Panduan Klinis Komprehensif: Strategi Pemilihan Antibiotik pada Infeksi Saluran Kemih Komplikata (ISK Komplikata) untuk Dokter Lini Depan

22 Nov 2025 • Interna , urologi

Deskripsi

Panduan Klinis Komprehensif: Strategi Pemilihan Antibiotik pada Infeksi Saluran Kemih Komplikata (ISK Komplikata) untuk Dokter Lini Depan

Bagian 1: Mendefinisikan Ulang dan Mendiagnosis ISK Komplikata secara Akurat

Manajemen Infeksi Saluran Kemih Komplikata (ISK Komplikata) merupakan salah satu tantangan klinis yang paling sering dihadapi oleh dokter di layanan primer. Diagnosis yang tepat dan pemilihan terapi antibiotik yang rasional menjadi kunci untuk mencegah kegagalan pengobatan, progresi menjadi urosepsis, dan munculnya resistensi antimikroba. Laporan ini menyajikan panduan komprehensif yang mensintesis pedoman internasional terkini dengan konteks lokal Indonesia, bertujuan untuk membekali dokter umum dengan kerangka kerja konseptual dan diagnostik yang modern dan berbasis bukti.

1.1 Evolusi Definisi: Dari Klasifikasi Tradisional ke Kerangka Kerja EAU Terbaru

Secara tradisional, definisi ISK komplikata bersifat luas dan mencakup semua kondisi ISK yang tidak memenuhi kriteria ISK simpel atau sistitis akut non-komplikata. ISK simpel didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi pada wanita sehat, tidak hamil, dan premenopause tanpa adanya kelainan urologis yang diketahui. Akibatnya, hampir semua ISK lainnya secara otomatis diklasifikasikan sebagai komplikata. Ini termasuk seluruh kasus ISK pada pria, wanita hamil, pasien dengan komorbiditas seperti diabetes, pasien dengan kelainan anatomi atau fungsional saluran kemih (misalnya batu, obstruksi), serta pasien dengan kateter urine atau riwayat instrumentasi urologi.

Meskipun definisi ini mudah diingat, sifatnya yang statis dan terlalu inklusif seringkali kurang memberikan panduan yang jelas mengenai tingkat keparahan aktual atau urgensi penanganan seorang pasien. Sebagai contoh, seorang pria muda yang sehat dengan gejala sistitis dan seorang pasien lansia dengan kateter yang mengalami demam dan delirium, keduanya akan jatuh ke dalam kategori "komplikata" yang sama, padahal presentasi klinis dan kebutuhan tatalaksananya sangat berbeda.

Menyadari keterbatasan ini, European Association of Urology (EAU) dalam pedoman terbarunya (2024/2025) mengusulkan sebuah sistem klasifikasi baru yang lebih fungsional dan dinamis. Sistem baru ini secara bertahap meninggalkan terminologi 'uncomplicated' dan 'complicated', dan sebagai gantinya lebih menekankan pada presentasi klinis untuk membedakan antara :

  1. ISK Terlokalisasi (Localized UTI): Didefinisikan sebagai infeksi yang gejalanya terbatas pada saluran kemih bawah (misalnya, disuria, frekuensi, urgensi) tanpa adanya tanda atau gejala infeksi sistemik. Contoh klasiknya adalah sistitis.

  2. ISK Sistemik (Systemic UTI): Didefinisikan sebagai infeksi saluran kemih yang disertai dengan tanda dan gejala respons inflamasi sistemik. Tanda-tanda ini mencakup demam (>38oC) atau hipotermia, menggigil, takikardia, hipotensi, delirium, atau nyeri panggul/sudut kostovertebra. Contoh utamanya adalah pielonefritis atau urosepsis.

Gambar 1. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih

Pergeseran paradigma ini memiliki implikasi klinis yang mendalam. Pendekatan baru ini mendorong klinisi untuk beralih dari klasifikasi berbasis status (misalnya, "semua pria adalah komplikata") menjadi manajemen berbasis kondisi ("apakah pasien ini menunjukkan tanda-tanda keterlibatan sistemik?"). Jawaban atas pertanyaan ini secara langsung memandu keputusan triase (rawat jalan vs. rawat inap), kebutuhan akan pemeriksaan penunjang lebih lanjut (pencitraan), dan pilihan terapi empiris awal (oral vs. intravena).

Tabel 1. Perbandingan Klasifikasi ISK: Tradisional vs. Kerangka Kerja EAU Baru

Skenario Klinis

Klasifikasi Tradisional

Klasifikasi EAU Baru (2024/2025)

Implikasi Klinis Baru

Pria muda, 25 tahun, dengan disuria dan frekuensi, tanpa demam.

ISK Komplikata

ISK Terlokalisasi (dengan faktor risiko: jenis kelamin pria)

Dapat dipertimbangkan untuk tatalaksana rawat jalan dengan antibiotik oral yang sesuai, dengan pemantauan ketat.

Wanita, 65 tahun, dengan kateter, mengalami demam 39°C, menggigil, dan takikardia.

ISK Komplikata

ISK Sistemik (dengan faktor risiko: kateter, usia lanjut)

Memerlukan rawat inap, kultur darah dan urin, serta terapi antibiotik intravena spektrum luas segera.

Wanita, 45 tahun, dengan diabetes terkontrol, mengalami gejala sistitis, afebris.

ISK Komplikata

ISK Terlokalisasi (dengan faktor risiko: diabetes)

Dapat dikelola sebagai rawat jalan, namun memerlukan pilihan antibiotik yang cermat dan durasi yang mungkin lebih lama daripada sistitis simpel.

Pasien dengan pielonefritis akut (nyeri panggul, demam).

ISK Kompilkata

ISK Sistemik

Selalu dianggap sebagai kondisi serius yang memerlukan evaluasi cermat untuk rawat inap dan seringkali terapi parenteral awal.

1.2 Identifikasi Faktor Risiko Kunci

Inti dari konsep ISK komplikata, baik dalam definisi lama maupun kerangka baru, adalah adanya faktor-faktor yang meningkatkan risiko kegagalan terapi atau perjalanan klinis yang lebih berat. Identifikasi faktor-faktor ini saat anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan langkah krusial. Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi :

  • Faktor Terkait Saluran Kemih:

  • Obstruksi: Batu ginjal atau ureter, striktur uretra, benign prostatic hyperplasia (BPH).

  • Fungsional: Refluks vesikoureter, kandung kemih neurogenik, volume residu urin pasca-berkemih yang tinggi.

  • Benda Asing: Kateter urine (indwelling atau intermiten), stent ureter, atau tabung nefrostomi.

  • Faktor Terkait Pejamu (Host):

  • Jenis Kelamin: Pria (karena panjang uretra dan kemungkinan keterlibatan prostat).

  • Kehamilan: Perubahan fisiologis selama kehamilan meningkatkan risiko pielonefritis.

  • Status Imunokompromais: Diabetes melitus, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, kemoterapi, HIV.

  • Usia: Pasien geriatri atau bayi.

  • Riwayat: ISK berulang, riwayat penggunaan antibiotik dalam 3-6 bulan terakhir, riwayat rawat inap.

Kehadiran satu atau lebih faktor risiko ini harus meningkatkan kewaspadaan klinisi dan memicu pendekatan diagnostik yang lebih menyeluruh serta pemilihan terapi yang lebih hati-hati.

1.3 Protokol Diagnostik: Menuju Terapi Berbasis Bukti

Tatalaksana yang efektif dimulai dengan diagnosis yang akurat. Protokol diagnostik untuk dugaan ISK komplikata harus sistematis dan bertujuan untuk mengidentifikasi patogen penyebab serta pola kepekaannya terhadap antibiotik.

Pengambilan Sampel Urin: Kualitas sampel urin sangat menentukan keakuratan hasil kultur. Urin porsi tengah (mid-stream urine) adalah metode pilihan. Pasien harus diinstruksikan dengan benar untuk membersihkan area periuretra dan menampung aliran urin tengah dalam wadah steril untuk meminimalkan kontaminasi dari flora normal kulit atau vagina. Pada pasien yang tidak dapat berkemih secara spontan, mengalami retensi urin, atau pada wanita di mana kontaminasi sulit dihindari, pengambilan sampel melalui kateterisasi intermiten mungkin diperlukan.

Urinalisis: Pemeriksaan urinalisis menggunakan tes dipstik dan mikroskopi sedimen urin adalah alat skrining yang cepat dan bermanfaat.

  • Tes Dipstik: Kehadiran leukosit esterase (menandakan piuria) dan nitrit (produk reduksi nitrat oleh bakteri Gram-negatif) sangat sugestif ISK. Namun, tes ini memiliki keterbatasan. Nitrit bisa negatif palsu pada infeksi oleh bakteri non-reduktor nitrat seperti Enterococcus spp. atau Pseudomonas aeruginosa, atau pada pasien yang sering berkemih sehingga waktu inkubasi bakteri di kandung kemih tidak cukup.

  • Mikroskopi: Piuria, yang didefinisikan sebagai ≥5 leukosit per lapang pandang besar (LPB) atau ≥10 leukosit/ml, merupakan indikator inflamasi yang penting. Bakteriuria yang terlihat pada mikroskop juga mendukung diagnosis.

Kultur Urin: Kultur urin adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis definitif ISK. Kultur memungkinkan identifikasi spesies bakteri penyebab dan, yang terpenting, menyediakan profil kepekaan antibiotik (antibiogram) untuk memandu terapi. Pada semua kasus yang dicurigai ISK komplikata, pielonefritis, atau pada pasien dengan gejala yang tidak membaik, kultur urin harus dilakukan idealnya

sebelum dosis pertama antibiotik diberikan. Diagnosis ISK ditegakkan jika ditemukan pertumbuhan bakteri tunggal dengan jumlah koloni signifikan, umumnya

>105 colony-forming units (cfu)/mL pada sampel urin porsi tengah, atau ambang batas yang lebih rendah pada sampel dari kateterisasi (>103 cfu/mL).

Kesenjangan antara kondisi ideal dan praktik klinis di layanan primer seringkali menjadi tantangan. Pedoman internasional dan nasional serempak menekankan pentingnya kultur urin sebelum terapi. Namun, di fasilitas kesehatan tingkat pertama, terutama di daerah dengan sumber daya terbatas, akses ke laboratorium mikrobiologi mungkin tidak langsung tersedia, dan hasil kultur bisa memakan waktu 2-3 hari. 

Dilema ini menempatkan dokter pada pilihan sulit: memulai terapi empiris secara buta, yang berisiko tidak efektif karena tingginya angka resistensi, atau menunda pengobatan, yang berisiko menyebabkan progresi penyakit menjadi urosepsis. Oleh karena itu, strategi yang paling bijaksana adalah memulai terapi empiris yang paling mungkin efektif berdasarkan data epidemiologi lokal, sambil tetap memastikan sampel urin telah diambil dan dikirim untuk kultur. Hasil kultur tersebut nantinya akan digunakan untuk melakukan penyesuaian atau de-eskalasi terapi.

Bagian 2: Lanskap Mikrobiologis dan Tantangan Resistensi di Indonesia

Pemilihan antibiotik yang efektif untuk ISK komplikata tidak dapat dilepaskan dari pemahaman mendalam tentang lanskap mikrobiologis lokal dan pola resistensi yang terus berkembang. Meresepkan antibiotik berdasarkan kebiasaan lama tanpa mempertimbangkan data resistensi terkini adalah praktik yang berbahaya dan tidak dapat dibenarkan.

2.1 Patogen Utama: Mengenal Musuh

Secara konsisten, baik di tingkat global maupun di Indonesia, bakteri Gram-negatif dari famili Enterobacterales merupakan penyebab dominan ISK. Escherichia coli adalah uropatogen yang paling sering diisolasi, bertanggung jawab atas mayoritas kasus, terutama pada infeksi pertama kali.

Namun, pada ISK komplikata, spektrum patogennya bisa lebih luas. Kondisi ini seringkali melibatkan bakteri yang lebih virulen atau lebih resisten. Patogen lain yang sering ditemukan pada kultur urin pasien ISK komplikata meliputi :

  • Klebsiella spp. (terutama Klebsiella pneumoniae)

  • Proteus mirabilis

  • Pseudomonas aeruginosa

  • Enterococcus spp. (bakteri Gram-positif)

  • Serratia spp. dan Enterobacter spp.

Kehadiran patogen selain E. coli menjadi lebih umum pada pasien dengan riwayat infeksi berulang, penggunaan kateter jangka panjang, atau kelainan struktural saluran kemih.

2.2 Ancaman Lokal: Peta Resistensi Antibiotik di Indonesia

Tantangan terbesar dalam manajemen ISK komplikata saat ini adalah meningkatnya prevalensi resistensi antibiotik. Data dari Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) yang dikumpulkan dari berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia melukiskan gambaran yang mengkhawatirkan. Tingkat resistensi yang sangat tinggi dilaporkan untuk antibiotik yang secara historis menjadi andalan terapi ISK.

Studi sistematis dan data dari pedoman IAUI 2020 menunjukkan bahwa resistensi E. coli terhadap antibiotik berikut sudah sangat tinggi di Indonesia :

  • Ampisilin dan Amoksisilin: Tingkat resistensi seringkali melebihi 70-80%, membuatnya sama sekali tidak berguna untuk terapi empiris.

  • Trimethoprim-Sulfamethoxazole (TMP-SMX/Cotrimoxazole): Tingkat resistensi juga sangat tinggi, seringkali di atas 60%.

  • Fluoroquinolones (Ciprofloxacin, Levofloxacin): Resistensi terhadap golongan ini telah meningkat secara dramatis. Di banyak pusat, tingkat resistensi E. coli terhadap ciprofloxacin telah melampaui 30-40%, jauh di atas ambang batas 10% yang direkomendasikan untuk penggunaan empiris.

Implikasi dari data ini sangat jelas dan harus mengubah praktik klinis sehari-hari. Selama bertahun-tahun, fluoroquinolones dan cotrimoxazole menjadi pilihan utama bagi banyak dokter untuk mengobati ISK. Namun, berdasarkan bukti ilmiah dan data resistensi lokal saat ini, kebiasaan ini sudah tidak dapat dipertahankan. Pedoman IAUI 2020 secara eksplisit menyatakan bahwa golongan obat ini tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi empiris untuk pielonefritis atau ISK komplikata lainnya.

Melanjutkan peresepan obat-obatan ini secara empiris menempatkan pasien pada risiko tinggi kegagalan terapi, perpanjangan masa sakit, dan progresi ke komplikasi yang lebih serius. Praktik meresepkan Ciprofloxacin atau Cotrimoxazole secara empiris untuk pasien yang dicurigai ISK komplikata atau pielonefritis harus segera ditinggalkan dan digantikan dengan strategi yang didasarkan pada data resistensi saat ini.

2.3 Musuh Super: Extended-Spectrum β-Lactamase (ESBL)-producing Enterobacterales

Tantangan resistensi menjadi semakin kompleks dengan munculnya bakteri penghasil Extended-Spectrum β-Lactamase (ESBL). ESBL adalah enzim yang diproduksi oleh bakteri seperti E. coli dan Klebsiella pneumoniae yang mampu menghidrolisis dan menonaktifkan sebagian besar antibiotik golongan beta-laktam, termasuk penisilin dan sefalosporin dari generasi pertama hingga keempat (misalnya, ceftriaxone, cefepime).

Infeksi yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL (ESBL-E) secara inheren dianggap sebagai infeksi yang sulit diobati dan memerlukan pilihan antibiotik yang sangat berbeda. Terapi empiris dengan sefalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone, yang merupakan andalan untuk pielonefritis, dipastikan akan gagal jika infeksinya disebabkan oleh strain ESBL-E.

Dokter di layanan primer harus memiliki indeks kecurigaan yang tinggi terhadap infeksi ESBL-E pada pasien dengan faktor risiko berikut:

  • Riwayat penggunaan antibiotik (terutama sefalosporin atau fluoroquinolone) dalam 90 hari terakhir.

  • Riwayat rawat inap atau prosedur medis baru-baru ini.

  • Tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang (panti jompo).

  • Riwayat kolonisasi atau infeksi ESBL-E sebelumnya.

Jika dicurigai adanya infeksi ESBL-E, pasien idealnya harus dirawat di rumah sakit dan terapi empiris harus menggunakan antibiotik yang tetap aktif melawan organisme ini, yaitu golongan karbapenem.

Bagian 3: Prinsip Terapi Antibiotik: Sintesis Pedoman Global dan Nasional

Manajemen antibiotik yang sukses pada ISK komplikata bergantung pada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip fundamental yang bertujuan untuk memaksimalkan efikasi klinis sambil meminimalkan dampak ekologis, yaitu munculnya resistensi.

3.1 Fondasi Pengobatan: Antimicrobial Stewardship

Antimicrobial Stewardship (Penatagunaan Antimikroba) adalah pendekatan sistematis untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik. Semua pedoman utama, termasuk EAU, IDSA, dan IAUI, menempatkan stewardship sebagai pilar utama dalam penanganan penyakit infeksi. Bagi dokter di layanan primer, konsep ini dapat diterjemahkan menjadi beberapa tindakan praktis dan konkret:

  1. Meresepkan Antibiotik Hanya Jika Diperlukan: Hindari pengobatan bakteriuria asimtomatik (adanya bakteri di urin tanpa gejala), kecuali pada populasi spesifik seperti wanita hamil.

  2. Mengambil Kultur Sebelum Terapi: Selalu upayakan untuk mendapatkan sampel urin untuk kultur sebelum memulai antibiotik pada kasus ISK komplikata.

  3. Memilih Terapi Empiris yang Tepat: Pilihlah antibiotik berdasarkan pedoman lokal dan data resistensi setempat, bukan berdasarkan kebiasaan. Pedoman IAUI memberikan panduan praktis yang sangat baik: antibiotik dapat dipertimbangkan untuk terapi empiris jika data sensitivitas lokal menunjukkan tingkat kepekaan ≥80%.

  4. De-eskalasi Terapi: Tinjau kembali pilihan antibiotik dalam 48-72 jam setelah hasil kultur tersedia. Jika memungkinkan, ganti antibiotik spektrum luas dengan antibiotik spektrum lebih sempit yang efektif.

  5. Dosis dan Durasi yang Tepat: Gunakan dosis yang benar untuk mencapai konsentrasi obat yang adekuat di lokasi infeksi dan berikan untuk durasi yang direkomendasikan—tidak terlalu singkat (risiko relaps) dan tidak terlalu lama (risiko resistensi dan efek samping).

Mengadopsi prinsip-prinsip ini bukan hanya tentang mematuhi aturan, tetapi merupakan strategi penting untuk meningkatkan hasil akhir pasien dan menjaga efektivitas antibiotik untuk generasi mendatang.

3.2 Memilih Senjata Awal: Rekomendasi Terapi Empiris

Pilihan terapi antibiotik empiris untuk ISK komplikata sangat bergantung pada tingkat keparahan penyakit (yang menentukan setting perawatan: rawat jalan atau rawat inap) dan data resistensi lokal.

Pasien Rawat Inap (ISK Sistemik/Pielonefritis): Pasien yang menunjukkan tanda-tanda sistemik atau tidak dapat mentoleransi obat oral memerlukan terapi parenteral (intravena) awal. Berdasarkan sintesis dari pedoman EAU, IDSA, dan IAUI, pilihan lini pertama meliputi :

  • Sefalosporin Generasi Ketiga: Ceftriaxone adalah pilihan yang sangat baik karena memiliki spektrum yang mencakup patogen umum dan dapat diberikan sekali sehari.

  • Piperacillin-Tazobactam: Agen ini memiliki spektrum yang lebih luas, mencakup Pseudomonas aeruginosa dan Enterococcus spp., sehingga menjadi pilihan yang lebih disukai jika patogen-patogen ini dicurigai.

  • Aminoglikosida (Gentamisin atau Amikasin): Dapat digunakan sebagai monoterapi atau dalam kombinasi. Amikasin seringkali memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi daripada Gentamisin di Indonesia. Penggunaannya memerlukan pemantauan fungsi ginjal.

  • Karbapenem (Meropenem atau Imipenem): Antibiotik ini harus dicadangkan untuk pasien yang sakit kritis, tidak stabil secara hemodinamik, atau memiliki risiko tinggi infeksi ESBL-E. Penggunaan yang tidak bijaksana akan mempercepat resistensi terhadap golongan obat terakhir ini.

Pasien Rawat Jalan (ISK Terlokalisasi dengan Faktor Risiko atau Pielonefritis Ringan): Pilihan terapi oral untuk ISK komplikata sangat terbatas karena tingginya tingkat resistensi.

  • Fluoroquinolones: Hanya boleh digunakan jika data resistensi lokal yang valid menunjukkan tingkat resistensi E. coli <10%. Kondisi ini sangat jarang terpenuhi di sebagian besar wilayah Indonesia, sehingga penggunaannya secara empiris sangat tidak dianjurkan.

  • Strategi Alternatif: Pendekatan yang lebih aman untuk pasien rawat jalan yang stabil adalah memberikan dosis awal antibiotik parenteral kerja panjang di fasilitas kesehatan (misalnya, Ceftriaxone 1 gram IV atau IM), diikuti oleh rejimen antibiotik oral seperti sefalosporin oral (misalnya, cefpodoxime, ceftibuten) selama 10-14 hari sambil menunggu hasil kultur.

3.3 Menyesuaikan Serangan: Prinsip De-eskalasi

De-eskalasi adalah komponen inti dari antimicrobial stewardship. Ini adalah proses meninjau kembali terapi antibiotik empiris spektrum luas setelah hasil kultur dan uji kepekaan tersedia, dan menggantinya dengan antibiotik spektrum lebih sempit yang paling efektif, paling aman, dan paling hemat biaya. Contohnya, jika seorang pasien dimulai dengan meropenem karena sakit kritis dan hasil kultur menunjukkan

E. coli yang sensitif terhadap ceftriaxone, maka terapi harus diganti menjadi ceftriaxone. Praktik ini mengurangi tekanan selektif yang mendorong resistensi, meminimalkan risiko efek samping, dan menurunkan biaya perawatan.

3.4 Durasi Terapi yang Optimal

Durasi pengobatan untuk ISK komplikata tidak memiliki satu standar tunggal dan harus disesuaikan dengan agen yang digunakan, lokasi infeksi, dan respons klinis pasien.

  • Untuk pielonefritis non-komplikata yang diobati dengan fluoroquinolone (jika sensitif), durasi 5-7 hari mungkin cukup.

  • Jika diobati dengan antibiotik beta-laktam (seperti sefalosporin atau piperacillin-tazobactam), durasi yang direkomendasikan adalah 7-14 hari.

  • Pada pria dengan ISK febril, durasi pengobatan yang lebih lama, minimal 14 hari, seringkali diperlukan karena tingginya kemungkinan keterlibatan prostat (prostatitis), di mana penetrasi antibiotik lebih sulit.

  • Pada pasien dengan sumber infeksi yang tidak dapat dihilangkan (misalnya, batu ginjal yang belum ditangani), terapi yang lebih panjang mungkin diperlukan.

Bagian 4: Rekomendasi Antibiotik Spesifik untuk Skenario Klinis Utama

Bagian ini menyajikan panduan praktis dalam bentuk algoritma dan rekomendasi spesifik untuk skenario klinis yang paling sering dihadapi oleh dokter di layanan primer dan unit gawat darurat.

4.1 Algoritma Manajemen Pielonefritis Akut

Pielonefritis, sebagai bentuk ISK sistemik, memerlukan pendekatan yang cepat dan terstruktur.

  • Langkah 1: Penilaian Keparahan dan Keputusan Rawat Inap. Gunakan kriteria ISK Sistemik dari EAU (demam >38oC, menggigil, mual/muntah hebat, tanda-tanda sepsis seperti hipotensi atau takikardia) untuk menentukan kebutuhan rawat inap. Pasien yang tampak sakit, dehidrasi, atau memiliki komorbiditas yang signifikan harus dirawat. Pasien yang stabil, dapat minum obat, dan memiliki dukungan sosial yang baik dapat dipertimbangkan untuk tatalaksana rawat jalan dengan pemantauan ketat.

  • Langkah 2: Terapi Empiris Inisial (Pasien Rawat Inap). Ambil sampel urin dan darah untuk kultur sebelum memberikan antibiotik.

  • Pilihan Lini Pertama (Non-Kritis): Ceftriaxone 1-2 g IV setiap 24 jam. Ini adalah pilihan yang paling umum dan rasional untuk sebagian besar kasus.

  • Pilihan Alternatif (jika Pseudomonas dicurigai): Piperacillin-tazobactam 4.5 g IV setiap 8 jam.

  • Pilihan untuk Pasien Sakit Kritis/Risiko Tinggi ESBL-E: Meropenem 1 g IV setiap 8 jam. Konsultasi dengan spesialis penyakit dalam atau urologi sangat dianjurkan.

  • Langkah 3: Terapi Lanjutan dan De-eskalasi. Evaluasi respons klinis setelah 48-72 jam. Jika pasien menunjukkan perbaikan (afebris, gejala membaik) dan dapat mentoleransi asupan oral, pertimbangkan untuk beralih ke antibiotik oral (terapi step-down). Pilihan antibiotik oral harus didasarkan pada hasil kultur dan uji kepekaan.

  • Langkah 4: Terapi Pasien Rawat Jalan (Kasus Ringan dan Terseleksi).

  • Berikan dosis tunggal Ceftriaxone 1 g IV atau IM di fasilitas kesehatan.

  • Jadwalkan tindak lanjut dalam 48-72 jam untuk mengevaluasi respons.

4.2 Pendekatan pada ISK Terkait Kateter (Catheter-Associated UTI - CA-UTI)

Prinsip terpenting dalam manajemen CA-UTI adalah kontrol sumber infeksi (source control). Antibiotik saja seringkali tidak cukup jika biofilm pada kateter tidak diatasi.

  • Evaluasi Kebutuhan Kateter: Pertanyaan pertama adalah, "Apakah kateter ini masih diperlukan?" Jika tidak, segera lepaskan.

  • Ganti Kateter: Jika kateter masih diperlukan, ganti dengan kateter yang baru sebelum memulai terapi antibiotik. Tindakan sederhana ini dapat memecah biofilm dan secara signifikan meningkatkan kemungkinan keberhasilan pengobatan.

  • Pemilihan Antibiotik: Pilihan antibiotik untuk CA-UTI simtomatik mengikuti prinsip yang sama dengan pielonefritis, dipandu oleh tingkat keparahan klinis dan pola resistensi lokal. Karena risiko patogen yang lebih resisten (termasuk Pseudomonas) lebih tinggi, piperacillin-tazobactam atau bahkan karbapenem mungkin lebih sering dipertimbangkan sebagai terapi empiris pada pasien yang sakit.

4.3 Menaklukkan Infeksi ESBL-E: Panduan Berbasis IDSA 2024

Mengelola ISK komplikata yang disebabkan oleh ESBL-E adalah skenario yang menantang dan memerlukan pengetahuan spesifik. Pedoman terbaru dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) tahun 2024 memberikan rekomendasi yang jelas dan berbasis bukti. Peran utama dokter layanan primer adalah mencurigai adanya ESBL-E berdasarkan faktor risiko, merujuk pasien untuk perawatan yang tepat, dan memahami mengapa antibiotik standar tidak akan efektif.

Tabel 2. Pilihan Terapi untuk ISK Komplikata Akibat ESBL-E (Diadaptasi dari IDSA 2024)


Kategori

Antibiotik

Dosis Umum (Fungsi Ginjal Normal)

Rasional dan Catatan Penting

Pilihan Utama (Preferred)

Meropenem

1 g IV setiap 8 jam

Andalan utama. Spektrum luas, stabil terhadap hidrolisis oleh ESBL.

Imipenem-cilastatin

500 mg IV setiap 6 jam

Alternatif karbapenem yang efektif.

Ertapenem

1 g IV setiap 24 jam

Karbapenem dengan spektrum lebih sempit (tidak aktif terhadap Pseudomonas), pilihan baik untuk de-eskalasi atau kasus yang tidak kritis.


TMP-SMX atau Fluoroquinolone

Tergantung sediaan

HANYA JIKA hasil kultur secara eksplisit menunjukkan bakteri sensitif. Jangan pernah digunakan secara empiris untuk dugaan ESBL-E.

Pilihan Alternatif

Aminoglikosida (Amikasin, Plazomicin)

Berdasarkan berat badan

Efektif, namun dianggap alternatif karena risiko nefrotoksisitas. Pilihan baik untuk terapi jangka pendek atau kombinasi.

Tidak Disarankan

Piperacillin-tazobactam

-

Meskipun beberapa data menunjukkan kemungkinan keberhasilan, risiko kegagalan mikrobiologis lebih tinggi dibandingkan karbapenem ("efek inokulum"). Sebaiknya dihindari.


Cefepime

-

Tidak dapat diandalkan untuk infeksi ESBL-E.


Nitrofurantoin / Fosfomycin (Oral)

-

Kontraindikasi absolut. Tidak mencapai konsentrasi terapeutik di ginjal atau jaringan sistemik.


4.4 Agen yang Harus Dihindari pada ISK Komplikata

Dua antibiotik, Nitrofurantoin dan Fosfomycin (dosis tunggal oral), seringkali disalahgunakan dalam praktik klinis. Kedua obat ini merupakan pilihan yang sangat baik untuk pengobatan sistitis simpel non-komplikata (infeksi kandung kemih bawah) karena mereka mencapai konsentrasi yang sangat tinggi di urin.

Namun, farmakokinetik mereka membuat mereka sama sekali tidak cocok untuk pengobatan ISK yang melibatkan jaringan parenkim ginjal (pielonefritis) atau prostat. Penetrasi kedua obat ini ke dalam jaringan ginjal dan prostat sangat buruk, sehingga tidak akan mencapai konsentrasi terapeutik untuk membasmi infeksi di lokasi tersebut. Menggunakan Nitrofurantoin atau Fosfomycin untuk mengobati pielonefritis atau ISK febril pada pria adalah kesalahan medis yang umum dan serius yang dapat menyebabkan kegagalan pengobatan dan komplikasi parah.

Bagian 5: Kesimpulan dan Poin Kunci untuk Praktik Klinis

Manajemen ISK komplikata telah berevolusi dari pendekatan yang kaku menjadi strategi yang lebih dinamis dan berbasis risiko. Bagi dokter di lini depan, penguasaan konsep-konsep baru, pemahaman terhadap data resistensi lokal, dan penerapan prinsip-prinsip antimicrobial stewardship adalah kunci untuk memberikan perawatan yang optimal dan aman bagi pasien.

5.1 Ringkasan Rekomendasi Inti

Berikut adalah poin-poin kunci yang dapat ditindaklanjuti untuk praktik klinis sehari-hari:

  1. Adopsi Kerangka Baru: Gunakan klasifikasi ISK Terlokalisasi vs. ISK Sistemik dari EAU untuk menilai tingkat keparahan pasien dan memandu keputusan triase.

  2. Kultur Adalah Kunci: Pada setiap kasus yang dicurigai ISK komplikata, selalu kirim sampel urin untuk kultur sebelum memulai terapi antibiotik.

  3. Tinggalkan Praktik Lama: Hentikan penggunaan empiris fluoroquinolones (misalnya, Ciprofloxacin) dan TMP-SMX untuk ISK komplikata atau pielonefritis karena tingkat resistensi yang sangat tinggi di Indonesia.

  4. Pilih Empiris dengan Bijak: Untuk pasien rawat inap dengan pielonefritis, Ceftriaxone adalah pilihan empiris lini pertama yang rasional. Cadangkan Karbapenem untuk kasus yang sakit kritis atau memiliki risiko tinggi ESBL-E.

  5. Praktikkan De-eskalasi: Selalu tinjau kembali terapi dalam 48-72 jam dan sesuaikan antibiotik berdasarkan hasil kultur untuk menggunakan agen spektrum tersempit yang efektif.

  6. Ketahui Kontraindikasi: Jangan pernah menggunakan Nitrofurantoin atau Fosfomycin oral untuk mengobati pielonefritis atau ISK komplikata lainnya yang melibatkan saluran kemih atas atau prostat.

  7. Kenali Kapan Harus Merujuk: Pahami tanda-tanda bahaya yang memerlukan konsultasi atau rujukan ke spesialis.

5.2 Peran Konsultasi Urologi: Mengenali "Red Flags"

Meskipun banyak kasus ISK komplikata dapat dikelola oleh dokter umum yang kompeten, kolaborasi interprofesional dengan spesialis Urologi atau Penyakit Dalam sangat penting dalam situasi tertentu. Mengenali "red flags" atau tanda bahaya adalah keterampilan krusial untuk memastikan keselamatan pasien. Pertimbangkan untuk segera merujuk atau mengkonsultasikan pasien dengan salah satu kondisi berikut:

  • Kegagalan Terapi: Tidak ada perbaikan klinis yang signifikan setelah 48-72 jam pemberian terapi antibiotik parenteral yang adekuat.

  • Kecurigaan Obstruksi: Adanya tanda atau gejala yang mengarah pada obstruksi saluran kemih, seperti nyeri kolik hebat, anuria, atau temuan hidronefrosis pada USG. Pasien ini mungkin memerlukan intervensi drainase (misalnya, pemasangan stent ureter atau nefrostomi).

  • ISK Berulang: Pasien dengan episode ISK komplikata yang berulang memerlukan evaluasi urologis lengkap untuk mencari kelainan anatomi atau fungsional yang mendasari.

  • Komplikasi Supuratif: Adanya bukti abses ginjal atau perinefrik pada pemeriksaan pencitraan (USG atau CT scan).

  • Hematuria Makroskopik Persisten: Perdarahan yang terus berlanjut meskipun infeksi telah teratasi memerlukan investigasi lebih lanjut untuk menyingkirkan keganasan atau patologi lainnya.

  • Populasi Khusus: Setiap ISK pada pasien dengan riwayat transplantasi ginjal atau kelainan urologis kompleks yang diketahui.

Dengan membekali diri dengan pengetahuan terkini dan membina kolaborasi yang kuat, dokter di lini depan dapat menavigasi kompleksitas ISK komplikata dengan percaya diri, memastikan hasil terbaik bagi pasien, dan berkontribusi dalam perjuangan global melawan resistensi antimikroba.

Referensi

  1. Complicated Urinary Tract Infections - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28613784/

  2. Guidelines for antimicrobial treatment of uncomplicated acute bacterial cystitis and acute pyelonephritis in women. Infectious Diseases Society of America (IDSA) - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10589881/

  3. Keep it Simple: A Proposal for a New Definition of Uncomplicated and Complicated Urinary Tract Infections from the EAU Urological Infections Guidelines Panel - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38744631

  4. Classification of Urinary Tract Infections in 2025: Moving Beyond Uncomplicated and Complicated - PMC, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12002745/

  5. EAU Guidelines on Urological Infections - Uroweb, diakses Juli 17, 2025, https://uroweb.org/guidelines/urological-infections/chapter/the-guideline

  6. EAU Guidelines on Urological Infections - Uroweb, diakses Juli 17, 2025, https://uroweb.org/guidelines/urological-infections

  7. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Saluran Kemih (ISK) 1. Definisi Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih (ISK) adalah peny - UMY Repository, diakses Juli 17, 2025, http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/27537/6.%20BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y

  8. Isk 2021 | PDF - Scribd, diakses Juli 17, 2025, https://id.scribd.com/document/529713514/ISK-2021

  9. TATALAKSANA INFEKSI SALURAN KEMIH DAN GENITALIA PRIA, diakses Juli 17, 2025, https://iaui.or.id/uploads/guidelines/2021_Panduan_Tatalaksana_Infeksi_Saluran_Kemih_dan_Genitalia_Pria.pdf

  10. Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2015 - Repository - UNAIR, diakses Juli 17, 2025, https://repository.unair.ac.id/95461/1/Buku%20gl-isk-2015.pdf

  11. Complicated Urinary Tract Infections - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juli 17, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK436013/

  12. infeksi saluran kemih - Repository UMJ, diakses Juli 17, 2025, https://repository.umj.ac.id/1900/1/Modul%20Infeksi%20Saluran%20Kemih.pdf

  13. Guidelines for Complicated Urinary Tract Infections in Children: A Review by the European Society for Pediatric Infectious Diseases - PMC - PubMed Central, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12058373/

  14. Infeksi pada Ginjal dan Saluran Kemih Anak: Manifestasi Klinis dan Tata Laksana Infection of Kidney and Child's Urinary Tract: - Sari Pediatri, diakses Juli 17, 2025, https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/1342/pdf

  15. Resistensi Antibiotik Terhadap Infeksi Saluran Kemih (ISK): Literature Review Antibiotic Resistance in Urinary Tract Infections - Universitas Muhammadiyah Palu, diakses Juli 17, 2025, https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/JKS/article/download/5347/3982/

  16. IDSA 2024 Guidance on the Treatment of Antimicrobial Resistant ..., diakses Juli 17, 2025, https://www.idsociety.org/practice-guideline/amr-guidance/

  17. European Association of Urology Guidelines on Urological Infections: Summary of the 2024 Guidelines - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38714379/