Dokter Post - Panduan Komprehensif Diagnosis dan Terapi Konjungtivitis Viral untuk Dokter Umum: Mengupas Tuntas Dosis Obat Terkini

Panduan Komprehensif Diagnosis dan Terapi Konjungtivitis Viral untuk Dokter Umum: Mengupas Tuntas Dosis Obat Terkini

6 Oct 2025 • mata

Deskripsi

Panduan Komprehensif Diagnosis dan Terapi Konjungtivitis Viral untuk Dokter Umum: Mengupas Tuntas Dosis Obat Terkini

Pendahuluan – Mengapa Konjungtivitis Viral Penting bagi Dokter Umum?

Konjungtivitis, atau peradangan pada konjungtiva, merupakan salah satu kondisi mata yang paling sering dijumpai dalam praktik klinis sehari-hari, termasuk di layanan primer yang ditangani oleh dokter umum. Di antara berbagai penyebab konjungtivitis, konjungtivitis viral memegang peranan utama sebagai penyebab tersering konjungtivitis infeksiosa, dengan estimasi mencapai 75% hingga 80% dari seluruh kasus infeksi.

Adenovirus diidentifikasi sebagai patogen virus yang paling dominan, bertanggung jawab atas sekitar 65% hingga 90% kasus konjungtivitis viral.Meskipun seringkali dianggap sebagai kondisi yang ringan, konjungtivitis dapat menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang tidak dapat diabaikan.

Biaya yang timbul meliputi kunjungan ke fasilitas kesehatan, pemeriksaan diagnostik, pengobatan, serta hilangnya produktivitas akibat absen dari pekerjaan atau sekolah. Lebih lanjut, kesalahan dalam diagnosis yang berujung pada peresepan antibiotik yang tidak tepat untuk kasus konjungtivitis viral menjadi salah satu kontributor signifikan terhadap pembengkakan biaya dalam sistem layanan kesehatan.

Tingginya prevalensi konjungtivitis viral, yang seringkali bersifat self-limiting namun sangat menular , menempatkan dokter umum pada posisi strategis di garda terdepan. Kemampuan untuk melakukan diagnosis yang akurat dan memberikan edukasi pencegahan penularan yang efektif menjadi krusial. 

Kegagalan dalam aspek ini tidak hanya berdampak pada pasien secara individual tetapi juga berpotensi mempengaruhi kesehatan masyarakat secara lebih luas, misalnya dengan memicu klaster atau wabah kecil, seperti pada kasus Epidemic Keratoconjunctivitis (EKC) yang disebabkan oleh adenovirus.

Selain itu, kesalahan diagnosis, terutama menganggap konjungtivitis viral sebagai infeksi bakteri, secara langsung berkontribusi pada penggunaan antibiotik yang tidak perlu dan tidak rasional. Fenomena ini memiliki implikasi yang lebih jauh, yaitu turut andil dalam peningkatan risiko resistensi antibiotik global, yang merupakan masalah kesehatan masyarakat serius. 

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat juga berarti pemborosan sumber daya kesehatan yang berharga. Sebaliknya, peningkatan akurasi diagnostik oleh dokter umum berpotensi menghemat biaya layanan kesehatan secara signifikan.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan panduan praktis yang komprehensif dan berbasis bukti ilmiah (PubMed) mengenai Diagnosis dan Terapi Konjungtivitis Viral. Fokus akan diberikan pada pendekatan diagnostik yang sistematis, strategi tatalaksana terkini, termasuk informasi relevan mengenai Dosis Obat Konjungtivitis Viral, guna membantu dokter umum meningkatkan akurasi diagnosis dan kualitas manajemen pasien.

Memahami Konjungtivitis Viral – Etiologi dan Penularan

Pemahaman mendalam mengenai agen penyebab dan mekanisme penularan konjungtivitis viral menjadi dasar penting dalam penegakan diagnosis dan strategi pencegahan.

Etiologi Utama:

Berbagai jenis virus dapat menyebabkan konjungtivitis, namun beberapa di antaranya memiliki prevalensi yang lebih tinggi:

  • Adenovirus: Merupakan penyebab paling umum, terhitung sekitar 65-90% dari seluruh kasus konjungtivitis viral. Adenovirus dapat menimbulkan spektrum manifestasi klinis yang beragam, termasuk Epidemic Keratoconjunctivitis (EKC) yang sangat menular dan seringkali disertai keterlibatan kornea, serta Pharyngoconjunctival Fever (PCF) yang ditandai dengan trias demam, faringitis, dan konjungtivitis folikular. Infeksi EKC diketahui memiliki tingkat penularan yang tinggi dan lebih sering dilaporkan terjadi pada musim panas.

Gambar 1. Bentukan Pseudomembran pada pasien dengan Conjunctivitas adenoviral

  • Herpes Simplex Virus (HSV): Meskipun kurang umum dibandingkan adenovirus, HSV merupakan penyebab signifikan lainnya. Infeksi dapat disebabkan oleh HSV tipe 1 (lebih sering pada mata) maupun HSV tipe 2. Konjungtivitis akibat HSV seringkali bersifat unilateral.

  • Virus Lainnya: Beberapa virus lain juga dapat menyebabkan konjungtivitis, seperti Enterovirus (sering dikaitkan dengan Acute Hemorrhagic Conjunctivitis/AHC), Coxsackievirus, Varicella-Zoster Virus (VZV), virus campak (Morbillivirus), dan virus gondongan (Mumps virus). Gambaran klinis yang disebabkan oleh virus-virus ini mungkin menunjukkan sedikit perbedaan karakteristik.

Cara Penularan:

Konjungtivitis viral, khususnya yang disebabkan oleh adenovirus, memiliki sifat yang sangat mudah menular. Penularan umumnya terjadi melalui beberapa mekanisme:

  • Kontak langsung dengan sekret mata dari individu yang terinfeksi.

  • Kontak dengan permukaan atau benda (fomites) yang telah terkontaminasi oleh virus, seperti gagang pintu, handuk, atau peralatan pemeriksaan mata yang tidak disterilkan dengan baik.

Oleh karena itu, diagnosis yang cepat diikuti dengan implementasi praktik higiene yang ketat, seperti mencuci tangan secara teratur dan menyeluruh, serta melakukan sanitasi permukaan yang sering disentuh, memegang peranan krusial dalam mengendalikan penyebaran infeksi.

Penting bagi dokter umum untuk menyadari bahwa meskipun adenovirus merupakan penyebab "rutin" dalam kasus konjungtivitis viral dengan tatalaksana umumnya bersifat suportif, infeksi HSV harus dianggap sebagai "tanda bahaya" potensial. Walaupun keduanya disebabkan oleh virus, implikasi terapeutik dan prognosisnya sangat berbeda; infeksi HSV memerlukan terapi antivirus spesifik untuk mencegah komplikasi yang lebih serius. Kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi HSV, terutama jika terdapat gambaran klinis atipikal atau faktor risiko pada pasien, menjadi sangat penting.

Selain itu, sifat EKC yang sangat menular dan kecenderungannya untuk lebih prevalen selama musim panas  mengindikasikan perlunya peningkatan kewaspadaan dan intensifikasi edukasi kepada pasien selama periode tersebut. Langkah ini bertujuan untuk mencegah penyebaran yang lebih luas di lingkungan komunitas, sekolah, atau tempat kerja, yang dapat melibatkan intervensi kesehatan masyarakat skala kecil, seperti mengingatkan pentingnya tidak berbagi handuk di fasilitas umum. Menjelaskan cara penularan ini kepada pasien merupakan langkah awal yang vital dalam terapi konjungtivitis viral untuk memutus rantai infeksi.

Diagnosis Konjungtivitis Viral yang Tepat Sasaran

Penegakan diagnosis konjungtivitis viral yang akurat bergantung pada kombinasi anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang teliti. Tidak ada satu tanda atau gejala tunggal yang secara definitif dapat membedakan konjungtivitis viral dari penyebab lain, sehingga pendekatan komprehensif sangat diperlukan.

Anamnesis Kunci:

Informasi yang relevan untuk digali dari pasien meliputi:

  • Awitan Gejala: Seringkali bersifat akut atau mendadak.

  • Gejala Khas Mata: Rasa terbakar, mengganjal seperti ada benda asing (sensasi korpus alienum) , mata berair dengan sekret yang encer (serous) , mata merah , dan fotofobia (sensitivitas terhadap cahaya). Nyeri pada mata bisa saja ada, namun nyeri yang hebat merupakan salah satu red flag yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.

  • Keterlibatan Mata: Riwayat keluhan yang dimulai pada satu mata (unilateral) kemudian dapat menyebar ke mata sebelahnya dalam kurun waktu 24 hingga 48 jam merupakan gambaran yang cukup khas untuk infeksi adenovirus. Sebaliknya, konjungtivitis akibat HSV seringkali tetap unilateral.

  • Gejala Prodromal Sistemik: Keluhan penyerta seperti demam, faringitis, gejala infeksi saluran napas atas, dan pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati), terutama di area preaurikular, seringkali mendahului atau menyertai onset gejala mata pada konjungtivitis viral.

  • Riwayat Kontak: Adanya riwayat kontak erat dengan individu yang mengalami keluhan mata merah serupa.

  • Riwayat Herpes atau Lesi Kulit: Riwayat pernah mengalami "cold sores" (herpes labialis) atau adanya lesi vesikular (lepuhan kecil berisi cairan) pada kelopak mata atau area hidung pasien saat ini dapat meningkatkan kecurigaan terhadap infeksi HSV.

Pemeriksaan Fisik Esensial:

Pemeriksaan fisik yang terfokus pada mata dan area sekitarnya meliputi:

  • Pemeriksaan Visus (Tajam Penglihatan): Merupakan langkah fundamental yang harus selalu dilakukan pada setiap pasien dengan keluhan mata merah. Penurunan tajam penglihatan adalah red flag yang signifikan. Jika visus menurun, diagnosis konjungtivitis viral sederhana menjadi kurang mungkin, dan dokter umum harus mempertimbangkan kondisi lain yang lebih serius yang berpotensi mengancam penglihatan.

  • Inspeksi Mata:

  • Sekret Mata: Karakteristik sekret pada konjungtivitis viral umumnya encer, jernih (serous), atau serofibrinous. Adanya sekret yang kental, berwarna kuning kehijauan (mukopurulen), atau purulen masif lebih mengarah pada infeksi bakteri.

  • Injeksi Konjungtiva: Tampak kemerahan yang difus pada konjungtiva akibat dilatasi pembuluh darah.

  • Folikel Konjungtiva: Pemeriksaan pada konjungtiva tarsal (bagian dalam kelopak mata) dapat menunjukkan adanya folikel-folikel kecil, yang merupakan gambaran khas infeksi viral.

  • Pseudomembran: Pada beberapa kasus, dapat terbentuk lapisan tipis berwarna keputihan (pseudomembran) pada permukaan konjungtiva.

  • Edema Palpebra: Pembengkakan pada kelopak mata dapat terjadi.

  • Chemosis: Edema atau pembengkakan pada konjungtiva bulbi juga dapat ditemukan.

  • Palpasi Kelenjar Getah Bening: Pembesaran kelenjar getah bening preaurikular (di depan telinga) yang teraba nyeri seringkali ditemukan pada konjungtivitis viral, khususnya yang disebabkan oleh adenovirus.

  • Pemeriksaan dengan Fluorescein: Pewarnaan kornea dengan zat fluorescein dan pemeriksaan menggunakan lampu biru kobalt (slit lamp atau penlight dengan filter biru) penting dilakukan jika terdapat kecurigaan keterlibatan kornea atau infeksi HSV. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya defek epitel kornea atau lesi dendritik yang khas untuk keratitis herpetika.

Kombinasi antara gejala prodromal sistemik, sekret mata yang encer, temuan folikel pada konjungtiva tarsal, dan adanya limfadenopati preaurikular merupakan pola klinis yang sangat sugestif untuk konjungtivitis viral akibat adenovirus. Meskipun tidak ada satu tanda patognomonik tunggal , pengenalan pola ini dapat memberikan tingkat kepercayaan diagnostik yang tinggi bagi dokter umum.

Pentingnya menanyakan riwayat lesi kulit vesikular  dan melakukan pemeriksaan fluorescein  tidak boleh diremehkan, bahkan pada kasus yang tampak "ringan". Ini adalah langkah proaktif untuk mendeteksi dini kemungkinan konjungtivitis HSV. Infeksi HSV memerlukan terapi konjungtivitis viral yang spesifik dan memiliki potensi komplikasi pada kornea, seperti ulkus dendritik , yang dapat mengubah tatalaksana secara signifikan.

Diagnosis Banding – Membedakan Konjungtivitis Viral, Bakteri, dan Alergi

Sangat krusial untuk mampu membedakan konjungtivitis dari penyakit mata lain yang berpotensi mengancam penglihatan namun memiliki presentasi awal serupa, yaitu "mata merah". Secara epidemiologis, konjungtivitis viral lebih sering ditemukan pada populasi dewasa dan insidensinya cenderung meningkat pada musim panas. Sebaliknya, konjungtivitis bakterial lebih umum terjadi pada anak-anak dan puncaknya seringkali diamati antara bulan Desember hingga April.

Untuk membantu dalam proses diferensiasi, tabel berikut merangkum perbandingan karakteristik klinis utama antara konjungtivitis viral, bakterial, dan alergi, berdasarkan berbagai sumber literatur.

Tabel 1: Perbandingan Karakteristik Klinis Konjungtivitis Viral, Bakteri, dan Alergi


Karakteristik

Konjungtivitis Viral

Konjungtivitis Bakterial

Konjungtivitis Alergi

Awitan

Akut/mendadak

Akut

Akut atau kronis, sering terkait paparan alergen

Gejala Prodromal Sistemik

Sering (demam, faringitis, ISPA) 

Jarang

Tidak ada, kecuali terkait kondisi atopi sistemik lain

Jenis Sekret

Encer, serous, jernih 

Kental, mukopurulen (kuning/hijau), lengket 

Encer, mukoid ringan, atau berair 

Rasa Gatal

Ringan hingga sedang

Minimal atau tidak ada

Berat dan dominan 

Mata Merah (Injeksi)

Difus, pembuluh darah konjungtiva melebar 

Difus, seringkali lebih merah di forniks

Difus, bisa disertai chemosis signifikan

Limfadenopati Preaurikular

Sering, teraba nyeri 

Jarang (kecuali pada infeksi berat seperti gonore)

Tidak ada

Keterlibatan Bilateral

Sering (seringkali sekuensial, satu mata dulu) 

Bisa unilateral atau bilateral

Biasanya bilateral sejak awal

Temuan Khas Lain

Folikel pada konjungtiva tarsal , pseudomembran mungkin ada 

Papil (kurang spesifik), sekret purulen di sudut mata pagi hari

Papil raksasa (pada GPC), chemosis, riwayat atopi/musiman 

Meskipun tabel perbandingan ini sangat membantu sebagai panduan awal, penting untuk disadari oleh dokter umum bahwa gambaran klinis antar jenis konjungtivitis terkadang dapat tumpang tindih, dan tidak semua kasus akan secara sempurna "sesuai buku." Penilaian klinis secara menyeluruh, yang mencakup pertimbangan faktor risiko pasien dan respons terhadap terapi awal (jika ada), tetap memegang peranan sentral.

Kehadiran rasa gatal yang sangat dominan, disertai dengan riwayat atopi personal atau keluarga, atau adanya paparan terhadap alergen musiman yang diketahui, hampir selalu mengarahkan diagnosis ke arah konjungtivitis alergi. Tatalaksana untuk konjungtivitis alergi sangat berbeda, umumnya melibatkan penggunaan antihistamin topikal atau sistemik, dan stabilisator sel mast. 

Oleh karena itu, kemampuan untuk membedakan kondisi ini dari konjungtivitis viral menjadi penting agar pasien mendapatkan terapi simtomatik yang paling tepat dan efektif. Ini menggarisbawahi pentingnya anamnesis yang cermat terhadap seluruh spektrum gejala, bukan hanya berfokus pada keluhan mata merah.

Tatalaksana Konjungtivitis Viral – Pendekatan Berbasis Bukti dan Dosis Obat

Tatalaksana konjungtivitis viral bertujuan untuk meredakan gejala, mencegah penyebaran infeksi, dan pada kasus tertentu, memberikan terapi antivirus spesifik.

Prinsip Umum Tatalaksana:

Edukasi pasien memegang peranan sentral dalam manajemen konjungtivitis viral. Pasien perlu diberikan pemahaman mengenai:

  • Sifat penyakit: Untuk konjungtivitis adenoviral, umumnya bersifat self-limiting dan akan sembuh dengan sendirinya dalam 1-3 minggu.

  • Cara penularan: Menjelaskan mekanisme penularan melalui kontak langsung dan fomites.

  • Pentingnya higiene: Menekankan praktik mencuci tangan secara rutin dan benar, serta menghindari berbagi barang-barang pribadi seperti handuk, sapu tangan, dan bantal untuk mencegah penyebaran virus ke orang lain atau ke mata sebelahnya.

  • Isolasi sementara: Pasien disarankan untuk tidak masuk kerja atau sekolah selama periode menular untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, sesuai dengan kebijakan lokal dan tingkat keparahan gejala.

A. Terapi Suportif untuk Konjungtivitis Adenoviral (Paling Umum):

Karena sebagian besar kasus konjungtivitis viral disebabkan oleh adenovirus dan bersifat self-limiting, tatalaksana utama bersifat suportif untuk meredakan gejala dan meningkatkan kenyamanan pasien. Terapi antivirus spesifik umumnya tidak diperlukan untuk konjungtivitis adenoviral.

  • Kompres Dingin: Aplikasi kompres dingin pada kelopak mata yang tertutup dapat membantu mengurangi pembengkakan, rasa tidak nyaman, dan peradangan.

  • Air Mata Buatan (Lubrikan Mata): Penggunaan air mata buatan tanpa pengawet dapat membantu meredakan iritasi, sensasi benda asing, dan gejala mata kering yang mungkin menyertai.

  • Dosis Obat: Dapat digunakan sesuai kebutuhan pasien, misalnya 1-2 tetes pada mata yang sakit, 4 kali sehari, atau lebih sering jika keluhan mata kering atau iritasi cukup mengganggu. Sebuah studi menggunakan air mata buatan dengan frekuensi 4 kali sehari sebagai kelompok kontrol.

  • Antihistamin/Dekongestan Topikal: Obat tetes mata yang mengandung antihistamin atau dekongestan dapat dipertimbangkan untuk meredakan gejala gatal dan kemerahan ringan. Namun, perlu diingat bahwa peran utamanya lebih ditujukan untuk konjungtivitis alergi. Penggunaannya pada konjungtivitis viral lebih bersifat simtomatik untuk keluhan ringan dan bukan merupakan terapi utama.

B. Peran Antibiotik: Kapan TIDAK Diperlukan?

Salah satu poin penting dalam tatalaksana konjungtivitis viral adalah menghindari penggunaan antibiotik topikal yang tidak perlu.

  • Antibiotik topikal tidak diindikasikan dan tidak efektif untuk pengobatan konjungtivitis viral murni.

  • Penggunaan antibiotik pada kasus viral tidak mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder. Sebaliknya, hal ini dapat memicu reaksi alergi atau toksisitas lokal, mengaburkan gambaran klinis yang sebenarnya, dan yang lebih penting, berkontribusi pada peningkatan masalah resistensi antibiotik global.

  • Selain itu, penggunaan tetes mata antibiotik yang tidak steril atau ujung penetes yang terkontaminasi justru dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi ke mata sebelahnya atau ke orang lain. Penekanan kuat pada "TIDAK menggunakan antibiotik" untuk konjungtivitis viral umum (adenoviral) adalah pesan sentral yang harus diadopsi oleh dokter umum. Ini bukan hanya tentang menghindari efek samping, tetapi juga tentang praktik stewardship antibiotik yang bertanggung jawab dan efisiensi biaya dalam layanan kesehatan.

C. Tatalaksana Spesifik untuk Konjungtivitis Herpetik (HSV):

Jika terdapat kecurigaan klinis yang kuat atau konfirmasi diagnosis konjungtivitis akibat Herpes Simplex Virus (HSV) – misalnya berdasarkan riwayat herpes sebelumnya, adanya lesi vesikular pada kelopak mata atau kulit sekitar mata, atau temuan lesi dendritik pada kornea saat pemeriksaan dengan fluorescein – maka terapi antivirus spesifik diindikasikan.

  • Antivirus Topikal:

  • Ganciclovir 0.15% gel mata: Merupakan analog guanosin yang bekerja dengan menghambat replikasi DNA virus. Obat ini diindikasikan untuk pengobatan keratitis herpetika akut, khususnya ulkus dendritik.

  • Dosis Obat: Umumnya, 1 tetes gel diaplikasikan pada mata yang sakit sebanyak 5 kali sehari sampai ulkus kornea menunjukkan penyembuhan. Setelah itu, dosis dapat diturunkan menjadi 3 kali sehari selama 7 hari tambahan untuk mencegah rekurensi. Ganciclovir gel umumnya memiliki profil tolerabilitas yang baik dan dilaporkan memiliki insiden gangguan penglihatan yang lebih rendah dibandingkan salep Acyclovir.

  • Trifluridine 1% larutan tetes mata: Merupakan analog timidin yang juga mengganggu replikasi virus dengan cara diinkorporasi ke dalam DNA virus dan sel pejamu. Indikasi utamanya adalah untuk keratokonjungtivitis primer dan keratitis epitelial rekuren yang disebabkan oleh HSV tipe 1 dan 2.

  • Dosis Obat: Dosis yang direkomendasikan adalah 1 tetes setiap 2 jam saat pasien terjaga (dengan dosis maksimum 9 tetes per hari) hingga ulkus kornea mengalami re-epitelisasi lengkap. Setelah re-epitelisasi tercapai, pengobatan dilanjutkan dengan dosis 1 tetes setiap 4 jam saat terjaga (minimal 5 tetes per hari) selama 7 hari tambahan. Penggunaan Trifluridine sebaiknya tidak melebihi 21 hari karena potensi toksisitas okular. Efek samping yang mungkin timbul meliputi toksisitas epitel kornea, konjungtivitis toksik, dan stenosis pungtum lakrimalis. Keputusan untuk menggunakan Ganciclovir atau Trifluridine untuk konjungtivitis HSV dapat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan obat, biaya, dan profil tolerabilitas masing-masing. Secara umum, Ganciclovir seringkali dianggap memiliki tolerabilitas yang lebih baik.

  • Antivirus Oral (misalnya, Acyclovir): Penggunaan antivirus oral dalam konteks konjungtivitis HSV yang ditangani oleh dokter umum perlu dipertimbangkan dengan cermat. Indikasinya mungkin lebih terbatas pada kasus-kasus tertentu seperti konjungtivitis HSV rekuren yang sering, keterlibatan bilateral, pasien dengan kondisi imunokompromais, atau jika terdapat keterlibatan kulit periokular yang signifikan (seperti pada Herpes Zoster Oftalmikus). Antivirus oral juga dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada kasus keratitis stromal herpetika, namun biasanya atas indikasi dan pengawasan dokter spesialis mata. Untuk konjungtivitis HSV sederhana tanpa komplikasi keratitis, terapi topikal seringkali sudah memadai.

  • Dosis Obat Acyclovir Oral (sebagai referensi dari berbagai indikasi HSV/VZV, penyesuaian dosis mungkin diperlukan oleh spesialis untuk kasus mata spesifik):

  • Untuk episode awal herpes genital pada pasien imunokompeten: 400 mg, 3 kali sehari, selama 7-10 hari.

  • Untuk herpes zoster (shingles) pada pasien imunokompeten: 800 mg, 5 kali sehari, selama 7 hari.

  • Dalam studi HEDS (Herpetic Eye Disease Study) Acyclovir Prevention Trial (APT), Acyclovir oral dengan dosis 400 mg, 2 kali sehari, digunakan untuk profilaksis atau pencegahan rekurensi penyakit mata akibat HSV. Penting untuk diingat bahwa penggunaan kortikosteroid topikal harus dihindari pada kasus konjungtivitis HSV aktif tanpa perlindungan antivirus yang adekuat, karena dapat memperburuk infeksi dan menyebabkan kerusakan kornea yang lebih parah (misalnya, ulkus geografik). Obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid juga sebaiknya tidak digunakan secara rutin pada kasus mata merah yang belum jelas penyebabnya.

Tabel 2: Rekomendasi Dosis Obat Kunci untuk Tatalaksana Konjungtivitis Viral


Jenis Obat

Indikasi Spesifik

Sediaan Umum

Dosis Umum

Catatan Penting

Air Mata Buatan

Gejala iritasi, mata kering pada konjungtivitis viral

Tetes mata (lubrikan)

1-2 tetes, 4 kali sehari atau sesuai kebutuhan 

Pilih yang bebas pengawet jika digunakan sering atau jangka panjang.

Ganciclovir Gel 0.15%

Keratitis herpetika akut (ulkus dendritik HSV)

Gel mata

1 tetes, 5 kali sehari hingga ulkus sembuh, lalu 3 kali sehari selama 7 hari 

Umumnya ditoleransi baik.

Trifluridine Larutan 1%

Keratokonjungtivitis HSV, keratitis epitelial HSV

Tetes mata

1 tetes q2jam saat terjaga (maks 9x/hari) hingga re-epitelisasi, lalu 1 tetes q4jam saat terjaga (min 5x/hari) selama 7 hari 

Potensi toksisitas jika >21 hari. Dapat menyebabkan iritasi.

Acyclovir Oral

Kasus HSV tertentu (rekuren, imunokompromais, HZO), profilaksis HEDS

Tablet (200mg, 400mg)

Dosis bervariasi tergantung indikasi, mis: 400mg 3-5x/hari atau 800mg 5x/hari untuk terapi; 400mg 2x/hari untuk profilaksis HEDS 

Pertimbangkan fungsi ginjal. Penggunaan untuk konjungtivitis HSV sederhana oleh GP perlu pertimbangan cermat, seringkali memerlukan rujukan.

Kapan Harus Merujuk ke Spesialis Mata? (Red Flags)

Meskipun banyak kasus konjungtivitis viral dapat ditangani di tingkat layanan primer, pengenalan tanda-tanda bahaya (red flags) sangat penting untuk mencegah komplikasi serius dan potensi kehilangan penglihatan permanen. Rujukan segera ke dokter spesialis mata diindikasikan jika ditemukan salah satu dari kondisi atau gejala berikut :

  • Penurunan atau Kehilangan Tajam Penglihatan (Visual Loss): Setiap keluhan penurunan visus, sekecil apapun, harus dianggap serius.

  • Nyeri Mata Sedang hingga Berat: Nyeri yang melebihi rasa tidak nyaman ringan, atau nyeri konstan yang menjalar ke pelipis dan alis (bisa menandakan glaukoma sudut tertutup akut).

  • Fotofobia Berat: Sensitivitas yang ekstrem terhadap cahaya sehingga pasien kesulitan membuka mata.

  • Keterlibatan Kornea: Adanya tanda-tanda keterlibatan kornea seperti kekeruhan (kornea tampak berkabut atau hazy/steamy) , adanya infiltrat (bercak putih pada kornea), atau ulkus kornea (termasuk lesi dendritik yang khas untuk HSV, yang dapat divisualisasikan dengan pewarnaan fluorescein).

  • Sekret Purulen yang Berat: Adanya sekret yang sangat kental, banyak, dan berwarna kuning kehijauan, yang lebih mengarah pada infeksi bakteri berat seperti gonore, memerlukan penanganan spesifik.

  • Tidak Ada Perbaikan Gejala: Jika gejala tidak menunjukkan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 5-7 hari atau 1 minggu pengobatan suportif yang adekuat.

  • Riwayat Penyakit Mata Herpes Simplex Virus (HSV) Sebelumnya: Pasien dengan riwayat infeksi HSV pada mata memiliki risiko rekurensi dan komplikasi yang lebih tinggi.

  • Pasien Pengguna Lensa Kontak: Pengguna lensa kontak memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami keratitis mikrobial (infeksi kornea oleh bakteri atau jamur), yang merupakan kondisi serius. Konjungtivitis pada pengguna lensa kontak secara otomatis dianggap berisiko lebih tinggi.

  • Konjungtivitis pada Neonatus (Bayi Baru Lahir): Konjungtivitis pada neonatus (usia <28 hari) berisiko tinggi disebabkan oleh patogen serius seperti Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis (oftalmia neonatorum) dan memerlukan evaluasi serta tatalaksana segera oleh spesialis.

  • Pasien dengan Kondisi Imunosupresi: Pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah (misalnya, akibat HIV/AIDS, kemoterapi, atau penggunaan obat imunosupresan jangka panjang) lebih rentan terhadap infeksi yang berat atau atipikal.

  • Adanya Ruam Vesikular pada Kelopak Mata atau Ujung Hidung: Munculnya lesi vesikular (lepuhan) pada kelopak mata atau, yang lebih signifikan, pada ujung hidung (dikenal sebagai tanda Hutchinson) sangat sugestif untuk Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) dan memerlukan penanganan antivirus sistemik segera.

  • Riwayat Penyakit Reumatologi Sistemik: Beberapa penyakit reumatologi dapat memiliki manifestasi okular, seperti mata kering berat, skleritis, atau uveitis, yang mungkin keliru dianggap sebagai konjungtivitis sederhana.

  • Riwayat Trauma Mata atau Operasi Mata Terkini: Kondisi ini meningkatkan risiko infeksi intraokular (endoftalmitis) atau komplikasi lain yang memerlukan evaluasi spesialis.

  • Kecurigaan Kondisi Mata Serius Lainnya: Jika gambaran klinis mengarah pada diagnosis banding yang lebih serius seperti uveitis anterior (ditandai dengan sel inflamasi di bilik mata depan, fotofobia berat, nyeri, dan seringkali miosis), glaukoma sudut tertutup akut (nyeri mata hebat, mual/muntah, melihat halo di sekitar cahaya, kornea keruh, pupil mid-dilatasi dan tidak reaktif), atau endoftalmitis (riwayat operasi/trauma mata, nyeri hebat, penurunan visus berat, hipopion atau pus di bilik mata depan).

Daftar red flags ini berfungsi sebagai jaring pengaman kritis. Kemampuan dokter umum untuk mengenali tanda-tanda ini secara cepat dan melakukan rujukan yang tepat waktu dan tepat sasaran adalah kunci untuk mencegah terjadinya komplikasi serius yang dapat berujung pada kehilangan penglihatan permanen. Ini merupakan salah satu aspek tanggung jawab terpenting dokter umum dalam manajemen pasien dengan keluhan "mata merah". Beberapa red flags seperti nyeri hebat, penurunan visus, dan fotofobia bersifat tidak spesifik untuk satu kondisi saja, namun secara umum menandakan adanya proses patologis okular yang lebih serius daripada konjungtivitis viral sederhana. Hal ini menggarisbawahi pentingnya bagi dokter umum untuk tidak terpaku pada diagnosis awal jika terdapat gejala yang tidak sesuai dengan gambaran klinis yang diharapkan.

Optimalisasi SEO dan Kesimpulan Praktis untuk Dokter Umum

Konjungtivitis viral merupakan salah satu penyebab utama keluhan mata merah yang sering dihadapi oleh dokter umum. Sebagian besar kasus disebabkan oleh adenovirus dan cenderung bersifat self-limiting, membaik dengan sendirinya dalam beberapa minggu. 

Penegakan Diagnosis Konjungtivitis Viral yang akurat didasarkan pada kombinasi anamnesis yang cermat (meliputi onset gejala, karakteristik sekret yang berair, ada tidaknya gejala prodromal sistemik, dan riwayat kontak) serta temuan pemeriksaan fisik yang khas (seperti adanya folikel pada konjungtiva tarsal dan limfadenopati preaurikular).

Terapi Konjungtivitis Viral untuk kasus adenoviral umumnya bersifat suportif, bertujuan untuk meredakan gejala dengan kompres dingin dan penggunaan air mata buatan. Penting untuk diingat bahwa antibiotik tidak diindikasikan dan tidak efektif untuk konjungtivitis viral murni. 

Sebaliknya, jika terdapat kecurigaan infeksi Herpes Simplex Virus (HSV), diperlukan perhatian khusus dan tatalaksana dengan antivirus topikal spesifik, seperti Ganciclovir gel atau Trifluridine tetes mata. Pemahaman mengenai Dosis Obat Konjungtivitis Viral yang tepat, baik untuk terapi suportif maupun antivirus spesifik, menjadi krusial untuk praktik klinis sehari-hari.

Dokter umum juga harus selalu waspada terhadap tanda-tanda bahaya (red flags) yang mengindikasikan kondisi mata yang lebih serius dan memerlukan rujukan segera ke dokter spesialis mata. Edukasi kepada pasien mengenai sifat penyakit, pentingnya menjaga higiene personal, dan langkah-langkah pencegahan penularan merupakan komponen integral dari tatalaksana yang komprehensif.

Dengan menguasai aspek diagnosis dan prinsip-prinsip terapi konjungtivitis viral, termasuk pemahaman kapan harus menggunakan dosis obat spesifik dan kapan saatnya merujuk pasien, dokter umum dapat secara signifikan meningkatkan kualitas perawatan pasien. 

Lebih lanjut, praktik ini akan berkontribusi pada pengurangan penggunaan antibiotik yang tidak perlu, yang sejalan dengan upaya pengendalian resistensi antimikroba, serta meningkatkan efisiensi dalam sistem layanan kesehatan secara keseluruhan. Artikel ini diharapkan dapat menjadi sumber daya praktis yang tidak hanya menyajikan informasi berbasis bukti, tetapi juga membangun kepercayaan diri dokter umum dalam menangani salah satu keluhan mata yang paling sering ditemui dalam praktik sehari-hari.

Referensi

  1. Conjunctivitis: A Systematic Review - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7431717/

  2. Conjunctivitis (Nursing) - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juni 7, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK568813/

  3. Viral Conjunctivitis - PubMed, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29262100/

  4. Viral Conjunctivitis - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10057170/

  5. Conjunctivitis: A Systematic Review of Diagnosis and Treatment - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4049531/

  6. Oral antivirals for preventing recurrence of herpes simplex virus keratitis - PubMed Central, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6478254/

  7. Conjunctivitis: Diagnosis and Management - PubMed, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39172671/

  8. Pediatric Conjunctivitis: A Review of Clinical Manifestations, Diagnosis, and Management, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10217501/

  9. Ganciclovir ophthalmic gel, 0.15%: a valuable tool for treating ocular herpes - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2704535/

  10. Ganciclovir ophthalmic gel 0.15%: in acute herpetic keratitis (dendritic ulcers) - PubMed, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21443283/

  11. Topical antihistamines and mast cell stabilisers for treating seasonal and perennial allergic conjunctivitis - PubMed, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26028608/

  12. Transmission and Control of Infection in Ophthalmic Practice - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1705999/

  13. A randomized, double-masked trial of topical ketorolac versus artificial tears for treatment of viral conjunctivitis - PubMed, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10919900/

  14. TRIFLURIDINE OPHTHALMIC SOLUTION, 1% - DailyMed, diakses Juni 7, 2025, https://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/fda/fdaDrugXsl.cfm?setid=abc1d07f-91ee-4421-bc9b-457d0ed41f4c

  15. Commentary: Herpes simplex virus stromal keratitis preferred practice patterns among ophthalmologists vis-à-vis the Herpetic Eye Diseases Study, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8186607/

  16. Acyclovir - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juni 7, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542180/

  17. Antihistamines: topical vs oral administration - PubMed, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8735853/

  18. Artificial Tears: A Systematic Review - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9840372/