Nyeri Dada Tidak Hanya PJK: Panduan Lengkap Diagnosis dan Terapi Emboli Paru, Termasuk Dosis Obat

17 Nov 2025 • Kardiologi , Pulmonologi

Deskripsi

Nyeri Dada Tidak Hanya PJK: Panduan Lengkap Diagnosis dan Terapi Emboli Paru, Termasuk Dosis Obat

1. Pendahuluan: Nyeri Dada Bukan Hanya Sekadar Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Nyeri dada merupakan salah satu keluhan yang paling sering dihadapi oleh dokter umum dalam praktik sehari-hari. Seringkali, keluhan ini secara otomatis diasosiasikan dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK). 

Meskipun PJK adalah penyebab yang signifikan, penting bagi klinisi untuk memperluas diagnosis banding, terutama mengingat adanya kondisi lain yang berpotensi fatal dan seringkali terlewatkan, yaitu Emboli Paru (EP). Emboli Paru, yang kadang disebut sebagai "the great masquerader" karena presentasi klinisnya yang beragam, adalah kondisi serius yang memerlukan diagnosis dan intervensi cepat untuk meningkatkan luaran pasien. 

Penundaan dalam diagnosis dan tatalaksana EP dapat mengakibatkan komplikasi berat, termasuk instabilitas hemodinamik, gagal jantung kanan, hingga kematian mendadak. Studi menunjukkan bahwa prevalensi EP pada pasien rawat inap yang menunjukkan gejala dapat mencapai 36%.

Kombinasi antara frekuensi nyeri dada sebagai keluhan umum di layanan primer dan potensi fatal EP yang seringkali tidak segera dikenali menciptakan situasi yang berisiko tinggi untuk terjadinya misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis. 

Fokus yang terkadang terlalu sempit pada PJK dapat menyebabkan EP tidak dipertimbangkan secara aktif, terutama pada kasus dengan presentasi atipikal. Keterlambatan diagnosis ini secara signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu, kesadaran dan indeks kecurigaan yang tinggi terhadap EP dari para dokter umum adalah krusial. Artikel ini bertujuan untuk memberikan panduan praktis dan komprehensif bagi dokter umum mengenai

Diagnosis dan Terapi Emboli Paru, termasuk informasi penting mengenai Dosis Obat Emboli Paru, berdasarkan bukti ilmiah terkini dari jurnal-jurnal yang terindeks.

2. Mengenal Emboli Paru: Musuh dalam Selimut yang Perlu Diwaspadai

Emboli Paru (EP) secara definitif adalah suatu kondisi obstruksi pada arteri pulmonalis atau salah satu cabangnya, yang umumnya disebabkan oleh trombus (bekuan darah) yang berasal dari lokasi lain dalam tubuh. Lokasi asal trombus yang paling umum adalah dari sistem vena dalam (Deep Vein Thrombosis - DVT), terutama pada ekstremitas bawah.

Secara patofisiologis, sumbatan ini menyebabkan gangguan serius pada fungsi paru. Aliran darah ke area paru yang terdampak akan berkurang atau terhenti, sehingga mengganggu proses pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Selain itu, obstruksi ini akan meningkatkan resistensi vaskular paru, yang memaksa ventrikel kanan jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah. 

Jika sumbatan cukup masif atau fungsi jantung sudah terganggu sebelumnya, kondisi ini dapat dengan cepat berkembang menjadi gagal jantung kanan akut, yang merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan EP masif.

Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap EP. Beberapa faktor risiko umum yang sering dikaitkan dengan kejadian EP meliputi riwayat VTE (Venous Thromboembolism – meliputi DVT dan EP) sebelumnya, imobilisasi berkepanjangan (misalnya, setelah operasi besar atau tirah baring lama), pembedahan yang baru saja dijalani, adanya keganasan (kanker) aktif, penggunaan kontrasepsi oral (terutama pada wanita usia muda), obesitas, dan kondisi trombofilia (kelainan pembekuan darah yang diturunkan atau didapat). 

Banyak dari faktor risiko ini, seperti imobilisasi pasca-operasi minor atau penggunaan kontrasepsi oral, bersifat umum dan sering ditemui dalam populasi pasien yang datang ke praktik dokter umum. 

Hal ini mengimplikasikan bahwa populasi yang berisiko mengalami EP sebenarnya lebih luas dari yang mungkin diperkirakan. Pasien mungkin tidak secara sukarela menyebutkan faktor-faktor risiko ini kecuali ditanyakan secara spesifik dalam konteks kecurigaan EP. 

Jika dokter umum tidak secara aktif menggali faktor-faktor risiko ini saat pasien datang dengan gejala yang sugestif (bahkan yang ringan), probabilitas pra-tes EP mungkin diremehkan, yang pada akhirnya dapat mengarah pada penundaan investigasi lebih lanjut. Oleh karena itu, anamnesis yang cermat dan terarah untuk menggali faktor risiko EP sangatlah penting, bahkan pada pasien yang tampak "sehat" atau datang dengan keluhan yang tampaknya tidak spesifik.

3. Kunci Diagnosis Emboli Paru bagi Dokter Umum: Dari Anamnesis hingga Pencitraan

Proses Diagnosis Emboli Paru merupakan langkah kritikal yang memerlukan pendekatan sistematis.

3.1 Menilai Probabilitas Klinis – Langkah Awal yang Krusial

Langkah awal dalam mendiagnosis EP adalah menilai probabilitas klinis berdasarkan gejala, tanda, dan faktor risiko pasien. Gejala dan tanda klinis EP seringkali tidak spesifik dan dapat sangat bervariasi antar individu. Keluhan yang paling umum meliputi nyeri dada (seringkali bersifat pleuritik, yaitu memberat saat menarik napas dalam), sesak napas yang timbul mendadak, batuk (kadang disertai hemoptisis atau batuk darah), takikardia (denyut jantung cepat), takipnea (laju pernapasan cepat), dan tanda-tanda DVT seperti nyeri, bengkak, kemerahan, atau teraba hangat pada salah satu tungkai. Pada kasus yang berat, EP dapat bermanifestasi sebagai sinkop (pingsan).

Untuk membantu objektivikasi penilaian probabilitas klinis, beberapa skor prediktor yang telah tervalidasi dapat digunakan. Dua skor yang paling umum digunakan adalah:

  • Wells Score for PE: Skor ini terdiri dari beberapa item klinis dan faktor risiko, termasuk riwayat EP atau DVT sebelumnya, denyut jantung >100 kali/menit, imobilisasi atau pembedahan terkini, tanda klinis DVT, hemoptisis, adanya kanker, dan penilaian subjektif apakah diagnosis alternatif kurang mungkin dibandingkan EP. Skor Wells dapat dikategorikan menjadi probabilitas rendah (<2 poin), sedang (2-6 poin), dan tinggi (>6 poin), atau disederhanakan menjadi dua kategori: EP
    unlikely (≤4 poin) dan EP likely (>4 poin). Meskipun skor Wells terbukti akurat pada pasien rawat inap, penting untuk diingat bahwa skor ini tidak cukup untuk menyingkirkan EP sendirian tanpa pemeriksaan lanjutan.

  • Revised Geneva Score: Skor ini menggunakan parameter yang lebih objektif, seperti usia, riwayat VTE, pembedahan atau fraktur terkini, keganasan aktif, nyeri tungkai unilateral, hemoptisis, edema tungkai unilateral, dan denyut jantung.

Meskipun "clinical gestalt" atau intuisi klinis dari dokter yang berpengalaman juga memiliki peran , penggunaan skor formal memberikan pendekatan yang lebih standar dan terstruktur. Namun, penting untuk memahami keterbatasan skor probabilitas klinis ini. Sebagai contoh, sebuah studi menunjukkan bahwa pada pasien rawat inap dengan skor Wells "PE unlikely" (≤4 poin), prevalensi EP masih ditemukan sebesar 20%. Ini menggarisbawahi bahwa skor rendah tidak secara definitif menyingkirkan EP, terutama pada populasi tertentu. 

Skor-skor ini sebaiknya dipandang sebagai alat bantu untuk stratifikasi awal, bukan sebagai pengganti penilaian klinis komprehensif atau keputusan untuk melakukan investigasi lebih lanjut jika kecurigaan klinis tetap tinggi. Hasil skor harus diinterpretasikan dalam konteks klinis keseluruhan pasien dan mengarahkan pada langkah diagnostik berikutnya yang sesuai, seperti pemeriksaan D-dimer atau pencitraan.

3.2 Peran D-dimer dalam Alur Diagnosis Emboli Paru

D-dimer adalah produk degradasi fibrin, suatu protein yang terlibat dalam proses pembekuan darah. Kadar D-dimer hampir selalu meningkat pada kondisi trombosis akut, termasuk EP. Utilitas utama pemeriksaan D-dimer dalam alur diagnosis EP terletak pada nilai prediksi negatifnya yang tinggi. Artinya, hasil D-dimer yang normal (<500 µg/L atau <0.50 μg/mL ) sangat berguna untuk menyingkirkan diagnosis EP pada pasien dengan probabilitas klinis rendah atau sedang.

Pedoman European Society of Cardiology (ESC) tahun 2019 membawa pembaruan penting terkait penggunaan D-dimer. Salah satu perubahan signifikan adalah rekomendasi penggunaan ambang batas D-dimer yang disesuaikan dengan usia (age-adjusted D-dimer) untuk pasien berusia di atas 50 tahun. Rumusnya adalah usia pasien dikalikan 10 ng/mL (misalnya, untuk pasien 60 tahun, cut-off menjadi 600 ng/mL). 

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan spesifisitas tes D-dimer pada populasi lansia, yang seringkali memiliki kadar D-dimer lebih tinggi karena kondisi komorbid lain, sehingga mengurangi jumlah pemeriksaan pencitraan yang tidak perlu tanpa mengorbankan sensitivitas. Selain itu, pedoman juga menyarankan pertimbangan D-dimer yang disesuaikan dengan kemungkinan klinis, seperti yang diinvestigasi dalam studi YEARS. Studi YEARS mengusulkan penggunaan ambang batas D-dimer yang lebih tinggi (misalnya, <1000 ng/mL) jika tidak ada item klinis tertentu dari skor Wells yang terpenuhi, atau ambang batas standar (<500 ng/mL) jika salah satu item tersebut ada.

Pemeriksaan D-dimer umumnya tidak diindikasikan atau kurang bermanfaat pada pasien dengan probabilitas klinis EP yang tinggi, karena pada kelompok ini, pasien sebaiknya langsung menjalani pemeriksaan pencitraan untuk konfirmasi diagnosis. Selain itu, terdapat Pulmonary Embolism Rule-Out Criteria (PERC rule), yaitu serangkaian delapan kriteria klinis yang dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko EP sangat rendah di mana diagnosis EP dapat dikesampingkan secara aman tanpa perlu melakukan tes D-dimer sama sekali. Penggunaan PERC rule dapat lebih lanjut mengurangi tes D-dimer yang tidak perlu dan paparan radiasi dari pemeriksaan lanjutan.

Evolusi dalam penggunaan D-dimer, mulai dari ambang batas tetap, kemudian disesuaikan usia, disesuaikan kemungkinan klinis (YEARS), hingga penggunaan PERC rule, mencerminkan pergeseran paradigma menuju pendekatan diagnostik yang lebih personal dan efisien. Tujuannya tidak hanya untuk mendeteksi EP secara akurat, tetapi juga untuk menghindari investigasi berlebihan pada pasien berisiko rendah. D-dimer standar memiliki spesifisitas yang lebih rendah pada orang tua , yang sering menyebabkan hasil positif palsu dan memicu pemeriksaan pencitraan lanjutan yang sebenarnya tidak diperlukan. Pendekatan D-dimer yang disesuaikan usia secara langsung mengatasi masalah ini. 

Strategi YEARS lebih lanjut mengintegrasikan D-dimer dengan gambaran klinis untuk membuat keputusan yang lebih aman mengenai perlunya CTPA. Sementara itu, PERC rule merupakan langkah lebih awal lagi untuk mengurangi jumlah tes yang tidak perlu pada kelompok pasien tertentu. Semua ini adalah upaya untuk menyeimbangkan sensitivitas tinggi (agar tidak melewatkan kasus EP) dengan spesifisitas yang lebih baik (untuk mengurangi diagnosis berlebih dan paparan radiasi yang tidak perlu). Dokter umum perlu mengadopsi pendekatan D-dimer yang lebih baru ini untuk meningkatkan akurasi diagnostik, efisiensi, dan keamanan pasien.

3.3 Pemeriksaan Pencitraan – Mengkonfirmasi Diagnosis Emboli Paru

Setelah penilaian probabilitas klinis dan, jika diindikasikan, pemeriksaan D-dimer, langkah selanjutnya untuk mengkonfirmasi diagnosis EP adalah pemeriksaan pencitraan.

  • CT Pulmonary Angiography (CTPA): Saat ini, CTPA dianggap sebagai modalitas pencitraan baku emas (gold standard) untuk diagnosis EP. Pemeriksaan ini menggunakan teknologi CT scan dengan penyuntikan kontras intravena untuk memvisualisasikan arteri pulmonalis dan mendeteksi adanya bekuan darah secara langsung. Keunggulan CTPA adalah kemampuannya yang tinggi dalam mendeteksi EP, bahkan hingga ke cabang-cabang arteri yang lebih kecil. Namun, CTPA juga memiliki beberapa keterbatasan, termasuk paparan radiasi pengion dan risiko terkait penggunaan media kontras (misalnya, reaksi alergi atau nefropati akibat kontras).

Gambar 1. CT angiogram paru menunjukkan Gambaran “filling defect” pada arteri pulmonal kanan dan kiri, meluas hingga percabangannya dan sesuai dengan Gambaran emboli paru bilateral

  • Point-of-Care Ultrasound (POCUS): POCUS, atau ultrasonografi yang dilakukan di samping tempat tidur pasien, telah muncul sebagai alat diagnostik non-invasif yang menjanjikan, terutama di unit perawatan kritis atau di daerah dengan akses terbatas ke CTPA. POCUS multi-organ, yang melibatkan pemeriksaan jantung (ekokardiografi), paru, dan vena tungkai, menunjukkan akurasi diagnostik yang tinggi untuk EP pada pasien kritis. POCUS dapat mendeteksi tanda-tanda tidak langsung dari EP, seperti disfungsi ventrikel kanan atau adanya DVT sebagai sumber emboli. Meskipun CTPA tetap menjadi baku emas, meningkatnya bukti ilmiah yang mendukung penggunaan POCUS menunjukkan potensi pergeseran atau setidaknya peran pelengkap dalam alur diagnostik EP. Ini terutama relevan di layanan primer atau unit gawat darurat di mana akses cepat ke CTPA mungkin terbatas, atau sebagai alat triase untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan investigasi lebih lanjut dengan CTPA. Keterampilan POCUS dapat menjadi aset berharga bagi dokter umum, terutama yang bekerja di fasilitas dengan sumber daya terbatas atau yang sering menangani pasien dengan kondisi akut.

Gambar 2. Multi-organ POCUS

  • Ventilation-Perfusion (V/Q) Scan: V/Q scan adalah alternatif pemeriksaan pencitraan, terutama jika CTPA merupakan kontraindikasi (misalnya, pada pasien dengan alergi berat terhadap kontras atau gagal ginjal berat) atau tidak tersedia. Pemeriksaan ini menilai kesesuaian antara ventilasi (aliran udara) dan perfusi (aliran darah) di paru-paru.

4. Stratifikasi Risiko Emboli Paru: Kunci Menentukan Tatalaksana dan Prognosis

Segera setelah diagnosis EP ditegakkan, langkah krusial berikutnya adalah melakukan stratifikasi risiko. Tujuan dari stratifikasi risiko adalah untuk memandu intensitas terapi yang akan diberikan dan untuk memprediksi risiko mortalitas dini. Pasien EP dengan risiko tinggi memerlukan tatalaksana yang lebih agresif dan pemantauan yang lebih ketat.

Parameter utama yang digunakan untuk stratifikasi risiko EP meliputi:

  • Stabilitas Hemodinamik: Ini adalah faktor penentu utama. EP risiko tinggi (atau masif) didefinisikan oleh adanya instabilitas hemodinamik, yang mencakup syok obstruktif (tekanan darah sistolik <90 mmHg, atau memerlukan vasopresor untuk mencapai ≥90 mmHg, disertai tanda hipoperfusi organ), hipotensi persisten, atau kondisi henti jantung yang memerlukan resusitasi kardiopulmoner. Pasien dengan EP risiko tinggi ini memiliki prognosis yang buruk, dengan angka mortalitas dalam 90 hari dapat mencapai sekitar 40%.

  • Disfungsi Ventrikel Kanan (RV): Penilaian ada atau tidaknya disfungsi ventrikel kanan sangat penting. Disfungsi RV dapat dievaluasi melalui pemeriksaan ekokardiografi (yang menunjukkan dilatasi RV, hipokinesis, atau pergeseran septum interventrikular) atau melalui peningkatan biomarker jantung. Penting untuk ditekankan bahwa penilaian disfungsi RV direkomendasikan bahkan pada pasien EP yang stabil secara hemodinamik (EP risiko menengah atau submasif), karena adanya disfungsi RV pada kelompok ini berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas jangka pendek. Pedoman terbaru menekankan bahwa disfungsi RV harus dievaluasi meskipun skor prognosis seperti PESI atau sPESI menunjukkan risiko rendah.

  • Biomarker Jantung: Peningkatan kadar biomarker jantung, seperti troponin (penanda kerusakan miosit) atau Brain Natriuretic Peptide (BNP)/N-terminal pro-BNP (NT-proBNP) (penanda regangan dinding ventrikel), mengindikasikan adanya regangan atau kerusakan pada ventrikel kanan akibat peningkatan tekanan di arteri pulmonalis.

Selain parameter di atas, skor prognosis seperti Pulmonary Embolism Severity Index (PESI) atau versi sederhananya, simplified PESI (sPESI), dapat digunakan untuk membantu stratifikasi risiko lebih lanjut pada pasien tanpa instabilitas hemodinamik. Skor Bova juga telah disebutkan sebagai alat bantu untuk pasien EP risiko tinggi. Sebaliknya, pasien dengan EP risiko rendah (misalnya, skor PESI kelas I atau II, sPESI 0, tanpa disfungsi RV atau peningkatan biomarker) umumnya memiliki prognosis yang baik, dengan tingkat kelangsungan hidup 1 tahun lebih dari 95%.

Penekanan pada evaluasi disfungsi RV, bahkan pada pasien yang stabil secara hemodinamik dan memiliki skor PESI/sPESI rendah , menunjukkan bahwa stratifikasi risiko tradisional yang hanya mengandalkan skor klinis mungkin tidak cukup sensitif untuk mengidentifikasi semua pasien yang berisiko mengalami perburukan. 

Ada kemungkinan subkelompok pasien yang tampak "stabil" secara klinis namun memiliki disfungsi RV subklinis yang menempatkan mereka pada risiko yang lebih tinggi daripada yang ditunjukkan oleh skor klinis saja. 

Hal ini mendorong perlunya pendekatan penilaian risiko yang multimodal, yang mengintegrasikan temuan klinis, hasil pencitraan (terutama ekokardiografi untuk fungsi RV), dan kadar biomarker jantung. Dokter umum harus menyadari bahwa pasien EP yang tampak stabil secara hemodinamik mungkin masih memiliki risiko yang signifikan jika terdapat bukti disfungsi RV. 

Kesadaran ini penting untuk pengambilan keputusan terkait rujukan ke spesialis, kebutuhan akan pemantauan yang lebih ketat, atau bahkan pertimbangan terapi yang lebih intensif, meskipun pasien awalnya diklasifikasikan sebagai "risiko rendah" berdasarkan skor klinis semata.

5. Tatalaksana Komprehensif Emboli Paru: Dari Suportif hingga Reperfusi

Tatalaksana Terapi Emboli Paru bersifat komprehensif, dimulai dari tindakan suportif, antikoagulasi, hingga terapi reperfusi pada kasus tertentu.

5.1 Langkah Suportif Awal dan Antikoagulasi

  • Tindakan Suportif: Langkah awal adalah memastikan stabilisasi pasien. Ini meliputi pemberian oksigen suplemental untuk menjaga saturasi oksigen di atas 90%. Pada pasien dengan gagal napas, ventilasi mekanis (invasif atau non-invasif) mungkin diperlukan, namun penggunaannya harus hati-hati karena potensi efek samping hemodinamik yang merugikan pada ventrikel kanan yang sudah terbebani. Resusitasi cairan intravena pada pasien dengan gagal ventrikel kanan akut akibat EP harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan umumnya hanya diindikasikan jika ada tanda-tanda deplesi volume intravaskular (misalnya, vena cava inferior yang kolaps pada pemeriksaan USG). Pemberian cairan yang agresif dapat memperburuk distensi ventrikel kanan. Vasopresor mungkin diperlukan untuk mendukung tekanan darah pada pasien dengan syok.

  • Antikoagulasi adalah Landasan Terapi EP Akut: Antikoagulasi merupakan terapi utama dan harus segera dimulai pada sebagian besar pasien dengan diagnosis EP atau kecurigaan tinggi EP.

  • Waktu Memulai Antikoagulasi: Pada pasien yang stabil secara hemodinamik dengan kecurigaan klinis tinggi terhadap EP, antikoagulasi sebaiknya dimulai sebelum hasil pemeriksaan pencitraan diagnostik diperoleh. Untuk pasien stabil dengan kecurigaan klinis rendah atau sedang, keputusan untuk memulai antikoagulasi dapat menunggu hasil diagnostik jika pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu singkat (misalnya, dalam 4-24 jam, tergantung tingkat kecurigaan).

  • Pilihan Antikoagulan Awal (Parenteral):

  • Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH) (misalnya, Enoxaparin, Dalteparin) atau Fondaparinux: Agen-agen ini umumnya lebih disukai daripada Unfractionated Heparin (UFH) untuk terapi inisial pada sebagian besar pasien EP. Keunggulan LMWH dan Fondaparinux meliputi profil farmakokinetik yang lebih dapat diprediksi, kemudahan pemberian secara subkutan dengan dosis berdasarkan berat badan, risiko perdarahan mayor dan Heparin-Induced Thrombocytopenia (HIT) yang lebih rendah, serta potensi penurunan mortalitas dibandingkan UFH. LMWH juga cenderung mencapai kadar antikoagulasi terapeutik lebih cepat dibandingkan UFH.

  • Unfractionated Heparin (UFH): UFH masih memiliki peran penting, terutama pada pasien dengan instabilitas hemodinamik (yang mungkin memerlukan terapi reperfusi primer seperti trombolisis), pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat (bersihan kreatinin <30 mL/menit), atau pada pasien dengan risiko perdarahan yang sangat tinggi di mana kemampuan untuk menghentikan efek antikoagulan dengan cepat mungkin diperlukan. Pemberian UFH intravena memerlukan pemantauan laboratorium yang ketat menggunakan activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) atau kadar anti-faktor Xa.

  • Transisi ke Antikoagulan Oral: Setelah fase akut dan stabilisasi, terapi antikoagulasi dilanjutkan dengan agen oral untuk jangka panjang.

  • Direct Oral Anticoagulants (DOACs) (misalnya, Apixaban, Rivaroxaban, Edoxaban, Dabigatran): DOACs semakin menjadi pilihan utama untuk terapi jangka panjang, dan beberapa (Apixaban dan Rivaroxaban) juga dapat digunakan sebagai terapi inisial tunggal tanpa memerlukan bridging dengan heparin parenteral. Keunggulan DOACs meliputi kemudahan penggunaan (dosis oral tetap tanpa perlu pemantauan koagulasi rutin) dan profil keamanan yang umumnya lebih baik (terutama risiko perdarahan intrakranial yang lebih rendah) dibandingkan antagonis vitamin K (VKA). Edoxaban dan Dabigatran memerlukan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral selama 5-10 hari sebelum dimulai.

  • Antagonis Vitamin K (VKA) (misalnya, Warfarin): VKA merupakan pilihan tradisional untuk antikoagulasi oral jangka panjang. Penggunaannya memerlukan terapi awal bersamaan (bridging) dengan heparin parenteral hingga International Normalized Ratio (INR) mencapai target terapeutik (biasanya 2.0-3.0), dan memerlukan pemantauan INR secara berkala.

Preferensi yang berkembang untuk penggunaan LMWH dibandingkan UFH untuk terapi inisial, dan DOACs dibandingkan VKA untuk terapi jangka panjang , mencerminkan tren global menuju terapi antikoagulasi yang lebih sederhana, lebih aman, dan lebih nyaman bagi pasien, tanpa mengorbankan efikasi. 

Hal ini sangat relevan bagi praktik dokter umum yang mungkin terlibat dalam manajemen pasien EP risiko rendah secara rawat jalan atau setelah pasien keluar dari rumah sakit. UFH memiliki farmakokinetik yang tidak dapat diprediksi, memerlukan infus intravena dan pemantauan laboratorium yang ketat. Sebaliknya, LMWH menawarkan dosis tetap subkutan dan profil farmakokinetik yang lebih stabil. 

Demikian pula, VKA memerlukan pemantauan INR yang sering dan memiliki banyak interaksi obat dan makanan, sementara DOACs menawarkan kemudahan dosis oral tetap tanpa pemantauan rutin. Pergeseran ini didukung oleh data uji klinis yang menunjukkan non-inferioritas atau bahkan superioritas (dalam hal keamanan atau kemudahan penggunaan) dari agen-agen yang lebih baru. Dokter umum perlu familiar dengan kelebihan dan kekurangan berbagai pilihan antikoagulan, terutama DOACs, termasuk kriteria pemilihan pasien yang tepat dan kapan peralihan dari antikoagulan parenteral ke oral dilakukan. Pemahaman ini juga memfasilitasi potensi manajemen rawat jalan untuk pasien EP risiko rendah tertentu.

5.2 Terapi Reperfusi untuk Emboli Paru Risiko Tinggi

Terapi reperfusi bertujuan untuk melarutkan atau menghilangkan bekuan darah secara cepat dari arteri pulmonalis. Terapi ini diindikasikan terutama untuk pasien EP risiko tinggi, yaitu mereka yang datang dengan instabilitas hemodinamik.

  • Trombolisis Sistemik: Pemberian agen trombolitik (fibrinolitik) secara intravena.

  • Agen: Alteplase (recombinant tissue Plasminogen Activator, t-PA) adalah satu-satunya agen trombolitik yang disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk pengobatan EP masif. Tenecteplase, agen trombolitik lain, juga telah digunakan dalam penelitian dan praktik klinis untuk EP (meskipun penggunaannya untuk EP mungkin bersifat off-label di beberapa negara).

  • Manfaat: Trombolisis sistemik terbukti dapat memperbaiki parameter hemodinamik (seperti tekanan arteri pulmonalis dan fungsi ventrikel kanan) dan menurunkan mortalitas pada pasien dengan EP risiko tinggi.

  • Risiko: Risiko utama trombolisis sistemik adalah peningkatan kejadian perdarahan, termasuk perdarahan intrakranial yang berpotensi fatal dan perdarahan mayor lainnya. Oleh karena itu, keputusan untuk memberikan trombolisis harus mempertimbangkan dengan cermat potensi manfaat versus risiko, dan memperhatikan kontraindikasi absolut dan relatif terhadap terapi ini.

  • Terapi Kateter (Catheter-Directed Thrombolysis/Embolectomy): Ini adalah alternatif terapi reperfusi yang melibatkan pemasangan kateter langsung ke arteri pulmonalis yang tersumbat. Melalui kateter ini, agen trombolitik dapat diberikan secara lokal dengan dosis yang lebih rendah (catheter-directed thrombolysis), atau bekuan darah dapat dihilangkan secara mekanis (catheter-based embolectomy) menggunakan berbagai perangkat. Terapi kateter dapat dipertimbangkan pada pasien EP risiko tinggi dengan kontraindikasi terhadap trombolisis sistemik, atau jika trombolisis sistemik gagal memberikan perbaikan klinis.

  • Embolectomi Bedah (Surgical Embolectomy): Ini adalah prosedur bedah terbuka untuk mengangkat bekuan darah dari arteri pulmonalis. Embolectomi bedah biasanya menjadi pilihan terakhir untuk pasien EP risiko tinggi di mana trombolisis (sistemik atau kateter) merupakan kontraindikasi absolut atau telah gagal, dan pasien masih dalam kondisi kritis.

Keputusan untuk melakukan terapi reperfusi pada pasien EP risiko tinggi adalah keputusan yang kompleks dan seringkali melibatkan tim multidisiplin di tingkat rumah sakit. Ini merupakan keseimbangan antara potensi manfaat penyelamatan jiwa dan risiko perdarahan yang signifikan. Pasien EP risiko tinggi berada dalam kondisi yang sangat kritis. Trombolisis dapat dengan cepat melarutkan bekuan dan memulihkan hemodinamik , tetapi dengan risiko perdarahan intrakranial atau perdarahan mayor lainnya yang substansial. 

Terapi yang diarahkan kateter mungkin menawarkan risiko perdarahan sistemik yang lebih rendah tetapi memiliki risiko proseduralnya sendiri, seperti perforasi arteri pulmonalis. Meskipun dokter umum mungkin tidak secara langsung melakukan terapi reperfusi, mereka harus mampu mengidentifikasi pasien EP risiko tinggi yang memerlukan rujukan segera ke fasilitas yang memiliki kemampuan untuk melakukan terapi reperfusi. Pemahaman dasar mengenai prinsip dan risiko terapi ini juga penting untuk memberikan konseling awal yang tepat kepada pasien dan keluarga.

5.3 Durasi Terapi Antikoagulasi

Setelah fase akut teratasi, pertanyaan penting berikutnya adalah berapa lama terapi antikoagulasi harus dilanjutkan.

  • Semua pasien dengan EP memerlukan terapi antikoagulasi minimal selama 3 bulan.

  • Keputusan untuk melanjutkan terapi antikoagulasi lebih dari 3 bulan (terapi jangka panjang atau diperpanjang) bersifat individual dan harus didasarkan pada penilaian cermat terhadap keseimbangan antara risiko rekurensi VTE dan risiko perdarahan akibat antikoagulasi.

  • Faktor-faktor yang mendukung pertimbangan terapi antikoagulasi jangka panjang meliputi: EP yang tidak terprovokasi (yaitu, terjadi tanpa adanya faktor risiko sementara yang jelas), adanya faktor risiko VTE yang persisten (misalnya, kanker aktif, sindrom antifosfolipid, atau trombofilia berat), atau riwayat VTE rekuren.

  • Pada pasien dengan kanker aktif yang mengalami EP, LMWH atau DOACs tertentu (seperti Apixaban dan Rivaroxaban) umumnya lebih disukai daripada VKA untuk terapi antikoagulasi jangka panjang, karena efikasi yang lebih baik dan/atau profil keamanan yang lebih menguntungkan pada populasi ini.

Penentuan durasi antikoagulasi adalah proses yang dinamis dan memerlukan re-evaluasi berkala terhadap keseimbangan risiko-manfaat bagi setiap individu pasien. Risiko rekurensi VTE tetap ada setelah penghentian terapi antikoagulan, terutama pada kasus EP yang tidak terprovokasi. Di sisi lain, terapi antikoagulasi jangka panjang secara inheren meningkatkan risiko perdarahan kumulatif. Oleh karena itu, tidak ada durasi "satu ukuran untuk semua" setelah periode 3 bulan pertama. 

Penilaian ulang pada 3 bulan (dan secara periodik setelahnya jika terapi dilanjutkan) sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan terapi tetap sesuai dengan kondisi klinis pasien dan preferensinya. Dokter umum memainkan peran penting dalam memberikan konseling kepada pasien mengenai pentingnya durasi antikoagulasi, memantau kepatuhan terhadap pengobatan, mengawasi potensi efek samping (terutama perdarahan), dan berkolaborasi dengan dokter spesialis untuk pengambilan keputusan mengenai terapi jangka panjang, terutama pada kasus-kasus yang kompleks atau berisiko tinggi.

6. Fokus pada Dosis Obat Emboli Paru yang Akurat dan Aman

Pemberian Dosis Obat Emboli Paru yang tepat dan akurat merupakan aspek fundamental dalam tatalaksana EP. Dosis yang tepat sangat krusial untuk mencapai efikasi terapi (mencegah rekurensi atau progresi bekuan darah) sekaligus menjaga keamanan pasien (meminimalkan risiko komplikasi perdarahan).

Berikut adalah tabel yang merangkum dosis standar antikoagulan yang umum digunakan untuk tatalaksana EP akut pada orang dewasa, berdasarkan informasi dari sumber-sumber ilmiah.

Tabel: Dosis Standar Antikoagulan untuk Tatalaksana Emboli Paru Akut pada Orang Dewasa

Nama Obat (Generik)

Rute Pemberian

Dosis Inisial/Loading

Dosis Pemeliharaan

Pertimbangan Khusus/Catatan Penting (Contoh)

Unfractionated Heparin (UFH)

IV

Bolus 80 unit/kg

Infus kontinu 18 unit/kg/jam, disesuaikan berdasarkan aPTT atau anti-Xa

Pilihan pada instabilitas hemodinamik, gangguan ginjal berat (CrCl <30 mL/min), risiko perdarahan tinggi. Memerlukan pemantauan laboratorium.

Enoxaparin (LMWH)

SC

-

1 mg/kg setiap 12 jam ATAU 1.5 mg/kg setiap 24 jam (tergantung protokol dan kondisi pasien)

Penyesuaian dosis pada gangguan ginjal (CrCl <30 mL/min). Pilihan pada kehamilan. Pantau anti-Xa pada kondisi tertentu (obesitas, gangguan ginjal).

Dalteparin (LMWH)

SC

-

200 IU/kg sekali sehari (maksimum 18.000 IU/hari) untuk bulan pertama, kemudian dapat disesuaikan.

Penyesuaian dosis pada gangguan ginjal. Pilihan pada pasien kanker.

Fondaparinux

SC

-

<50 kg: 5 mg sekali sehari; 50-100 kg: 7.5 mg sekali sehari; >100 kg: 10 mg sekali sehari

Kontraindikasi pada CrCl <30 mL/min.

Rivaroxaban (DOAC)

PO

15 mg dua kali sehari selama 21 hari

20 mg sekali sehari

Diminum bersama makanan. Hindari pada CrCl <30 mL/min (beberapa pedoman <15 mL/min). Tidak memerlukan bridging heparin.

Apixaban (DOAC)

PO

10 mg dua kali sehari selama 7 hari

5 mg dua kali sehari

Tidak memerlukan bridging heparin. Pertimbangkan penyesuaian dosis pada kombinasi faktor risiko tertentu (usia ≥80 thn, BB ≤60 kg, kreatinin serum ≥1.5 mg/dL).

Edoxaban (DOAC)

PO

- (setelah 5-10 hari terapi parenteral)

60 mg sekali sehari. Dosis 30 mg sekali sehari jika BB ≤60 kg, CrCl 15-50 mL/min, atau penggunaan bersama inhibitor P-gp tertentu.

Memerlukan terapi antikoagulan parenteral awal. Tidak direkomendasikan pada CrCl >95 mL/min atau CrCl <15 mL/min.

Dabigatran (DOAC)

PO

- (setelah 5-10 hari terapi parenteral)

150 mg dua kali sehari. Dosis 110 mg dua kali sehari pada usia ≥80 tahun atau kondisi tertentu.

Memerlukan terapi antikoagulan parenteral awal. Perhatikan fungsi ginjal dan interaksi obat (inhibitor/inducer P-gp). Kapsul tidak boleh dibuka.

Warfarin (VKA)

PO

Dosis inisial bervariasi (misalnya 5-10 mg)

Disesuaikan berdasarkan target INR (biasanya 2.0-3.0)

Memerlukan bridging dengan heparin parenteral. Banyak interaksi obat dan makanan. Memerlukan pemantauan INR rutin.

Beberapa pertimbangan khusus dalam pemberian dosis yang perlu diperhatikan oleh dokter umum meliputi:

  • Fungsi Ginjal: Banyak antikoagulan, terutama LMWH dan beberapa DOACs (seperti Dabigatran, Edoxaban, Rivaroxaban), diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, penyesuaian dosis atau bahkan kontraindikasi mungkin diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. UFH dianggap lebih aman pada pasien dengan gangguan ginjal berat karena metabolismenya yang berbeda.

  • Berat Badan: Dosis LMWH umumnya dihitung berdasarkan berat badan aktual. Pada pasien dengan obesitas ekstrem atau berat badan sangat rendah, pertimbangan khusus atau pemantauan mungkin diperlukan untuk beberapa jenis LMWH dan DOACs (misalnya, dosis Edoxaban disesuaikan untuk BB ≤60 kg).

  • Usia: Usia lanjut dapat mempengaruhi farmakokinetik obat dan meningkatkan risiko perdarahan. Beberapa DOACs memiliki rekomendasi dosis yang lebih rendah untuk pasien usia lanjut (misalnya, Dabigatran untuk usia ≥80 tahun).

  • Interaksi Obat: Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, terutama untuk DOACs yang merupakan substrat P-glikoprotein (P-gp) atau enzim sitokrom P450 (misalnya, CYP3A4). Penggunaan bersamaan dengan inhibitor atau inducer kuat dari jalur ini dapat secara signifikan mengubah kadar DOACs dalam darah, sehingga meningkatkan risiko perdarahan atau kegagalan terapi. Warfarin juga terkenal dengan banyaknya interaksi obat dan makanan.

  • Kehamilan dan Menyusui: LMWH adalah antikoagulan pilihan utama selama kehamilan karena tidak melewati plasenta. Penggunaan DOACs dan Warfarin umumnya dihindari selama kehamilan.

  • Gangguan Fungsi Hati: Beberapa DOACs (misalnya Rivaroxaban, Edoxaban) harus digunakan dengan hati-hati atau dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi hati sedang hingga berat.

Kompleksitas dalam penentuan dosis, yang harus mempertimbangkan fungsi organ, berat badan, usia, dan potensi interaksi obat, menggarisbawahi bahwa meskipun DOACs telah menyederhanakan beberapa aspek terapi antikoagulasi (seperti tidak diperlukannya pemantauan laboratorium rutin untuk efikasi), kehati-hatian dan pengetahuan farmakologi yang mendalam tetap esensial. Ini bukanlah pendekatan "satu pil untuk semua ukuran." Informasi dalam tabel dosis dan catatan pertimbangan khusus .

7. Kesimpulan: Pesan Kunci untuk Praktik Dokter Umum Sehari-hari

Sebagai rangkuman, nyeri dada tidak selalu identik dengan Penyakit Jantung Koroner; Emboli Paru merupakan diagnosis banding krusial yang memerlukan tingkat kewaspadaan tinggi dari setiap dokter umum. Diagnosis EP yang efektif melibatkan penilaian probabilitas klinis yang cermat, penggunaan D-dimer secara bijak sesuai pedoman terkini, dan konfirmasi diagnosis melalui pemeriksaan pencitraan, dengan CTPA sebagai baku emas pada sebagian besar kasus.

Setelah diagnosis ditegakkan, stratifikasi risiko menjadi langkah penting untuk menentukan urgensi dan jenis tatalaksana yang paling sesuai. Antikoagulasi tetap menjadi pilar utama dalam Terapi Emboli Paru, dengan LMWH dan DOACs kini memainkan peran sentral karena profil efikasi, keamanan, dan kemudahan penggunaannya. Pemahaman dan penerapan Dosis Obat Emboli Paru yang akurat dan aman adalah kunci untuk mencapai luaran terapi yang optimal dan meminimalkan risiko komplikasi.

Dokter umum memegang peran vital dalam rantai penanganan EP. Peran ini mencakup identifikasi dini pasien yang berisiko atau menunjukkan gejala sugestif EP, inisiasi tatalaksana awal pada kasus-kasus yang sesuai (terutama EP risiko rendah hingga sedang yang stabil), dan melakukan rujukan yang cepat dan tepat waktu untuk pasien EP risiko tinggi atau kasus yang kompleks ke fasilitas dengan layanan spesialis dan kemampuan terapi reperfusi.

Penanganan EP yang optimal adalah sebuah proses berkesinambungan yang melibatkan kesadaran (baik dari sisi pasien maupun dokter), diagnosis yang cepat dan akurat, stratifikasi risiko yang tepat, pemilihan dan pemberian terapi yang sesuai (termasuk dosis obat yang benar), serta perencanaan tindak lanjut dan pemantauan jangka panjang. 

Dokter umum adalah mata rantai yang sangat krusial, terutama di awal proses ini. Jika kesadaran akan EP rendah, pasien mungkin tidak mencari pertolongan medis dengan segera, atau dokter mungkin tidak mencurigai EP sebagai diagnosis banding. Jika diagnosis terlambat, prognosis pasien dapat memburuk secara signifikan. Jika stratifikasi risiko tidak akurat, terapi yang diberikan bisa jadi tidak adekuat atau justru berlebihan. Jika dosis obat tidak tepat, pasien berisiko mengalami perdarahan atau kegagalan terapi. Jika tindak lanjut tidak optimal, risiko rekurensi EP dapat meningkat. 

Oleh karena itu, pemberdayaan dokter umum dengan pengetahuan, keterampilan, dan alat bantu yang tepat untuk mendiagnosis dan memulai manajemen EP secara efektif dapat secara signifikan mengurangi beban penyakit ini di masyarakat dan meningkatkan keselamatan pasien. Penting bagi setiap dokter umum untuk terus mengikuti perkembangan pedoman Diagnosis dan Terapi Emboli Paru guna memastikan praktik klinis terbaik bagi pasien.

Referensi

  1. Massive Bilateral Pulmonary Embolism in a Healthy 37-Year-Old Male: A Case of Atypical Presentation - PMC - PubMed Central, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11865860/

  2. Acute Pulmonary Embolism - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juni 12, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560551/

  3. Performance of the Wells score in patients with suspected pulmonary embolism during hospitalization: a delayed-type cross sectional study in a community hospital - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24342535/

  4. Epidemiology and management of massive, sub-massive, and non-massive pediatric pulmonary embolism: a systematic reviews - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40287637/

  5. Pulmonary embolism: the diagnosis, risk-stratification, treatment and ..., diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5065342/

  6. D-Dimer Test - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juni 12, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431064/

  7. D-dimer testing for suspected pulmonary embolism in outpatients - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9279229/

  8. New guidelines for the diagnosis and management of pulmonary ..., diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7284001/

  9. Diagnostic accuracy of multi-organ point-of-care ultrasound for pulmonary embolism in critically ill patients: a systematic review and meta-analysis - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40269937/

  10. Evidence-Based Anticoagulation Choice for Acute Pulmonary Embolism - PMC, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11805341/

  11. Low-molecular-weight heparin compared with intravenous unfractionated heparin for treatment of pulmonary embolism: a meta-analysis of randomized, controlled trials - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/14757615/

  12. Efficacy and Safety of Low Molecular Weight Heparin Versus Unfractionated Heparin for Prevention of Venous Thromboembolism in Trauma Patients: A Systematic Review and Meta-analysis - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34387202/

  13. Review of Medical Therapies for the Management of Pulmonary ..., diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7912594/

  14. Initial anticoagulation in patients with pulmonary embolism: thrombolysis, unfractionated heparin, LMWH, fondaparinux, or DOACs? - PMC, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5651323/

  15. Direct Oral Anticoagulants for Pulmonary Embolism - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38467144/