8 Oct 2025 • Kulit
Pendahuluan
Hordeolum, atau yang lebih dikenal masyarakat awam sebagai bintitan, merupakan salah satu keluhan mata yang sering dijumpai dalam praktik dokter umum dan layanan primer. Meskipun seringkali bersifat swasirna (self-limiting), episode hordeolum yang berulang dapat menjadi tantangan tersendiri baik bagi pasien maupun klinisi.
Kekambuhan hordeolum tidak jarang menandakan adanya faktor predisposisi yang mungkin belum teratasi secara optimal atau bahkan kegagalan eradikasi infeksi pada episode sebelumnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kekambuhan bukanlah sekadar kejadian acak atau infeksi baru yang sporadis, melainkan seringkali merupakan manifestasi dari masalah yang lebih dalam, baik bersifat lokal pada kelopak mata maupun sistemik, atau akibat manajemen episode akut yang kurang tuntas.
Oleh karena itu, pendekatan terhadap hordeolum berulang memerlukan pergeseran fokus, dari sekadar mengobati lesi akut menjadi investigasi proaktif terhadap faktor-faktor risiko mendasar. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam kepada para dokter umum mengenai berbagai faktor risiko yang berkontribusi terhadap hordeolum berulang, serta menyajikan panduan praktis terkait pendekatan diagnosis dan terapi hordeolum yang efektif, dengan penekanan pada strategi pencegahan kekambuhan.
Memahami Hordeolum: Sekilas Patofisiologi dan Jenisnya
Hordeolum secara definitif adalah suatu proses inflamasi akut pada kelopak mata, yang pada umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri pada kelenjar sebasea. Agen bakteri penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus, meskipun bakteri lain seperti Staphylococcus epidermidis atau, lebih jarang, spesies Streptococcus juga dapat terlibat.
Mekanisme dasar terjadinya hordeolum melibatkan adanya sumbatan pada duktus kelenjar yang kemudian diikuti oleh kolonisasi dan infeksi bakteri. Proses ini memicu respons inflamasi lokal yang bermanifestasi sebagai pembentukan pustul atau nodul yang khas dengan tanda-tanda peradangan seperti nyeri, kemerahan, dan pembengkakan pada kelopak mata.
Secara klinis, hordeolum diklasifikasikan berdasarkan lokasi kelenjar yang terlibat:
Hordeolum Eksternum: Merupakan infeksi yang terjadi pada kelenjar Zeis (kelenjar sebasea yang bermuara di folikel bulu mata) atau kelenjar Moll (kelenjar keringat apokrin yang juga berada di dekat dasar bulu mata). Lesi ini biasanya muncul sebagai pustul yang lebih superfisial di tepi kelopak mata.
Gambar 1. Hordeolum eksterna pada palpebra superior
Hordeolum Internum: Terjadi akibat infeksi pada kelenjar Meibom, yaitu kelenjar sebasea yang lebih besar dan terletak lebih dalam di dalam lempeng tarsal kelopak mata. Oleh karena lokasi anatomisnya yang lebih dalam dan ukuran kelenjar yang lebih besar, hordeolum internum cenderung menimbulkan rasa nyeri yang lebih hebat, inflamasi yang lebih signifikan, dan seringkali membutuhkan waktu penyembuhan yang lebih lama dibandingkan hordeolum eksternum. Keterlibatan kelenjar Meibom juga penting untuk dipahami karena kelenjar ini merupakan struktur yang sama yang terlibat dalam patofisiologi kalazion, suatu lipogranuloma kronis non-infeksius yang dapat menjadi evolusi dari hordeolum internum yang tidak tertangani dengan baik atau berulang.
Perbedaan lokasi anatomis kelenjar yang terlibat ini tidak hanya menentukan klasifikasi hordeolum tetapi juga berpotensi memengaruhi manifestasi klinis, durasi penyakit, dan risiko terjadinya komplikasi atau transisi menjadi kondisi kronis seperti kalazion. Pemahaman akan perbedaan ini membantu klinisi dalam memberikan ekspektasi prognosis yang lebih akurat kepada pasien dan mengidentifikasi kasus hordeolum internum yang mungkin memerlukan perhatian serta tatalaksana yang lebih intensif.
Faktor-Faktor Risiko Utama Penyebab Hordeolum Berulang
Kekambuhan hordeolum seringkali dipicu oleh satu atau kombinasi dari beberapa faktor risiko. Faktor-faktor ini dapat dikategorikan menjadi kondisi lokal pada kelopak mata, penyakit sistemik yang mendasari, serta faktor perilaku dan lainnya.
4.1 Kondisi Lokal pada Kelopak Mata
Blefaritis Kronis: Inflamasi kronis pada tepi kelopak mata ini merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya hordeolum berulang. Blefaritis dapat diklasifikasikan menjadi blefaritis anterior, yang mengenai area sekitar dasar bulu mata dan seringkali terkait dengan infeksi stafilokokus atau dermatitis seboroik, dan blefaritis posterior, yang utamanya disebabkan oleh disfungsi kelenjar Meibom (MGD). Kedua jenis blefaritis ini berkontribusi menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kolonisasi bakteri patogen dan sumbatan muara kelenjar, yang merupakan prekursor hordeolum. Tidak jarang, episode hordeolum yang berulang berkaitan erat dengan blefaritis infeksius yang didominasi oleh strain stafilokokus.
Disfungsi Kelenjar Meibom (MGD): MGD adalah suatu abnormalitas kronis pada kelenjar Meibom yang ditandai dengan obstruksi duktus terminal kelenjar dan/atau perubahan kualitatif serta kuantitatif dari sekresi kelenjar (meibum). Kondisi ini menyebabkan stasis meibum, perubahan komposisi lipid menjadi lebih kental, dan memicu inflamasi kronis pada kelopak mata. Semua faktor ini secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya sumbatan kelenjar dan infeksi sekunder, yang bermanifestasi sebagai hordeolum internum. Bahkan, riwayat mengalami hordeolum atau kalazion merupakan salah satu gejala yang dapat diasosiasikan dengan adanya MGD. Patofisiologi MGD sendiri cukup kompleks, melibatkan proses hiperkeratinisasi epitel duktus kelenjar, peningkatan viskositas meibum, dan pada tahap lanjut dapat menyebabkan dilatasi duktus hingga atrofi kelenjar Meibom.
Kebersihan Kelopak Mata yang Buruk (Poor Eyelid Hygiene): Praktik kebersihan kelopak mata yang tidak adekuat secara langsung berkontribusi pada peningkatan kolonisasi bakteri di tepi kelopak mata dan akumulasi debris (seperti sisa sel kulit mati, sebum, dan kotoran) yang dapat menyumbat muara kelenjar. Ini merupakan faktor risiko yang sangat penting karena bersifat dapat dimodifikasi melalui edukasi pasien.
Blefaritis, MGD, dan kebersihan kelopak mata yang buruk seringkali merupakan trio kondisi yang saling terkait dan memperkuat satu sama lain. Kombinasi ketiganya dapat menciptakan suatu "lingkaran setan" inflamasi kronis dan disfungsi kelenjar yang menjadi landasan utama bagi episode hordeolum berulang, khususnya hordeolum internum.
Blefaritis posterior, misalnya, seringkali identik atau setidaknya tumpang tindih secara signifikan dengan MGD. MGD sendiri menyebabkan perubahan kualitas dan kuantitas meibum, menjadikannya lebih kental dan lebih mudah menyumbat duktus kelenjar. Sumbatan ini merupakan langkah awal dalam patofisiologi hordeolum. Kebersihan kelopak mata yang buruk akan semakin memperparah kondisi ini dengan menambah beban bakteri dan debris eksogen.
Lebih lanjut, inflamasi kronis yang menyertai blefaritis dan MGD dapat menyebabkan kerusakan struktural pada kelenjar Meibom itu sendiri, membuatnya lebih rentan terhadap sumbatan dan infeksi di masa mendatang, sehingga melanggengkan siklus kekambuhan.
4.2 Penyakit Sistemik yang Mendasari
Diabetes Mellitus (DM): Pasien dengan DM diketahui memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap berbagai jenis infeksi secara umum, termasuk infeksi pada kulit dan kelopak mata seperti hordeolum dan blefaritis. Bahkan, episode hordeolum yang berulang atau blefaritis kronis dapat menjadi salah satu tanda awal adanya DM yang belum terdiagnosis pada seorang individu. Peningkatan kerentanan ini disebabkan oleh berbagai mekanisme, termasuk gangguan fungsi sistem imun (seperti penurunan fungsi neutrofil, gangguan imunitas humoral, dan melemahnya sistem antioksidan seluler), serta adanya disfungsi mikrovaskular dan neuropati yang sering menyertai DM jangka panjang.
Rosasea (terutama Rosasea Okular): Rosasea adalah suatu kondisi inflamasi kronis pada kulit wajah yang seringkali juga melibatkan mata, suatu kondisi yang dikenal sebagai rosasea okular. Manifestasi okular dari rosasea seringkali berupa blefaritis, MGD, gejala mata kering, dan tidak jarang disertai dengan hordeolum atau kalazion yang berulang. Inflamasi kronis yang terjadi pada rosasea diketahui secara langsung memengaruhi fungsi kelenjar Meibom, menjadikannya salah satu faktor risiko penting untuk hordeolum internum.
Dermatitis Seboroik: Ini adalah kondisi kulit kronis yang ditandai dengan kulit bersisik, kemerahan, dan seringkali berminyak. Dermatitis seboroik sering mengenai area tubuh yang kaya akan kelenjar sebasea, termasuk kulit kepala, wajah, dan juga kelopak mata. Keterlibatan kelopak mata pada dermatitis seboroik dapat berkontribusi pada terjadinya blefaritis anterior dan menciptakan lingkungan mikro pada tepi kelopak mata yang mendukung pertumbuhan bakteri berlebih.
Kondisi Imunosupresi: Pasien dengan sistem imun yang tertekan atau lemah, misalnya akibat infeksi HIV, menjalani kemoterapi, atau penggunaan obat-obat imunosupresan jangka panjang, secara umum lebih rentan terhadap berbagai jenis infeksi, termasuk infeksi oportunistik pada kelopak mata seperti hordeolum.
Penyakit sistemik seperti DM dan rosasea tidak hanya meningkatkan risiko infeksi secara umum, tetapi juga secara spesifik dapat menciptakan atau memperburuk kondisi lokal pada kelopak mata (seperti MGD dan blefaritis) yang merupakan pemicu langsung terjadinya hordeolum berulang. Sebagai contoh, DM diketahui mengganggu fungsi imun dan proses penyembuhan luka.
Hal ini membuat kelopak mata lebih sulit untuk melawan infeksi bakteri minor dan proses penyembuhan menjadi lebih lambat, sehingga meningkatkan kemungkinan infeksi berkembang menjadi hordeolum yang lebih berat dan berlanjut menjadi kronis atau berulang. Rosasea, di sisi lain, secara intrinsik melibatkan proses inflamasi pada kelenjar Meibom yang merupakan inti dari MGD , dan MGD adalah penyebab utama hordeolum internum serta kalazion.
Demikian pula, dermatitis seboroik menyebabkan perubahan pada sebum dan kondisi kulit kelopak mata yang mendukung terjadinya blefaritis , yang juga merupakan prekursor hordeolum. Dengan demikian, penyakit-penyakit sistemik ini bukan hanya sekadar "faktor risiko tambahan", melainkan secara aktif dapat mengubah fisiologi normal kelopak mata, menjadikannya "lahan subur" bagi perkembangan hordeolum berulang.
4.3 Faktor Perilaku dan Lainnya
Penggunaan Kosmetik Mata dan Praktik Pembersihan yang Tidak Adekuat: Penggunaan kosmetik pada area mata, jika tidak diimbangi dengan praktik kebersihan yang baik, dapat menyebabkan sumbatan pada muara kelenjar sebasea di tepi kelopak mata. Lebih lanjut, kebiasaan tidak membersihkan riasan mata secara menyeluruh sebelum tidur dapat mendorong pertumbuhan bakteri patogen pada kelopak mata dan meningkatkan risiko infeksi. Faktor ini dilaporkan lebih sering berkontribusi pada wanita, sejalan dengan prevalensi penggunaan kosmetik mata yang lebih tinggi pada kelompok ini.
Penggunaan Lensa Kontak dengan Higiene Buruk: Lensa kontak, jika tidak digunakan dan dirawat dengan higiene yang tepat, dapat menjadi media yang mengintroduksi bakteri ke tepi kelopak mata dan permukaan mata, sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi, termasuk hordeolum.
Stres: Meskipun mekanismenya mungkin tidak secara langsung, stres psikologis yang signifikan dan berkepanjangan diketahui dapat melemahkan sistem imun tubuh secara keseluruhan, membuat individu menjadi lebih rentan terhadap berbagai infeksi, termasuk hordeolum.
Kegagalan Eradikasi Bakteri: Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kasus hordeolum yang berulang seringkali bukan disebabkan oleh infeksi baru yang independen, melainkan akibat kegagalan eliminasi bakteri secara tuntas pada episode infeksi sebelumnya. Kegagalan eradikasi ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti penggunaan terapi antibiotik yang tidak adekuat (baik dari segi dosis, durasi, maupun jenis antibiotik yang dipilih), atau kepatuhan pasien yang buruk dalam menjalani pengobatan.
Faktor-faktor perilaku, meskipun terkadang tampak sepele, memainkan peran yang signifikan dalam memicu atau melanggengkan siklus hordeolum berulang. Hal ini terutama karena faktor-faktor tersebut secara langsung memengaruhi mikroenvironment kelopak mata dan beban bakteri di area tersebut. Kosmetik dan lensa kontak, misalnya, adalah benda asing yang bersentuhan langsung dengan struktur halus kelopak mata.
Jika tidak dikelola dengan standar higienis yang tinggi, keduanya dapat menjadi vektor transmisi bakteri atau bahkan menyebabkan sumbatan mekanis pada muara kelenjar. Kegagalan eradikasi bakteri pada episode sebelumnya berarti bahwa bakteri penyebab infeksi awal tidak sepenuhnya hilang dari kelopak mata.
Bakteri ini bisa saja "bersembunyi" dalam jumlah kecil, membentuk biofilm yang resisten terhadap antibiotik, atau menemukan "tempat berlindung" pada kelenjar yang sudah mengalami disfungsi kronis seperti pada MGD. Ketika pertahanan lokal kelopak mata sedikit menurun, misalnya akibat stres atau iritasi baru dari penggunaan kosmetik, bakteri yang tersisa ini dapat aktif kembali, berkembang biak, dan menyebabkan episode hordeolum yang baru.
5. Menegakkan Diagnosis Hordeolum dan Waspada Diagnosis Banding
Proses diagnosis hordeolum umumnya dapat ditegakkan secara klinis berdasarkan temuan dari anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Anamnesis: Informasi penting yang perlu digali meliputi onset keluhan yang biasanya akut, adanya rasa nyeri, kemerahan, dan pembengkakan pada kelopak mata. Riwayat episode hordeolum sebelumnya, serta ada atau tidaknya faktor risiko yang telah dibahas (seperti riwayat blefaritis, MGD, DM, rosasea, kebiasaan penggunaan kosmetik atau lensa kontak) menjadi sangat krusial, terutama dalam menghadapi kasus yang berulang.
Pemeriksaan Fisik: Pada pemeriksaan fisik, akan ditemukan lesi berupa nodul atau pustul yang terlokalisir, tampak eritematosa (kemerahan), dan terasa nyeri saat ditekan. Lokasi lesi dapat membantu membedakan jenis hordeolum: hordeolum eksternum biasanya terletak di tepi kelopak mata dekat pangkal bulu mata, sedangkan hordeolum internum teraba lebih dalam di dalam lempeng tarsal. Adanya fluktuasi pada lesi dapat menandakan telah terbentuknya abses yang mungkin memerlukan drainase. Selain itu, pemeriksaan kelopak mata secara menyeluruh untuk mencari tanda-tanda kondisi penyerta seperti blefaritis (misalnya, adanya skuama, krusta, atau telangiektasis pada tepi kelopak mata) atau MGD (misalnya, sumbatan pada muara kelenjar Meibom, kualitas meibum yang abnormal) juga sangat penting.
Pada kasus hordeolum yang berulang, atipikal, atau tidak merespons terhadap terapi standar, penting bagi klinisi untuk mempertimbangkan beberapa diagnosis banding utama:
Kalazion: Ini adalah suatu lipogranuloma kronis yang bersifat steril, terbentuk akibat sumbatan kronis pada kelenjar Meibom. Kalazion seringkali merupakan evolusi dari hordeolum internum yang tidak sembuh sempurna atau akibat MGD kronis. Berbeda dengan hordeolum akut, kalazion biasanya tidak terasa nyeri (kecuali jika mengalami inflamasi sekunder), teraba lebih keras, pertumbuhannya cenderung lambat, dan lokasinya lebih dalam di kelopak mata.
Gambar 2. Kalazion pada palpebra superior
Karsinoma Sel Sebaceous (Sebaceous Gland Carcinoma): Ini adalah suatu keganasan pada kelenjar sebasea kelopak mata yang bersifat agresif namun seringkali dapat menyerupai lesi jinak seperti kalazion atau blefaritis kronis/berulang. Karsinoma sel sebasea harus selalu dicurigai pada pasien usia lanjut, jika terdapat lesi yang berulang pada lokasi yang sama, disertai dengan hilangnya bulu mata (madarosis) di area lesi, atau jika gambaran klinisnya atipikal dan tidak menunjukkan respons terhadap terapi konservatif yang adekuat. Diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan biopsi dan histopatologi.
Selulitis Preseptal: Ini adalah infeksi pada jaringan lunak kelopak mata yang terletak di anterior septum orbita. Selulitis preseptal dapat merupakan komplikasi dari hordeolum yang tidak tertangani dengan baik. Kondisi ini ditandai dengan eritema dan edema yang lebih difus pada kelopak mata, disertai nyeri, namun tanpa adanya proptosis (penonjolan bola mata), gangguan gerakan bola mata, atau penurunan tajam penglihatan (yang merupakan tanda-tanda keterlibatan orbita atau selulitis orbital).
Pada kasus hordeolum berulang, proses diagnostik tidak boleh berhenti hanya pada identifikasi lesi yang sedang aktif. Klinisi harus secara aktif mencari adanya "tanda bahaya" atau red flags yang mungkin mengarah pada diagnosis banding yang lebih serius atau mengindikasikan adanya kondisi kronis yang mendasari yang belum terdiagnosis.
Kegagalan untuk melakukan hal ini dapat berakibat pada penundaan diagnosis kondisi yang berpotensi mengancam penglihatan atau bahkan jiwa pasien, seperti pada kasus karsinoma sel sebasea. Meskipun hordeolum akut biasanya relatif mudah didiagnosis berdasarkan gambaran klinisnya , kekambuhan lesi, terutama jika terjadi berulang kali di lokasi yang sama atau disertai dengan gambaran atipikal, merupakan sinyal penting bahwa ini mungkin bukan episode hordeolum "biasa". Karsinoma sel sebasea terkenal karena kemampuannya untuk "menyamar" sebagai lesi jinak seperti kalazion atau blefaritis kronis , dan keterlambatan dalam diagnosis dapat berdampak buruk pada prognosis pasien.
Oleh karena itu, setiap kasus hordeolum berulang, terutama pada populasi berisiko seperti usia lanjut atau jika disertai dengan ciri-ciri atipikal, harus selalu memicu pertimbangan diagnosis banding ini secara serius.
Untuk membantu membedakan kondisi-kondisi ini, berikut adalah tabel perbandingan fitur klinis utama:
Tabel 1: Perbedaan Klinis Utama Hordeolum Akut, Kalazion, dan Tanda Peringatan Karsinoma Sel Sebaceous
Fitur Klinis | Hordeolum Akut | Kalazion | Tanda Peringatan Karsinoma Sel Sebaceous |
Nyeri | Biasanya nyeri, nyeri tekan (+) | Biasanya tidak nyeri (kecuali inflamasi sekunder) | Bisa nyeri atau tidak, sering persisten |
Onset | Akut, beberapa hari | Kronis, perlahan dalam beberapa minggu/bulan | Subakut hingga kronis, bisa progresif |
Ukuran/Konsistensi | Nodul/pustul lunak, bisa berfluktuasi | Nodul keras, kenyal, tidak berfluktuasi | Nodul irregular, bisa mengeras, kadang ulserasi |
Kemerahan/Inflamasi | Jelas, terlokalisir | Minimal atau tidak ada (kecuali inflamasi sekunder) | Bisa ada inflamasi kronis, kekuningan, telangiektasis |
Lokasi Tipikal | Tepi kelopak mata (eksternum), dalam tarsus (internum) | Dalam lempeng tarsal (kelenjar Meibom) | Bisa di mana saja di kelopak, sering di lokasi kalazion berulang |
Keterlibatan Bulu Mata | Tidak ada madarosis | Tidak ada madarosis | Sering disertai madarosis (kehilangan bulu mata) |
Respons Terapi Konservatif | Biasanya membaik dalam 1-2 minggu | Bisa persisten, kadang memerlukan intervensi | Tidak merespons atau respons buruk terhadap terapi standar |
Kekambuhan di Tempat Sama | Jarang, kecuali ada faktor risiko persisten | Bisa berulang, terutama jika MGD tidak teratasi | Sangat mencurigakan, sering berulang di lokasi yang sama |
Usia Pasien Tipikal | Semua usia | Dewasa (30-50 tahun), tapi bisa semua usia | Lebih sering pada usia lanjut (>50 tahun) |
6. Pendekatan Terapi Hordeolum: Dari Konservatif hingga Intervensi
Tujuan utama dari terapi hordeolum adalah untuk meredakan gejala yang mengganggu, mempercepat proses resolusi lesi, serta mencegah terjadinya komplikasi dan kekambuhan di masa mendatang.
Terapi Konservatif (Lini Pertama): Ini merupakan landasan utama dalam penanganan hordeolum.
Kompres Hangat: Aplikasi kompres hangat pada kelopak mata yang sakit selama sekitar 5-10 menit, dilakukan beberapa kali dalam sehari (misalnya 2-4 kali). Kompres hangat bertujuan untuk membantu melunakkan sekresi kelenjar yang menyumbat, meningkatkan sirkulasi darah lokal, dan memfasilitasi drainase spontan dari isi hordeolum.
Kebersihan Kelopak Mata (Lid Hygiene/Scrubs): Membersihkan tepi kelopak mata secara teratur menggunakan larutan sampo bayi yang diencerkan atau pembersih kelopak mata komersial yang diformulasikan khusus. Prosedur ini penting untuk menghilangkan debris, krusta, dan mengurangi beban bakteri pada tepi kelopak mata. Kebersihan kelopak mata sangat krusial, terutama pada pasien dengan blefaritis atau MGD.
Pijat Kelopak Mata (Lid Massage): Pijatan lembut pada kelopak mata dapat dilakukan setelah aplikasi kompres hangat. Pijatan ini bertujuan untuk membantu mengeluarkan sumbatan dari dalam kelenjar Meibom.
Terapi Medikamentosa:
Antibiotik Topikal: Penggunaan salep atau tetes mata antibiotik (contohnya eritromisin, basitrasin, tobramisin, atau asam fusidat) dapat dipertimbangkan. Antibiotik topikal biasanya diresepkan bersamaan dengan terapi kompres hangat, terutama jika terdapat komponen infeksi bakteri yang jelas, lesi yang multipel, atau adanya blefaritis konkomitan. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban bakteri pada lokasi infeksi dan membantu meredakan inflamasi.
Antibiotik Sistemik: Pemberian antibiotik per oral dipertimbangkan untuk kasus hordeolum yang berat, multipel, disertai dengan tanda-tanda selulitis preseptal, atau pada pasien dengan kondisi imunosupresi. Pilihan antibiotik sebaiknya disesuaikan dengan pola sensitivitas bakteri lokal, dengan target utama adalah bakteri Gram-positif seperti Staphylococcus aureus.
Steroid Topikal: Penggunaan steroid topikal pada hordeolum akut masih bersifat kontroversial dan harus dilakukan dengan hati-hati karena potensi efek imunosupresifnya yang dapat menekan respons imun tubuh terhadap infeksi. Namun, pada kasus dengan komponen inflamasi yang sangat berat dan tidak merespons terhadap terapi lain, atau untuk membantu mengurangi inflamasi pada kalazion, steroid topikal dapat dipertimbangkan, idealnya di bawah pengawasan dokter spesialis mata.
Intervensi Bedah (Incision and Drainage/Curettage):
Tindakan insisi dan drainase (I&D) atau kuretase diindikasikan untuk hordeolum internum yang berukuran besar, tidak menunjukkan respons terhadap terapi konservatif dan medikamentosa setelah periode observasi 1-2 minggu, telah membentuk abses yang jelas dan berfluktuasi, atau jika lesi telah berkembang menjadi kalazion yang persisten dan mengganggu. Prosedur ini sebaiknya dilakukan oleh dokter yang berpengalaman, idealnya oleh dokter spesialis mata, untuk meminimalkan risiko komplikasi.
Pentingnya Mengatasi Kondisi Mendasari: Khusus untuk kasus hordeolum berulang, terapi episode akut saja tidak akan cukup. Sangat penting untuk mengidentifikasi dan melakukan manajemen jangka panjang terhadap faktor-faktor risiko yang mendasari, seperti blefaritis, MGD, rosasea, atau memastikan kontrol glikemik yang baik pada pasien DM.
Pilihan terapi untuk hordeolum, terutama yang bersifat rekuren, haruslah bersifat bertahap dan disesuaikan dengan kondisi individual pasien, dengan penekanan kuat pada identifikasi dan manajemen faktor-faktor predisposisi. Kegagalan untuk mengatasi akar penyebab masalah akan membuat intervensi akut, bahkan yang bersifat bedah sekalipun, hanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.
Terapi konservatif merupakan fondasi utama dalam penanganan hordeolum. Terapi medikamentosa ditambahkan jika terdapat indikasi infeksi bakteri yang signifikan atau inflamasi yang berat. Intervensi bedah menjadi opsi terakhir untuk kasus-kasus yang refrakter terhadap terapi lain atau yang telah mengalami komplikasi.
Namun, perlu diingat bahwa jika terdapat kondisi kronis yang mendasari seperti blefaritis , MGD , atau DM yang tidak terkontrol dengan baik , maka episode hordeolum akan terus kambuh meskipun lesi akutnya telah diobati dengan sempurna. Oleh karena itu, strategi terapi yang komprehensif dan sukses harus mencakup dua lengan utama: (1) mengatasi lesi akut yang sedang terjadi, dan (2) mengelola kondisi kronis yang mendasarinya untuk mencegah kekambuhan di masa depan.
7. Strategi Pencegahan Hordeolum Berulang
Kunci utama dalam pencegahan episode hordeolum berulang terletak pada identifikasi yang akurat dan manajemen yang berkelanjutan terhadap berbagai faktor risiko yang telah dibahas sebelumnya.
Edukasi Pasien Mengenai Kebersihan Kelopak Mata Jangka Panjang (Long-term Lid Hygiene):
Memberikan edukasi dan demonstrasi kepada pasien mengenai cara melakukan kompres hangat, pijat kelopak mata, dan pembersihan tepi kelopak mata secara rutin dan benar. Praktik ini sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan, bahkan ketika tidak ada episode hordeolum akut. Kebersihan kelopak mata jangka panjang sangat penting, terutama bagi pasien yang memiliki riwayat blefaritis atau MGD.
Manajemen Kondisi Predisposisi:
Melakukan pengobatan yang aktif dan berkelanjutan untuk kondisi blefaritis dan MGD. Pada kasus yang lebih kompleks atau berat, rujukan ke dokter spesialis mata mungkin diperlukan untuk tatalaksana yang lebih komprehensif.
Memastikan kontrol yang optimal terhadap penyakit sistemik yang mendasari, seperti Diabetes Mellitus (dengan target pencapaian HbA1c yang ideal) dan Rosasea (melalui terapi dermatologis dan/atau oftalmologis yang sesuai).
Modifikasi Faktor Risiko Perilaku:
Menerapkan praktik penggunaan kosmetik mata yang aman: hindari berbagi alat kosmetik dengan orang lain, ganti produk kosmetik mata (terutama maskara dan eyeliner) secara berkala sesuai anjuran, dan selalu bersihkan riasan mata secara menyeluruh setiap malam sebelum tidur.
Menjaga higiene lensa kontak yang baik: selalu cuci tangan dengan sabun sebelum memegang lensa kontak, gunakan larutan pembersih dan perendam lensa kontak yang direkomendasikan oleh profesional, dan ganti lensa kontak sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
Melakukan manajemen stres yang efektif jika stres diidentifikasi sebagai salah satu faktor pemicu episode hordeolum.
Pencegahan hordeolum berulang pada dasarnya adalah suatu upaya kolaboratif yang membutuhkan tingkat kepatuhan pasien yang tinggi dan konsisten dalam jangka panjang terhadap rekomendasi perubahan gaya hidup dan terapi yang diberikan. Selain itu, koordinasi antar-disiplin ilmu kedokteran seringkali diperlukan jika terdapat penyakit sistemik yang mendasari yang berkontribusi terhadap kekambuhan.
Ini bukanlah suatu "perbaikan cepat" atau solusi instan. Episode hordeolum yang berulang umumnya disebabkan oleh adanya faktor-faktor kronis atau perilaku yang persisten dan kurang tepat. Mengubah kebiasaan yang telah lama terbentuk (misalnya, kebiasaan membersihkan kosmetik mata) atau mengelola kondisi kronis (seperti MGD atau DM) memerlukan komitmen dan usaha yang berkelanjutan dari sisi pasien.
Peran dokter dalam hal ini adalah sebagai edukator, motivator, dan fasilitator, namun keberhasilan akhir dari upaya pencegahan sangat bergantung pada partisipasi aktif pasien. Jika terdapat penyakit sistemik seperti DM atau Rosasea, kolaborasi yang baik dengan dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis kulit dan kelamin/mata menjadi sangat penting untuk mencapai manajemen yang komprehensif dan optimal.
8. Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis untuk Dokter Umum
Hordeolum berulang merupakan masalah klinis yang seringkali menjadi penanda adanya faktor risiko lokal (seperti blefaritis, disfungsi kelenjar Meibom, atau kebersihan kelopak mata yang buruk) atau faktor risiko sistemik (seperti Diabetes Mellitus atau Rosasea) yang belum tertangani secara adekuat, atau bahkan kegagalan eradikasi infeksi bakteri pada episode sebelumnya.
Oleh karena itu, penekanan pada pentingnya pendekatan yang holistik dan komprehensif dalam diagnosis dan terapi hordeolum berulang menjadi sangat krusial. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk mengobati episode akut yang sedang terjadi, tetapi juga untuk mengidentifikasi dan mengelola faktor-faktor predisposisi guna memutus siklus kekambuhan yang merugikan pasien.
Berikut adalah beberapa rekomendasi praktis bagi dokter umum dalam menangani kasus hordeolum, khususnya yang berulang:
Selalu lakukan anamnesis yang cermat dan mendalam mengenai riwayat kekambuhan, durasi, frekuensi, serta gali potensi faktor risiko yang mungkin dimiliki pasien.
Lakukan pemeriksaan kelopak mata yang teliti untuk mencari tanda-tanda klinis blefaritis atau disfungsi kelenjar Meibom.
Mulai penanganan episode akut dengan terapi konservatif, seperti kompres hangat dan menjaga kebersihan kelopak mata. Pertimbangkan pemberian antibiotik topikal jika terdapat indikasi infeksi bakteri yang jelas.
Berikan edukasi yang komprehensif kepada pasien mengenai pentingnya menjaga kebersihan kelopak mata secara jangka panjang dan melakukan modifikasi faktor risiko perilaku yang relevan.
Penting juga bagi dokter umum untuk mengetahui kapan saat yang tepat untuk merujuk pasien ke dokter spesialis mata. Indikasi rujukan meliputi:
Kasus hordeolum berulang tanpa penyebab yang jelas atau tidak menunjukkan respons terhadap terapi standar yang telah diberikan.
Adanya kecurigaan terhadap diagnosis banding yang lebih serius, misalnya karsinoma sel sebasea (terutama pada lesi yang atipikal, disertai madarosis, terjadi pada usia lanjut, atau berulang di lokasi yang sama).
Kondisi blefaritis atau disfungsi kelenjar Meibom yang berat dan memerlukan evaluasi serta manajemen lebih lanjut oleh spesialis.
Kebutuhan untuk tindakan intervensi bedah seperti insisi dan drainase.
Adanya tanda-tanda komplikasi, seperti selulitis preseptal atau orbital, atau terbentuknya kalazion yang berukuran besar atau persisten.
Dokter umum berada di garda terdepan dalam penanganan sebagian besar kasus hordeolum. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor risiko kekambuhan serta kapan harus meningkatkan kewaspadaan atau melakukan rujukan, dokter umum dapat secara signifikan meningkatkan luaran klinis bagi pasien dan mengurangi beban penyakit akibat hordeolum berulang.
Pengetahuan mengenai faktor risiko kekambuhan memungkinkan dokter umum untuk tidak hanya sekadar mengobati lesi akut, tetapi juga untuk memulai langkah-langkah pencegahan atau investigasi lebih lanjut jika diperlukan. Kemampuan untuk mengenali "tanda bahaya" dan indikasi rujukan akan memastikan bahwa pasien mendapatkan perawatan spesialis yang tepat waktu jika memang diperlukan, sehingga mencegah potensi keterlambatan diagnosis pada kondisi-kondisi yang lebih serius.
Pemberdayaan dokter umum dengan pengetahuan praktis ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam menangani kasus yang umum namun terkadang rumit ini, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas perawatan pasien secara keseluruhan.
Hordeolum (Stye) - PubMed, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29083787/
Common inflammatory and infectious conditions of the eyelid, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32622681/
Interventions for acute internal hordeolum - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4261920/
Non‐surgical interventions for acute internal hordeolum - PMC - PubMed Central, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5370090/
Hordeolum (Stye) - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juni 7, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459349/
Chalazion - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juni 7, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499889/
Blepharitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juni 7, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459305/
Diagnosis and management of blepharitis: an optometrist's perspective - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6095371/
The International Workshop on Meibomian Gland Dysfunction: Report of the Definition and Classification Subcommittee - PMC - PubMed Central, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3072158/
Meibomian gland disease: the role of gland dysfunction in dry eye ..., diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5685175/
Risk Factors and Symptoms of Meibomian Gland Loss in a Healthy Population - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5124676/
Comprehensive Review of the Effects of Diabetes on Ocular Health ..., diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3134329/
Infections in patients with diabetes mellitus: A review of ..., diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3354930/
Ocular Rosacea: An Updated Review - PMC, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11872267/
Rosacea Management - PMC - PubMed Central, diakses Juni 7, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5096126/
Sebaceous carcinoma presenting as chronic chalazion - PubMed, diakses Juni 7, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40086849/