31 Jul 2025 • Pulmonologi
Infark Miokard Akut (IMA), atau yang lebih dikenal sebagai serangan jantung, merupakan kondisi nekrosis miokard akibat iskemia berkepanjangan dan menjadi salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Prevalensi global IMA mencapai jutaan kasus setiap tahun, dengan angka kematian yang signifikan.
IMA secara umum diklasifikasikan berdasarkan gambaran elektrokardiogram (EKG) menjadi STEMI (ST-segment elevation myocardial infarction) dan NSTEMI (non–ST-segment elevation myocardial infarction). Kedua jenis IMA ini memerlukan pendekatan diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat.
Salah satu komplikasi paling serius dan sering menyertai IMA adalah gagal jantung akut (GJA). GJA dapat timbul pada sekitar 14% hingga 25% pasien IMA dan secara signifikan memperburuk prognosis serta meningkatkan mortalitas. Patofisiologi terjadinya GJA pasca-IMA melibatkan kerusakan otot jantung akibat infark yang secara langsung mengganggu fungsi pompa sistolik (kemampuan jantung memompa darah) dan diastolik (kemampuan jantung berelaksasi dan terisi darah).
Kerusakan ini diperparah oleh proses adverse ventricular remodeling (AVR), yaitu serangkaian perubahan maladaptif pada ukuran, bentuk, dan fungsi ventrikel setelah terjadinya infark. Perlu dipahami bahwa AVR bukan sekadar konsekuensi pasif dari kerusakan miokard, melainkan sebuah proses patologis aktif yang melibatkan inflamasi berkepanjangan, perubahan molekuler, struktural, dan geometris jantung.
Proses ini bersifat progresif dan secara signifikan meningkatkan risiko pengembangan gagal jantung kronis serta menurunkan angka harapan hidup pasca-IMA. Pemahaman ini menggarisbawahi urgensi intervensi cepat untuk membatasi ukuran infark, seperti terapi reperfusi, dan pentingnya terapi jangka panjang yang memodulasi proses remodeling.
Mengingat tingginya prevalensi GJA pada pasien IMA, dokter umum di fasilitas kesehatan primer (Faskes Pertama) harus secara proaktif mencari tanda dan gejala gagal jantung pada setiap pasien yang dicurigai IMA, tidak hanya berfokus pada diagnosis IMA itu sendiri. Keterlambatan dalam mengenali GJA dapat menunda pemberian terapi suportif yang esensial dan memperburuk luaran pasien.
Oleh karena itu, peran dokter umum di Faskes Pertama menjadi sangat krusial dalam rantai penyelamatan pasien IMA dengan GJA. Kemampuan untuk melakukan diagnosis cepat, memberikan stabilisasi awal yang adekuat, dan merujuk pasien secara tepat waktu ke fasilitas yang memiliki kapabilitas intervensi koroner perkutan (IKP) atau Percutaneous Coronary Intervention (PCI) adalah kunci untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Penegakan diagnosis IMA di Faskes Pertama bertumpu pada evaluasi klinis yang cermat dan interpretasi EKG.
Anamnesis (Diagnosis IMA):
Gejala IMA dapat bervariasi, namun terdapat manifestasi tipikal dan atipikal yang perlu dikenali.
Gejala Tipikal: Keluhan yang paling klasik adalah nyeri dada substernal yang dirasakan seperti ditekan benda berat, terbakar, atau diremas. Nyeri ini seringkali menjalar ke lengan kiri, leher, atau rahang, berlangsung lebih dari 20 menit, dan khasnya tidak mereda dengan istirahat maupun pemberian nitrat sublingual.
Gejala Atipikal: Presentasi atipikal lebih sering dijumpai pada pasien wanita, usia lanjut, dan penderita diabetes melitus. Gejala dapat berupa sesak napas yang dominan, nyeri di ulu hati (epigastrium), mual, muntah, pusing atau rasa ingin pingsan (sinkop), hingga kelemahan yang tidak dapat dijelaskan. Diaforesis (berkeringat banyak) dan nyeri yang menjalar ke kedua lengan lebih sering dilaporkan pada pria.
Pemeriksaan Fisik (Diagnosis IMA):
Temuan pemeriksaan fisik dapat mendukung kecurigaan IMA.
Tampilan Umum: Pasien seringkali tampak cemas, gelisah, dan berkeringat dingin.
Tanda Vital: Dapat ditemukan takikardia (denyut jantung cepat) atau bradikardia (denyut jantung lambat). Tekanan darah bisa normal, meningkat (hipertensi), atau justru menurun (hipotensi), terutama jika telah terjadi syok kardiogenik. Pernapasan biasanya cepat (takipnea).
Auskultasi Jantung: Bunyi jantung S4 gallop dapat terdengar akibat penurunan komplians ventrikel. Adanya murmur regurgitasi mitral yang baru terdengar dapat menandakan komplikasi mekanik seperti disfungsi atau ruptur otot papilaris.
Interpretasi EKG 12 Sadapan (Diagnosis IMA):
Pemeriksaan EKG 12 sadapan adalah alat diagnostik kunci dan harus dilakukan sesegera mungkin, idealnya dalam 10 menit pertama sejak kontak medis dengan pasien yang dicurigai IMA.
STEMI: Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat elevasi segmen ST baru yang signifikan pada dua atau lebih sadapan yang bersebelahan. Kriteria spesifiknya adalah elevasi segmen ST ≥2 mm pada pria atau ≥1.5 mm pada wanita di sadapan V2-V3, dan/atau ≥1 mm pada sadapan lainnya. Adanya left bundle branch block (LBBB) baru juga dianggap sebagai ekuivalen STEMI dalam konteks klinis yang mendukung. Lokasi infark dapat diperkirakan berdasarkan sadapan EKG yang menunjukkan elevasi ST (misalnya, infark anterior melibatkan sadapan V1-V6, I, aVL; infark inferior melibatkan sadapan II, III, aVF).
NSTEMI/Unstable Angina: Pada NSTEMI atau angina tidak stabil, EKG dapat menunjukkan depresi segmen ST baru, inversi gelombang T yang dinamis, atau bahkan gambaran EKG yang normal. Penting untuk diingat bahwa sensitivitas EKG awal untuk mendeteksi IMA, terutama NSTEMI, terbatas (sekitar 30%). Oleh karena itu, EKG awal yang normal atau non-spesifik tidak boleh menyingkirkan diagnosis IMA jika kecurigaan klinis tinggi. EKG serial, jika memungkinkan di Faskes Pertama sambil menunggu proses rujukan, dapat membantu mengidentifikasi perubahan dinamis yang diagnostik. Diagnosis MI ditegakkan jika terdapat minimal dua dari kriteria berikut: gejala iskemia, perubahan segmen ST baru atau LBBB baru, adanya gelombang Q patologis, abnormalitas gerakan dinding regional baru pada pemeriksaan pencitraan, atau adanya trombus intrakoroner saat angiografi atau autopsi.
Pengenalan gejala atipikal, terutama pada populasi spesifik seperti wanita, lansia, dan penderita diabetes, menjadi sangat krusial karena keterlambatan diagnosis pada kelompok ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Keterlambatan diagnosis berarti penundaan terapi reperfusi dan intervensi lainnya, yang berdampak langsung pada luasnya kerusakan miokard, risiko AVR, dan perkembangan gagal jantung.
Selain menegakkan diagnosis IMA, penting bagi dokter di Faskes Pertama untuk secara aktif mencari tanda dan gejala diagnosis Gagal Jantung akut yang mungkin menyertai.
Tanda dan Gejala Gagal Jantung Akut:
Manifestasi klinis GJA pada pasien IMA dapat bervariasi tergantung pada derajat keparahan dan area miokard yang terkena.
Gejala Utama: Pasien mungkin mengeluhkan sesak napas (dispnea) yang timbul saat beraktivitas ringan atau bahkan saat istirahat. Ortopnea, yaitu sesak napas yang memberat saat berbaring datar dan membaik dengan posisi duduk atau menggunakan bantal lebih tinggi, merupakan gejala khas lainnya.
Temuan Pemeriksaan Fisik:
Auskultasi Paru: Ronki basah halus (krepitasi) di basal kedua paru adalah temuan umum, yang menandakan kongesti paru. Luasnya area ronki dapat mengindikasikan derajat edema paru.
Auskultasi Jantung: Terdengarnya bunyi jantung ketiga (S3 gallop) menunjukkan peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan disfungsi sistolik.
Pemeriksaan Vena Jugularis: Peningkatan tekanan vena jugularis (JVP) atau distensi vena jugularis (JVD) yang terlihat pada leher mengindikasikan peningkatan tekanan di sisi kanan jantung atau kegagalan ventrikel kanan. Untuk menilai JVD, pasien diposisikan setengah duduk (30°-45°), dan tinggi kolom vena jugularis internal diukur dari angulus Ludovici. JVD dianggap berat jika >15 cm.
Edema Perifer: Edema pitting pada ekstremitas bawah, terutama pergelangan kaki dan pretibia, dapat ditemukan akibat retensi cairan sistemik. Penekanan dengan ibu jari selama 5 detik pada area tersebut yang meninggalkan cekungan lebih dari 10 detik mengkonfirmasi adanya edema.
Tanda Hipoperfusi (jika ada): Pada kasus GJA yang berat hingga syok kardiogenik, dapat ditemukan takikardia, takipnea, kulit teraba dingin dan lembab, sianosis perifer, penurunan kesadaran, atau oliguria (produksi urin menurun).
Gambar 1. Klasifikasi klinis Gagal Jantung Akut
Klasifikasi Killip untuk Penilaian Derajat Gagal Jantung dan Prognosis:
Klasifikasi Killip adalah alat sederhana namun sangat berguna yang dapat diterapkan di Faskes Pertama untuk menilai derajat keparahan gagal jantung pada pasien IMA dan memberikan informasi prognostik penting. Klasifikasi ini didasarkan pada temuan pemeriksaan fisik:
Killip I: Tidak ada tanda-tanda klinis gagal jantung. Tidak ada ronki paru, tidak ada S3 gallop.
Killip II: Gagal jantung ringan hingga sedang. Ditemukan ronki basah halus pada ≤50% lapang paru, atau adanya S3 gallop, atau peningkatan JVP.
Killip III: Edema paru akut. Ditemukan ronki basah halus pada >50% lapang paru.
Killip IV: Syok kardiogenik. Ditandai dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg) dan bukti hipoperfusi perifer (kulit dingin, basah, sianosis, penurunan kesadaran, oliguria), disertai tanda-tanda kongesti paru.
Klasifikasi Killip telah terbukti sebagai prediktor kuat mortalitas jangka panjang setelah IMA. Penggunaannya di Faskes Pertama memungkinkan dokter umum untuk melakukan triase yang lebih baik, mengkomunikasikan tingkat keparahan pasien secara efektif kepada pusat rujukan, dan mengidentifikasi pasien yang memerlukan transfer dan intervensi lebih agresif dan segera. Adanya tanda-tanda gagal jantung (Killip II atau lebih) pada pasien IMA juga secara signifikan mengubah pendekatan terapeutik awal, terutama terkait manajemen cairan dan penggunaan obat-obatan tertentu seperti beta-blocker, yang harus digunakan dengan sangat hati-hati atau dihindari pada fase dekompensasi akut.
Gambar 2. Pendekatan Diagnosis Gagal Jantung Akut
Tatalaksana awal yang cepat dan tepat di Faskes Pertama untuk pasien IMA dengan GJA bertujuan untuk meredakan gejala, menstabilkan kondisi hemodinamik, memulai terapi reperfusi farmakologis (jika PCI tidak segera tersedia), dan mencegah perburukan sebelum pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap.
Stabilisasi Umum dan Prioritas:
Prinsip dasar resusitasi ABC (Airway, Breathing, Circulation) tetap menjadi prioritas utama. Pastikan jalan napas paten, pernapasan adekuat, dan sirkulasi terpantau.
Segera pasang akses intravena (IV), idealnya dua jalur dengan kanula berukuran cukup besar untuk antisipasi pemberian cairan atau obat-obatan emergensi.
Lakukan pemantauan tanda vital (tekanan darah, laju nadi, laju pernapasan), saturasi oksigen (SpO2) secara kontinu, dan EKG jika fasilitas monitor tersedia.
Manajemen Nyeri Iskemik dan Ansietas:
Nyeri dada hebat pada IMA dapat meningkatkan kerja jantung dan konsumsi oksigen miokard.
Morfin Sulfat: Merupakan analgesik opioid pilihan untuk nyeri dada berat yang tidak mereda dengan pemberian nitrat. Diberikan secara intravena (IV) dengan dosis kecil, misalnya 2-5 mg, yang dapat diulang setiap 5-15 menit hingga nyeri terkontrol atau timbul efek samping.
Perhatian: Morfin dapat menyebabkan hipotensi (terutama pada pasien dengan preload-dependent), bradikardia, dan depresi pernapasan. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa morfin dapat memperlambat absorpsi dan onset kerja antiplatelet oral golongan P2Y12 inhibitor (seperti clopidogrel dan ticagrelor). Hal ini menjadi pertimbangan penting, meskipun manfaat analgesia morfin seringkali lebih diutamakan pada nyeri hebat.
Terapi Oksigen yang Tepat Sasaran:
Pemberian oksigen rutin pada semua pasien IMA tidak lagi direkomendasikan.
Indikasi: Oksigen diberikan hanya jika pasien mengalami hipoksemia (SpO2 <90%), menunjukkan tanda-tanda distres pernapasan, atau memiliki bukti klinis gagal jantung berat dengan hipoksia.
Target Saturasi: Jika oksigen diberikan, target saturasi oksigen adalah 94-98%. Hindari pemberian oksigen hingga mencapai hiperoksia (SpO2 100%) pada pasien yang awalnya normoksemia, karena berpotensi menyebabkan vasokonstriksi koroner, peningkatan stres oksidatif, dan bahkan dapat meningkatkan ukuran infark. Perubahan paradigma ini penting untuk diketahui agar tidak memberikan oksigen secara berlebihan.
Metode Pemberian: Dapat melalui kanula nasal dengan aliran 2-4 L/menit atau masker sederhana, disesuaikan untuk mencapai target saturasi.
Gambar 3. Strategi terapi awal untuk Gagal Jantung Akut
Fondasi Terapi Antitrombotik (Antiplatelet dan Antikoagulan):
Terapi antitrombotik bertujuan untuk menghambat agregasi platelet dan pembentukan trombus lebih lanjut, serta melisiskan trombus yang sudah ada (jika menggunakan fibrinolitik, yang umumnya bukan lini pertama jika PCI tersedia).
Aspirin: Merupakan antiplatelet esensial dan harus diberikan sesegera mungkin pada semua pasien IMA tanpa kontraindikasi. Dosis loading yang direkomendasikan adalah 160-325 mg (di Indonesia umumnya digunakan dosis 300 mg). Aspirin sebaiknya dikunyah untuk absorpsi yang lebih cepat jika sediaan yang tersedia bukan chewable atau non-enteric coated.
P2Y12 Inhibitor: Diberikan bersama aspirin (terapi antiplatelet ganda atau Dual Antiplatelet Therapy/DAPT).
Clopidogrel: Dosis loading oral 300-600 mg. Beberapa studi menyarankan dosis 600 mg untuk onset inhibisi platelet yang lebih cepat dan lebih konsisten, terutama jika pasien akan menjalani PCI.
Ticagrelor: Dosis loading oral 180 mg. Ticagrelor memiliki onset kerja yang lebih cepat dan potensi inhibisi platelet yang lebih kuat dibandingkan clopidogrel standar, namun tidak dianjurkan jika pasien akan menerima terapi trombolitik.
Pemberian P2Y12 inhibitor idealnya dilakukan pada kontak medis pertama atau di ambulans jika memungkinkan, untuk memaksimalkan manfaat antitrombotik dini.
Antikoagulan: Pemberian antikoagulan parenteral direkomendasikan untuk semua pasien IMA.
Unfractionated Heparin (UFH): Dosis bolus IV 60-70 IU/kg (maksimum 4000-5000 IU), diikuti dengan infus kontinu 12-15 IU/kg/jam (maksimum 1000 IU/jam), dengan target aPTT tertentu jika pemantauan tersedia (biasanya di rumah sakit).
Low Molecular Weight Heparin (LMWH), contoh Enoxaparin:
Untuk NSTEMI/Angina Tidak Stabil: 1 mg/kg subkutan (SC) setiap 12 jam.
Untuk STEMI:
Usia <75 tahun: Bolus IV 30 mg, segera diikuti dengan 1 mg/kg SC, kemudian 1 mg/kg SC setiap 12 jam (dua dosis pertama SC maksimal 100 mg per dosis).
Usia ≥75 tahun: Tidak ada bolus IV, dosis SC 0.75 mg/kg setiap 12 jam (dua dosis pertama SC maksimal 75 mg per dosis).
Pilihan antara UFH dan LMWH seringkali bergantung pada ketersediaan, protokol lokal, dan rencana intervensi (misalnya, UFH lebih mudah dihentikan jika diperlukan CABG segera).
Tatalaksana Gagal Jantung Akut (Killip II-IV):
Manajemen GJA pada pasien IMA bertujuan untuk mengurangi kongesti paru dan sistemik, serta memperbaiki hemodinamik.
Posisi Pasien: Pasien dengan dispnea atau tanda edema paru harus diposisikan duduk tegak (high Fowler's position), jika memungkinkan dengan kaki menggantung. Posisi ini membantu mengurangi venous return ke jantung dan memudahkan ekspansi paru.
Diuretik Loop Intravena:
Furosemide IV: Merupakan diuretik utama untuk mengurangi kelebihan cairan. Dosis awal yang direkomendasikan adalah 20-40 mg IV untuk pasien yang belum pernah mendapat diuretik (diuretic-naïve). Untuk pasien yang sudah rutin mengonsumsi diuretik oral, dosis IV awal sebaiknya setara atau 1-2.5 kali lebih tinggi dari dosis oral harian mereka. Dosis dapat diulang atau ditingkatkan berdasarkan respons diuresis (target output urin >100-150 mL/jam dalam 6 jam pertama atau natriuresis >50-70 mEq/L dalam 2 jam pasca-pemberian) dan status volume pasien.
Pemantauan: Penting untuk memantau respons diuresis (volume urin), tekanan darah (risiko hipotensi), tanda-tanda dehidrasi, dan kadar elektrolit serum (terutama kalium dan magnesium) serta fungsi ginjal.
Vasodilator (jika tidak ada hipotensi signifikan):
Nitroglycerin (NTG): Dapat membantu mengurangi preload dan afterload, sehingga meringankan kongesti paru dan nyeri dada.
Sublingual (SL): Tablet 0.3-0.6 mg atau semprot 400 mcg dapat diberikan setiap 5 menit hingga maksimal 3 dosis, dengan syarat tekanan darah sistolik (SBP) >90-100 mmHg dan tidak ada kontraindikasi.
Intravena (IV): Infus NTG dapat dipertimbangkan jika SBP >100-110 mmHg, terutama pada GJA dengan hipertensi atau edema paru berat. Dosis dimulai rendah (misalnya, 5-10 mcg/menit) dan dititrasi secara hati-hati berdasarkan respons klinis (penurunan dispnea, nyeri dada) dan tekanan darah.
Kontraindikasi/Perhatian: Nitrat harus dihindari atau digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien dengan hipotensi (SBP <90-100 mmHg), bradikardia berat (<50x/menit), dugaan infark ventrikel kanan (sering ditandai dengan hipotensi, JVP meningkat, dan paru bersih pada IMA inferior), atau riwayat penggunaan inhibitor fosfodiesterase-5 (seperti sildenafil, tadalafil) dalam 24-48 jam terakhir karena risiko hipotensi berat.
Gambar 4. Alur untuk vasodilator dan diuretik pada Gagal Jantung Akut
Ventilasi Non-Invasif (NIPPV - CPAP/BiPAP):
Dapat dipertimbangkan pada pasien dengan distres pernapasan berat, hipoksemia persisten (SpO2 <90% meskipun sudah dengan terapi oksigen), atau edema paru akut yang tidak merespons cepat terhadap terapi farmakologis awal. NIPPV dapat meningkatkan oksigenasi, mengurangi kerja napas, serta mengurangi preload dan afterload. Penggunaannya memerlukan pemantauan ketat dan idealnya dilakukan di fasilitas yang memiliki kesiapan untuk intubasi jika terjadi kegagalan NIPPV.
Perhatian Khusus dan Obat yang Perlu Dihindari/Hati-hati di Fase Akut:
NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs): Semua jenis NSAID (kecuali aspirin dosis rendah) harus dihentikan dan dihindari pada pasien IMA karena terbukti meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular (termasuk reinfark dan ruptur miokard), memperburuk gagal jantung melalui retensi natrium dan air, serta mengganggu fungsi ginjal.
Beta-Blocker: Meskipun beta-blocker merupakan terapi penting untuk jangka panjang pasca-MI dan pada gagal jantung kronis, penggunaannya pada fase akut IMA yang disertai gagal jantung dekompensasi (Killip kelas II-IV) atau syok kardiogenik umumnya dihindari atau dimulai dengan sangat hati-hati. Efek inotropik dan kronotropik negatifnya dapat memperburuk kondisi hemodinamik yang sudah tidak stabil. Inisiasi beta-blocker biasanya dipertimbangkan setelah pasien stabil secara hemodinamik, seringkali di rumah sakit rujukan.
ACE Inhibitor (ACEI) / Angiotensin Receptor Blocker (ARB): Seperti beta-blocker, ACEI/ARB adalah pilar terapi jangka panjang pasca-MI dan pada gagal jantung untuk mencegah remodeling ventrikel dan mengurangi mortalitas. Inisiasi dini (dalam 24 jam pertama) dianjurkan pada pasien STEMI dengan gagal jantung atau LVEF <40%, asalkan pasien stabil secara hemodinamik (tidak hipotensi, tidak ada syok, tidak ada disfungsi ginjal akut berat atau hiperkalemia signifikan). Di Faskes Pertama, fokus utama adalah stabilisasi akut; inisiasi ACEI dapat dipertimbangkan jika pasien sangat stabil dan tidak ada kontraindikasi, namun lebih sering keputusan ini ditunda hingga pasien berada di rumah sakit rujukan di bawah pengawasan spesialis.
Konsep "Time is Muscle" dan "Time-to-Therapy" sangat relevan tidak hanya untuk terapi reperfusi tetapi juga untuk semua intervensi awal di Faskes Pertama. Setiap menit penundaan dalam pemberian terapi farmakologis yang tepat dapat berdampak signifikan pada luaran pasien. Oleh karena itu, Faskes Pertama harus memiliki protokol yang jelas dan ketersediaan obat-obatan emergensi untuk meminimalkan penundaan internal sebelum pasien dirujuk.
Berikut adalah tabel ringkasan terapi farmakologis awal yang dapat menjadi panduan cepat:
Tabel 1: Terapi Farmakologis Awal Kunci pada IMA dengan Gagal Jantung Akut di Faskes Pertama
Obat | Dosis Awal & Rute | Indikasi Utama | Perhatian/Kontraindikasi Penting di Faskes Pertama |
Antiplatelet | |||
Aspirin | 160-325 mg (umumnya 300 mg), dikunyah atau non-enterik, oral | Semua suspek IMA | Hipersensitivitas aspirin, perdarahan aktif signifikan |
Clopidogrel | 300-600 mg, oral | DAPT pada IMA (STEMI & NSTEMI) | Perdarahan aktif, risiko perdarahan tinggi. Pertimbangkan dosis 600 mg jika rencana PCI. |
Ticagrelor | 180 mg, oral | DAPT pada IMA (STEMI & NSTEMI), alternatif Clopidogrel | Perdarahan aktif, riwayat perdarahan intrakranial. Tidak jika direncanakan terapi trombolitik. Interaksi dengan beberapa obat. |
Antikoagulan | |||
Heparin (UFH) | Bolus IV 60-70 IU/kg (maks 4000-5000 IU), lanjut infus 12-15 IU/kg/jam (maks 1000 IU/jam) | Antikoagulasi pada IMA | Perdarahan aktif, trombositopenia berat, riwayat HIT. Pemantauan aPTT diperlukan (biasanya di RS). |
Enoxaparin (LMWH) | NSTEMI: 1 mg/kg SC tiap 12 jam. STEMI (<75 thn): 30 mg IV bolus + 1 mg/kg SC, lalu 1 mg/kg SC tiap 12 jam. STEMI (≥75 thn): 0.75 mg/kg SC tiap 12 jam (tanpa bolus IV). | Antikoagulasi pada IMA | Perdarahan aktif, trombositopenia berat, riwayat HIT, gangguan ginjal berat (perlu penyesuaian dosis). |
Analgesik | |||
Morfin Sulfat | 2-5 mg IV, dapat diulang | Nyeri dada hebat pada IMA yang tidak responsif terhadap nitrat | Hipotensi, bradikardia, depresi napas, mual/muntah. Dapat memperlambat absorpsi P2Y12 inhibitor. |
Terapi Suportif | |||
Oksigen | 2-4 L/menit via kanul nasal atau masker | Hanya jika SpO2 <90% atau ada distres napas/hipoksemia berat | Hindari pemberian rutin pada pasien normoksemia (SpO2 ≥90%) karena potensi efek merugikan. Target SpO2 94-98%. |
Terapi Gagal Jantung Akut | |||
Furosemide IV | 20-40 mg IV (naif diuretik), atau 1-2.5x dosis oral harian (pengguna kronis) | Kongesti paru/sistemik pada GJA | Hipotensi, hipovolemia, gangguan elektrolit (hipokalemia, hipomagnesemia), disfungsi ginjal. Pantau respons diuresis dan tanda vital. |
Nitroglycerin (NTG) | SL: 0.3-0.6 mg tablet atau 400 mcg spray, tiap 5 menit (maks 3x). IV: mulai 5-10 mcg/menit, titrasi. | Nyeri dada iskemik, edema paru akut (terutama dengan hipertensi) | Hipotensi (SBP <90-100 mmHg), bradikardia berat, infark ventrikel kanan, penggunaan inhibitor PDE-5 dalam 24-48 jam. Pantau tekanan darah ketat. |
Catatan: Dosis dan pilihan terapi dapat disesuaikan berdasarkan kondisi klinis pasien, ketersediaan obat, dan protokol lokal. Konsultasi dengan spesialis jantung direkomendasikan jika memungkinkan.
Tujuan utama stabilisasi pasien IMA dengan GJA di Faskes Pertama adalah untuk meredakan gejala akut, memperbaiki oksigenasi jika terjadi hipoksia, mengoptimalkan status hemodinamik (mengatasi hipotensi berat atau krisis hipertensi, serta edema paru berat), memulai terapi antitrombotik yang krusial, dan mencegah perburukan kondisi pasien selama proses transfer ke fasilitas rujukan. Stabilisasi ini bukanlah terapi definitif, melainkan langkah awal yang sangat penting untuk "membeli waktu" dan meningkatkan kemungkinan keberhasilan terapi reperfusi di pusat PCI.
Kriteria Rujukan Segera ke Rumah Sakit dengan Fasilitas PCI:
Keputusan untuk merujuk pasien harus dibuat dengan cepat dan tepat. Berikut adalah kondisi yang memerlukan rujukan segera:
Semua pasien STEMI: Pasien dengan diagnosis STEMI harus dirujuk secepat mungkin untuk menjalani terapi reperfusi primer, idealnya primary PCI, dalam kurun waktu 90-120 menit sejak diagnosis ditegakkan atau sejak kontak medis pertama jika transfer memungkinkan. Setiap menit penundaan reperfusi pada STEMI berarti hilangnya lebih banyak otot jantung.
Pasien NSTEMI dengan Risiko Sangat Tinggi atau Tinggi: Pasien NSTEMI yang menunjukkan tanda-tanda risiko tinggi memerlukan strategi invasif dini. Tanda-tanda ini meliputi nyeri dada yang refrakter terhadap terapi medis awal, instabilitas hemodinamik (hipotensi, syok), aritmia ventrikel maligna (seperti VT atau VF), perubahan segmen ST atau gelombang T yang dinamis dan signifikan pada EKG serial, atau skor risiko tinggi berdasarkan sistem skoring seperti GRACE (>140). Pasien NSTEMI risiko sangat tinggi idealnya menjalani PCI dalam waktu <2 jam, sedangkan risiko tinggi dalam <24 jam. Meskipun penghitungan skor risiko formal mungkin tidak selalu praktis di Faskes Pertama, pengenalan fitur klinis berisiko tinggi sudah cukup untuk memicu rujukan segera.
Pasien IMA dengan Gagal Jantung Akut Berat (Killip III/IV) atau Syok Kardiogenik: Pasien yang datang dengan edema paru akut (Killip III) atau syok kardiogenik (Killip IV) memerlukan penanganan segera di fasilitas yang memiliki kemampuan untuk dukungan hemodinamik lanjut dan intervensi koroner.
Proses Rujukan:
Komunikasi yang efektif dan jelas dengan pusat rujukan serta tim Emergency Medical Services (EMS) atau ambulans sangat penting untuk memastikan kelancaran dan kecepatan proses transfer. Informasi yang perlu disampaikan meliputi identitas pasien, diagnosis kerja (IMA jenis apa, kelas Killip), temuan EKG kunci, terapi awal yang sudah diberikan, kondisi hemodinamik saat ini, dan perkiraan waktu tempuh. Koordinasi ini membantu pusat rujukan mempersiapkan penerimaan pasien dan tim PCI jika diperlukan.
Infark Miokard Akut yang disertai dengan Gagal Jantung Akut merupakan kondisi kegawatdaruratan kardiovaskular yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan cepat serta komprehensif. Dokter umum di Faskes Pertama memegang peranan multifaset yang sangat vital dalam rantai penyelamatan pasien ini.
Peran tersebut mencakup kemampuan untuk melakukan diagnosis dini berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, interpretasi EKG yang akurat untuk membedakan STEMI dan NSTEMI serta mengidentifikasi tanda-tanda gagal jantung, memberikan terapi farmakologis awal yang tepat dan time-sensitive untuk stabilisasi hemodinamik dan antitrombotik, hingga mengkoordinasikan proses rujukan yang cepat dan aman ke pusat layanan jantung dengan kapabilitas PCI.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter umum di lini pertama, mulai dari pengenalan gejala hingga keputusan rujukan, secara kumulatif berdampak besar pada prognosis pasien. Pemahaman mendalam mengenai patofisiologi, manifestasi klinis yang beragam (termasuk presentasi atipikal), prinsip-prinsip terapi awal yang berbasis bukti, serta kesadaran akan potensi komplikasi dan interaksi obat adalah fondasi penting bagi dokter umum.
Panduan ini, yang disarikan dari literatur ilmiah terindeks PubMed, bertujuan untuk memberdayakan para dokter umum, khususnya yang berusia muda dan bertugas di garda terdepan pelayanan kesehatan, agar dapat bertindak dengan lebih percaya diri dan efektif dalam menghadapi situasi tekanan tinggi ini.
Dengan terus memperbarui pengetahuan sesuai pedoman terkini dan meningkatkan keterampilan klinis, dokter umum dapat secara signifikan berkontribusi dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat IMA dan gagal jantung di Indonesia. Kolaborasi interprofesional yang baik dengan spesialis jantung dan fasilitas rujukan juga menjadi kunci keberhasilan sistem perawatan pasien IMA secara keseluruhan.
Acute Myocardial Infarction - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459269/
The Comparative Epidemiology, Pathophysiology and Management of Cardiogenic Shock Associated With Acute Myocardial Infarction and Advanced Heart Failure - PubMed, accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39892612/
Heart Failure After Myocardial Infarction: Clinical Implications and ..., accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6652587/
Mechanism of heart failure after myocardial infarction - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10566288/
Anti-Inflammatory Strategies for Ventricular Remodeling Following ..., accessed May 9, 2025, https://www.researchgate.net/publication/260194678_Anti-Inflammatory_Strategies_for_Ventricular_Remodeling_Following_ST-Segment_Elevation_Acute_Myocardial_Infarction
Liver-heart crosstalk controls IL-22 activity in cardiac protection after ..., accessed May 9, 2025, https://www.thno.org/v08p4552.htm
Non–ST-Segment Elevation Myocardial Infarction - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513228/
Inter-hospital transfer in patients with acute myocardial infarction in China: Findings from the improving care for cardiovascular disease in China-acute coronary syndrome project - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9773877/
The current and future management of acute heart failure syndromes - Oxford Academic, accessed May 9, 2025, https://academic.oup.com/eurheartj/article/31/7/784/434191?login=true
Cardiovascular Admissions, Readmissions, and Transitions of Care - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3963404/
Acute Myocardial Infarction (Nursing) - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK568759/
Acute Coronary Syndrome - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459157/
Anterior Myocardial Infarction - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562234/
KSHF Guidelines for the Management of Acute Heart Failure: Part I ..., accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6331322/
From Hospital to Home: Evidence-Based Care for Worsening Heart Failure - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11342447/
Acute Heart Failure Management - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5986746/
Management of Acute Heart Failure during an Early Phase - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9536658/
(PDF) Assessing the Medical Student's Knowledge and Awareness ..., accessed May 9, 2025, https://www.researchgate.net/publication/385708515_Assessing_the_Medical_Student's_Knowledge_and_Awareness_of_MONA_Protocol_and_Oxygen_Therapy_in_Acute_Myocardial_Infarction_A_Cross-Sectional_Study
Analgesic drug use in patients with STEMI: Current perspectives and challenges - Frontiers, accessed May 9, 2025, https://www.frontiersin.org/journals/medicine/articles/10.3389/fmed.2023.1148581/full
Oxygen supplementation in acute myocardial infarction: To be or not to be? - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4900358/
Antiplatelet Therapy in Acute Coronary Syndrome - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6206448/
Emergency management of acute myocardial infarction - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2014343/
Oral Antiplatelet Therapy in Acute Coronary Syndromes: Recent Developments - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4107436/
2025 ACC/AHA/ACEP/NAEMSP/SCAI Guideline for the Management of Patients With Acute Coronary Syndromes - American Heart Association Journals, accessed May 9, 2025, https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIR.0000000000001309
Clopidogrel - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470539/
Clopidogrel in non-ST segment elevation acute coronary syndromes: an overview of the submission by the British Cardiac Society and the Royal College of Physicians of London to the National Institute for Clinical Excellence, and beyond - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1769101/
Optimal Use of Thienopyridines in Non-ST-Elevation Acute Coronary Syndrome Following CURRENT-OASIS 7 | Circulation: Cardiovascular Interventions, accessed May 9, 2025, https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIRCINTERVENTIONS.109.910406
Immediate and Long-Term Therapy of Patients with Acute Coronary Syndromes with Thienopyridines. Current Status According to the Latest European Society of Cardiology (ESC) Guidelines, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3678795/
Ticagrelor (Brilinta), an Antiplatelet Drug for Acute Coronary Syndrome - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3474441/
Modified ticagrelor loading doses according to the vasodilator-stimulated phosphoprotein phosphorylation index improve the clinical outcome in ST-elevation myocardial infarction patients with high on-treatment platelet reactivity - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10635729/
STEMI Antithrombotic Therapy: The Evolving Role of P2Y12 Inhibitor Pretreatment in Contemporary Practice - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11607508/
Ticagrelor Use in Acute Myocardial Infarction: Insights From the National Cardiovascular Data Registry | Journal of the American Heart Association, accessed May 9, 2025, https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/JAHA.117.008125
Clinical pathways and management of antithrombotic therapy in patients with acute coronary syndrome (ACS), accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5520755/
Anticoagulant Therapy for Acute Coronary Syndromes - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5980649/
New heparin dosing recommendations for patients with acute coronary syndromes - PubMed, accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11382373/
Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH) - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525957/
Acute Heart Failure & Pulmonary Edema | Current Medical Diagnosis & Treatment 2023 | AccessMedicine, accessed May 9, 2025, https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=3212§ionid=269163980
Managing acute pulmonary oedema - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5408000/
Current treatment options for early management in acute decompensated heart failure, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2794440/
Furosemide - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499921/
Cardiogenic Pulmonary Edema - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544260/
Early Management of Patients with Acute Heart Failure: State of the Art and Future Directions, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4276508/
Acute Decompensated Heart Failure Update - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4347210/
Diagnosis and management of acute heart failure - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5336936/
Chest Pain Relief by Nitroglycerin Does Not Predict Active Coronary Artery Disease, accessed May 9, 2025, https://www.researchgate.net/publication/8956344_Chest_Pain_Relief_by_Nitroglycerin_Does_Not_Predict_Active_Coronary_Artery_Disease
Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drug Use and the Risk of Acute Myocardial Infarction in the General German Population: A Nested Case–Control Study - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5567458/
The dangers of NSAIDs: look both ways - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4809680/
Beta-blocker use and up-titration after acute ST-segment elevation myocardial infarction, accessed May 9, 2025, https://smw.ch/index.php/smw/article/view/2851/4647
Beta-blocker therapy in patients with acute myocardial infarction: not all patients need it, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10497890/
Role of β-blockers in Preventing Heart Failure and Major Adverse Cardiac Events Post Myocardial Infarction - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10494272/
Beta‐blockers for suspected or diagnosed acute myocardial infarction - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6915833/
ACE Inhibitors - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430896/
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431051/
ACE Inhibitors and Angiotensin Receptor Blockers for the Primary and Secondary Prevention of Cardiovascular Outcomes: Recommendations from the 2024 Egyptian Cardiology Expert Consensus in Collaboration with the CVREP Foundation - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11607301/
Management of Myocardial Infarction and the Role of Cardiothoracic Surgery - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11432415/
2020 ESC Guidelines on acute coronary syndrome without ST-segment elevation: Recommendations and critical appraisal from the Dutch ACS and Interventional Cardiology working groups - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8556454/