3 Jul 2025 • THT
Tinnitus, persepsi suara seperti berdenging, berdengung, menderu, atau bersiul tanpa adanya sumber suara eksternal, merupakan keluhan yang umum dijumpai dalam praktik klinis. Prevalensinya cukup tinggi, diperkirakan mempengaruhi 10-15% populasi dewasa secara global, atau lebih dari 740 juta orang. Bagi dokter umum, pasien yang datang dengan keluhan tinnitus seringkali menghadirkan tantangan diagnostik tersendiri.
Tantangan utama muncul ketika pasien mengeluhkan tinnitus yang mengganggu, namun pemeriksaan otoskopi menunjukkan gambaran membran timpani dan kanalis auditorius eksternus yang sepenuhnya normal. Situasi ini dapat menimbulkan kebingungan baik bagi pasien maupun klinisi. Penting untuk diingat bahwa sebagian besar kasus tinnitus bersifat subjektif, artinya suara tersebut hanya dapat didengar oleh pasien itu sendiri.
Meskipun seringkali dianggap sebagai keluhan ringan, tinnitus dapat berdampak signifikan terhadap kualitas hidup pasien. Gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, kecemasan, hingga depresi merupakan manifestasi yang sering menyertai tinnitus yang mengganggu.
Oleh karena itu, kemampuan klinisi untuk membedakan antara tinnitus yang mengganggu (bothersome) dan yang tidak mengganggu (non-bothersome) menjadi langkah awal yang krusial dalam penatalaksanaan.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan panduan berbasis bukti ilmiah (dari sumber terindeks PubMed) bagi dokter umum mengenai tantangan klinis serta pendekatan Diagnosis dan Terapi Tinnitus pada kasus dengan temuan otoskopi normal.
Temuan otoskopi yang normal seringkali membuat pasien bertanya-tanya mengenai penyebab telinga berdenging yang dialaminya. Pemahaman mengenai etiologi yang mendasari menjadi kunci untuk memberikan penjelasan yang tepat dan merencanakan penatalaksanaan.
Penyebab paling umum dari tinnitus subjektif non-pulsatil adalah adanya gangguan dengar sensorineural (SNHL), baik yang berkaitan dengan usia (presbikusis) maupun akibat paparan bising. Pemeriksaan otoskopi hanya mampu memvisualisasikan kondisi telinga luar dan tengah. Sementara itu, SNHL melibatkan kerusakan pada tingkat koklea atau saraf pendengaran di telinga dalam, area yang tidak dapat dinilai melalui otoskopi.
Bahkan gangguan dengar yang ringan, terutama pada frekuensi tinggi, atau gangguan dengar yang tidak disadari oleh pasien, dapat menjadi pemicu munculnya tinnitus. Hal ini menjelaskan mengapa pemeriksaan audiometri menjadi sangat penting, bahkan pada pasien yang merasa pendengarannya normal.
Persepsi subjektif pasien mengenai kemampuan dengarnya tidak selalu akurat, dan audiometri dapat mendeteksi gangguan dengar yang terlewatkan.
Secara patofisiologi, kerusakan pada koklea (misalnya hilangnya sel rambut luar atau dalam) diduga menyebabkan penurunan input sinyal dari saraf pendengaran ke otak. Penurunan input ini kemudian memicu perubahan neuroplastisitas maladaptif di sistem pendengaran sentral, seperti peningkatan aktivitas neuronal spontan (hiperaktivitas) dan perubahan konektivitas.
Aktivitas abnormal inilah yang kemudian dipersepsikan oleh otak sebagai tinnitus. Mekanisme ini dapat dianalogikan dengan fenomena phantom limb pain, di mana hilangnya input perifer memicu persepsi internal di otak.
Selain gangguan dengar, beberapa faktor lain dapat berkontribusi terhadap munculnya tinnitus, meskipun lebih jarang:
Disfungsi Sistem Somatosensori: Gangguan pada area kepala, leher, atau sendi temporomandibular (TMJ) terkadang dapat memodulasi atau mencetuskan tinnitus. Gerakan kepala, leher, atau rahang tertentu mungkin dapat mengubah persepsi tinnitus pada pasien ini.
Penyakit Metabolik: Kondisi seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit kardiovaskular lainnya seringkali berasosiasi dengan tinnitus, meskipun hubungan kausalnya bisa jadi kompleks dan multifaktorial.
Obat-obatan Ototoksik: Beberapa jenis obat diketahui memiliki efek samping ototoksik yang dapat menyebabkan tinnitus, misalnya aspirin dalam dosis tinggi. Riwayat penggunaan obat perlu digali.
Stres dan Kecemasan: Meskipun umumnya bukan penyebab primer, kondisi psikologis seperti stres dan kecemasan dapat memperburuk persepsi dan dampak tinnitus yang sudah ada.
Penegakan Diagnosis Tinnitus, terutama ketika otoskopi normal, memerlukan pendekatan yang komprehensif, melampaui sekadar pemeriksaan fisik telinga.
Anamnesis yang terarah dan mendalam merupakan pilar utama dalam evaluasi tinnitus. Informasi penting yang perlu digali meliputi:
Onset dan Durasi: Kapan tinnitus mulai dirasakan? Sudah berapa lama berlangsung (persisten > 6 bulan?)? Apakah terus-menerus atau hilang timbul?.
Karakteristik Suara: Seperti apa suara yang didengar (berdenging, berdengung, mendesis, menderu, berdetak)?.
Laterality: Dirasakan di satu telinga (unilateral) atau kedua telinga (bilateral)?.
Pulsatilitas: Apakah suara tinnitus berdenyut? Jika ya, apakah sinkron dengan denyut jantung?.
Gejala Penyerta: Apakah ada keluhan gangguan dengar, vertigo atau pusing berputar, rasa penuh di telinga (ear fullness), nyeri telinga (otalgia), atau gejala neurologis lain (sakit kepala, kelemahan fokal, baal)?.
Faktor Modulasi: Adakah hal yang memperburuk atau meringankan tinnitus (misalnya paparan bising, stres, gerakan kepala/leher)?.
Dampak Kualitas Hidup: Seberapa besar tinnitus mengganggu aktivitas sehari-hari, tidur, konsentrasi, dan mood? Penggunaan kuesioner terstandar seperti Tinnitus Handicap Inventory (THI) atau Tinnitus Functional Index (TFI) dapat membantu mengukur dampak ini secara objektif.
Riwayat Medis: Adakah riwayat hipertensi, diabetes, trauma kepala, masalah TMJ, atau gangguan kesehatan mental?.
Riwayat Pengobatan: Adakah penggunaan obat-obatan yang berpotensi ototoksik?.
Riwayat Paparan Bising: Adakah riwayat paparan bising di tempat kerja atau saat rekreasi?.
Gambar 1. Algoritma pemeriksaan pasien (Usia >=18 tahun) dengan tinnitus
Pemeriksaan fisik difokuskan untuk mencari penyebab yang dapat diobati atau tanda bahaya:
Otoskopi: Memastikan tidak ada kelainan pada telinga luar dan tengah (sesuai premis artikel).
Pemeriksaan Kepala dan Leher: Termasuk evaluasi saraf kranial, terutama jika tinnitus unilateral atau disertai gejala neurologis.
Auskultasi: Dilakukan pada area leher, periaurikular, orbita, dan mastoid jika pasien mengeluhkan tinnitus pulsatil untuk mendeteksi adanya bruit vaskular.
Pemeriksaan TMJ dan Servikal: Jika dicurigai adanya komponen somatosensori berdasarkan anamnesis.
Tes Pendengaran Sederhana: Seperti tes bisik atau tes garpu tala (Rinne, Weber), meskipun memiliki keterbatasan, dapat memberikan gambaran awal mengenai jenis gangguan dengar.
Pemeriksaan penunjang memegang peranan penting dalam mengkonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan patologi serius.
Audiologi Komprehensif (Comprehensive Audiology):
Pemeriksaan audiologi lengkap (minimal meliputi Audiometri Nada Murni/PTA dan Audiometri Tutur/SA) sangat direkomendasikan, terutama untuk tinnitus yang berlangsung lebih dari 6 bulan, bersifat unilateral, atau disertai keluhan gangguan dengar. Beberapa panduan bahkan menyarankan pemeriksaan ini untuk semua pasien tinnitus pada evaluasi awal.
Pemeriksaan ini esensial untuk mengkonfirmasi dan mengukur derajat SNHL yang seringkali menjadi dasar tinnitus, memandu pilihan terapi (misalnya alat bantu dengar), dan mendeteksi adanya asimetri pendengaran yang merupakan tanda bahaya untuk patologi retrokoklea. Seperti dijelaskan sebelumnya, SNHL tidak terlihat pada otoskopi, sehingga audiometri menjadi wajib untuk penilaian objektif fungsi pendengaran. Adanya gangguan dengar unilateral atau asimetris dapat mengarahkan kecurigaan pada kondisi seperti vestibular schwannoma.
Timpanometri dapat dipertimbangkan jika ada kecurigaan gangguan telinga tengah atau tuba Eustachius.
Pemeriksaan refleks akustik atau pengukuran tingkat ketidaknyamanan kenyaringan (loudness discomfort levels) tidak direkomendasikan secara rutin untuk investigasi tinnitus. Tes psikoakustik seperti pencocokan nada dan kenyaringan tinnitus (pitch and loudness matching) memiliki reliabilitas yang rendah dan tidak direkomendasikan oleh beberapa panduan untuk penilaian rutin.
Pencitraan (Imaging):
Pencitraan tidak direkomendasikan secara rutin untuk kasus tinnitus bilateral, non-pulsatil, tanpa disertai gejala neurologis fokal atau gangguan dengar asimetris. Hal ini dikarenakan kemungkinan menemukan patologi serius yang mendasari pada kasus tipikal seperti ini sangat rendah, sementara biaya dan potensi risiko pencitraan perlu dipertimbangkan.
Indikasi spesifik untuk pencitraan meliputi:
Tinnitus Non-pulsatil Unilateral/Asimetris: Pertimbangkan MRI (dengan fokus pada Internal Auditory Meati/IAM) untuk menyingkirkan patologi retrokoklea seperti vestibular schwannoma. CT scan dengan kontras dapat menjadi alternatif jika MRI merupakan kontraindikasi.
Tinnitus Pulsatil: Wajib dilakukan pencitraan. Pilihan modalitas tergantung kecurigaan klinis, dapat berupa MRA, MRI kepala/leher/tulang temporal, atau CT scan tulang temporal.
Tinnitus Disertai Tanda Neurologis/Otologis/Kepala & Leher: Lakukan MRI (IAM).
Keputusan untuk melakukan pencitraan harus didasarkan pada adanya "tanda bahaya" spesifik, bukan sebagai pemeriksaan rutin pada semua pasien tinnitus dengan otoskopi normal.
Mengingat tinnitus seringkali tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, fokus utama Terapi Tinnitus adalah membantu pasien beradaptasi (koping) dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Langkah ini merupakan fondasi penatalaksanaan tinnitus dan seringkali sudah cukup untuk pasien dengan tinnitus yang tidak terlalu mengganggu. Komponen kunci meliputi:
Reassurance: Memberikan pemahaman bahwa tinnitus adalah kondisi umum, biasanya tidak berbahaya, dan terkadang dapat membaik dengan sendirinya.
Penjelasan: Menerangkan kemungkinan hubungan tinnitus dengan gangguan dengar atau perubahan pada sistem saraf pusat, berdasarkan model neurofisiologis.
Manajemen Ekspektasi: Menjelaskan bahwa tujuan utama terapi adalah mengelola dampak tinnitus dan meningkatkan kualitas hidup, bukan selalu menghilangkan suara tinnitus itu sendiri.
Strategi Gaya Hidup: Mendiskusikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinnitus seperti manajemen stres, kebersihan tidur (sleep hygiene), dan perlindungan pendengaran dari bising.
Informasi: Memberikan informasi mengenai pilihan manajemen yang tersedia, kelompok dukungan (support groups), dan sumber informasi terpercaya lainnya.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT):
Ini adalah satu-satunya intervensi yang secara konsisten direkomendasikan dengan kuat oleh berbagai panduan klinis internasional (Amerika Serikat, NICE Inggris, Eropa, Jerman) untuk mengatasi distres dan meningkatkan kualitas hidup terkait tinnitus.
CBT bekerja dengan cara membantu pasien mengidentifikasi dan memodifikasi pola pikir negatif serta perilaku maladaptif yang berkaitan dengan tinnitus. Tujuannya adalah mengubah reaksi pasien terhadap tinnitus, bukan menghilangkan suaranya, sehingga dampaknya berkurang.
Terapi ini dapat diberikan secara individual, kelompok, atau melalui platform internet (iCBT), yang menunjukkan efektivitas yang sebanding dan meningkatkan aksesibilitas. Panduan NICE menyarankan pendekatan bertahap. Tingkat bukti untuk CBT tergolong tinggi.
Terapi Suara (Sound Therapy):
Tujuan terapi suara adalah menggunakan suara eksternal untuk mengurangi persepsi atau dominasi tinnitus, serta memfasilitasi proses habituasi.
Modalitas yang umum digunakan:
Alat Bantu Dengar (Hearing Aids): Sangat direkomendasikan jika tinnitus disertai dengan gangguan dengar, bahkan yang ringan sekalipun. Alat bantu dengar dapat memperbaiki kemampuan komunikasi sekaligus menutupi (masking) tinnitus dengan memperkuat suara lingkungan sekitar.
Sound Generators/Maskers: Alat yang dikenakan di telinga atau diletakkan di lingkungan yang menghasilkan suara pita lebar (broadband noise) seperti white noise atau suara alam lainnya. Dapat memberikan masking parsial atau total terhadap tinnitus.
Status bukti ilmiah untuk terapi suara sebagai intervensi tunggal masih bervariasi antar panduan. Panduan NICE tidak dapat memberikan rekomendasi karena keterbatasan bukti , panduan Jerman tidak merekomendasikannya , sementara panduan Amerika Serikat mencantumkannya sebagai opsi. Efektivitasnya seringkali dinilai lebih baik bila dikombinasikan dengan konseling. Sebuah tinjauan Cochrane menemukan bukti yang lemah karena keterbatasan data dan potensi bias.
Tinnitus Retraining Therapy (TRT):
TRT adalah pendekatan terstruktur yang mengkombinasikan konseling direktif (berdasarkan model neurofisiologis tinnitus) dengan terapi suara menggunakan low-level broadband noise. Tujuannya adalah mencapai habituasi terhadap reaksi emosional dan persepsi tinnitus itu sendiri.
Status bukti ilmiah TRT juga bervariasi. Beberapa panduan mendukungnya , namun ada juga yang menilai buktinya belum konklusif atau tidak merekomendasikannya secara seragam. Beberapa studi membandingkan TRT dengan CBT dan menemukan CBT lebih unggul dalam beberapa aspek.
Gambar 2. Skema pengobatan tinnitus yang baru muncul
Farmakoterapi (Pharmacotherapy):
Terdapat rekomendasi kuat untuk tidak menggunakan obat-obatan seperti antidepresan (misalnya amitriptyline, sertraline), antikonvulsan, atau ansiolitik (misalnya alprazolam) secara rutin dengan tujuan spesifik untuk mengobati tinnitus itu sendiri. Hingga saat ini, belum ada obat yang disetujui FDA atau terbukti secara konsisten efektif untuk menekan persepsi tinnitus.
Namun, obat-obatan tersebut dapat dipertimbangkan untuk mengobati kondisi komorbid yang sering menyertai tinnitus, seperti depresi berat, gangguan kecemasan, atau insomnia parah, yang secara tidak langsung dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.
Suplemen Diet (Dietary Supplements):
Penggunaan suplemen seperti Ginkgo biloba, melatonin, zinc, atau vitamin lainnya tidak direkomendasikan karena kurangnya bukti ilmiah yang mendukung efektivitasnya.
Neuromodulasi (Neuromodulation):
Teknik seperti repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS), transcranial Direct Current Stimulation (tDCS), transcutaneous Vagus Nerve Stimulation (tVNS) masih dianggap sebagai terapi eksperimental atau dalam tahap penelitian. Panduan klinis saat ini umumnya tidak merekomendasikan penggunaannya secara rutin karena bukti efikasi dan keamanannya masih belum cukup kuat atau konsisten.
Akupunktur (Acupuncture):
Tidak ada rekomendasi yang mendukung penggunaan akupunktur untuk tinnitus karena kurangnya bukti efektivitas dari penelitian berkualitas tinggi.
Dokter umum berada di garda terdepan dalam penanganan pasien tinnitus dan memegang peran krusial dalam asesmen awal, pemberian edukasi, serta penentuan rujukan yang tepat.
Tanggung jawab utama dokter umum, selain memberikan reassurance dan edukasi pada kasus tinnitus yang tidak kompleks, adalah melakukan identifikasi tanda bahaya (red flags) secara akurat. Kegagalan mengenali tanda bahaya ini dapat menunda diagnosis kondisi serius yang mendasari, seperti tumor atau kelainan vaskular, meskipun kasus tersebut jarang terjadi. Panduan klinis secara eksplisit mendefinisikan pemicu rujukan ini untuk memastikan pasien mendapatkan penanganan spesialistik yang tepat waktu bila diperlukan.
Tabel 1: Tanda Bahaya (Red Flags) pada Pasien Tinnitus yang Memerlukan Rujukan Segera/Prioritas
Tanda/Gejala (Sign/Symptom) | Kemungkinan Penyebab (Possible Cause) | Tindakan Rekomendasi (Recommended Action) |
Tinnitus Unilateral/Asimetris (terutama jika disertai gangguan dengar asimetris) | Lesi retrokoklea (mis. Vestibular Schwannoma), penyakit Meniere, dll. | Rujuk ke Spesialis THT; Pertimbangkan MRI dengan fokus Internal Auditory Meati (IAM) |
Tinnitus Pulsatil (sinkron atau non-sinkron dengan denyut jantung) | Kelainan vaskular (mis. malformasi arteriovenosa, aneurisma), tumor glomus | Rujuk ke Spesialis THT; Pertimbangkan pencitraan vaskular (MRA/MRI/CT) sesuai kecurigaan klinis |
Tinnitus disertai gejala neurologis fokal mendadak (mis. kelemahan wajah, vertigo akut) | Stroke, tumor otak, kondisi neurologis akut lainnya | Rujuk segera ke Unit Gawat Darurat atau Spesialis Neurologi (sesuai panduan kondisi akut neurologis) |
Tinnitus disertai gangguan dengar mendadak (onset < 3 hari dalam 30 hari terakhir) | Gangguan dengar sensorineural mendadak (SSNHL) | Rujuk segera ke Spesialis THT (dalam 24 jam sesuai panduan NICE) untuk evaluasi dan terapi kortikosteroid |
Tinnitus disertai distres berat atau risiko bunuh diri | Gangguan kesehatan mental berat (depresi, ansietas) | Rujuk segera ke tim krisis kesehatan mental atau psikiater |
Tinnitus Objektif (dapat didengar oleh pemeriksa, jarang) | Spasme otot telinga tengah, patensi abnormal tuba Eustachius, anomali vaskular | Rujuk ke Spesialis THT untuk evaluasi lebih lanjut |
Selain identifikasi tanda bahaya, dokter umum juga berperan dalam mengelola kondisi komorbid yang sering menyertai tinnitus, seperti insomnia, gangguan kecemasan, atau depresi, baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan spesialis terkait.
Untuk kasus tinnitus yang tidak memiliki tanda bahaya namun tetap mengganggu pasien setelah edukasi awal, rujukan rutin ke spesialis THT atau audiologi diindikasikan untuk :
Konfirmasi diagnosis dan evaluasi audiologi komprehensif.
Akses ke terapi lanjutan seperti CBT, TRT, atau penyesuaian alat bantu dengar jika diperlukan.
Penilaian lebih lanjut jika tinnitus persisten (>6 bulan) dan dirasa mengganggu (bothersome).
Tinnitus yang terjadi dengan temuan otoskopi normal merupakan kondisi klinis yang kompleks, seringkali berakar pada gangguan dengar sensorineural dan perubahan adaptif dalam sistem pendengaran sentral. Pendekatan Diagnosis dan Terapi Tinnitus pada kasus ini menuntut evaluasi yang lebih dari sekadar pemeriksaan fisik telinga, melibatkan anamnesis mendalam, pemeriksaan audiologi komprehensif, dan pencitraan yang terindikasi secara selektif.
Fokus penatalaksanaan telah bergeser dari upaya menghilangkan suara tinnitus menjadi mengelola distres yang ditimbulkannya dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Strategi berbasis bukti seperti edukasi, konseling, CBT, dan terapi suara (terutama alat bantu dengar jika ada gangguan dengar) menjadi pilar utama manajemen. Sebaliknya, penggunaan farmakoterapi rutin atau suplemen tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat dan sebaiknya dihindari.
Dokter umum memainkan peran sentral sebagai lini pertama dalam menangani pasien tinnitus. Kemampuan untuk melakukan asesmen awal yang cermat, memberikan edukasi yang tepat, mengidentifikasi tanda bahaya yang memerlukan rujukan segera, mengelola komorbiditas, serta melakukan rujukan rutin secara tepat adalah kunci keberhasilan penatalaksanaan tinnitus di tingkat layanan primer.
Dengan memanfaatkan sumber daya berbasis bukti seperti jurnal terindeks PubMed dan panduan klinis, dokter umum dapat menavigasi kompleksitas tinnitus dan memberikan perawatan holistik yang berpusat pada pasien.
Tinnitus - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430809/
Clinical practice guideline: tinnitus - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25273878/
Tinnitus: Diagnosis and Management - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34060792/
Current understanding of subjective tinnitus in adults - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38632112/
Current and Emerging Therapies for Chronic Subjective Tinnitus ..., diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10607630/
A Systematic Review of Psychometric Validation for Subjective Tinnitus Outcome Measures Assessing Acute Treatment Effects - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11949293/
Subjective tinnitus assessment and treatment in clinical practice: the necessity of personalized medicine - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26339968/
Approach to tinnitus management - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6042678/
Chronic Tinnitus: Diagnosis and Treatment - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9342131/
Current Therapeutic Trends for Tinnitus Cure and Control: A Scoping Review - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10237063/
Tinnitus Update - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7840320/
Tinnitus: assessment and management - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557037/
The Current State of Tinnitus Diagnosis and Treatment: a Multidisciplinary Expert Perspective - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11528090/
Evaluation of Subjective Tinnitus Severity and Distortion Product Otoacoustic Emissions and Extended High-Frequency Audiometry - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38639322/
Recent Updates on Tinnitus Management - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10603282/
Low Evidence for Tinnitus Risk Factors: A Systematic Review and Meta-analysis - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9971395/
Analysis and comparison of clinical practice guidelines regarding treatment recommendations for chronic tinnitus in adults: a systematic review - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10510943/
Tinnitus Guidelines and Their Evidence Base - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10178961/
Efficacy of Internet-Based Therapies for Tinnitus: A Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39202005/
Current and Emerging Therapies for Chronic Subjective Tinnitus - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37892692/
A review of tinnitus - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29621860/
Clinical Practice Guideline for Management of Tinnitus: Recommendations From the US VA/DOD Clinical Practice Guideline Work Group - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40111327/?utm_source=SimplePie&utm_medium=rss&utm_campaign=pubmed-2&utm_content=127Qa_bQ61-IX7nYKXx_oaVVeaxJ8h1ckJukapBWqK-Zvv39Io&fc=20220523112311&ff=20250320172441&v=2.18.0.post9+e462414