7 May 2025 • Kulit
Pendahuluan
Sebagai dokter umum, Anda seringkali berhadapan dengan pasien yang mengeluhkan kondisi alergi umum seperti urtikaria akut (biduran), pruritus (gatal-gatal), dan rinitis alergi. Kondisi ini, meskipun seringkali tidak mengancam jiwa, dapat secara signifikan mengganggu kualitas hidup pasien. Reaksi alergi tipe I, atau reaksi hipersensitivitas tipe cepat, merupakan mekanisme dasar yang seringkali mendasari kondisi ini.
Proses ini melibatkan sistem imun yang bereaksi berlebihan terhadap substansi yang sebenarnya tidak berbahaya (alergen). Pada paparan alergen, antibodi Immunoglobulin E (IgE) yang sudah tersensitisasi pada permukaan sel mast dan basofil akan memicu degranulasi sel tersebut.1 Akibatnya, terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi, terutama histamin.
Histamin kemudian berikatan dengan reseptor H1 di berbagai jaringan, termasuk pembuluh darah kulit dan ujung saraf sensorik, menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah), peningkatan permeabilitas vaskular (kebocoran cairan), dan stimulasi saraf yang bermanifestasi klinis sebagai bentol (wheal), kemerahan (flare/eritema), dan rasa gatal (pruritus) yang khas pada urtikaria dan kondisi alergi kulit lainnya.3
Dipenhidramin, sebuah antihistamin generasi pertama, telah lama digunakan untuk meredakan gejala-gejala alergi ini.5 Namun, seiring perkembangan ilmu farmakologi dan munculnya alternatif yang lebih baru, peran dipenhidramin dalam praktik klinis modern perlu ditinjau kembali.
Artikel ilmiah populer ini bertujuan untuk memberikan panduan praktis berbasis bukti (bersumber dari jurnal terindeks PubMed) bagi dokter umum, khususnya yang berusia 25-35 tahun, mengenai penggunaan dipenhidramin sebagai terapi awal alergi. Fokus utama adalah pada mekanisme kerja, indikasi yang tepat, panduan dosis, perbandingan efikasi dan keamanan dengan antihistamin generasi kedua, serta pertimbangan penggunaannya pada populasi khusus.
Tantangan utama bagi dokter umum adalah menyeimbangkan efikasi dipenhidramin yang terbukti untuk gejala akut dengan profil efek sampingnya yang signifikan, terutama jika dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua yang lebih aman.7 Pemahaman mendalam mengenai hal ini akan membantu dalam pengambilan keputusan klinis yang rasional dan aman bagi pasien
Bagaimana Dipenhidramin Bekerja?
Pemahaman mekanisme kerja dipenhidramin penting untuk mengerti efek terapeutik dan efek sampingnya. Dipenhidramin bekerja primarily sebagai inverse agonist pada reseptor histamin H1. Berbeda dengan antagonis netral yang hanya memblokir ikatan histamin, inverse agonist secara aktif berikatan dengan bentuk inaktif reseptor H1.
Ikatan ini menstabilkan reseptor dalam konformasi inaktifnya, menggeser keseimbangan menjauh dari keadaan aktif yang dipicu oleh histamin, sehingga secara efektif membalikkan efek histamin pada sel target. Hasilnya adalah penurunan vasodilatasi kapiler, berkurangnya permeabilitas vaskular, dan penurunan stimulasi saraf sensorik, yang secara klinis diterjemahkan menjadi berkurangnya bentol, kemerahan, dan gatal.
Sebagai antihistamin generasi pertama, dipenhidramin memiliki sifat lipofilik yang memungkinkannya dengan mudah melewati sawar darah otak (blood-brain barrier/BBB).5 Interaksinya dengan reseptor H1 di sistem saraf pusat (SSP) inilah yang menjadi penyebab utama efek samping sedasi (rasa kantuk) dan gangguan psikomotor yang sering dikeluhkan pasien.5
Selain bekerja pada reseptor H1, dipenhidramin juga menunjukkan aktivitas pada reseptor lain. Aktivitas antimuskarinik (antikolinergik) yang signifikan berkontribusi terhadap efek samping seperti mulut kering, pandangan kabur, retensi urin (kesulitan buang air kecil), dan konstipasi.5 Lebih lanjut, dipenhidramin juga diketahui bekerja sebagai pemblokir kanal natrium intraseluler, yang mendasari sifat anestesi lokalnya namun juga berpotensi menimbulkan toksisitas jantung, terutama pada dosis tinggi atau pemberian intravena.5
Pemahaman terhadap multi-target dipenhidramin ini membantu menjelaskan mengapa obat ini memiliki spektrum efek samping yang luas, mulai dari kantuk hingga potensi gangguan jantung, yang membedakannya secara signifikan dari antihistamin generasi kedua yang lebih selektif.
Kapan Menggunakan Dipenhidramin? Indikasi Klinis
Indikasi utama penggunaan dipenhidramin dalam konteks alergi adalah untuk reaksi alergi akut yang memerlukan peredaan gejala cepat, seperti pada kasus urtikaria akut dan pruritus berat.5 Ketersediaannya dalam bentuk sediaan parenteral (intramuskular/IM dan intravena/IV) membuatnya menjadi pilihan pada situasi akut di mana pemberian oral tidak memungkinkan atau diperlukan onset kerja yang sangat cepat.5
FDA menyetujui penggunaannya untuk kondisi alergi ketika terapi oral tidak dapat dilakukan, dan secara off-label sering digunakan untuk urtikaria dan pruritus.5
Meskipun efektif meredakan gejala gatal dan bentol 3, penggunaannya seringkali dibatasi oleh profil efek sampingnya, terutama jika dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua yang lebih aman dan lebih ditoleransi.7 Pedoman klinis modern umumnya merekomendasikan antihistamin generasi kedua sebagai lini pertama untuk penanganan kondisi alergi kronis seperti urtikaria kronis atau rinitis alergi, serta untuk kasus akut ringan hingga sedang.8
Dalam konteks diagnosis dan terapi alergi, dipenhidramin intravena atau intramuskular dapat dipertimbangkan untuk reaksi akut berat, namun untuk terapi alergi jangka panjang atau kondisi ringan-sedang, alternatif yang lebih aman seringkali lebih diutamakan.
Peran dipenhidramin menjadi lebih terbatas pada situasi akut spesifik yang memerlukan kerja cepat melalui rute parenteral, atau ketika alternatif lain tidak tersedia atau kontraindikasi. Penggunaannya tidak direkomendasikan sebagai terapi rutin atau lini pertama untuk sebagian besar kasus alergi yang dihadapi di layanan primer.
Panduan Praktis Dosis Obat Alergi Dipenhidramin
Pemahaman dosis obat alergi dipenhidramin yang tepat sangat krusial untuk efektivitas dan keamanan terapi. Kesalahan dosis, terutama pada anak-anak dan lansia, dapat meningkatkan risiko efek samping serius. Berikut adalah ringkasan dosis yang direkomendasikan berdasarkan literatur (misalnya, data teragregasi seperti dalam StatPearls 5), disajikan untuk memudahkan referensi dalam praktik sehari-hari:
Tabel 1: Ringkasan Dosis Dipenhidramin untuk Reaksi Alergi/Urtikaria/Pruritus
Populasi | Rute | Dosis | Frekuensi | Dosis Maks Harian | Catatan Penting |
Dewasa | PO/IM/IV | 25 - 50 mg | Tiap 4-6 jam | PO: 300 mg/hari; IM/IV: 100 mg/dosis, 400 mg/hari | Risiko sedasi tinggi, hati-hati saat mengemudi/mengoperasikan mesin. |
Anak 6-11 th | PO/IM/IV | 12.5 - 25 mg | Tiap 4-6 jam | 150 mg/hari | Risiko eksitasi paradoksikal. Dosis berdasarkan berat badan (1-2 mg/kg) mungkin lebih akurat untuk IM/IV pada kasus berat (maks 300mg/hari PO; 100mg/dosis, 400mg/hari IM/IV). |
Anak 2-5 th | PO/IM/IV | 6.25 mg | Tiap 4-6 jam | 37.5 mg/hari | Risiko eksitasi paradoksikal. Dosis berdasarkan berat badan (1-2 mg/kg) mungkin lebih akurat untuk IM/IV pada kasus berat (maks 300mg/hari PO; 100mg/dosis, 400mg/hari IM/IV). |
Topikal | Topikal | Oleskan sesuai kebutuhan | Maks 4x/hari | - | Hanya untuk penggunaan luar, area terbatas. |
Catatan: Dosis dapat disesuaikan berdasarkan respons klinis dan tolerabilitas pasien. Dosis IM/IV biasanya dicadangkan untuk reaksi yang lebih berat atau jika rute oral tidak memungkinkan. Selalu perhatikan dosis maksimal harian untuk menghindari toksisitas.
Efikasi vs Risiko: Membandingkan Dipenhidramin dengan Antihistamin Generasi Kedua
Dalam mengevaluasi tempat dipenhidramin dalam terapi alergi, penting untuk membandingkan efikasi dan risikonya dengan antihistamin generasi kedua (misalnya, cetirizine, loratadine, fexofenadine, bilastine).
Efikasi: Dipenhidramin diakui efektif dalam meredakan gejala akut alergi seperti urtikaria dan pruritus.5 Onset kerjanya relatif cepat, terutama bila diberikan secara parenteral.15 Beberapa studi, seperti perbandingan dengan cetirizine untuk reaksi alergi makanan akut, menunjukkan efikasi yang serupa dalam meredakan gejala kulit.15 Secara umum, untuk gejala alergi dasar, efikasi antihistamin generasi pertama dan kedua dianggap sebanding.11
Durasi Kerja: Antihistamin generasi kedua umumnya memiliki durasi kerja yang lebih panjang, memungkinkan pemberian dosis sekali sehari, yang meningkatkan kepatuhan pasien dibandingkan dipenhidramin yang memerlukan dosis setiap 4-6 jam.13
Keamanan dan Tolerabilitas: Ini adalah area di mana perbedaan paling signifikan terletak, dan menjadi alasan utama mengapa antihistamin generasi kedua lebih diutamakan.7
Efek SSP (Sedasi & Kognitif): Dipenhidramin secara signifikan menyebabkan kantuk, pusing, dan gangguan kognitif serta psikomotor karena kemampuannya menembus sawar darah otak. Sebaliknya, antihistamin generasi kedua bersifat non-sedatif atau minimal sedatif pada dosis standar.5
Efek Antikolinergik: Efek samping seperti mulut kering, pandangan kabur, dan retensi urin jauh lebih jarang dan ringan pada generasi kedua dibandingkan dipenhidramin.7
Efek Kardiak: Dipenhidramin memiliki potensi menyebabkan pemanjangan interval QTc dan aritmia, terutama pada dosis tinggi atau overdosis, suatu risiko yang umumnya tidak dimiliki oleh antihistamin generasi kedua.10
Karena profil keamanan yang jauh lebih baik ini, pedoman klinis internasional maupun nasional secara konsisten merekomendasikan antihistamin generasi kedua sebagai terapi lini pertama untuk sebagian besar kondisi alergi, termasuk rinitis alergi dan urtikaria kronis.8 Pilihan untuk menggunakan dipenhidramin harus didasarkan pada pertimbangan cermat antara kebutuhan akan peredaan gejala akut yang cepat (terutama via parenteral) versus risiko efek samping yang signifikan.
Keunggulan utama generasi kedua bukanlah pada efikasi yang lebih superior, melainkan pada profil keamanan dan tolerabilitas yang jauh lebih baik, memungkinkan penggunaan yang lebih luas dan aman.
Profil Keamanan: Efek Samping dan Kontraindikasi
Meskipun efektif, penggunaan dipenhidramin dibayangi oleh profil efek sampingnya yang luas, yang berasal dari aktivitasnya pada berbagai reseptor.
Efek Samping Umum:
Sistem Saraf Pusat (SSP): Efek yang paling sering dilaporkan adalah kantuk (drowsiness), pusing (dizziness), gangguan koordinasi, dan penurunan kinerja psikomotor. Pada lansia, risiko kebingungan (confusion) meningkat.5
Antikolinergik: Mulut kering, mata kering, pandangan kabur, konstipasi, dan retensi urin sering terjadi akibat blokade reseptor muskarinik.5
Efek Samping Serius:
Eksitasi Paradoksikal: Terutama pada anak-anak, dipenhidramin dapat menyebabkan agitasi, kebingungan, dan iritabilitas, bukan sedasi.5
Toksisitas Kardiak: Pemblokiran kanal natrium dan kalium jantung dapat menyebabkan pemanjangan interval QT (QTc prolongation), yang berisiko memicu aritmia ventrikular berbahaya seperti Torsades de Pointes, terutama pada dosis tinggi, overdosis, atau pemberian IV cepat.5 Takikardia dan hipotensi juga dapat terjadi.5 Kasus henti jantung pernah dilaporkan setelah pemberian IV pada bayi dengan penyakit jantung bawaan.18
Overdosis: Dapat menyebabkan sindrom antikolinergik berat (delirium, halusinasi, kulit merah dan kering, demam, midriasis, retensi urin, takikardia), kejang, rhabdomyolysis, dan koma.5
Gambar 1. Efek samping diphenhydramine7
Kontraindikasi:
Hipersensitivitas terhadap dipenhidramin atau komponennya.5
Penggunaan pada neonatus dan bayi prematur.5
Ibu menyusui.5
Peringatan dan Perhatian:
Gunakan dengan sangat hati-hati pada lansia karena risiko jatuh, sedasi, dan efek antikolinergik.5
Hati-hati pada pasien dengan asma (dapat mengentalkan sekret bronkus), hipertiroidisme, penyakit kardiovaskular, hipertensi, peningkatan tekanan intraokular (glaukoma sudut tertutup), dan hipertrofi prostat benigna (BPH) atau obstruksi saluran kemih lainnya.5
Peringatkan pasien mengenai potensi gangguan kemampuan mengemudi atau mengoperasikan mesin berat.5
Risiko yang terkait dengan dipenhidramin melampaui sekadar rasa kantuk. Beban antikolinergik yang signifikan dan potensi toksisitas kardiak merupakan perhatian utama yang harus disadari oleh dokter umum, memperkuat alasan untuk memilih alternatif yang lebih aman bila memungkinkan.
Perhatian Khusus: Penggunaan pada Lansia, Anak, Ibu Hamil dan Menyusui
Penggunaan dipenhidramin memerlukan pertimbangan khusus pada populasi rentan:
Lansia: Populasi ini sangat sensitif terhadap efek samping dipenhidramin. Risiko jatuh akibat pusing dan sedasi meningkat secara signifikan. Efek antikolinergik seperti kebingungan, gangguan memori, retensi urin, dan konstipasi juga lebih sering terjadi dan dapat memperburuk kondisi yang sudah ada. Pedoman seperti Kriteria Beers umumnya merekomendasikan untuk menghindari antihistamin generasi pertama pada lansia karena profil risikonya yang tinggi, kecuali untuk penggunaan jangka pendek pada reaksi alergi akut dan di bawah pengawasan ketat.5 Antihistamin generasi kedua adalah pilihan yang jauh lebih aman.
Anak: Anak-anak, terutama yang berusia di bawah 6 tahun, berisiko mengalami eksitasi paradoksikal (agitasi, iritabilitas, kebingungan) sebagai ganti sedasi.5 Selain itu, risiko overdosis tidak sengaja dari sediaan OTC (obat bebas) cukup tinggi, terutama pada balita.7 Jika digunakan, dosis harus dihitung secara cermat berdasarkan berat badan (mg/kg) dan pengawasan orang tua sangat penting.5 Antihistamin generasi kedua dengan profil keamanan yang lebih baik umumnya lebih diutamakan untuk anak-anak.
Ibu Hamil: Status dipenhidramin sebagai Kategori B FDA menunjukkan tidak adanya bukti risiko pada studi hewan, namun studi terkontrol pada manusia masih kurang.20 Data epidemiologi cukup kompleks; beberapa meta-analisis besar tidak menemukan peningkatan risiko malformasi mayor secara keseluruhan 22, namun beberapa studi kasus-kontrol pernah mengisyaratkan kemungkinan hubungan dengan defek spesifik (meskipun seringkali tidak terkonfirmasi dalam studi lain atau analisis yang lebih besar).24 Rekomendasi umum adalah menggunakan dengan hati-hati, terutama pada trimester pertama, dan hanya jika manfaatnya jelas melebihi potensi risiko.20 Diskusi risiko-manfaat dengan pasien sangat penting.20 Jika antihistamin diperlukan, agen generasi pertama lain seperti chlorpheniramine terkadang dianggap memiliki data keamanan yang lebih mapan, meskipun agen generasi kedua seringkali lebih disukai karena profil efek sampingnya yang lebih baik.20
Ibu Menyusui: Dipenhidramin dikontraindikasikan selama menyusui.5 Obat ini diekskresikan ke dalam ASI dan dapat menyebabkan sedasi atau iritabilitas pada bayi. Selain itu, dipenhidramin dapat mengurangi produksi ASI, terutama jika dikombinasikan dengan pseudoefedrin atau sebelum laktasi mapan.5 Antihistamin non-sedatif generasi kedua merupakan alternatif yang lebih aman dan dianjurkan.5
Secara keseluruhan, risiko signifikan pada lansia, anak-anak, dan ibu menyusui menjadikan antihistamin generasi kedua sebagai standar perawatan untuk kelompok ini. Penggunaan pada kehamilan memerlukan evaluasi risiko-manfaat yang cermat.
Kesimpulan dan Rekomendasi untuk Praktik
Dipenhidramin adalah antihistamin generasi pertama yang bekerja sebagai inverse agonist reseptor H1. Obat ini efektif untuk meredakan gejala akut reaksi alergi seperti urtikaria dan pruritus, namun memiliki profil efek samping yang signifikan, meliputi efek sedatif pada SSP, efek antikolinergik, dan potensi toksisitas kardiak, terutama pada dosis tinggi atau pemberian parenteral.
Dalam konteks praktik kedokteran modern, peran dipenhidramin telah banyak digantikan oleh antihistamin generasi kedua. Obat-obat generasi kedua (seperti cetirizine, loratadine, fexofenadine) menawarkan efikasi yang sebanding untuk sebagian besar indikasi alergi namun dengan profil keamanan dan tolerabilitas yang jauh lebih superior.7
Bagi dokter umum, rekomendasi praktisnya adalah sebagai berikut:
Prioritaskan Antihistamin Generasi Kedua: Jadikan antihistamin generasi kedua sebagai pilihan lini pertama untuk sebagian besar kasus rinitis alergi dan urtikaria (akut maupun kronis) karena rasio manfaat-risiko yang lebih baik.
Cadangkan Dipenhidramin untuk Kasus Spesifik: Pertimbangkan penggunaan dipenhidramin terutama untuk reaksi alergi akut dan berat di mana pemberian parenteral (IM/IV) diperlukan untuk onset cepat, atau jika alternatif generasi kedua benar-benar tidak tersedia atau kontraindikasi.
Waspadai Efek Samping: Jika dipenhidramin digunakan, waspadai potensi efek sampingnya, terutama sedasi dan efek antikolinergik. Berikan konseling kepada pasien mengenai risiko mengantuk dan dampaknya pada aktivitas seperti mengemudi atau mengoperasikan mesin.
Hindari pada Populasi Rentan: Gunakan dengan sangat hati-hati atau hindari sama sekali pada lansia (risiko jatuh, kebingungan), anak kecil (risiko eksitasi paradoksikal, overdosis), dan ibu menyusui (kontraindikasi).
Kehamilan: Gunakan hanya jika benar-benar diperlukan setelah diskusi risiko-manfaat yang mendalam dengan pasien.
Perhatikan Dosis: Selalu gunakan dosis efektif terendah untuk durasi sesingkat mungkin, dan jangan melebihi dosis maksimal harian yang direkomendasikan. Pengetahuan akurat mengenai dosis obat alergi dipenhidramin sangat penting jika penggunaannya diperlukan.
Pendekatan Holistik: Ingatlah bahwa diagnosis dan terapi alergi memerlukan pendekatan komprehensif, termasuk identifikasi dan penghindaran pemicu jika memungkinkan.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan pedoman klinis yang terus diperbarui, peran antihistamin generasi pertama seperti dipenhidramin semakin terbatas.7 Dokter umum didorong untuk terus mengikuti perkembangan ini dan mengutamakan pilihan terapi yang paling aman bagi pasien.
Type I Hypersensitivity Reaction - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560561/
Immediate Hypersensitivity Reactions (Archived) - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30020687/
Clinical Review: Pruritus in Allergy and Immunology - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6690370/
Chronic Urticaria - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK555910/
Diphenhydramine - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526010/
Designing, docking and molecular dynamics simulation studies of novel cloperastine analogues as anti-allergic agents: homology modeling and active site prediction for the human histamine H1 receptor - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9049021/
Diphenhydramine: It is time to say a final goodbye - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11803843/
Pharmacological Management of Allergic Rhinitis: A Consensus Statement from the Malaysian Society of Allergy and Immunology - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9356736/
Acute and Chronic Urticaria: Evaluation and Treatment | AAFP, diakses April 14, 2025, https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2017/0601/p717.html
Full article: An update on the use of antihistamines in managing chronic urticaria, diakses April 14, 2025, https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14656566.2024.2345731
Antihistamines and allergy - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5895478/
Using Patient Profiles To Guide The Choice Of Antihistamines In The Primary Care Setting In Malaysia: Expert Consensus And Recommendations - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6828722/
Antihistamines - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538188/
Treatment of acute urticaria: A systematic review - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38420865/
Comparison of Cetirizine to Diphenhydramine in the Treatment of Acute Food Allergic Reactions - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3205335/
H1 Antihistamines: Current Status and Future Directions - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3650962/
Cardiovascular safety of antihistamines - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4112269/
Cardiac Arrest Following the Administration of Intravenous Diphenhydramine for Sedation to an Infant With Congenital Heart Disease - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8021246/
Diphenhydramine - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/books/NBK526010/
A review of antihistamines used during pregnancy - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3356948/
Over-the-Counter Medications in Pregnancy - AAFP, diakses April 14, 2025, https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2003/0615/p2517.html
The Risk of Adverse Pregnancy Outcome After First Trimester Exposure to H1 Antihistamines: A Systematic Review and Meta-Analysis - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27878468/
Use of antihistamine medications during early pregnancy and selected birth defects: The National Birth Defects Prevention Study, 1997–2011 - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9168970/
Antihistamine Use in Early Pregnancy and Risk of Birth Defects - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4140658/
Use of Antihistamine Medications During Early Pregnancy and Isolated Major Malformations, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3619228/