1 Jul 2025 • Pediatri
Kejang merupakan salah satu manifestasi gangguan neurologis yang paling sering dijumpai pada periode neonatal. Kondisi ini seringkali menjadi pertanda adanya gangguan serius pada sistem saraf pusat (SSP) dan memerlukan perhatian medis segera.
Insidens kejang dilaporkan lebih tinggi secara signifikan pada bayi prematur dan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR), berkisar antara 10 hingga 130 per 1000 kelahiran hidup, dibandingkan dengan bayi cukup bulan yang berkisar 1 hingga 3.5 per 1000 kelahiran hidup. Angka kejadian yang tinggi ini, terutama pada populasi bayi yang rentan, menggarisbawahi pentingnya kewaspadaan klinis.
Kejang pada neonatus bukan hanya peristiwa sesaat, tetapi berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang yang signifikan. Studi secara konsisten menunjukkan hubungan antara kejang neonatal dengan peningkatan angka mortalitas serta risiko gangguan perkembangan saraf di kemudian hari, seperti palsi serebral, epilepsi, dan disabilitas intelektual atau keterlambatan perkembangan.
Oleh karena itu, kejang pada neonatus harus dianggap sebagai suatu kegawatdaruratan neurologis yang menuntut diagnosis cepat dan intervensi terapeutik yang tepat untuk meminimalkan potensi kerusakan otak lebih lanjut dan memperbaiki luaran jangka panjang.
Secara definitif, kejang neonatus didefinisikan sebagai perubahan paroksismal (mendadak dan sementara) pada fungsi neurologis—meliputi fungsi motorik, perilaku, atau otonom—yang disebabkan oleh aktivitas neuronal abnormal yang berlebihan atau terlalu sinkron di dalam otak.
Periode neonatal yang dimaksud adalah 28 hari pertama kehidupan untuk bayi cukup bulan, atau hingga usia pascamenstruasi 44 minggu (usia kronologis ditambah usia gestasi saat lahir) untuk bayi prematur. Otak neonatus yang masih dalam tahap perkembangan memiliki kerentanan unik terhadap kejang.
Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan fisiologis antara sistem neurotransmisi eksitatorik (yang lebih dominan dan poten, melibatkan reseptor glutamat seperti NMDA dan AMPA) dan sistem inhibitorik (yang belum sepenuhnya matang, termasuk fungsi reseptor GABA A yang cenderung menyebabkan depolarisasi akibat gradien klorida yang terbalik karena ekspresi transporter NKCC1 yang lebih tinggi dibanding KCC2).
Kerentanan fisiologis ini tidak hanya menjelaskan mengapa insidens kejang lebih tinggi pada periode ini, tetapi juga mengapa manifestasi klinisnya seringkali berbeda—lebih samar atau bahkan hanya berupa aktivitas listrik tanpa gejala klinis (subklinis)—dibandingkan pada anak yang lebih besar.
Pemahaman ini juga penting karena dapat menjelaskan mengapa obat antikejang (ASM) lini pertama seperti Fenobarbital, yang bekerja pada reseptor GABA, terkadang tidak memberikan respons yang optimal.
Gambar 1. Penyebab kejang paling sering pada neonates
Salah satu tantangan terbesar dalam manajemen kejang neonatus adalah pada tahap Diagnosis Kejang pada Neonatus. Pengenalan secara klinis seringkali sulit karena manifestasinya bisa sangat samar (subtle) atau tidak khas, terutama pada bayi prematur.
Banyak kejang pada neonatus bersifat elektrographik murni, artinya aktivitas kejang terekam pada EEG namun tidak disertai manifestasi motorik yang jelas. Hal ini berisiko menyebabkan diagnosis terlewat (underdiagnosis) jika hanya mengandalkan observasi klinis.
Jenis-jenis kejang yang dapat diamati meliputi:
Kejang Fokal Klonik: Kontraksi otot ritmis, berkedut, pada satu area tubuh (wajah, ekstremitas, leher, atau badan).
Kejang Fokal Tonik: Pergerakan atau postur tonik (kaku) yang menetap pada ekstremitas atau badan secara asimetris, bisa disertai deviasi mata horizontal.
Kejang Mioklonik: Sentakan tunggal atau multipel, cepat, non-repetitif, biasanya melibatkan otot fleksor.
Kejang Subtle: Manifestasi samar seperti gerakan mata abnormal (deviasi tonik horizontal, nistagmus), gerakan mulut seperti mengunyah atau menghisap, gerakan seperti mengayuh sepeda, atau perubahan otonom seperti apnea, perubahan laju jantung, atau perubahan warna kulit.
Penting bagi klinisi untuk mampu membedakan kejang dari gerakan non-kejang yang umum pada neonatus, seperti jitteriness (gemetar halus, biasanya dipicu oleh stimulus, dapat dihentikan dengan menahan ekstremitas secara pasif, dan tidak disertai perubahan otonom atau gerakan mata abnormal) atau gerakan normal bayi lainnya. Keterbatasan diagnosis klinis ini menegaskan bahwa ketergantungan pada observasi saja tidak cukup dan berisiko menunda penanganan yang diperlukan.
Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang memegang peranan krusial:
EEG (Elektroensefalografi): Merupakan gold standard untuk mengkonfirmasi diagnosis kejang neonatus. Monitoring EEG kontinu (cEEG) yang idealnya disertai rekaman video sangat direkomendasikan, terutama pada neonatus berisiko tinggi (misalnya dengan riwayat HIE, stroke, infeksi SSP, atau ensefalopati). cEEG memungkinkan deteksi kejang subklinis, pengukuran beban kejang (seizure burden), pemantauan respons terapi, dan konfirmasi penghentian kejang. Jika cEEG tidak tersedia, amplitude-integrated EEG (aEEG) dapat digunakan sebagai alat pemantauan atau skrining, meskipun sensitivitasnya lebih rendah. Penting untuk melanjutkan pemantauan EEG setidaknya 24 jam setelah kejang terakhir terdeteksi, bahkan setelah pemberian ASM, karena fenomena disosiasi elektro-klinis (aktivitas kejang listrik berlanjut tanpa manifestasi klinis) dapat terjadi.
Neuroimaging: Pemeriksaan pencitraan otak esensial untuk mengidentifikasi etiologi struktural. Ultrasonografi (USG) kepala sering menjadi modalitas awal karena aksesibilitasnya. Namun, Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak merupakan pilihan utama untuk visualisasi detail kelainan seperti malformasi kortikal, stroke iskemik (termasuk sekuens diffusion-weighted imaging/DWI untuk deteksi dini), perdarahan intrakranial, dan cedera hipoksik-iskemik. MRI sebaiknya dilakukan ketika kondisi bayi sudah stabil.
Pemeriksaan Laboratorium: Investigasi awal harus segera menyingkirkan penyebab metabolik akut yang dapat dikoreksi, seperti hipoglikemia (target glukosa darah >45-50 mg/dL) dan gangguan elektrolit (kalsium, magnesium, natrium). Pemeriksaan untuk menyingkirkan infeksi, meliputi darah lengkap, C-reactive protein (CRP), kultur darah, dan analisis cairan serebrospinal (CSF) melalui pungsi lumbal, perlu dilakukan jika ada kecurigaan klinis. Skrining metabolik lebih lanjut (misalnya, kadar amonia, laktat, asam amino serum dan CSF, asam organik urin) dipertimbangkan pada kasus dengan etiologi yang tidak jelas atau kejang yang refrakter terhadap pengobatan.
Pendekatan diagnostik yang komprehensif ini penting. EEG mengkonfirmasi adanya kejang, sementara neuroimaging dan pemeriksaan laboratorium membantu mengungkap penyebabnya. Mengetahui etiologi adalah kunci, karena menentukan terapi spesifik selanjutnya dan prognosis jangka panjang pasien.
Penyebab kejang pada neonatus sangat beragam, namun secara umum dapat dikategorikan menjadi penyebab akut simtomatik dan penyebab yang berkaitan dengan epilepsi onset neonatal.
A. Penyebab Akut Simtomatik (Paling Sering):
Ensefalopati Hipoksik-Iskemik (HIE): Merupakan penyebab tersering secara keseluruhan, terutama pada bayi cukup bulan, mencakup 35-45% kasus. Kejang biasanya muncul dalam 12 hingga 24 jam pertama setelah kejadian hipoksik-iskemik.
Gangguan Serebrovaskular (Stroke Iskemik atau Perdarahan): Perdarahan intrakranial (ICH) adalah penyebab dominan pada bayi prematur, sedangkan stroke iskemik arterial lebih sering pada bayi cukup bulan. Kejang akibat gangguan vaskular ini sering muncul setelah 24-72 jam kehidupan.
Infeksi Sistem Saraf Pusat (Meningitis/Ensefalitis): Disebabkan oleh bakteri (misalnya, Streptococcus grup B, Escherichia coli, Listeria monocytogenes) atau virus (misalnya, Herpes Simplex Virus/HSV, Enterovirus). Infeksi dapat menyebabkan kejang kapan saja selama periode neonatal.
Gangguan Metabolik Transien: Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, serta gangguan keseimbangan natrium (hipo atau hipernatremia) dapat memicu kejang.
B. Penyebab Lain (Sering Terkait Epilepsi Onset Neonatal):
Kelainan Struktur Otak Kongenital: Malformasi perkembangan kortikal seperti lissencephaly, polymicrogyria, schizencephaly, atau hemimegalencephaly dapat bermanifestasi sebagai kejang sejak periode neonatal.
Penyebab Genetik: Merupakan penyebab yang semakin banyak teridentifikasi (sekitar 10-15% kejang neonatus). Ini mencakup kelainan kanal ion (channelopathies), misalnya mutasi gen KCNQ2, KCNQ3, atau SCN2A, yang terkait dengan sindrom seperti self-limited neonatal epilepsy atau ensefalopati epileptik. Sindrom epilepsi genetik lain seperti Ohtahara syndrome atau Epilepsy of Infancy with Migrating Focal Seizures (EIMFS) juga dapat muncul pada masa neonatal.
Inborn Errors of Metabolism (IEM): Meskipun jarang, IEM merupakan penyebab penting untuk dipertimbangkan, terutama pada kasus kejang yang sulit dikendalikan (refrakter). Contohnya termasuk defisiensi piridoksin (vitamin B6), defisiensi kofaktor molibdenum, gangguan siklus urea, dan nonketotic hyperglycinemia.
Gambar 2. Etiologi kejang pada neonates berdasarkan waktu onset kejang
Membedakan antara kejang yang bersifat akut simtomatik (reaksi terhadap cedera akut) dengan kejang unprovoked (manifestasi awal dari suatu kondisi epilepsi akibat kelainan struktural, genetik, atau metabolik) memiliki implikasi penting. Kejang akut simtomatik seringkali hanya memerlukan terapi ASM jangka pendek dan prognosisnya sangat bergantung pada beratnya cedera primer.
Sebaliknya, epilepsi onset neonatal mungkin memerlukan manajemen ASM jangka panjang dan seringkali memiliki prognosis yang lebih kompleks. Kemampuan untuk mengidentifikasi etiologi secara tepat menjadi dasar penentuan strategi tatalaksana jangka panjang dan konseling kepada keluarga.
Pendekatan Terapi Kejang pada Neonatus harus dimulai dengan langkah-langkah stabilisasi dasar dan identifikasi penyebab sebelum atau bersamaan dengan pemberian obat antikejang.
A. Stabilisasi Segera:
Langkah awal yang paling krusial adalah memastikan jalan napas bayi paten, pernapasan adekuat, dan sirkulasi darah stabil (prinsip ABC). Jika terdeteksi hipoksia, segera berikan suplementasi oksigen. Akses intravena (IV) harus segera dipasang untuk pemberian cairan dan obat-obatan. Pemantauan tanda-tanda vital secara kontinu, termasuk laju jantung dan saturasi oksigen, sangat penting.
B. Identifikasi dan Koreksi Cepat Penyebab Reversibel:
Sebelum memulai terapi ASM, penyebab metabolik akut yang dapat segera dikoreksi harus disingkirkan dan ditangani:
Hipoglikemia: Periksa kadar glukosa darah kapiler atau vena segera. Jika hasilnya rendah (umumnya <45-50 mg/dL), berikan bolus dekstrosa 10% sebanyak 2 mL/kg IV, diikuti dengan infus dekstrosa kontinu untuk menjaga normoglikemia.
Gangguan Elektrolit: Periksa kadar kalsium, magnesium, dan natrium serum. Jika ditemukan hipokalsemia, hipomagnesemia, atau gangguan natrium yang signifikan, lakukan koreksi sesuai protokol standar.
Kecurigaan Defisiensi Piridoksin: Pada kasus kejang yang tidak jelas penyebabnya atau refrakter terhadap ASM lini pertama dan kedua, pertimbangkan pemberian Piridoksin (Vitamin B6) 100 mg IV sebagai uji diagnostik dan terapeutik untuk pyridoxine-dependent epilepsy.
C. Perawatan Suportif:
Menjaga suhu tubuh bayi dalam rentang normal (termoregulasi) sangat penting untuk mencegah stres metabolik tambahan. Pastikan bayi mendapatkan dukungan nutrisi dan keseimbangan cairan yang adekuat sesuai kondisinya.
Fokus utama pada tahap awal ini adalah stabilisasi dan penanganan penyebab yang mendasari. Mengoreksi hipoglikemia atau hipokalsemia terkadang sudah cukup untuk menghentikan kejang tanpa memerlukan ASM, atau setidaknya memastikan bahwa ASM yang diberikan nantinya dapat bekerja lebih efektif.
Setelah langkah stabilisasi dan koreksi penyebab reversibel dilakukan, Terapi Kejang pada Neonatus dilanjutkan dengan pemberian obat antikejang (ASM) jika kejang masih berlanjut. Tujuan utama pemberian ASM adalah menghentikan aktivitas kejang, baik yang terlihat secara klinis maupun yang hanya terdeteksi melalui EEG, secepat mungkin untuk meminimalkan risiko kerusakan otak lebih lanjut. Pemilihan dan Dosis Obat Kejang pada Neonatus harus didasarkan pada bukti ilmiah terkini dan pedoman klinis.
A. Obat Lini Pertama:
Fenobarbital: Secara konsisten direkomendasikan sebagai ASM lini pertama oleh berbagai pedoman, termasuk dari International League Against Epilepsy (ILAE), berdasarkan bukti efikasi yang ada.
Dosis Muatan (Loading Dose): 20 mg/kg IV, diberikan secara perlahan selama 15-30 menit untuk meminimalkan risiko depresi napas dan hipotensi.
Dosis Tambahan: Jika kejang belum berhenti dalam 30 menit setelah dosis muatan awal, dapat diberikan dosis tambahan 10 mg/kg IV. Dosis tambahan ini dapat diulang sekali lagi jika masih diperlukan, hingga mencapai dosis total kumulatif 40 mg/kg.
Dosis Rumatan (Maintenance Dose): 3-5 mg/kg per hari, dapat diberikan IV atau per oral (PO), biasanya dibagi dalam 1 atau 2 dosis (misalnya, 2.5 mg/kg setiap 12 jam atau 5 mg/kg sekali sehari). Dosis rumatan dimulai 12-24 jam setelah dosis muatan terakhir.
Efek Samping & Pemantauan: Efek samping utama adalah depresi pernapasan, hipotensi, dan sedasi. Pemantauan ketat fungsi pernapasan dan kardiovaskular sangat diperlukan selama dan setelah pemberian. Kadar terapeutik dalam darah yang dianjurkan adalah 15-40 mcg/mL, meskipun pemantauan rutin tidak selalu diperlukan pada penggunaan jangka pendek.
Efikasi: Studi melaporkan tingkat keberhasilan Fenobarbital dalam menghentikan kejang berkisar antara 43% hingga 80%, tergantung pada populasi studi dan dosis yang digunakan.
Alternatif Lini Pertama: Pada kasus yang sangat spesifik dimana terdapat kecurigaan kuat adanya channelopathy (kelainan kanal ion, misalnya karena riwayat keluarga positif atau mutasi genetik spesifik seperti KCNQ2), Fenitoin atau Karbamazepin (obat golongan penghambat kanal natrium) dapat dipertimbangkan sebagai pilihan lini pertama.
B. Obat Lini Kedua (Jika Fenobarbital Gagal Mengontrol Kejang):
Jika kejang tetap berlanjut meskipun telah diberikan dosis Fenobarbital maksimal, diperlukan penambahan atau penggantian dengan ASM lini kedua. Pilihan yang umum digunakan meliputi Fenitoin, Levetiracetam, Midazolam, atau Lidokain. Belum ada konsensus kuat mengenai urutan preferensi obat lini kedua ini, dan pilihan seringkali disesuaikan dengan kondisi klinis pasien dan pengalaman klinisi.
Fenitoin:
Dosis Muatan: 15-20 mg/kg IV. Pemberian harus dilakukan secara perlahan (tidak melebihi 50 mg/menit atau sekitar 1-3 mg/kg/menit) dengan pemantauan EKG dan tekanan darah karena risiko efek samping kardiovaskular. Fenitoin tidak boleh dilarutkan atau dicampur dengan larutan dekstrosa karena dapat mengendap. Fosphenytoin, sebuah prodrug Fenitoin, dapat menjadi alternatif yang lebih aman untuk pemberian IV/IM.
Dosis Rumatan: Biasanya dimulai dengan 3-4 mg/kg per hari IV, dibagi dalam 2-3 dosis. Perlu diingat bahwa absorpsi Fenitoin per oral pada neonatus sangat tidak dapat diprediksi. Beberapa neonatus mungkin memerlukan dosis rumatan yang jauh lebih tinggi untuk mencapai kadar terapeutik.
Efek Samping & Pemantauan: Risiko utama adalah aritmia jantung dan hipotensi, terutama jika infus diberikan terlalu cepat (seringkali terkait dengan pelarut propilen glikol dalam sediaan IV Fenitoin). Ekstravasasi obat ke jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Kadar terapeutik target dalam darah (total) adalah 10-20 mg/L, namun kadar obat bebas (tidak terikat protein) mungkin lebih relevan secara klinis.
Levetiracetam:
Perannya dalam tatalaksana kejang neonatus semakin berkembang. Beberapa pusat kesehatan menggunakannya sebagai alternatif lini pertama atau sebagai lini kedua. Obat ini mungkin menjadi pilihan yang lebih disukai pada neonatus dengan kondisi jantung yang mendasari.
Dosis Muatan: Dosis yang dilaporkan bervariasi, umumnya 40-60 mg/kg IV. Beberapa protokol menggunakan dosis awal 50 mg/kg IV, yang dapat diulang sekali lagi jika kejang menetap, sehingga total dosis muatan mencapai 100 mg/kg. Pemberian infus biasanya selama 15 menit.
Dosis Rumatan: 20-30 mg/kg per hari, diberikan IV atau PO, dibagi menjadi dua dosis (misalnya, 25 mg/kg setiap 12 jam).
Efek Samping & Pemantauan: Secara umum, Levetiracetam ditoleransi dengan baik pada populasi neonatus, dengan laporan efek samping serius yang minimal. Pemantauan kadar obat dalam darah belum menjadi praktik rutin karena korelasinya dengan efikasi belum jelas. Profil keamanan jangka panjangnya dianggap lebih baik dibandingkan Fenobarbital.
Benzodiazepin (Midazolam, Lorazepam):
Obat golongan ini sering digunakan pada kasus kejang yang refrakter terhadap obat lini pertama dan kedua, atau pada kondisi status epileptikus (kejang berkelanjutan).
Midazolam: Biasanya diberikan sebagai infus kontinu IV dengan dosis 0.1-0.4 mg/kg/jam (atau 60-400 mcg/kg/jam), terkadang didahului dosis bolus. Rentang dosis efektif dapat bervariasi luas antar pasien.
Lorazepam: Diberikan sebagai bolus IV dengan dosis 0.05-0.1 mg/kg. Dapat efektif untuk menghentikan kejang yang refrakter terhadap Fenobarbital. Perlu diperhatikan bahwa waktu paruh eliminasi Lorazepam pada neonatus lebih panjang dibandingkan usia lain.
Efek Samping: Risiko utama adalah depresi pernapasan, hipotensi, dan sedasi.
Lidokain:
Merupakan opsi lini kedua atau ketiga lainnya.
Dosis Muatan: 2 mg/kg IV, diikuti dengan infus kontinu 2-6 mg/kg/jam.
Efek Samping & Pemantauan: Risiko utama adalah toksisitas jantung (aritmia), sehingga memerlukan pemantauan EKG selama pemberian.
Efikasi: Sebuah meta-analisis menunjukkan efikasi sekitar 73-75% dalam mengontrol kejang neonatal.
Penting untuk dicatat bahwa terdapat variabilitas praktik yang signifikan antar pusat layanan kesehatan dalam hal pemilihan obat lini kedua, dosis, dan durasi terapi. Pedoman ILAE terbaru memberikan rekomendasi berbasis bukti yang kuat untuk Fenobarbital sebagai lini pertama, namun rekomendasi untuk lini kedua lebih banyak didasarkan pada kesepakatan ahli (expert agreement). Hal ini mencerminkan masih terbatasnya data dari uji klinis acak terkontrol (RCT) berkualitas tinggi pada populasi neonatus. Oleh karena itu, mengikuti pedoman terbaru dan melakukan konsultasi dengan spesialis anak atau neurologi anak sangat dianjurkan.
C. Tabel Ringkasan Dosis Obat Kejang pada Neonatus:
Tabel berikut merangkum Dosis Obat Kejang pada Neonatus yang umum digunakan sebagai referensi praktis:
Obat | Dosis Muatan (IV) | Dosis Rumatan | Rute Rumatan | Frekuensi Rumatan | Catatan Penting / Efek Samping Utama |
Fenobarbital | 20 mg/kg (bisa +10-20 mg/kg jika perlu, max 40 mg/kg) | 3-5 mg/kg/hari | IV / PO | 1-2x / hari | Lini pertama. Depresi napas, hipotensi, sedasi. Target kadar 15-40 mcg/mL. |
Fenitoin | 15-20 mg/kg | 3-4 mg/kg/hari (dosis bisa sangat bervariasi) | IV | Dibagi 2-3x / hari | Lini kedua. Infus lambat (<50mg/min). Monitor jantung. Risiko aritmia, hipotensi, ekstravasasi. Absorpsi oral tidak terprediksi. Jangan campur dekstrosa. Target kadar 10-20 mg/L. |
Levetiracetam | 40-60 mg/kg (bisa diulang hingga 100 mg/kg total) | 20-30 mg/kg/hari (misal 25 mg/kg 2x/hari) | IV / PO | 2x / hari | Lini kedua (atau pertama di beberapa pusat). Toleransi baik. Mungkin preferensi pada gangguan jantung. Pemantauan kadar belum rutin. |
Midazolam | Bolus (jika ada) + Infus 0.1-0.4 mg/kg/jam | Infus kontinu | IV | Kontinu | Untuk kejang refrakter/status epileptikus. Risiko depresi napas, hipotensi. |
Lorazepam | 0.05-0.1 mg/kg | Dosis intermiten (jika perlu) | IV | Sesuai kebutuhan | Untuk kejang refrakter/status epileptikus. Waktu paruh panjang pada neonatus. Risiko depresi napas, hipotensi. |
Lidokain | 2 mg/kg | Infus 2-6 mg/kg/jam | IV | Kontinu | Lini kedua/ketiga. Risiko aritmia jantung, perlu monitor EKG. |
Catatan: Tabel ini adalah ringkasan. Selalu rujuk protokol institusi dan konsultasikan dengan apoteker atau spesialis untuk dosis spesifik dan penyesuaian.
Keputusan mengenai berapa lama terapi ASM harus diberikan dan kapan harus menghentikannya merupakan aspek penting dalam manajemen kejang neonatus. Pendekatan ini sangat bergantung pada etiologi kejang.
Untuk kejang yang bersifat akut simtomatik atau provoked—yaitu kejang yang terjadi sebagai respons langsung terhadap cedera otak akut (seperti HIE, stroke, infeksi) atau gangguan sistemik transien (seperti hipoglikemia, hipokalsemia)—dan penyebabnya telah teridentifikasi serta teratasi, pedoman ILAE terbaru merekomendasikan agar ASM dihentikan sebelum bayi dipulangkan dari rumah sakit.
Rekomendasi ini didasarkan pada kesepakatan ahli dan berlaku bahkan jika terdapat temuan abnormal pada pemeriksaan EEG atau MRI lanjutan, selama tidak ada bukti klinis atau elektrographik yang menunjukkan adanya kondisi epilepsi yang berkelanjutan.
Durasi pasti pemberian ASM sebelum penghentian tidak ditetapkan secara universal, namun penghentian dapat dipertimbangkan setelah periode bebas kejang yang cukup (misalnya, 2-4 minggu dalam satu studi Levetiracetam ), setelah memastikan penyebab akut telah tertangani.
Sebaliknya, pada kasus dimana kejang merupakan manifestasi awal dari epilepsi onset neonatal yang disebabkan oleh kelainan struktural otak kongenital, kelainan genetik, atau inborn errors of metabolism, terapi ASM jangka panjang mungkin diperlukan.
Keputusan mengenai durasi terapi pada kasus-kasus ini harus dibuat secara individual berdasarkan etiologi spesifik, respons terhadap pengobatan, dan temuan klinis serta EEG lanjutan, idealnya melalui konsultasi dengan ahli neurologi anak.
Rekomendasi untuk menghentikan ASM sebelum pulang pada mayoritas kasus kejang neonatus (yang bersifat akut simtomatik) merupakan perubahan paradigma penting. Hal ini bertujuan untuk menghindari paparan obat antikejang jangka panjang yang tidak perlu pada bayi, mengingat potensi efek samping obat terhadap perkembangan saraf.
Manajemen kejang pada neonatus merupakan tantangan klinis yang kompleks namun krusial. Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diingat oleh dokter umum:
Kenali sebagai Kegawatdaruratan: Kejang neonatus adalah kondisi emergensi neurologis yang umum dan berpotensi menyebabkan dampak jangka panjang. Kewaspadaan tinggi diperlukan.
Diagnosis Multimodal: Jangan hanya mengandalkan observasi klinis karena kejang seringkali samar atau subklinis. EEG adalah baku emas untuk konfirmasi. Lakukan pemeriksaan laboratorium dan neuroimaging untuk mencari etiologi. Ingatlah kerangka Diagnosis Kejang pada Neonatus yang komprehensif.
Prioritaskan Stabilisasi dan Etiologi: Tindakan pertama adalah stabilisasi ABC. Segera cari dan koreksi penyebab reversibel seperti hipoglikemia atau hipokalsemia sebelum atau bersamaan dengan pemberian ASM.
Terapi Farmakologis Terpandu: Fenobarbital adalah ASM lini pertama yang direkomendasikan. Kenali obat lini kedua (Fenitoin, Levetiracetam, Benzodiazepin, Lidokain) beserta dosis dan efek samping utamanya (lihat Tabel Dosis Obat Kejang pada Neonatus). Pahami prinsip Terapi Kejang pada Neonatus.
Durasi Terapi Tepat: Pada sebagian besar kasus kejang akut simtomatik yang penyebabnya teratasi, ASM dapat dihentikan sebelum bayi pulang untuk menghindari paparan obat yang tidak perlu.
Pentingnya Rujukan dan Kolaborasi: Manajemen definitif kejang neonatus seringkali memerlukan fasilitas perawatan intensif neonatal (NICU) dengan kemampuan monitoring EEG, neuroimaging, dan konsultasi subspesialis (Neurologi Anak, Perinatologi). Peran dokter umum sangat vital dalam deteksi dini, stabilisasi awal, dan memastikan rujukan yang cepat dan tepat.
Follow-up Jangka Panjang: Semua bayi yang pernah mengalami kejang neonatal memerlukan pemantauan tumbuh kembang jangka panjang untuk deteksi dini potensi gangguan neurologis.
Dengan memahami prinsip-prinsip diagnosis dan tatalaksana awal ini, dokter umum dapat memainkan peran kunci dalam memberikan penanganan pertama yang optimal bagi neonatus dengan kejang, yang pada akhirnya dapat memperbaiki luaran klinis pasien.
Neonatal Seizures Revisited - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7922511/
Seizures in the neonate: A review of etiologies and outcomes - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33418166/
Neonatal Seizure - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554535/
Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tata laksana - Sari Pediatri, diakses April 30, 2025, https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/751/686
Neonatal Seizures and Neonatal Epilepsy - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK609108/
Neonatal Seizures: New Evidence, Classification, and Guidelines ..., diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11562284/
Neonatal seizures in preterm infants: A systematic review of mortality risk and neurological outcomes from studies in the 2000's - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31864147/
Neonatal Seizures and Status Epilepticus - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3463810/
Neonatal seizure management with lidocaine: Systematic review and meta-analysis on efficacy and safety | Acta Biomedica Atenei Parmensis, diakses April 30, 2025, https://www.mattioli1885journals.com/index.php/actabiomedica/onlinefirst/view/16765
Neonatal seizures: diagnostic updates based on new definition and ..., diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9348949/
Neonatal Seizure Management: Is the Timing of Treatment Critical? - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34626667/
nicu.pediatrics.wisc.edu, diakses April 30, 2025, https://nicu.pediatrics.wisc.edu/wp-content/uploads/sites/11/2021/11/Neonatal-Seizures.pdf
45_Modul Kejang Pada Neonatus.pdf, diakses April 30, 2025, https://pediatricfkuns.ac.id/data/ebook/45_Modul%20Kejang%20Pada%20Neonatus.pdf
Novel Therapeutics for Neonatal Seizures - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8608938/
Neonatal Seizures-Are We there Yet? - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31340400/
Continuous long-term electroencephalography: the gold standard ..., diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25660396/
EEG in neonatal seizures: where to look and what to see - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36637240/
EEG Monitoring of the Epileptic Newborn - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32166392/
SUMMARY OF QUESTIONS AND RECOMMENDATIONS - Guidelines on Neonatal Seizures - NCBI, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK304086/
Neonatal seizures as onset of Inborn Errors of Metabolism (IEMs): from diagnosis to treatment. A systematic review - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34403026/
Neonatal seizures: Is there a relationship between ictal electroclinical features and etiology? A critical appraisal based on a systematic literature review - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30868112/
Neonatal seizures: Etiologies, clinical characteristics, and ..., diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10508452/
Guidelines and consensus-based recommendations-Special report from the ILAE Task Force on Neonatal Seizures - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37655702/
ejournal.unsrat.ac.id, diakses April 30, 2025, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/msj/article/download/45371/43217/115102
Tatalaksana Terkini Kejang pada Neonatus | Medical Scope Journal, diakses April 30, 2025, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/msj/article/view/45371
Pharmacological Treatment of Neonatal Seizures: A Systematic Review - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3805825/
Phenobarbital and phenytoin in neonatal seizures - Neurology.org, diakses April 30, 2025, https://www.neurology.org/doi/10.1212/WNL.31.9.1107
Phenobarbital and phenytoin in neonatal seizures: metabolism and tissue distribution - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7196530/
Lorazepam in the treatment of refractory neonatal seizures - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/1940133/
Phenytoin - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551520/
High intravenous phenytoin dosage requirement in a newborn infant - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/6681550/
Clinical Pharmacology of Midazolam in Neonates and Children: Effect of Disease—A Review - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3948203/
Midazolam in the treatment of refractory neonatal seizures - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8777770/
Management of Pediatric Status Epilepticus - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4110742/
INTRODUCTION - Use of Lorazepam for the Treatment of Pediatric Status Epilepticus - NCBI, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK588405/
Evidence-Based Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children and Adults: Report of the Guideline Committee of the American Epilepsy Society - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4749120/
Systematic review of neonatal seizure management strategies provides guidance on anti-epileptic treatment - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25251733/
Association of midazolam route of administration and need for recurrent dosing among children with seizures cared for by emergency medical services - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38470335/