public Health (2021) Standard of Care for Patients with Chlamydia and Gonorrhea: Expedited Partner Therapy (EPT). Available at:
https://www.cdph.ca.gov/Programs/CID/DCDC/CDPH%20Document%20Library/EPT-for-CT-GC-Patients_Essential%20Access.pdf (Accessed: 19 July 2025).
Ferreira, A. et al. (2013) ‘Strategies for partner notification for sexually transmitted infections, including HIV’. Cochrane Database of Systematic Reviews. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24092529/ (Accessed: 19 July 2025).
CDC (2022) Expedited Partner Therapy (EPT). Available at: https://www.cdc.gov/std/treatment-guidelines/clinical-EPT.htm (Accessed: 19 July 2025).
Illinois Department of Public Health (n.d.) Expedited Partner Therapy (EPT). Available at: https://dph.illinois.gov/topics-services/diseases-and-conditions/stds/ept.html (Accessed: 19 July 2025).
CDC (2022) Clinical Treatment of Gonorrhea. Available at: https://www.cdc.gov/gonorrhea/hcp/clinical-care/index.html (Accessed: 19 July 2025).
Dasari, P. et al. (2016) ‘Chronic Cervicitis: Presenting Features and Response to Therapy’. Journal of Clinical and Diagnostic Research. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27243142/ (Accessed: 19 July 2025).
CDC (2022) STI Screening Recommendations. Available at: https://www.cdc.gov/std/treatment-guidelines/screening-recommendations.htm (Accessed: 19 July 2025).
The ObG Project (2016) STI Screening in Pregnancy: CDC Recommendations. Available at:
https://www.obgproject.com/2016/10/16/std-screening-pregnancy-cdc-recommendations/ (Accessed: 19 July 2025).