Panduan Klinis Komprehensif: Diagnosis dan Terapi Complicated UTI di Era Resistensi Antibiotik

24 Nov 2025 • urologi

Deskripsi

Panduan Klinis Komprehensif: Diagnosis dan Terapi Complicated UTI di Era Resistensi Antibiotik

Pendahuluan: Mendefinisikan Ulang Complicated UTI untuk Praktik Klinis Modern

Complicated Urinary Tract Infection (cUTI) bukanlah sekadar diagnosis, melainkan sebuah sindrom klinis yang menandakan risiko tinggi kegagalan terapi, morbiditas signifikan, dan potensi progresi menjadi sepsis. Bagi dokter di lini pertama, kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengelola cUTI secara tepat adalah krusial.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan panduan klinis komprehensif yang didasarkan pada bukti ilmiah termutakhir dari jurnal terindeks PubMed, yang dirancang khusus untuk menavigasi tantangan diagnosis dan terapi cUTI di tengah meningkatnya ancaman resistensi antibiotik.

Definisi Klasik dan Keterbatasannya

Secara historis, cUTI didefinisikan sebagai infeksi saluran kemih (ISK) yang terjadi pada pasien dengan kelainan struktural atau fungsional pada saluran genitourinaria, atau pada host dengan faktor penyulit yang meningkatkan risiko kegagalan pengobatan. Definisi ini mencakup spektrum kondisi yang sangat luas, yang secara tradisional dikategorikan berdasarkan faktor risiko :

  • Faktor Host: Meliputi semua ISK pada pria (secara definisi dianggap cUTI), pasien hamil, dan individu dengan status imunokompromais seperti penderita diabetes melitus, pengguna steroid jangka panjang, pasien HIV, usia lanjut, dan penerima transplantasi ginjal.

  • Faktor Anatomi atau Fungsional: Adanya obstruksi saluran kemih (misalnya akibat batu, benign prostatic hyperplasia (BPH), atau striktur), hidronefrosis, kandung kemih neurogenik, volume residu urin pasca-berkemih (post-void residual - PVR) yang signifikan, dan refluks vesikoureter (VUR).

  • Faktor Eksternal: Kehadiran benda asing seperti kateter urin (indwelling atau intermiten), stent ureter, atau tabung nefrostomi, serta riwayat instrumentasi urologi sebelumnya.

Meskipun berguna, definisi klasik ini memiliki keterbatasan signifikan dalam praktik klinis sehari-hari. Istilah "complicated" seringkali digunakan secara heterogen dan dapat menimbulkan kebingungan, karena bisa merujuk pada keberadaan faktor risiko, tingkat keparahan klinis, atau adanya keterlibatan sistemik. 

Sebagai contoh, seorang pasien pria dengan gejala sistitis ringan dan seorang pasien wanita dengan syok sepsis akibat pielonefritis keduanya dapat diklasifikasikan sebagai cUTI, padahal keduanya memerlukan pendekatan manajemen yang sangat berbeda. Ambiguitas ini dapat menghambat pengambilan keputusan klinis yang cepat dan tepat.

Paradigma Baru yang Lebih Aplikatif: Klasifikasi "Localized vs. Systemic" dari EAU

Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, European Association of Urology (EAU) memperkenalkan kerangka kerja klasifikasi baru yang lebih relevan secara klinis dan berfokus pada presentasi klinis pasien. Klasifikasi ini membedakan ISK menjadi dua kategori utama:

  1. Localized UTI: Didefinisikan sebagai ISK dengan gejala yang terlokalisir di saluran kemih bawah (sistitis), seperti disuria, frekuensi, urgensi, dan nyeri suprapubik, tanpa adanya tanda dan gejala infeksi sistemik. Klasifikasi ini berlaku untuk pria maupun wanita. Pasien dalam kategori ini, bahkan dengan adanya faktor risiko, seringkali dapat dikelola secara rawat jalan.

  2. Systemic UTI: Didefinisikan sebagai ISK yang disertai dengan tanda dan gejala infeksi sistemik, yang mengindikasikan bahwa infeksi telah menyebar melampaui kandung kemih. Tanda-tanda ini meliputi demam (T>38oC) atau hipotermia, rigor (menggigil hebat), delirium, takikardia, hipotensi, dan nyeri ketok pada sudut kostovertebral (CVA). Pielonefritis akut, yang sebelumnya sering menjadi sumber kebingungan klasifikasi, kini secara tegas dikategorikan sebagai
    Systemic UTI.

Gambar 1. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih


Pergeseran paradigma ini sangat fundamental bagi dokter umum. Fokusnya beralih dari sekadar mencentang daftar faktor risiko menjadi melakukan penilaian kritis terhadap tingkat keparahan klinis. Pertanyaan kunci yang harus dijawab adalah: "Apakah pasien ini menunjukkan tanda-tanda keterlibatan sistemik?" Jawaban atas pertanyaan ini secara langsung menentukan triase awal, lokasi perawatan (rawat jalan vs. rawat inap), dan intensitas tatalaksana yang diperlukan, seperti kebutuhan akan kultur darah, pencitraan, dan antibiotik parenteral.

Bagian 1: Alur Diagnosis Complicated UTI yang Tepat Sasaran

Pendekatan diagnostik yang sistematis adalah fondasi untuk manajemen cUTI yang berhasil. Alur ini dimulai dari anamnesis yang cermat hingga penggunaan tes laboratorium dan pencitraan yang rasional.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik: Mencari "Red Flags"

Evaluasi awal harus fokus pada identifikasi gejala yang membedakan infeksi terlokalisir dari infeksi sistemik. Selain gejala iritatif saluran kemih bawah (LUTS) klasik seperti disuria, frekuensi, dan urgensi, klinisi harus secara aktif mencari "red flags" yang mengarah pada Systemic UTI, seperti demam, menggigil, nyeri panggul atau pinggang, mual, muntah, dan perubahan status mental—terutama pada pasien lansia. 

Penting untuk diingat bahwa urin yang tampak keruh atau berbau menyengat, meskipun sering dikeluhkan pasien, bukanlah penanda diagnostik yang andal untuk ISK simtomatik. Pada populasi khusus, gejalanya bisa atipikal; misalnya, pasien dengan cedera tulang belakang mungkin melaporkan peningkatan spasme pada tungkai, sementara pasien multiple sclerosis bisa mengalami kelelahan yang memburuk.

Pemeriksaan Laboratorium: Fondasi Terapi Rasional

Pemeriksaan laboratorium yang tepat adalah pilar utama dalam menegakkan diagnosis dan memandu terapi antibiotik yang rasional.

  • Urinalisis: Temuan tipikal pada urinalisis meliputi leukosit esterase positif dan/atau nitrit positif, serta piuria yang didefinisikan sebagai ≥5−10 sel darah putih (WBC) per lapang pandang besar (LPB) pada pemeriksaan mikroskopis. Namun, klinisi harus waspada terhadap potensi hasil false negative, terutama pada infeksi yang disebabkan oleh patogen seperti Enterococcus spp. atau Pseudomonas aeruginosa yang tidak efisien dalam mengubah nitrat menjadi nitrit.

  • Kultur Urin dan Uji Sensitivitas: Ini adalah langkah wajib dan tidak dapat ditawar (non-negotiable) pada semua kasus suspek cUTI. Mengingat spektrum patogen pada cUTI lebih luas dan prevalensi resistensi antibiotik yang jauh lebih tinggi dibandingkan ISK sederhana, hasil kultur dan uji sensitivitas menjadi panduan krusial untuk terapi definitif. Spesimen urin harus diambil
    sebelum dosis pertama antibiotik diberikan. Ambang batas bakteriuria signifikan yang umum digunakan Adalah ≥105 colony-forming units (cfu)/mL pada spesimen urin porsi tengah (midstream urine).

  • Kultur Darah: Diindikasikan pada pasien dengan presentasi klinis berat, sepsis, atau tanda-tanda Systemic UTI lainnya untuk mendeteksi adanya bakteremia, yang dapat memperkuat diagnosis dan memengaruhi pilihan serta durasi terapi.

Peran Pencitraan Radiologi: Kapan dan Mengapa?

Pencitraan radiologi tidak diperlukan secara rutin untuk diagnosis awal cUTI. Perannya menjadi vital pada skenario klinis tertentu. Indikasi utama untuk melakukan pencitraan, baik dengan ultrasonografi (USG) maupun CT scan, adalah pada pasien yang

gagal menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan dalam waktu 48 hingga 72 jam setelah menerima terapi antibiotik spektrum luas yang adekuat. Kegagalan respons dalam jendela waktu ini harus dianggap sebagai tanda bahaya. Ini bukan sekadar indikasi "kegagalan antibiotik," melainkan sinyal kuat yang menunjukkan kemungkinan adanya masalah anatomis mendasar yang belum teratasi dan memerlukan intervensi. 

Tujuan utama pencitraan adalah untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan komplikasi seperti:

  • Obstruksi saluran kemih: Disebabkan oleh batu, massa, atau striktur yang menyebabkan hidronefrosis atau pionefrosis.

  • Abses renal atau perinefrik: Koleksi pus di dalam atau di sekitar ginjal.

  • Retensi urin akut.

CT scan dengan kontras dianggap sebagai modalitas pencitraan gold standard, terutama untuk mendiagnosis abses, karena sensitivitasnya yang tinggi. USG ginjal merupakan alternatif yang baik, lebih cepat, lebih murah, dan tanpa radiasi, sehingga sering menjadi pilihan pertama. 

Periode 48-72 jam ini menjadi titik keputusan kritis bagi klinisi untuk melakukan eskalasi diagnostik dan, jika perlu, segera merujuk pasien untuk konsultasi urologi. Keterlambatan dalam mendekompresi obstruksi atau mengalirkan abses terbukti meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan.

Bagian 2: Tatalaksana Komprehensif: Pilar Ganda Terapi Complicated UTI

Manajemen cUTI yang sukses berdiri di atas dua pilar fundamental: terapi antimikroba yang tepat dan, yang tidak kalah pentingnya, kontrol sumber infeksi (source control). Mengabaikan pilar kedua adalah resep untuk kegagalan terapi.

Prinsip Utama: Source Control adalah Kunci

Bukti ilmiah secara konsisten menunjukkan bahwa terapi antibiotik saja seringkali tidak akan berhasil jika faktor penyulit yang mendasari tidak dikoreksi. Tingkat kegagalan terapi dapat mencapai 50% pada pasien di mana kelainan struktural atau fungsional yang mendasarinya tidak dapat diperbaiki. Oleh karena itu, identifikasi dan manajemen faktor-faktor ini adalah prioritas utama.

  • Manajemen Benda Asing: Kateter urin, stent ureter, atau tabung nefrostomi yang terpasang lama merupakan permukaan ideal untuk pembentukan biofilm. Biofilm adalah komunitas mikroba terstruktur yang terbungkus dalam matriks polimerik, yang membuat bakteri di dalamnya sangat resisten terhadap antibiotik dan respons imun host. Satu-satunya terapi yang benar-benar efektif untuk memberantas infeksi terkait biofilm adalah dengan menyingkirkan atau mengganti benda asing tersebut.

  • Manajemen Obstruksi: Adanya obstruksi saluran kemih (misalnya oleh batu ureter) pada pasien dengan ISK dan demam merupakan keadaan darurat urologi. Kondisi ini, yang dikenal sebagai pionefrosis atau pielonefritis obstruktif, dapat dengan cepat berkembang menjadi urosepsis dan syok septik. Tatalaksana definitifnya adalah dekompresi segera pada sistem pengumpul ginjal, yang dapat dilakukan melalui pemasangan stent ureter secara endoskopik atau tabung nefrostomi perkutan. Studi menunjukkan bahwa setiap penundaan dalam melakukan dekompresi pada pasien ini secara signifikan meningkatkan risiko mortalitas di rumah sakit.

  • Manajemen Abses: Abses ginjal atau perinefrik yang berukuran kecil (<3 cm) mungkin dapat diatasi dengan terapi antibiotik intravena saja. Namun, abses yang lebih besar (umumnya >3-5 cm) hampir selalu memerlukan drainase perkutan di bawah panduan pencitraan (USG atau CT scan) sebagai tambahan dari terapi antibiotik. Drainase perkutan terbukti menjadi prosedur yang sangat efektif dan kuratif pada mayoritas kasus, memungkinkan evakuasi pus dan pengambilan sampel untuk kultur yang akurat.

Gambar 2. CT Scan abdomen kontras menunjukkan abses pada ginjal kanan yang berukuran >5 cm pada pole Tengah bawah dan rupture pada perinephric space


Bagi dokter umum, implikasi dari prinsip source control ini sangat jelas. Peran utama mereka bukanlah melakukan prosedur intervensi itu sendiri, melainkan mengenali pasien yang membutuhkannya dan memfasilitasi rujukan atau konsultasi urologi/radiologi intervensi secara tepat waktu

Kegagalan respons terhadap antibiotik dalam 48-72 jam atau temuan pencitraan yang menunjukkan obstruksi atau abses adalah pemicu yang jelas untuk eskalasi perawatan ini.

Bagian 3: Panduan Terapi dan Dosis Obat Complicated UTI

Pemilihan antibiotik yang tepat adalah komponen sentral dalam tatalaksana cUTI. Keputusan ini harus didasarkan pada pemahaman tentang spektrum patogen yang mungkin, pola resistensi lokal, dan karakteristik farmakokinetik/farmakodinamik dari agen yang tersedia.

Mikrobiologi dan Tantangan Resistensi

Berbeda dengan ISK sederhana yang didominasi oleh Escherichia coli, spektrum patogen pada cUTI jauh lebih beragam. Meskipun E. coli tetap menjadi penyebab paling umum, patogen lain seperti Enterococcus spp., Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis, dan Staphylococcus aureus secara signifikan lebih sering ditemukan.

Tantangan terbesar dalam terapi cUTI modern adalah meningkatnya prevalensi organisme multi-resisten (multidrug-resistant organisms - MDROs). Dua kelompok utama yang menjadi perhatian adalah:

  1. Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)-producing Enterobacterales: Bakteri ini mampu menghidrolisis sebagian besar golongan penisilin dan sefalosporin, sehingga membatasi pilihan terapi secara drastis.

  2. Carbapenem-Resistant Enterobacteriaceae (CRE): Merupakan ancaman yang lebih serius karena resisten terhadap antibiotik lini terakhir, yaitu karbapenem, dan seringkali hanya menyisakan sedikit pilihan terapi yang efektif.

Terapi Empiris Parenteral untuk Pasien Rawat Inap (Systemic UTI)

Pemilihan terapi empiris untuk pasien cUTI yang dirawat inap harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit, faktor risiko individu untuk MDRO, dan data pola resistensi (antibiogram) lokal.

  • Pasien Non-Kritis: Untuk pasien dengan Systemic UTI yang tidak sakit kritis, rejimen lini pertama yang direkomendasikan meliputi Ceftriaxone atau Piperacillin-Tazobactam. Piperacillin-tazobactam memiliki spektrum yang lebih luas dan menjadi pilihan yang lebih baik jika ada kecurigaan infeksi oleh
    Enterococcus atau P. aeruginosa.

  • Pasien Kritis atau Risiko Tinggi MDRO: Pada pasien dengan sepsis berat, syok septik, atau faktor risiko kuat untuk infeksi ESBL (misalnya, riwayat kolonisasi atau infeksi ESBL sebelumnya, penggunaan antibiotik spektrum luas baru-baru ini), Karbapenem (misalnya, Meropenem atau Imipenem-Cilastatin) adalah pilihan utama. Penting untuk dicatat bahwa Ertapenem, meskipun merupakan karbapenem, umumnya tidak memiliki aktivitas yang andal terhadap
    P. aeruginosa dan sebaiknya dihindari jika patogen ini dicurigai.

Perkembangan terbaru dalam terapi antibiotik telah menghasilkan agen-agen non-karbapenem yang sangat efektif, yang menjadi pilar strategi carbapenem-sparing. Tujuannya adalah untuk mengurangi tekanan selektif dan memperlambat laju resistensi terhadap karbapenem. 

Sebuah meta-analisis jaringan (NMA) berskala besar baru-baru ini menunjukkan bahwa beberapa agen baru, seperti Cefepime/Enmetazobactam dan Plazomicin, menunjukkan tingkat keberhasilan klinis dan eradikasi mikrobiologis yang bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan karbapenem pada pasien cUTI. Hal ini menandakan pergeseran penting dari paradigma "ESBL = Karbapenem" ke arah penggunaan terapi yang lebih bertarget dan cerdas.

Tabel berikut merangkum rekomendasi dosis obat parenteral untuk cUTI berat pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal, yang secara langsung menjawab kebutuhan informasi mengenai dosis obat Complicated UTI.

Tabel 1. Rekomendasi Dosis Obat Parenteral untuk Complicated UTI Berat pada Dewasa (Fungsi Ginjal Normal)

Antibiotik

Dosis Standar

Catatan Klinis Penting

Ceftriaxone

1-2 g IV setiap 24 jam

Pilihan baik untuk kasus non-kritis. Tidak ada cakupan untuk Pseudomonas atau Enterococcus.

Piperacillin-Tazobactam

4.5 g IV setiap 6-8 jam

Pilihan lini pertama yang lebih luas. Mencakup Pseudomonas dan beberapa anaerob.

Meropenem

1 g IV setiap 8 jam

Pilihan utama untuk suspek/terbukti infeksi ESBL. Spektrum sangat luas.

Imipenem-Cilastatin

500 mg IV setiap 6 jam

Alternatif Karbapenem. Perhatikan potensi kejang pada dosis tinggi/gangguan ginjal.

Cefepime

2 g IV setiap 12 jam

Sefalosporin anti-pseudomonal. Pilihan jika dicurigai Pseudomonas tetapi bukan ESBL.

Fosfomycin IV

6 g IV setiap 8 jam

Opsi penting untuk MDRO, termasuk beberapa CRE. Penggunaan meningkat sebagai carbapenem-sparing.

Plazomicin

15 mg/kg IV setiap 24 jam

Aminoglikosida generasi baru, efektif melawan MDRO. Menunjukkan superioritas vs. Meropenem dalam beberapa studi.

Cefepime/Enmetazobactam

2 g/0.5 g IV setiap 8 jam

Kombinasi baru, menunjukkan efikasi lebih baik dari Karbapenem dalam NMA terbaru. Opsi carbapenem-sparing yang kuat.

Ceftolozane/Tazobactam

1.5 g IV setiap 8 jam

Sangat aktif melawan P. aeruginosa yang resisten. Opsi penting untuk infeksi Pseudomonas yang sulit.

Terapi Oral dan Step-Down

Transisi dari terapi intravena (IV) ke oral, atau yang dikenal sebagai step-down therapy, adalah komponen penting dari antimicrobial stewardship. Strategi ini dapat memfasilitasi pemulangan pasien lebih awal, mengurangi risiko komplikasi terkait akses IV (misalnya, flebitis atau infeksi aliran darah), dan menekan biaya perawatan secara signifikan.

Pilihan antibiotik oral harus didasarkan pada hasil uji sensitivitas. Fluorokuinolon (Ciprofloxacin, Levofloxacin) memiliki bioavailabilitas oral yang sangat baik dan penetrasi jaringan yang tinggi, menjadikannya pilihan ideal untuk step-down therapy, asalkan tingkat resistensi lokal terhadap patogen target (biasanya E. coli) adalah rendah (<10%). Jika resistensi kuinolon tinggi, alternatif seperti

Amoxicillin-Clavulanate atau Trimethoprim-Sulfamethoxazole (TMP-SMX) dapat digunakan jika patogen terbukti sensitif.

Untuk infeksi yang disebabkan oleh ESBL, pilihan oral secara historis sangat terbatas. Namun, bukti yang berkembang menunjukkan bahwa Fosfomycin Trometamol yang diberikan dalam rejimen multi-dosis (misalnya, 3 gram setiap 48-72 jam) dapat menjadi pilihan yang efektif untuk cUTI yang disebabkan oleh ESBL. Rejimen dosis tunggal, yang digunakan untuk sistitis sederhana, tidak cukup untuk cUTI. Selain itu, pengembangan

karbapenem oral pertama, seperti Tebipenem Pivoxil, berpotensi merevolusi pengobatan cUTI oleh MDRO di ranah rawat jalan.

Tabel berikut memberikan panduan praktis mengenai pilihan dan dosis obat Complicated UTI secara oral.

Tabel 2. Pilihan dan Dosis Obat Oral untuk Terapi Lanjutan atau Complicated UTI Ringan (Fungsi Ginjal Normal)

Antibiotik

Dosis Standar

Catatan Klinis Penting

Ciprofloxacin

500 mg setiap 12 jam

Gunakan hanya jika tingkat resistensi lokal <10%. Bioavailabilitas oral sangat baik.

Levofloxacin

500-750 mg setiap 24 jam

Sama seperti Ciprofloxacin, perhatikan resistensi lokal.

Amoxicillin-Clavulanate

875/125 mg setiap 12 jam

Pilihan jika patogen sensitif dan resistensi kuinolon tinggi.

Trimethoprim-Sulfamethoxazole (TMP-SMX)

160/800 mg (DS) setiap 12 jam

Tingkat resistensi E. coli seringkali tinggi. Gunakan hanya jika patogen terbukti sensitif.

Fosfomycin Trometamol

3 g setiap 48-72 jam (multi-dosis)

Pilihan oral kunci untuk ISK akibat ESBL. Rejimen dosis tunggal tidak cukup untuk cUTI.

Tebipenem Pivoxil

600 mg setiap 8 jam

Karbapenem oral pertama (jika disetujui/tersedia). Potensi game-changer untuk cUTI oleh MDRO.

Bagian 4: Optimalisasi Terapi: Durasi dan Kriteria Switch Therapy

Setelah memilih antibiotik yang tepat, dua pertanyaan klinis berikutnya yang muncul adalah: "Berapa lama terapi harus diberikan?" dan "Kapan aman untuk beralih dari IV ke oral?" Jawaban atas pertanyaan ini semakin bergeser ke arah pendekatan yang lebih singkat dan dinamis.

Meninjau Ulang Durasi Terapi: Lebih Singkat Seringkali Cukup

Dogma lama yang merekomendasikan durasi terapi 10-14 hari untuk semua kasus cUTI kini mulai ditantang oleh bukti-bukti baru. Sejumlah uji klinis acak dan studi observasional berkualitas tinggi telah menunjukkan bahwa durasi terapi yang lebih singkat seringkali sama efektifnya dengan durasi yang lebih lama, terutama pada pasien pielonefritis akut yang merespons baik terhadap pengobatan awal.

Studi menunjukkan bahwa durasi terapi 7 hari sama efektifnya dengan rejimen 10-14 hari untuk pasien pielonefritis, termasuk mereka yang mengalami bakteremia, dalam hal angka kesembuhan klinis dan eradikasi mikrobiologis. Keberhasilan terapi 7 hari ini sangat bergantung pada penggunaan antibiotik oral dengan bioavailabilitas tinggi (seperti fluorokuinolon) untuk fase

step-down. Jika antibiotik oral yang tersedia memiliki bioavailabilitas yang lebih rendah, durasi 10 hari mungkin merupakan pilihan yang lebih aman.

Namun, penting untuk ditekankan bahwa durasi yang lebih lama (10-14 hari atau bahkan lebih) tetap diindikasikan untuk subkelompok pasien tertentu, seperti mereka dengan kelainan urologi yang tidak dapat dikoreksi, adanya abses renal, atau yang menunjukkan respons klinis yang lambat terhadap terapi.

Kriteria Peralihan dari IV ke Oral (Switch Therapy): Kapan Pasien Siap Pulang?

Keputusan untuk beralih dari terapi IV ke oral tidak boleh didasarkan pada jadwal yang kaku, melainkan pada penilaian holistik terhadap perbaikan klinis pasien. Peralihan yang terlalu dini dapat berisiko kegagalan terapi, sementara penundaan yang tidak perlu akan meningkatkan biaya dan risiko komplikasi terkait perawatan di rumah sakit. 

Berdasarkan konsensus ahli dan bukti klinis, peralihan dapat dipertimbangkan ketika pasien memenuhi serangkaian kriteria klinis. Penilaian ini harus menjadi proses yang dinamis. Seorang pasien yang memenuhi semua kriteria ini, terlepas dari apakah itu pada hari ke-3 atau hari ke-5 perawatan, adalah kandidat yang baik untuk de-eskalasi terapi. 

Pendekatan ini menggeser praktik dari jadwal yang kaku ("rawat selama 14 hari") ke arah pengambilan keputusan yang berpusat pada pasien ("rawat hingga stabil secara klinis, kemudian selesaikan total durasi terapi 7-10 hari dengan agen oral yang sesuai").

Tabel berikut menyajikan daftar periksa praktis berbasis bukti untuk memandu keputusan IV-to-oral switch therapy.

Tabel 3. Kriteria Klinis untuk IV-to-Oral Switch Therapy pada Complicated UTI

Kriteria

Deskripsi

Stabilitas Hemodinamik

Pasien tidak lagi memerlukan dukungan vasopresor, tidak ada hipotensi, dan tanda-tanda vital stabil.

Resolusi Demam

Pasien afebris (suhu <38°C) selama minimal 24 jam tanpa antipiretik.

Perbaikan Klinis yang Jelas

Gejala sistemik (menggigil, malaise, nyeri pinggang) telah membaik secara signifikan.

Fungsi Gastrointestinal Normal

Pasien dapat mentoleransi asupan oral (cairan dan makanan) dan dapat menelan tablet tanpa mual atau muntah yang signifikan.

Tersedianya Antibiotik Oral yang Sesuai

Hasil kultur dan uji sensitivitas telah tersedia, dan ada pilihan antibiotik oral yang efektif dengan bioavailabilitas yang baik untuk patogen penyebab.

Tidak Ada Indikasi Spesifik untuk Terapi IV

Tidak ada kondisi penyerta yang memerlukan terapi IV berkepanjangan, seperti endokarditis, meningitis, osteomielitis, atau abses dalam yang belum terdrainase.

Kesimpulan: Poin Kunci untuk Praktik Lini Depan

Manajemen Complicated UTI adalah tantangan klinis yang kompleks namun dapat dinavigasi dengan pendekatan yang sistematis dan berbasis bukti. Bagi dokter umum di lini depan, beberapa pesan kunci dapat diringkas sebagai berikut:

  • Identifikasi Dini Berdasarkan Keparahan: Alihkan fokus dari sekadar daftar faktor risiko ke penilaian ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi sistemik (demam, menggigil, nyeri pinggang). Ini adalah langkah pertama yang paling penting dalam menentukan urgensi, lokasi perawatan, dan alur tatalaksana.

  • Kultur adalah Wajib: Jangan pernah memulai terapi antibiotik untuk suspek cUTI tanpa terlebih dahulu mengambil sampel urin untuk kultur dan uji sensitivitas. Ini adalah landasan dari diagnosis dan terapi Complicated UTI yang rasional dan kunci untuk memerangi resistensi.

  • Ingat Dua Pilar Tatalaksana: Keberhasilan terapi cUTI bergantung pada dua pilar: (1) antibiotik yang tepat dan (2) koreksi faktor penyulit (source control). Jika pasien tidak membaik secara signifikan dalam 48-72 jam, segera curigai adanya obstruksi atau abses, dan lakukan eskalasi diagnostik dengan pencitraan serta pertimbangkan rujukan urologi.

  • Terapi Cerdas dan Modern: Manfaatkan panduan dosis obat Complicated UTI yang telah diperbarui. Gunakan durasi terapi yang lebih singkat (7-10 hari) untuk pasien yang merespons dengan baik. Dalam menghadapi MDRO, pertimbangkan opsi carbapenem-sparing yang lebih baru (misalnya, cefepime/enmetazobactam) untuk terapi parenteral dan fosfomycin multi-dosis untuk terapi oral, sejalan dengan prinsip antimicrobial stewardship untuk menjaga efektivitas antibiotik di masa depan.

Referensi

  1. Efficacy of treatment options for complicated urinary tract infections including acute pyelonephritis: a systematic literature review and network meta-analysis, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11864080/

  2. Complicated Urinary Tract Infections - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28613784/

  3. Complicated urinary tract infection in adults - PMC, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2094997/

  4. Complicated urinary tract infections - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18061020/

  5. Complicated Urinary Tract Infections - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juli 17, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK436013/

  6. www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses Juli 17, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK436013/#:~:text=A%20complicated%20UTI%20is%20any,kidneys%20are%20considered%20complicated%20infections.

  7. Risk factors and prognosis of complicated urinary tract infections caused by Pseudomonas aeruginosa in hospitalized patients: a retrospective multicenter cohort study - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30588040/

  8. Classification of Urinary Tract Infections in 2025: Moving Beyond ..., diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12002745/

  9. Surgical management of recurrent urinary tract infections: a review - PMC, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5522803/

  10. Complicated Catheter-Associated Urinary Tract Infections Due to Escherichia coli and Proteus mirabilis - PMC - PubMed Central, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2223845/

  11. Guidelines for Complicated Urinary Tract Infections in Children: A ..., diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12058373/

  12. Complicated urinary tract infection in adults - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18159518/

  13. A practical guide to the management of complicated urinary tract ..., diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9098661/

  14. Complicated urinary tract infections - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10929873/

  15. Renal Abscess - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juli 17, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK614172/

  16. Delayed Decompression of Obstructing Stones with Urinary Tract Infection is Associated with Increased Odds of Death - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32501124/

  17. Pathophysiology, Treatment, and Prevention of Catheter-Associated Urinary Tract Infection - PMC - PubMed Central, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6743745/

  18. [Percutaneous drainage of complicated infections of the upper urinary tract] - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/1810096/

  19. Obstructive uropathy – acute and chronic medical management - PMC, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9846865/

  20. Perinephric Abscess - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juli 17, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536936/

  21. Imaging-guided drainage of renal abscess: A case report and literature review - PMC, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8463828/

  22. Percutaneous drainage of renal and perirenal abscesses: results in 30 patients - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2112870/

  23. Complicated urinary tract infections - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/3895920/

  24. Urinary tract infections: epidemiology, mechanisms of infection and treatment options - PMC, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4457377/

  25. A Systematic Literature Review of the Epidemiology of Complicated Urinary Tract Infection, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12151984/

  26. Oral Antibiotics in Clinical Development for Community-Acquired Urinary Tract Infections, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8572892/

  27. Effectiveness of oral antibiotics in managing extended-spectrum B-lactamase urinary tract infections: A retrospective analysis, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11179504/

  28. A Systematic Literature Review of the Epidemiology of Complicated Urinary Tract Infection, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40268815/

  29. Complicated urinary tract infections: an update of new and developing antibiotics - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39773267/

  30. Efficacy of treatment options for complicated urinary tract infections including acute pyelonephritis: a systematic literature review and network meta-analysis - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39817442/

  31. Treatment of complicated urinary tract infection in adults: combined analysis of two randomized, double-blind, multicentre trials comparing ertapenem and ceftriaxone followed by appropriate oral therapy - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15150185/

  32. Unmet Needs in Complicated Urinary Tract Infections: Challenges ..., diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10015946/

  33. Oral and Intravenous Fosfomycin for the Treatment of Complicated ..., diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7142339/

  34. Personalising intravenous to oral antibiotic switch decision making through fair interpretable machine learning, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10787786/

  35. Comparison of intravenous and oral definitive antibiotic regimens in hospitalised patients with Gram-negative bacteraemia from a urinary tract infection - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30926468/

  36. Acute Pyelonephritis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juli 17, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519537/

  37. Multiple-Dose Oral Fosfomycin for Treatment of Complicated Urinary Tract Infections in the Outpatient Setting - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32123690/

  38. Systematic Review and Meta-Analysis of Antimicrobial Treatment Effect Estimation in Complicated Urinary Tract Infection - PMC, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3811298/

  39. A Seven-Day Course of Trimethoprim-Sulfamethoxazole May Be as Effective as a Seven-Day Course of Ciprofloxacin for the Treatment of Pyelonephritis - PubMed Central, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5632565/

  40. The management of acute pyelonephritis in adults - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11442995/

  41. Defining the Optimal Duration of Therapy for Hospitalized Patients With Complicated Urinary Tract Infections and Associated Bacteremia - PubMed Central, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10411929/

  42. Duration of antibiotic treatment for acute pyelonephritis and septic urinary tract infection-- 7 days or less versus longer treatment: systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials - PubMed, diakses Juli 17, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23696620/

  43. Defining the Optimal Duration of Therapy for Hospitalized Patients With Complicated Urinary Tract Infections and Associated Bacteremia | Clinical Infectious Diseases | Oxford Academic, diakses Juli 17, 2025, https://academic.oup.com/cid/article-abstract/76/9/1604/6986293

  44. Outcomes of early switching from intravenous to oral antibiotics on medical wards - PMC, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2692500/

  45. Intravenous-to-oral antibiotic switch therapy: a cross-sectional study in critical care units, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6647098/

  46. Real-World Effectiveness of Intravenous and Oral Antibiotic Stepdown Strategies for Gram-Negative Complicated Urinary Tract Infection With Bacteremia - PubMed Central, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11045028/

  47. Intravenous-only or intravenous transitioned to oral antimicrobials for Enterobacteriaceae-associated bacteremic urinary tract infection - PMC - PubMed Central, diakses Juli 17, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5681413/