20 Nov 2025 • Obgyn
Sepsis maternal, yang didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat respons tubuh yang tidak teratur terhadap infeksi selama kehamilan, persalinan, atau masa nifas (hingga 42 hari postpartum), merupakan salah satu tantangan paling serius dalam kedokteran obstetri modern. Kondisi ini bukan sekadar komplikasi langka, melainkan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu di seluruh dunia.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan prevalensi global sepsis maternal mencapai 4.4% dari seluruh kelahiran hidup, menjadikannya salah satu dari lima penyebab utama kematian ibu secara global. Di negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Amerika Serikat, sepsis menyumbang 11-12.7% dari seluruh kematian terkait kehamilan, sebuah angka yang mengkhawatirkan dan menyoroti perlunya kewaspadaan tingkat tinggi.
Tingginya angka kesakitan dan kematian ini menggarisbawahi urgensi penanganan sepsis maternal. Ini adalah kondisi darurat medis yang progresivitasnya sangat cepat, di mana setiap jam penundaan diagnosis dan terapi dapat meningkatkan risiko kematian secara eksponensial.
Oleh karena itu, organisasi profesi terkemuka seperti Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM) secara tegas merekomendasikan agar sepsis dan syok sepsis dianggap sebagai keadaan darurat medis yang memerlukan resusitasi dan pengobatan segera tanpa penundaan.
Bagi dokter umum yang sering menjadi titik kontak pertama bagi pasien, kemampuan untuk mengenali dan memulai tatalaksana awal secara cepat dan tepat adalah faktor penentu utama antara kelangsungan hidup dan hasil yang fatal.
Tantangan utama dalam diagnosis sepsis maternal terletak pada fenomena yang dapat disebut sebagai "penyamaran hebat", di mana adaptasi fisiologis normal selama kehamilan secara luar biasa meniru tanda-tanda awal sepsis. Tumpang tindih ini menciptakan kebingungan diagnostik yang sering kali berujung pada keterlambatan intervensi yang kritis.
Perubahan Kardiovaskular: Kehamilan normal adalah keadaan hiperdinamik. Untuk memenuhi kebutuhan metabolisme ibu dan janin yang meningkat, tubuh ibu mengalami peningkatan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut jantung (takikardia fisiologis sekitar 5-15 denyut per menit), dan penurunan resistensi vaskular sistemik yang menyebabkan tekanan darah lebih rendah (penurunan 5-10 mmHg).
Ironisnya, takikardia dan hipotensi relatif ini juga merupakan tanda-tanda kardinal dari respons inflamasi sistemik pada sepsis. Seorang klinisi yang tidak terbiasa dengan parameter obstetri mungkin keliru menganggap denyut jantung 110 kali/menit sebagai hal yang "normal untuk kehamilan", padahal ini bisa menjadi tanda bahaya pertama dari sepsis yang sedang berkembang.
Perubahan Pernapasan dan Hematologi: Untuk mengkompensasi peningkatan kebutuhan oksigen dan memfasilitasi transfer karbon dioksida dari janin, laju pernapasan ibu meningkat secara fisiologis. Namun, takipnea (laju napas >20-22 kali/menit) adalah salah satu kriteria utama dalam skor skrining sepsis seperti SIRS dan qSOFA. Selain itu, volume darah bersirkulasi meningkat secara dramatis hingga 50%, mencapai puncaknya pada sekitar 32 minggu kehamilan.
Peningkatan volume ini menciptakan cadangan hemodinamik yang signifikan, yang berarti seorang wanita hamil dapat kehilangan sejumlah besar volume intravaskular akibat kebocoran kapiler pada sepsis sebelum menunjukkan tanda-tanda hipotensi yang jelas. Hal ini menutupi onset syok yang sebenarnya. Lebih lanjut, leukositosis fisiologis (peningkatan sel darah putih) adalah temuan umum dalam kehamilan, membuat parameter ini menjadi tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya indikator infeksi.
Perubahan Imunologis: Kehamilan melibatkan proses kompleks yang disebut "imunomodulasi", bukan sekadar imunosupresi. Sistem kekebalan ibu beradaptasi secara dinamis untuk menoleransi janin yang bersifat semi-alogenik (setengah asing) tanpa mengorbankan kemampuan untuk melawan patogen. Namun, modulasi ini dapat mengubah respons terhadap infeksi, membuat ibu hamil lebih rentan terhadap patogen tertentu (seperti
Streptococcus Grup A dan Escherichia coli) dan berpotensi memicu respons inflamasi yang lebih cepat dan hebat begitu infeksi terjadi, yang mengakselerasi progresi ke syok sepsis.
Efek penyamaran fisiologis ini bukan sekadar ketidaknyamanan diagnostik, melainkan faktor kausal langsung yang berkontribusi terhadap mortalitas. Rangkaian kejadiannya dapat dipahami sebagai berikut: tanda-tanda vital seperti takikardia dan takipnea yang muncul pada pasien hamil yang tidak sehat sering kali diatribusikan pada kehamilan itu sendiri. Atribusi yang keliru ini menyebabkan penundaan kritis dalam kecurigaan klinis terhadap sepsis.
Akibatnya, penerapan bundel tatalaksana yang sensitif terhadap waktu, seperti bundel "Surviving Sepsis Campaign" satu jam (pemberian cairan dan antibiotik), menjadi tertunda. Bukti ilmiah secara konsisten menunjukkan bahwa setiap jam penundaan dalam pemberian antibiotik yang sesuai secara signifikan meningkatkan risiko kematian.
Dengan demikian, angka kematian yang tinggi pada sepsis maternal tidak hanya disebabkan oleh keganasan penyakitnya, tetapi secara kausal terkait dengan penundaan sistemik dalam pengenalan yang berakar pada fisiologi unik kehamilan itu sendiri. Hal ini mengangkat peran alat skrining spesifik obstetri dari sekadar "alat bantu" menjadi "sistem keamanan yang krusial".

Mengingat tantangan diagnostik yang ditimbulkan oleh fisiologi kehamilan, pendekatan untuk pengenalan dan diagnosis sepsis maternal harus bergeser dari kriteria standar menuju kerangka kerja yang divalidasi dan disesuaikan secara khusus untuk populasi obstetri.
Penggunaan alat skrining sepsis tradisional pada pasien hamil sering kali tidak memadai dan menyesatkan. Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), yang mencakup parameter seperti suhu, denyut jantung (>90 kali/menit), laju napas (>20 kali/menit), dan jumlah sel darah putih (>12,000/mm3), terbukti terlalu sensitif dan tidak spesifik pada kehamilan. Banyak wanita hamil yang sehat memenuhi dua atau lebih kriteria SIRS hanya karena adaptasi fisiologis normal mereka, yang menyebabkan tingkat alarm palsu yang tinggi dan potensi intervensi yang tidak perlu.
Demikian pula, definisi Sepsis-3 yang lebih baru, yang mengusulkan penggunaan skor quick Sequential Organ Failure Assessment (qSOFA), juga memiliki keterbatasan signifikan pada populasi ini. Skor qSOFA berfokus pada tiga tanda disfungsi organ yang jelas: perubahan status mental, tekanan darah sistolik
<100 mmHg, dan laju napas >22 kali/menit. Masalahnya adalah bahwa pasien hamil, karena cadangan fisiologis mereka yang lebih besar, mungkin dapat mengkompensasi untuk waktu yang lebih lama sebelum menunjukkan tanda-tanda dekompensasi yang nyata ini. Menunggu munculnya kriteria qSOFA positif bisa berarti kehilangan jendela waktu kritis untuk intervensi dini, di mana penyakit mungkin sudah berkembang menjadi tahap yang lebih parah.
Menyadari keterbatasan ini, pedoman klinis modern menekankan perlunya penggunaan sistem peringatan dini yang dirancang dan divalidasi khusus untuk pasien obstetri. Salah satu alat yang sering direkomendasikan adalah Maternal Early Warning Trigger (MEWT), yang menyesuaikan ambang batas parameter fisiologis dengan norma-norma kehamilan. Alat-alat ini dirancang untuk mendeteksi penyimpangan dari kondisi normal kehamilan, bukan dari kondisi normal non-hamil, sehingga meningkatkan spesifisitas diagnostik.
SMFM melangkah lebih jauh dengan merekomendasikan agar rumah sakit dan sistem kesehatan tidak hanya mengadopsi satu alat, tetapi menerapkan program peningkatan kinerja komprehensif untuk sepsis. Program ini harus mencakup protokol skrining yang terstandardisasi dan metrik untuk memantau kepatuhan dan hasil. Pendekatan ini mengakui bahwa tidak ada satu alat pun yang sempurna dan bahwa kombinasi dari kewaspadaan klinis yang tinggi dan protokol institusional yang kuat adalah pertahanan terbaik. Selain itu, organisasi seperti
Society of Obstetric Medicine in Australia and New Zealand (SOMANZ) telah mengadaptasi skor SOFA untuk penggunaan obstetri. Adaptasi ini mencakup penyesuaian nilai ambang batas laboratorium, misalnya, menetapkan bahwa kadar kreatinin serum di atas 0.9 mg/dL dianggap abnormal pada kehamilan, mengingat adanya hiperfiltrasi glomerulus fisiologis.
Diagnosis sepsis maternal bergantung pada kombinasi kecurigaan klinis yang tinggi dan pemeriksaan penunjang yang ditargetkan.
Kecurigaan Klinis: Klinisi harus mencurigai diagnosis sepsis pada setiap pasien hamil atau postpartum yang datang dengan tanda-tanda disfungsi organ baru yang tidak dapat dijelaskan, terutama jika ada dugaan proses infeksi. Penting untuk diingat bahwa demam bukanlah prasyarat; sepsis dapat terjadi tanpa adanya demam, dan ketiadaannya tidak boleh menyingkirkan diagnosis.
Evaluasi Laboratorium: Pemeriksaan kadar laktat serum adalah komponen yang mutlak diperlukan dalam evaluasi sepsis. Laktat adalah penanda hipoperfusi jaringan dan metabolisme anaerobik. Peningkatan kadar laktat (sering kali di atas 2 mmol/L) merupakan indikator kunci syok terkompensasi (kriptik) dan menjadi pemicu untuk resusitasi agresif. SMFM sangat merekomendasikan pengukuran laktat setiap kali sepsis dicurigai.
Kultur Mikrobiologi: Sebelum memulai terapi antibiotik, kultur yang komprehensif harus diperoleh dari semua sumber yang dicurigai, termasuk setidaknya dua set kultur darah (aerob dan anaerob), kultur urin, dan kultur dari lokasi spesifik seperti luka, cairan ketuban, atau saluran genital. Namun, proses pengambilan kultur ini tidak boleh menunda pemberian antibiotik. Waktu adalah faktor krusial, dan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. Kultur darah positif pada sebagian besar kasus syok sepsis (mencapai 41% dalam satu studi), dan hasilnya sangat berharga untuk de-eskalasi terapi antibiotik di kemudian hari.
Patogen Umum: Sumber infeksi yang paling umum adalah saluran genitourinari (misalnya, pielonefritis, korioamnionitis, endometritis) dan saluran pernapasan. Patogen yang paling sering diisolasi adalah bakteri Gram-negatif seperti
E. coli dan bakteri Gram-positif seperti Streptococcus Grup B. Perhatian khusus harus diberikan pada Streptococcus Grup A, yang meskipun kurang umum, bersifat sangat virulen dan sering dikaitkan dengan sepsis postpartum yang fulminan.
Untuk membantu klinisi di lini depan, tabel perbandingan berikut menyajikan parameter standar sepsis di samping ambang batas "bendera merah" yang disesuaikan untuk kehamilan. Alat bantu kognitif ini bertujuan untuk mengubah ambiguitas diagnostik menjadi pengambilan keputusan berbasis data yang cepat dan tepat.
Tabel 1: Kriteria Skrining Sepsis yang Dimodifikasi untuk Pasien Obstetri
Parameter Klinis/Laboratorium | Ambang Batas Non-Obstetri (SIRS/qSOFA) | Ambang Batas "Bendera Merah" pada Kehamilan |
Frekuensi Denyut Jantung | >90 denyut/menit | >110 denyut/menit |
Tekanan Darah Sistolik | <100 mmHg (qSOFA) | <90 mmHg atau MAP <70 mmHg |
Frekuensi Pernapasan | >20 atau >22 kali/menit | >24 kali/menit |
Jumlah Leukosit | <4,000 atau >12,000 sel/mm³ | Tidak dapat diandalkan secara tunggal; pertimbangkan tren atau adanya bandemia >10% |
Kreatinin Serum | Tergantung baseline; peningkatan signifikan | >0.9 mg/dL (atau >79.6 µmol/L) tanpa riwayat penyakit ginjal |
Laktat Serum | >2 mmol/L | >2 mmol/L (seringkali menjadi pemicu resusitasi) |
Status Mental | Perubahan status mental (GCS <15) | Perubahan status mental apa pun (agitasi, kebingungan, letargi) |
Suhu Tubuh | $<36°$C atau $>38.3°$C | $<36°$C atau $>38°$C |
Terapi cairan adalah pilar utama dalam tatalaksana awal sepsis dan syok sepsis. Tujuannya adalah untuk memulihkan volume intravaskular secara cepat, memperbaiki perfusi organ, dan memutus siklus kerusakan seluler akibat hipoksia jaringan. Pada pasien hamil, pendekatan ini memerlukan keseimbangan antara agresivitas untuk menyelamatkan jiwa dan kehati-hatian untuk menghindari komplikasi. Bagian ini secara khusus menargetkan pemahaman mendalam tentang "terapi cairan pada ibu hamil dengan syok sepsis".
Prinsip utama dalam manajemen syok sepsis adalah kecepatan. Resusitasi cairan harus dimulai segera setelah syok sepsis teridentifikasi, yang ditandai oleh hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata/MAP <70 mmHg) atau bukti hipoperfusi jaringan seperti peningkatan kadar laktat serum (biasanya >2 mmol/L), terlepas dari nilai tekanan darah.
Pedoman dari Surviving Sepsis Campaign dan SMFM secara konsisten merekomendasikan pemberian bolus cairan kristaloid intravena awal dengan volume minimal 30 mL/kg berat badan aktual. Untuk pasien dengan berat 70 kg, ini setara dengan sekitar 2.1 liter cairan. Bolus awal ini tidak boleh diberikan secara perlahan; tujuannya adalah untuk diberikan secepat mungkin dan harus diselesaikan dalam tiga jam pertama setelah diagnosis ditegakkan, dengan target ideal untuk memulainya dalam "jam emas" pertama. Tindakan cepat ini bertujuan untuk segera meningkatkan volume sirkulasi, menaikkan tekanan darah, dan memulihkan aliran darah ke organ-organ vital.
Gambar 1. Terapi awal pada sepsis selama kehamilan

Jenis cairan yang digunakan untuk resusitasi sama pentingnya dengan volume dan kecepatan pemberiannya.
Pilihan Lini Pertama: Larutan kristaloid seimbang (balanced crystalloid solutions), seperti Ringer Laktat atau Plasmalyte, direkomendasikan sebagai cairan lini pertama untuk resusitasi pada sepsis maternal. Larutan ini lebih disukai daripada Normal Saline (NaCl 0.9%) karena komposisi elektrolitnya yang lebih fisiologis dan kandungan klorida yang lebih rendah. Penggunaan Normal Saline dalam volume besar dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik, yang dapat memperburuk asidosis laktat yang sudah ada dan berpotensi menyebabkan cedera ginjal akut.
Cairan yang Harus Dihindari: Penggunaan larutan koloid seperti hydroxyethyl starches (HES) atau gelatin untuk resusitasi tidak direkomendasikan. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti kuat (GRADE 1A/1B) dari populasi umum yang menunjukkan peningkatan risiko cedera ginjal akut dan mortalitas tanpa adanya manfaat hemodinamik yang jelas dibandingkan kristaloid.
Peran Produk Darah: Pada situasi di mana instabilitas hemodinamik berlanjut meskipun resusitasi kristaloid awal telah memadai, atau jika ada kecurigaan perdarahan bersamaan, transfusi produk darah yang telah di-cross-match harus diprioritaskan. Tujuannya adalah untuk memastikan kapasitas pengangkut oksigen yang adekuat, yang tidak dapat dicapai hanya dengan cairan kristaloid.
Pemberian bolus 30 mL/kg adalah titik awal yang krusial, tetapi bukan resep universal yang harus diikuti secara buta. Paradigma modern dalam resusitasi cairan telah bergeser dari pendekatan berbasis volume ("berikan X mL/kg") ke pendekatan berbasis fisiologi ("berikan cairan sampai pasien tidak lagi responsif terhadap cairan").
Bahaya Resusitasi Berlebihan: Kehamilan adalah kondisi di mana tekanan onkotik plasma menurun secara fisiologis, yang membuat pasien lebih rentan terhadap edema, terutama edema paru. Pemberian cairan yang agresif dan tidak terpantau dapat dengan mudah menyebabkan kelebihan volume (fluid overload), yang dapat membahayakan fungsi paru dan jantung. Oleh karena itu, setelah bolus awal, setiap pemberian cairan tambahan harus dipandu oleh penilaian yang cermat.
Penilaian Dinamis Responsivitas Cairan: Daripada mengandalkan ukuran statis seperti tekanan vena sentral (CVP), yang telah terbukti sebagai prediktor responsivitas cairan yang buruk, klinisi harus menggunakan ukuran dinamis untuk memprediksi pasien mana yang akan mendapat manfaat dari volume cairan tambahan. Ini adalah pembeda praktik klinis ahli. Metode ini menilai interaksi jantung-paru untuk menentukan apakah jantung pasien dapat meningkatkan curah jantungnya sebagai respons terhadap peningkatan preload (volume). Teknik yang dapat digunakan meliputi:
Manuver Passive Leg Raise (PLR): Mengangkat kaki pasien secara pasif untuk memindahkan sekitar 300-500 mL darah dari ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral, yang secara efektif mensimulasikan bolus cairan. Peningkatan curah jantung yang signifikan setelah PLR menunjukkan pasien responsif terhadap cairan.
Pulse Pressure Variation (PPV) atau Stroke Volume Variation (SVV): Pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanis, variasi tekanan nadi atau volume sekuncup selama siklus pernapasan dapat memprediksi responsivitas cairan dengan akurasi tinggi.
Point-of-Care Ultrasound (POCUS): Penggunaan USG di samping tempat tidur menjadi semakin penting. Klinisi dapat menilai diameter dan kolapsibilitas vena kava inferior (IVC) selama respirasi, atau secara langsung menilai fungsi jantung untuk memandu terapi. IVC yang kecil dan kolaps menunjukkan kemungkinan responsivitas cairan, sedangkan IVC yang besar dan tidak kolaps menandakan tekanan atrium kanan yang tinggi dan risiko kelebihan cairan.
Gambar 2. Dilatasi Vena cava inferior pada pasien hamil dengan sepsis induced cardiopmyopathy, tidak respon terhadap cairan dan vasopressor

Pendekatan dua fase ini dapat diringkas sebagai berikut: Fase 1 (Penyelamatan/Rescue) adalah pemberian bolus 30 mL/kg yang cepat dan didorong oleh protokol untuk membalikkan syok yang mengancam jiwa. Fase 2 (Optimalisasi/De-eskalasi) adalah pendekatan yang lebih hati-hati dan individual, di mana cairan diberikan dalam bolus yang lebih kecil (misalnya, 250-500 mL) dan diikuti oleh penilaian dinamis responsivitas untuk mengoptimalkan curah jantung tanpa menyebabkan kerusakan akibat kelebihan cairan. Bagi dokter umum, pesan praktisnya adalah: "Bertindak cepat dengan 2 liter pertama, kemudian perlambat, nilai kembali, dan segera konsultasikan atau rujuk."
Tujuan Akhir Resusitasi: Tujuan akhir dari semua intervensi ini adalah untuk mencapai target fisiologis yang menandakan pemulihan perfusi organ, yaitu: MAP ≥65 mmHg, normalisasi atau penurunan kadar laktat (pembersihan laktat), dan pemulihan produksi urin yang adekuat (misalnya, >0.5 mL/kg/jam).
Tabel berikut menyajikan protokol resusitasi cairan yang dapat ditindaklanjuti, yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam alur kerja klinis.
Tabel 2: Protokol Resusitasi Cairan Berbasis Bukti untuk Sepsis Maternal
Langkah | Tindakan Klinis | Rasional dan Poin Kunci |
Langkah 1: Pemicu (Triggers) | Identifikasi hipotensi (SBP <90 mmHg, MAP <70 mmHg) ATAU hiperlaktatemia (Laktat >2 mmol/L). | Ini adalah tanda-tanda syok atau hipoperfusi jaringan yang memerlukan tindakan segera. |
Langkah 2: Tindakan Awal (0-1 Jam) | Segera berikan bolus 30 mL/kg kristaloid seimbang (misalnya, Ringer Laktat) secara intravena. | Resusitasi volume cepat untuk memulihkan preload dan tekanan perfusi. Selesaikan dalam 3 jam pertama. |
Langkah 3: Penilaian Ulang | Setelah bolus awal selesai, nilai ulang tanda vital (MAP), kadar laktat, dan lakukan penilaian dinamis responsivitas cairan (misalnya, PLR, POCUS IVC jika tersedia). | Menentukan apakah pasien masih membutuhkan volume atau apakah masalahnya adalah tonus vaskular. Menghindari kelebihan cairan yang berbahaya. |
Langkah 4: Titik Keputusan | JIKA pasien masih hipotensif DAN responsif terhadap cairan (misalnya, PLR positif): Berikan bolus cairan tambahan 250-500 mL dan nilai ulang. JIKA pasien masih hipotensif DAN tidak responsif terhadap cairan: Segera mulai vasopresor. | Membedakan antara hipovolemia relatif yang masih dapat diatasi dengan cairan dan syok distributif yang memerlukan vasokonstriksi. |
Langkah 5: Target Resusitasi | Targetkan MAP ≥65 mmHg, penurunan kadar laktat, dan produksi urin yang membaik. | Ini adalah titik akhir fisiologis yang menunjukkan pemulihan perfusi organ yang adekuat. |
Section 4: Ketika Cairan Tidak Cukup: Dukungan Hemodinamik Lanjutan
Syok sepsis didefinisikan sebagai sepsis dengan hipotensi persisten yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan memiliki kadar laktat serum >2 mmol/L meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat. Pada tahap ini, masalah utamanya bukan lagi hanya kekurangan volume, tetapi juga vasoplegia (vasodilatasi patologis) yang parah. Tatalaksana memerlukan eskalasi ke dukungan farmakologis dan pemantauan yang lebih canggih.
Ketika resusitasi cairan gagal menormalkan tekanan darah, penundaan dalam memulai vasopresor dapat menyebabkan periode hipotensi yang berkepanjangan, yang secara langsung merusak organ-organ vital. Oleh karena itu, vasopresor harus dimulai segera setelah terbukti bahwa pasien tidak responsif terhadap cairan atau jika hipotensi sangat berat.
Agen Lini Pertama: Norepinefrin adalah vasopresor pilihan pertama yang direkomendasikan secara universal untuk syok sepsis, termasuk pada kehamilan dan periode postpartum. Norepinefrin memiliki efek vasokonstriksi alfa-adrenergik yang kuat untuk meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan MAP, serta efek inotropik beta-adrenergik ringan yang dapat membantu mempertahankan curah jantung. Profil farmakologisnya yang seimbang dan data keamanan yang luas menjadikannya pilihan yang ideal.
Agen Lini Kedua: Pada kasus syok refrakter yang tidak merespons norepinefrin dosis tinggi, agen tambahan dapat dipertimbangkan. Vasopresin, yang bekerja melalui reseptor V1 untuk menyebabkan vasokonstriksi, sering ditambahkan sebagai agen kedua untuk mengurangi kebutuhan dosis norepinefrin. Epinefrin, dengan efek beta-adrenergik yang lebih kuat, dapat digunakan jika ada bukti disfungsi miokard yang signifikan.
Pada pasien sakit kritis dengan syok refrakter, pemantauan tanda vital standar tidak lagi cukup. Diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang fisiologi kardiovaskular pasien untuk memandu terapi secara presisi.
Pergeseran dari Invasif ke Non-Invasif: Secara historis, pemahaman ini diperoleh melalui kateterisasi arteri pulmonalis (Swan-Ganz), sebuah prosedur invasif yang mengukur tekanan di dalam jantung dan arteri pulmonalis untuk memperkirakan curah jantung dan status volume. Meskipun masih memiliki peran dalam kasus-kasus yang sangat kompleks (misalnya, hipertensi pulmonal berat atau disfungsi ventrikel kanan), penggunaannya secara rutin telah menurun drastis karena risiko komplikasi dan kurangnya bukti manfaat mortalitas yang jelas.
Praktik perawatan kritis modern telah mengalami pergeseran paradigma menuju teknik pemantauan yang kurang invasif atau non-invasif. Perkembangan ini secara efektif "mendemokratisasi" penilaian hemodinamik canggih, memindahkannya dari domain eksklusif spesialis perawatan intensif ke tangan klinisi di lini depan.
Point-of-Care Ultrasound (POCUS): POCUS telah menjadi "stetoskop abad ke-21" bagi dokter gawat darurat dan perawatan kritis. Dengan probe USG, klinisi di samping tempat tidur dapat dengan cepat menilai fungsi pompa jantung (kontraktilitas ventrikel kiri), memperkirakan status volume (dengan melihat IVC), dan menyingkirkan penyebab syok lainnya seperti tamponade jantung atau emboli paru masif. Kemampuan untuk menjawab pertanyaan fisiologis kunci secara real-time—"Apakah syok ini bersifat kardiogenik atau distributif? Apakah pasien ini masih memerlukan cairan?"—memungkinkan personalisasi terapi resusitasi sejak awal.
Pemantauan Curah Jantung Non-Invasif (NICOM): Teknologi seperti bioreaktansi toraks (misalnya, monitor NICOM®) memungkinkan pengukuran curah jantung, volume sekuncup, dan resistensi vaskular sistemik secara kontinu dan non-invasif. Alat ini bekerja dengan menganalisis pergeseran fasa arus listrik bolak-balik yang melewati toraks saat darah dipompa oleh jantung. Studi validasi telah menunjukkan korelasi dan kesesuaian yang baik antara pengukuran bioreaktansi dan ekokardiografi (standar emas non-invasif) pada pasien hamil. Dengan data hemodinamik kontinu ini, klinisi dapat secara tepat melihat efek dari setiap intervensi—seperti bolus cairan atau penyesuaian dosis vasopresor—dan menyesuaikan terapi untuk mencapai target fisiologis yang optimal.
Implikasi dari pergeseran teknologi ini sangat besar. Ini memungkinkan terapi yang diarahkan pada tujuan (goal-directed therapy) yang lebih awal, lebih presisi, dan lebih aman. Alih-alih mengandalkan pendekatan "satu ukuran untuk semua", klinisi kini dapat menyesuaikan resusitasi dengan profil hemodinamik unik setiap pasien, yang berpotensi mencegah kegagalan organ dan meningkatkan hasil akhir secara signifikan.
Resusitasi cairan dan vasopresor adalah intervensi kritis, tetapi keduanya hanyalah bagian dari pendekatan komprehensif dan terpadu yang dikenal sebagai "bundel sepsis". Keberhasilan tatalaksana bergantung pada pelaksanaan simultan dari beberapa komponen kunci, yang masing-masing sama pentingnya.
Pemberian antibiotik yang cepat dan tepat adalah intervensi tunggal yang paling penting untuk meningkatkan kelangsungan hidup pada sepsis.
Waktu Pemberian: Antibiotik spektrum luas empiris harus diberikan sesegera mungkin, dengan target ideal dalam satu jam pertama setelah sepsis atau syok sepsis dikenali. Setiap jam penundaan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas.
Kultur Terlebih Dahulu: Idealnya, kultur yang sesuai (darah, urin, dll.) harus diambil sebelum dosis antibiotik pertama diberikan. Namun, proses ini tidak boleh menunda pemberian terapi. Jika ada kesulitan dalam mendapatkan akses vena atau mengambil kultur, antibiotik harus tetap diberikan tanpa menunggu.
Pemilihan Obat: Terapi empiris awal harus mencakup patogen yang paling mungkin, termasuk bakteri Gram-positif, Gram-negatif, dan anaerob, terutama jika sumbernya tidak jelas. Pilihan rejimen sering kali melibatkan kombinasi antibiotik seperti sefalosporin generasi ketiga atau piperasilin-tazobaktam, ditambah dengan agen yang menargetkan patogen atipikal atau MRSA jika diindikasikan oleh faktor risiko pasien. Klasifikasi AWaRe (Access, Watch, Reserve) dari WHO dapat membantu memandu pemilihan, di mana banyak kasus dapat diobati dengan antibiotik dari kelompok "Access" atau "Watch" tanpa perlu segera menggunakan antibiotik "Reserve" yang lebih kuat.
De-eskalasi: Setelah hasil kultur dan sensitivitas tersedia (biasanya dalam 48-72 jam), terapi harus dievaluasi kembali. Jika patogen telah diidentifikasi, rejimen antibiotik harus dipersempit (de-eskalasi) ke agen yang paling efektif dan berspektrum paling sempit. Ini adalah prinsip penatagunaan antibiotik yang penting untuk mengurangi tekanan resistensi dan efek samping.
Antibiotik dan resusitasi hemodinamik akan sia-sia jika sumber infeksi tidak diatasi. Kontrol sumber (source control) adalah identifikasi dan eliminasi fokus infeksi anatomis. Ini adalah komponen yang sering diabaikan namun sangat krusial.
Tindakan kontrol sumber dapat berupa:
Drainase abses.
Debridemen jaringan nekrotik atau terinfeksi (misalnya, pada fasitis nekrotikans).
Pengangkatan perangkat yang terinfeksi (misalnya, kateter).
Pada konteks obstetri, ini memiliki implikasi unik. Jika sumber infeksi diduga kuat berasal dari rahim (misalnya, korioamnionitis, endometritis pascapersalinan, atau sisa produk konsepsi yang terinfeksi), maka evakuasi isi rahim (persalinan atau kuretase) yang cepat adalah tindakan kontrol sumber yang menyelamatkan nyawa dan harus dilakukan segera, terlepas dari usia kehamilan. Menunda tindakan ini dengan harapan "menstabilkan" pasien terlebih dahulu sering kali merupakan kesalahan fatal, karena sumber peradangan yang terus-menerus akan menggagalkan semua upaya resusitasi.
Beberapa terapi tambahan dapat dipertimbangkan pada pasien dengan syok sepsis yang tidak merespons tatalaksana awal.
Kortikosteroid: Untuk pasien dengan syok sepsis yang tetap tidak stabil secara hemodinamik (memerlukan dosis vasopresor yang meningkat) meskipun resusitasi cairan dan terapi vasopresor sudah adekuat, pedoman menyarankan penggunaan kortikosteroid intravena dosis rendah (misalnya, hidrokortison 200 mg/hari). Rekomendasi ini bersifat sugestif (GRADE 2B) dan bertujuan untuk mengatasi insufisiensi adrenal relatif yang sering terjadi pada penyakit kritis.
Profilaksis Venous Thromboembolism (VTE): Kehamilan adalah keadaan hiperkoagulabel, dan penyakit kritis seperti sepsis secara dramatis meningkatkan risiko trombosis vena dalam dan emboli paru. Oleh karena itu, profilaksis VTE farmakologis (misalnya, dengan heparin berat molekul rendah atau heparin tidak terfraksi) sangat direkomendasikan (GRADE 1B) untuk semua pasien hamil dan postpartum dengan syok sepsis, kecuali jika ada kontraindikasi absolut seperti perdarahan aktif.
Kontrol Glikemik: Hiperglikemia stres adalah hal yang umum pada penyakit kritis dan dapat mengganggu fungsi kekebalan tubuh. Terapi insulin disarankan untuk dimulai jika kadar glukosa darah secara konsisten melebihi 180 mg/dL pada pasien hamil yang sakit kritis, dengan target untuk mempertahankan glukosa di bawah ambang batas ini.
Untuk memastikan tidak ada langkah kritis yang terlewat dalam situasi darurat yang penuh tekanan, penggunaan bundel tindakan dalam format daftar periksa sangat dianjurkan.
Tabel 3: Bundel Tindakan "Satu Jam Pertama" Sepsis Maternal
Elemen Bundel | Tindakan Spesifik | Batas Waktu |
1. Ukur Laktat | Ambil sampel darah untuk mengukur kadar laktat serum awal. | Segera |
2. Ambil Kultur Darah | Ambil dua set kultur darah dari dua lokasi berbeda sebelum memberikan antibiotik. | Sebelum Antibiotik |
3. Berikan Antibiotik | Berikan antibiotik spektrum luas secara intravena. | Dalam 1 Jam |
4. Berikan Cairan | Untuk hipotensi atau laktat >2 mmol/L, mulai bolus cepat 30 mL/kg kristaloid seimbang. | Dalam 1 Jam |
5. Berikan Vasopresor | Jika hipotensi berlanjut setelah bolus cairan, mulai infus norepinefrin untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg. | Segera setelah terbukti tidak responsif cairan |
6. Nilai Kebutuhan Kontrol Sumber | Segera lakukan penilaian klinis dan pencitraan (jika perlu) untuk mengidentifikasi dan merencanakan kontrol sumber infeksi. | Segera |
Section 6: Realitas Dua Pasien: Pertimbangan Obstetri dan Janin
Tatalaksana sepsis pada wanita hamil secara fundamental berbeda karena adanya pasien kedua: janin. Kesejahteraan janin sangat bergantung pada stabilitas ibu, dan setiap keputusan terapeutik harus mempertimbangkan dampaknya pada kedua individu.
Prinsip utama dalam situasi ini adalah resusitasi ibu yang efektif adalah resusitasi janin yang terbaik. Hipoksia, asidosis, dan hipotensi pada ibu akan secara langsung mengurangi aliran darah uteroplasenta, yang menyebabkan gawat janin. Oleh karena itu, prioritas utama adalah menstabilkan hemodinamik ibu.
Setelah upaya stabilisasi ibu dimulai, pemantauan janin harus segera dilakukan pada kehamilan dengan usia gestasi yang dianggap viabel (umumnya ≥23−24 minggu). Pemantauan ini dapat dilakukan dengan kardiotokografi (CTG) kontinu atau, jika tidak memungkinkan, dengan penilaian denyut jantung janin secara intermiten menggunakan Doppler. Sepsis maternal dapat memicu respons inflamasi sistemik pada janin (FIRS), yang dapat menyebabkan asidosis janin, kerusakan neurologis, dan meningkatkan risiko persalinan prematur serta kematian perinatal secara signifikan.
Adanya sepsis atau syok sepsis pada ibu bukan merupakan indikasi otomatis untuk persalinan segera. Keputusan untuk mengakhiri kehamilan harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan tidak boleh dilakukan secara gegabah. Persalinan, terutama melalui operasi sesar, adalah stresor fisiologis yang signifikan yang dapat memperburuk kondisi ibu yang sudah tidak stabil.
Keputusan untuk persalinan didikte oleh dua faktor utama:
Indikasi Obstetri Standar: Ini termasuk gawat janin yang tidak membaik meskipun resusitasi ibu telah optimal, atau indikasi maternal lainnya seperti preeklamsia berat.
Kebutuhan Kontrol Sumber Uterus: Ini adalah satu-satunya indikasi terkait sepsis untuk persalinan. Jika korioamnionitis, endometritis, atau abses uterus diidentifikasi sebagai sumber sepsis, maka pengosongan rahim adalah bagian esensial dari pengobatan ibu. Dalam kasus ini, persalinan harus segera dilakukan untuk menghilangkan sumber infeksi, terlepas dari usia kehamilan.
Jika persalinan atau prosedur bedah diperlukan, beberapa pertimbangan khusus harus diperhatikan.
Anestesi: Pasien sepsis memiliki kebutuhan oksigen metabolik yang tinggi dan cadangan fisiologis yang rendah. Mereka juga berisiko tinggi mengalami aspirasi isi lambung karena pengosongan lambung yang tertunda. Jika anestesi umum diperlukan, induksi sekuens cepat (rapid sequence induction) adalah teknik pilihan. Ini harus didahului oleh pre-oksigenasi yang adekuat dan pemberian profilaksis untuk mengurangi risiko refluks lambung (misalnya, antasida dan antagonis H2).
Resusitasi Jantung Paru (RJP): Jika terjadi henti jantung pada ibu, RJP berkualitas tinggi harus segera dimulai dengan modifikasi penting. Pemindahan rahim ke kiri (left uterine displacement), baik secara manual atau dengan meletakkan baji di bawah panggul kanan, sangat penting untuk mengurangi kompresi aortokava oleh rahim yang gravid dan memperbaiki aliran balik vena. Pada kehamilan lanjut, manuver untuk mengatasi obstruksi jalan napas harus menggunakan hentakan dada (chest thrusts), bukan hentakan perut (abdominal thrusts). Jika tidak ada kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) dalam 4-5 menit setelah henti jantung, operasi sesar perimortem harus dipertimbangkan dan dilakukan untuk meningkatkan peluang keberhasilan resusitasi ibu dan kelangsungan hidup janin.
Sepsis maternal adalah keadaan darurat medis yang menuntut pengenalan cepat dan tatalaksana agresif yang terkoordinasi. Bagi dokter umum di lini depan, kemampuan untuk bertindak secara efektif dalam jam pertama dapat secara dramatis mengubah hasil akhir. Berikut adalah ringkasan rekomendasi utama yang dapat ditindaklanjuti:
Pikirkan Sepsis: Pertahankan indeks kecurigaan yang tinggi terhadap sepsis pada setiap wanita hamil atau postpartum yang tampak tidak sehat atau "tidak beres". Ingatlah selalu bahwa fisiologi kehamilan yang normal dapat menutupi tanda-tanda awal penyakit. Jangan pernah meremehkan keluhan pasien.
Skrining Secara Agresif: Manfaatkan alat skrining peringatan dini yang spesifik untuk obstetri (misalnya, MEWT) dan jangan ragu untuk memeriksa kadar laktat serum. Peningkatan laktat adalah tanda bahaya yang tidak boleh diabaikan, bahkan jika tekanan darah masih normal.
Bertindak Cepat - Bundel Satu Jam adalah Kunci:
Cairan: Mulai bolus 30 mL/kg kristaloid seimbang segera setelah hipotensi atau peningkatan laktat terdeteksi.
Kultur: Ambil kultur darah dan kultur relevan lainnya sebelum memulai antibiotik, tetapi jangan biarkan hal ini menunda terapi.
Antibiotik: Berikan antibiotik spektrum luas intravena dalam satu jam pertama setelah kecurigaan muncul.
Resusitasi Secara Cerdas: Setelah bolus awal, gunakan penilaian dinamis (jika memungkinkan) untuk memandu terapi cairan lebih lanjut guna menghindari kelebihan volume yang berbahaya. Jika hipotensi berlanjut, segera mulai norepinefrin untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg.
Temukan dan Atasi Sumbernya: Secara agresif cari sumber infeksi dan mulai tindakan kontrol sumber sesegera mungkin. Ingatlah bahwa jika rahim adalah penyebabnya, persalinan atau evakuasi adalah bagian dari pengobatan.
Panggil Bantuan Sejak Dini: Sepsis maternal adalah keadaan darurat multidisiplin. Libatkan spesialis obstetri, spesialis perawatan intensif, dan ahli anestesi sejak awal dalam perjalanan penyakit pasien. Komunikasi tim yang efektif dan rujukan yang tepat waktu sangat penting untuk kelangsungan hidup pasien.
(PDF) Sepsis and Septic Shock in Pregnancy - ResearchGate, diakses Juni 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/390116704_Sepsis_and_Septic_Shock_in_Pregnancy
Maternal sepsis - PubMed, diakses Juni 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33345880/
Maternal sepsis - PMC - PubMed Central, diakses Juni 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8015781/
Sepsis: Precision-Based Medicine for Pregnancy and the ..., diakses Juni 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6861904/
Best Therapeutic Practices in the Management of Obstetric Sepsis, diakses Juni 14, 2025, https://www.mdpi.com/2392-7674/10/2/33
SMFM Consult Series #47: Sepsis during pregnancy and the ..., diakses Juni 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30684460/
Towards a consensus definition of maternal sepsis: results of a systematic review and expert consultation - PubMed Central, diakses Juni 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5450299/
A Comprehensive Multidisciplinary Strategy for the Management of Musculoskeletal Fractures Throughout Pregnancy: Evaluation, Tre - Journal of Ecohumanism, diakses Juni 14, 2025, https://ecohumanism.co.uk/joe/ecohumanism/article/download/6700/6922/15630
Orthopedic Trauma During Pregnancy; a Narrative Review - PMC - PubMed Central, diakses Juni 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9206833/
Surviving maternal sepsis: Clinical, laboratory, and treatment features - PubMed, diakses Juni 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38379448
Sepsis in pregnancy and early goal-directed therapy - PMC - PubMed Central, diakses Juni 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4989756/
Critical care in obstetrics - PubMed, diakses Juni 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35659956/
Preeclampsia and eclampsia - PMC, diakses Juni 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1272911/
Descripción del perfil hemodinámico medido por catéter de arteria pulmonar (Swan Ganz) en las maternas ingresadas a la Unidad de Terapia Intensiva (UTI) de la Clínica Universitaria Bolivariana (CUB). Medellín, 2003-2010 - ResearchGate, diakses Juni 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/280561222_Descripcion_del_perfil_hemodinamico_medido_por_cateter_de_arteria_pulmonar_Swan_Ganz_en_las_maternas_ingresadas_a_la_Unidad_de_Terapia_Intensiva_UTI_de_la_Clinica_Universitaria_Bolivariana_CUB_Medelli
Comparison of bioreactance and echocardiographic non-invasive cardiac output monitoring and myocardial function assessment in primagravida women | BJA: British Journal of Anaesthesia | Oxford Academic, diakses Juni 14, 2025, https://academic.oup.com/bja/article/118/4/527/3574497
Comparison of bioreactance and echocardiographic non-invasive cardiac output monitoring and myocardial function assessment in primagravida women | Request PDF - ResearchGate, diakses Juni 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/317212107_Comparison_of_bioreactance_and_echocardiographic_non-invasive_cardiac_output_monitoring_and_myocardial_function_assessment_in_primagravida_women
Non-hemorrhagic obstetric shock | Request PDF - ResearchGate, diakses Juni 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/12528615_Non-hemorrhagic_obstetric_shock
Critical Care in Obstetrics: Where are We - PMC - PubMed Central, diakses Juni 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5972094/