Dokter Post - Panduan Diagnosis & Terapi ISK Rekuren pada Ibu Hamil | Dosis Obat Aman Terbaru

Panduan Komprehensif: Diagnosis dan Terapi ISK Rekuren pada Ibu Hamil – Termasuk Dosis Obat Aman

13 Sep 2025 • Obgyn

Deskripsi

Panduan Komprehensif: Diagnosis dan Terapi ISK Rekuren pada Ibu Hamil – Termasuk Dosis Obat Aman

1. Pendahuluan: Mengapa ISK Rekuren pada Ibu Hamil Merupakan Tantangan Klinis?

Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering dijumpai selama periode kehamilan. Kondisi ini seringkali bermula sebagai bakteriuria asimtomatik (ASB), yaitu keberadaan bakteri dalam urin tanpa disertai gejala klinis, yang apabila tidak terdeteksi dan ditangani dengan adekuat dapat berkembang menjadi infeksi simtomatik seperti sistitis (infeksi kandung kemih) atau bahkan pielonefritis (infeksi ginjal). Pielonefritis akut, sebagai bentuk ISK yang lebih berat, tercatat sebagai penyebab utama hospitalisasi non-obstetrik pada ibu hamil, menandakan keseriusan kondisi ini.

Gambar 1. Infeksi Saluran Kemih yang disebabkan bakterial

ISK rekuren, yang didefinisikan sebagai ISK berulang, dapat melibatkan baik ISK bagian bawah (sistitis) maupun ISK bagian atas (pielonefritis akut). Rekurensi ini bisa disebabkan oleh relaps, yaitu infeksi ulang dengan strain mikroorganisme yang sama, atau reinfeksi, yang disebabkan oleh strain atau spesies mikroorganisme yang berbeda. 

Wanita secara umum lebih rentan mengalami ISK rekuren. Konsekuensi dari ISK yang tidak tertangani secara optimal selama kehamilan sangat signifikan, meliputi peningkatan risiko persalinan prematur, berat badan lahir rendah pada bayi, hipertensi maternal, preeklamsia, dan anemia pada ibu.

Permasalahan ISK rekuren pada ibu hamil menghadirkan beban ganda. Selain meningkatkan risiko komplikasi obstetrik yang telah ada pada episode ISK tunggal, kondisi ini juga menambah beban psikologis bagi ibu hamil. Kekhawatiran akan infeksi berulang, potensi paparan antibiotik yang lebih sering pada janin, serta meningkatnya risiko perkembangan resistensi antibiotik menjadi pertimbangan penting. 

Mengingat ASB dapat berkembang menjadi ISK simtomatik dan pielonefritis, dan adanya rekomendasi universal untuk melakukan skrining ISK pada semua ibu hamil pada kunjungan antenatal pertama , identifikasi dini riwayat ISK rekuren melalui anamnesis yang cermat menjadi sangat krusial. Hal ini memungkinkan stratifikasi risiko yang lebih baik dan perencanaan pemantauan kehamilan yang lebih ketat bagi kelompok pasien ini.

2. Memahami ISK Rekuren pada Kehamilan: Definisi, Faktor Risiko, dan Diagnosis Akurat

2.1. Definisi ISK Rekuren yang Jelas

ISK rekuren secara umum didefinisikan sebagai dua atau lebih episode ISK simtomatik yang terjadi dalam periode enam bulan, atau tiga atau lebih episode dalam periode dua belas bulan. Dalam konteks klinis, penting untuk membedakan antara relaps dan reinfeksi. 

Relaps merujuk pada infeksi berulang yang disebabkan oleh patogen yang sama dalam kurun waktu dua minggu setelah penyelesaian terapi antibiotik. Kondisi ini seringkali mengindikasikan eradikasi patogen yang tidak tuntas atau adanya sumber infeksi yang persisten, seperti batu saluran kemih atau kelainan anatomi. 

Sebaliknya, reinfeksi adalah episode infeksi baru yang disebabkan oleh patogen yang berbeda atau terjadi setelah interval bebas infeksi yang lebih panjang, menandakan infeksi baru dari luar. Pembedaan ini penting karena relaps yang berulang mungkin memerlukan investigasi lebih lanjut, termasuk pencitraan urologi, untuk menyingkirkan faktor predisposisi yang mendasari.

2.2. Faktor Risiko: Mengapa Ibu Hamil Rentan?

Kehamilan itu sendiri merupakan faktor risiko signifikan untuk ISK. Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan bakteri dan asensi infeksi ke saluran kemih bagian atas. Dilatasi ureter, yang dikenal sebagai "hidronefrosis kehamilan," dimulai sekitar minggu ke-6 usia gestasi, mencapai puncaknya pada minggu ke-22 hingga ke-26, dan dapat berlanjut hingga masa persalinan. 

Peningkatan kadar hormon progesteron dan estrogen selama kehamilan menyebabkan relaksasi otot polos, yang berakibat pada penurunan tonus ureter dan kandung kemih. Selain itu, peningkatan volume plasma menyebabkan penurunan konsentrasi urin dan peningkatan volume residu urin dalam kandung kemih. Kombinasi faktor-faktor ini, ditambah dengan kompresi mekanis kandung kemih oleh uterus yang membesar, menyebabkan stasis urin dan refluks vesikoureteral, yang semuanya meningkatkan kerentanan terhadap ISK.

Selain perubahan fisiologis, faktor risiko lain yang telah teridentifikasi meliputi riwayat ISK rekuren sebelum kehamilan. Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko terjadinya pielonefritis selama kehamilan termasuk obesitas, status sosioekonomi rendah, usia muda, nuliparitas (belum pernah melahirkan), diabetes melitus, dan kebiasaan merokok.

2.3. Kriteria Diagnosis: Menegakkan Diagnosis dengan Tepat

Penegakan diagnosis ISK, terutama ISK rekuren pada ibu hamil, memerlukan pendekatan yang komprehensif, menggabungkan evaluasi gejala klinis dengan pemeriksaan laboratorium yang akurat.

  • Gejala Klinis:

Gejala klasik sistitis akut meliputi disuria (nyeri atau rasa terbakar saat berkemih), yang dilaporkan terjadi pada sekitar 55% kasus, peningkatan frekuensi berkemih (82%), urgensi (keinginan kuat untuk segera berkemih), dan nyeri suprapubik (73%). Namun, perlu dicatat bahwa gejala-gejala ini memiliki tingkat positif palsu yang cukup tinggi pada populasi ibu hamil. Hal ini disebabkan karena beberapa keluhan tersebut, seperti peningkatan frekuensi dan urgensi berkemih, juga merupakan keluhan yang umum terjadi pada kehamilan normal akibat perubahan fisiologis dan tekanan mekanis dari uterus. Faktanya, hanya sekitar 26% wanita hamil dengan gejala-gejala tersebut yang benar-benar memiliki hasil kultur urin positif.

  • Urinalisis:
    Pemeriksaan urinalisis menggunakan strip tes (dipstick) untuk skrining ISK pada populasi umum ibu hamil menunjukkan angka positif palsu yang tinggi dan secara umum dianggap kurang bermanfaat untuk skrining rutin tanpa gejala. Meskipun demikian, pada pasien yang datang dengan gejala ISK, deteksi nitrit pada urinalisis memiliki spesifisitas yang tinggi (98.6%) dan nilai prediksi positif sebesar 86.6% untuk ISK yang dikonfirmasi kultur. Pemeriksaan leukosit esterase juga dapat menjadi penanda adanya inflamasi.

  • Kultur Urin (Standar Emas):

Kultur urin tetap menjadi standar emas untuk diagnosis bakteriuria dan ISK pada kehamilan. Bakteriuria asimtomatik (ASB) didefinisikan sebagai ditemukannya pertumbuhan bakteri tunggal dengan jumlah koloni lebih dari atau sama dengan 105 colony-forming units per milliliter (CFU/mL) dari spesimen urin midstream clean catch pada pasien tanpa gejala. 

Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), pada pasien dengan gejala ISK, diagnosis dikonfirmasi dengan temuan pertumbuhan bakteri tunggal ≥105 CFU/mL. Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa pada pasien simtomatik disertai piuria (leukosit dalam urin), pertumbuhan bakteri ≥103 CFU/mL sudah dianggap signifikan. Pengambilan sampel urin clean catch yang benar sangat penting untuk meminimalkan risiko kontaminasi.

Gejala ISK yang seringkali mirip dengan keluhan normal kehamilan menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "kabut diagnostik". Kondisi ini menuntut para dokter umum untuk memiliki ambang batas yang lebih rendah dalam melakukan pemeriksaan kultur urin pada ibu hamil yang mengeluhkan gejala urinaria, sekalipun tampak ringan, terutama jika pasien memiliki riwayat ISK rekuren. Ketergantungan semata pada gejala klinis dapat berisiko menyebabkan underdiagnosis atau sebaliknya, overdiagnosis dan pemberian antibiotik yang tidak perlu.

Lebih lanjut, pembedaan antara relaps dan reinfeksi memiliki implikasi praktis yang signifikan. Relaps yang terjadi berulang meskipun pasien telah mendapatkan terapi yang tampak adekuat dapat menjadi penanda adanya masalah struktural yang mendasari, seperti batu saluran kemih, anomali kongenital saluran kemih, atau adanya fokus infeksi yang tersembunyi, misalnya abses ginjal. Kondisi ini mengarahkan klinisi untuk mempertimbangkan investigasi lebih lanjut, seperti ultrasonografi ginjal atau pemeriksaan pencitraan lainnya, yang mungkin tidak diperlukan pada kasus reinfeksi sederhana.

3. Tatalaksana Episode Akut ISK pada Ibu Hamil: Pilihan dan Dosis Obat yang Aman dan Efektif

3.1. Prinsip Umum Terapi Antibiotik

Prinsip utama dalam tatalaksana episode akut ISK pada ibu hamil adalah eradikasi bakteri penyebab infeksi sambil memastikan keamanan bagi ibu dan janin. Terapi antibiotik empiris dapat dipertimbangkan untuk dimulai segera jika terdapat gejala ISK yang jelas, terutama jika gejala tersebut berat atau pasien berisiko tinggi mengalami komplikasi. Namun, sangat dianjurkan untuk mengambil sampel urin untuk kultur dan uji sensitivitas antibiotik sebelum pemberian dosis antibiotik pertama. 

Hasil kultur dan sensitivitas ini nantinya akan memandu penyesuaian terapi antibiotik (terapi definitif) untuk memastikan efikasi maksimal dan meminimalkan risiko resistensi. Durasi terapi antibiotik untuk ASB dan sistitis akut pada kehamilan umumnya adalah 5 hingga 7 hari.

3.2. Pilihan Antibiotik Lini Pertama dan Alternatif Berdasarkan Trimester

Pemilihan antibiotik harus selalu mempertimbangkan profil keamanan obat terhadap janin pada setiap trimester kehamilan, efikasinya terhadap patogen penyebab ISK yang paling umum (mayoritas adalah Escherichia coli), dan pola resistensi bakteri lokal jika data tersedia.

  • Sefalosporin (misalnya, Sefaleksin): Sefaleksin dengan dosis 250-500 mg per oral setiap 12 jam selama 5-7 hari adalah pilihan lain yang sering digunakan. Sefalosporin secara umum dianggap aman selama kehamilan. Namun, perlu diwaspadai adanya peningkatan laporan resistensi E. coli terhadap sefalosporin generasi ketiga.

  • Fosfomisin Trometamol: Diberikan sebagai dosis tunggal 3 gram per oral. Obat ini efektif untuk sistitis akut non-komplikata dan ASB, namun, seperti nitrofurantoin, konsentrasinya di jaringan ginjal tidak adekuat sehingga tidak digunakan untuk pielonefritis. Keuntungan dosis tunggal adalah peningkatan kepatuhan pasien.

  • Amoksisilin dan Amoksisilin-klavulanat: Amoksisilin dapat diberikan dengan dosis 500 mg per oral setiap 12 jam, sedangkan amoksisilin-klavulanat dengan dosis 500/125 mg per oral setiap 12 jam, keduanya selama 5-7 hari. Namun, amoksisilin dan ampisilin sebaiknya dihindari sebagai terapi empiris lini pertama karena tingginya angka resistensi E. coli terhadap golongan obat ini. Jika hasil kultur menunjukkan sensitivitas, maka obat ini dapat menjadi pilihan.

3.3. Obat yang Perlu Dihindari atau Digunakan dengan Sangat Hati-hati

Keselamatan janin adalah prioritas utama dalam pemilihan antibiotik selama kehamilan. Beberapa antibiotik memiliki kontraindikasi atau memerlukan perhatian khusus:

  • Trimetoprim-Sulfametoksazol (TMP-SMX): Dapat diberikan dengan dosis 800/160 mg (satu tablet double-strength) per oral setiap 12 jam selama 3-7 hari untuk ISK. Namun, penggunaannya harus dihindari pada trimester pertama kehamilan karena trimetoprim bersifat antagonis folat, yang berpotensi meningkatkan risiko defek tuba neural dan malformasi kardiovaskular. Penggunaannya juga dihindari pada trimester ketiga akhir (menjelang persalinan) karena sulfametoksazol dapat menggeser bilirubin dari albumin, meningkatkan risiko teoritis kernikterus pada neonatus. Jika tidak ada alternatif lain yang lebih aman dan efektif, penggunaannya pada trimester pertama dan kedua dapat dipertimbangkan dengan hati-hati setelah diskusi risiko-manfaat dengan pasien. TMP-SMX juga harus dihindari pada pasien dengan defisiensi G6PD.

  • Fluorokuinolon (misalnya, Siprofloksasin, Levofloksasin): Golongan antibiotik ini umumnya tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk ISK pada kehamilan. Studi pada hewan menunjukkan adanya artropati (kerusakan sendi) pada hewan muda, dan meskipun data pada manusia terbatas dan terkadang bertentangan, potensi risiko ini menyebabkan penggunaannya dihindari kecuali jika tidak ada alternatif lain yang lebih aman dan efektif untuk infeksi yang mengancam jiwa.

3.4. Tatalaksana Pielonefritis Akut

Pielonefritis akut pada kehamilan adalah kondisi serius yang memerlukan hospitalisasi dan tatalaksana agresif untuk mencegah komplikasi maternal (seperti sepsis, sindrom distres pernapasan akut) dan fetal (seperti persalinan prematur, berat badan lahir rendah). Tatalaksana awal meliputi pemberian antibiotik intravena. 

Pilihan regimen empiris yang umum digunakan adalah sefalosporin generasi kedua atau ketiga (misalnya, Seftriakson 1 gram IV setiap 24 jam, atau Sefazolin 1-2 gram IV setiap 8 jam). Alternatif lain adalah kombinasi Ampisilin (misalnya, 2 gram IV setiap 6 jam) ditambah Gentamisin (misalnya, 1.5 mg/kg IV setiap 8 jam atau 5 mg/kg IV setiap 24 jam). 

Bagi pasien dengan alergi beta-laktam yang signifikan, Aztreonam (misalnya, 1 gram IV setiap 8-12 jam) dapat menjadi pilihan. Penting untuk diingat bahwa nitrofurantoin dan fosfomisin TIDAK efektif untuk pielonefritis karena tidak mencapai konsentrasi terapeutik yang adekuat di jaringan ginjal Terapi intravena dilanjutkan hingga pasien afebris selama minimal 48 jam dan menunjukkan perbaikan klinis, kemudian dapat dialihkan ke terapi antibiotik oral yang sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas. Total durasi terapi (intravena dan oral) untuk pielonefritis biasanya adalah 7 hingga 14 hari.

Pilihan antibiotik pada trimester pertama seringkali menjadi dilema klinis. Pernyataan bahwa penggunaan nitrofurantoin dan TMP-SMX "masuk akal jika tidak ada alternatif yang tersedia" menyoroti kompleksitas pertimbangan risiko-manfaat yang harus dilakukan oleh klinisi. Hal ini menggarisbawahi betapa pentingnya hasil kultur urin dan uji sensitivitas untuk memandu pemilihan terapi, sehingga penggunaan obat-obat dengan potensi risiko tersebut dapat dihindari jika terdapat alternatif yang terbukti lebih aman dan efektif berdasarkan hasil laboratorium.

Peringatan untuk menghindari penggunaan amoksisilin atau ampisilin sebagai terapi empiris karena tingginya angka resistensi E. coli adalah pengingat kuat akan ancaman nyata dari evolusi resistensi antibiotik. Ini berarti bahwa pedoman pengobatan harus terus ditinjau dan diperbarui. Dokter umum perlu menyadari pola resistensi lokal jika data tersedia, atau setidaknya mengandalkan hasil kultur untuk terapi definitif guna memastikan efektivitas pengobatan dan mencegah kegagalan terapi serta perkembangan resistensi lebih lanjut.

Berikut adalah tabel ringkasan pilihan antibiotik untuk episode akut ISK (ASB & Sistitis) pada ibu hamil:

Tabel 1: Pilihan dan Dosis Antibiotik untuk Episode Akut ISK (ASB & Sistitis) pada Ibu Hamil


Nama Obat

Dosis

Durasi

Catatan Keamanan per Trimester

Peringatan Khusus

Sefaleksin

250-500 mg per oral, 2x/hari (BID)

5-7 hari

Umumnya dianggap aman di semua trimester.

Perhatikan potensi resistensi E. coli.

Fosfomisin Trometamol

3 gram per oral, dosis tunggal

Sekali

Umumnya dianggap aman di semua trimester.

Tidak untuk pielonefritis.

Amoksisilin-Klavulanat

500/125 mg per oral, 2x/hari (BID)

5-7 hari

Umumnya dianggap aman di semua trimester.

Tingginya resistensi E. coli terhadap amoksisilin; gunakan berdasarkan hasil sensitivitas.

Trimetoprim-Sulfametoksazol (TMP-SMX)

800/160 mg per oral, 2x/hari (BID)

3-7 hari

Trimester 1: Hindari (antagonis folat). Trimester 2: Dapat dipertimbangkan jika manfaat > risiko. Trimester 3: Hindari menjelang persalinan (risiko kernikterus).

Hindari pada defisiensi G6PD. Gunakan jika tidak ada alternatif yang lebih aman dan efektif, berdasarkan hasil sensitivitas.

4. Strategi Komprehensif Tatalaksana ISK Rekuren pada Ibu Hamil

Tatalaksana ISK rekuren pada ibu hamil memerlukan pendekatan yang komprehensif, tidak hanya berfokus pada pengobatan episode akut tetapi juga pada strategi pencegahan jangka panjang untuk meminimalkan kekambuhan dan potensi komplikasinya.

4.1. Pendekatan Farmakologis: Profilaksis Antibiotik Jangka Panjang

Profilaksis antibiotik jangka panjang dapat dipertimbangkan pada ibu hamil dengan riwayat ISK rekuren yang signifikan, terutama jika episode infeksi sering terjadi, menyebabkan morbiditas yang berat, atau jika modifikasi perilaku dan higiene saja tidak efektif dalam mencegah kekambuhan. Penting untuk memastikan bahwa setiap episode ISK akut telah diobati secara adekuat dan tuntas sebelum memulai regimen profilaksis.

  • Pilihan Regimen dan Dosis:

  • Profilaksis Pasca-Sanggama (Postcoital Prophylaxis): Strategi ini sangat efektif bagi wanita yang episode ISK-nya jelas dipicu oleh aktivitas seksual. Regimen yang umum digunakan adalah pemberian dosis tunggal antibiotik segera setelah sanggama. Pilihan obat meliputi Sefaleksin 250 mg per oral atau Nitrofurantoin makrokristal 50 mg per oral. Sebuah studi menunjukkan efektivitas yang tinggi dari regimen ini, dengan penurunan jumlah episode ISK secara drastis dari 130 episode (selama rata-rata 7 bulan observasi sebelum profilaksis) menjadi hanya satu episode selama periode kehamilan setelah dimulainya profilaksis pasca-sanggama.

  • Profilaksis Harian Kontinu: Jika tidak ada pemicu yang jelas atau jika ISK terjadi sangat sering, profilaksis harian dapat dipertimbangkan. Regimen yang umum digunakan adalah Nitrofurantoin 50-100 mg per oral sekali sehari sebelum tidur (hora somni, HS) atau Sefaleksin 250-500 mg per oral sekali sehari. Fosfomisin dengan dosis 3 gram setiap 10 hari juga telah diteliti sebagai opsi profilaksis pada populasi umum , namun data spesifik mengenai keamanan dan efikasi regimen ini pada kehamilan memerlukan konfirmasi lebih lanjut dari sumber primer yang lebih mendalam. Methenamine hippurate merupakan agen antiseptik urin yang terkadang digunakan untuk profilaksis ISK, namun penggunaannya selama kehamilan memerlukan konsultasi dengan spesialis.

  • Durasi Profilaksis:

Durasi profilaksis antibiotik pada kehamilan seringkali dilanjutkan selama sisa masa kehamilan untuk memberikan perlindungan berkelanjutan hingga risiko fisiologis terkait kehamilan berkurang setelah persalinan. Meskipun beberapa pedoman untuk populasi umum menyarankan uji coba profilaksis selama 6 bulan 5, risiko komplikasi ISK yang lebih tinggi pada kehamilan dapat membenarkan durasi profilaksis yang lebih panjang.

  • Pertimbangan Keamanan dan Risiko:

Keputusan untuk memulai profilaksis antibiotik jangka panjang harus selalu didasarkan pada pertimbangan yang cermat antara manfaat pencegahan ISK dan potensi risiko yang terkait dengan penggunaan antibiotik jangka panjang. Risiko tersebut meliputi kemungkinan perkembangan resistensi bakteri, baik pada flora normal maupun patogen potensial, serta efek samping obat. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa efek samping seperti ruam kulit dan mual lebih umum terjadi pada kelompok yang menerima antibiotik profilaksis dibandingkan plasebo, dengan Number Needed to Harm (NNH) sebesar 14.5

Jika ISK pada seorang wanita hamil jelas berkaitan dengan aktivitas seksual, profilaksis pasca-sanggama menawarkan pendekatan yang lebih bertarget. Strategi ini memiliki keunggulan karena paparan antibiotik total yang diterima pasien lebih rendah dibandingkan dengan profilaksis harian kontinu. Hal ini berpotensi mengurangi risiko efek samping jangka panjang dan memperlambat laju perkembangan resistensi antibiotik, mengingat antibiotik hanya dikonsumsi saat ada pemicu spesifik.

Meskipun tujuan profilaksis adalah untuk mencegah episode ISK baru, pemantauan klinis terhadap gejala ISK dan, pada beberapa kasus, kultur urin periodik mungkin masih diperlukan selama masa profilaksis. Hal ini penting mengingat adanya risiko perkembangan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang digunakan untuk profilaksis atau kemungkinan terjadinya infeksi tembus (breakthrough infection) oleh organisme yang tidak sensitif terhadap regimen profilaksis yang sedang berjalan.

Berikut adalah tabel ringkasan pilihan regimen profilaksis antibiotik untuk ISK rekuren pada ibu hamil:

Tabel 2: Pilihan Regimen Profilaksis Antibiotik untuk ISK Rekuren pada Ibu Hamil


Regimen

Nama Obat

Dosis

Frekuensi

Catatan Penting

Pasca-Sanggama

Sefaleksin

250 mg per oral

Segera setelah sanggama

Sangat efektif jika ISK dipicu sanggama; paparan antibiotik lebih rendah.

Harian Kontinu

Nitrofurantoin

50-100 mg per oral

Sekali sehari, sebelum tidur (HS)

Pilihan umum untuk profilaksis harian. Perhatikan kontraindikasi nitrofurantoin.

Harian Kontinu

Sefaleksin

250-500 mg per oral

Sekali sehari

Alternatif untuk profilaksis harian.

Harian Kontinu (Alternatif)

Fosfomisin

3 gram per oral

Setiap 10 hari

Data spesifik pada kehamilan untuk regimen profilaksis ini perlu dikaji lebih lanjut.

4.2. Pendekatan Non-Farmakologis dan Edukasi Pasien: Pilar Pencegahan

Selain intervensi farmakologis, pendekatan non-farmakologis dan edukasi pasien memegang peranan yang sangat penting sebagai pilar dalam strategi pencegahan ISK rekuren, terutama pada ibu hamil.

  • Modifikasi Perilaku dan Gaya Hidup:

  • Hidrasi Adekuat: Menganjurkan pasien untuk minum air putih dalam jumlah yang cukup sehingga urin berwarna kuning sangat pucat merupakan langkah sederhana namun efektif. Peningkatan asupan cairan, misalnya tambahan 1.5 liter per hari, telah dikaitkan dengan penurunan kejadian ISK sekitar 1.5 episode per orang per tahun pada populasi umum, dan prinsip ini aman diterapkan pada kehamilan dengan memperhatikan kondisi medis lain yang mungkin membatasi asupan cairan.

  • Praktik Berkemih yang Benar: Mengosongkan kandung kemih secara teratur, idealnya setiap 3-4 jam, dan yang terpenting, segera setelah melakukan hubungan seksual, dapat membantu mengeluarkan bakteri yang mungkin masuk ke uretra. Menahan kencing terlalu lama harus dihindari.

  • Higiene Perineum: Mengedukasi pasien mengenai cara membersihkan area perineum (sekitar lubang kencing dan anus) dengan benar, yaitu dari arah depan ke belakang setelah berkemih atau buang air besar, dapat mencegah transfer bakteri dari area anus ke uretra. Penggunaan sabun cair yang lembut lebih dianjurkan daripada sabun batangan yang dapat menjadi media pertumbuhan bakteri. Hindari penggunaan luffa atau spons mandi yang dapat menampung bakteri dan sulit dibersihkan. Penggunaan douche vagina dan semprotan higienis feminin juga sebaiknya dihindari karena dapat mengganggu flora normal vagina dan mengiritasi uretra.

  • Pakaian: Menghindari penggunaan pakaian dalam dan celana yang terlalu ketat dan terbuat dari bahan sintetis yang tidak menyerap keringat dapat membantu menjaga area genital tetap kering dan mengurangi risiko pertumbuhan bakteri.

  • Kebiasaan Mandi: Mandi dengan pancuran (shower) lebih dianjurkan daripada berendam di bak mandi (bath tub). Jika pasien memilih untuk berendam, sebaiknya hindari penggunaan bubble bath atau aditif lain yang dapat mengiritasi mukosa uretra dan vagina.

  • Peran Produk Cranberry dan Suplemen Lain:

  • Produk Cranberry: Cranberry (jus atau suplemen) seringkali dipromosikan untuk pencegahan ISK karena diduga mengandung proanthocyanidins yang dapat menghambat adhesi bakteri E. coli ke dinding saluran kemih. Namun, bukti ilmiah mengenai efektivitasnya pada kehamilan masih beragam dan belum konklusif. Dua uji klinis acak terkontrol (RCT) pada ibu hamil menunjukkan hasil yang positif, tetapi studi-studi tersebut memiliki keterbatasan metodologis, seperti ukuran sampel yang kecil, proses blinding yang kurang adekuat, dan volume jus cranberry yang tinggi yang seringkali menyebabkan gangguan gastrointestinal dan tingginya angka drop-out peserta. Sebuah tinjauan sistematis Cochrane yang mengkaji studi-studi ini menyimpulkan bahwa produk cranberry tidak terbukti efektif untuk mencegah ISK selama kehamilan. Meskipun demikian, karena profil keamanannya yang baik, penggunaan produk cranberry dapat dipertimbangkan sebagai salah satu opsi perawatan diri oleh pasien, namun tidak boleh menggantikan intervensi medis yang terbukti efektif.

  • Vitamin C (Asam Askorbat): Satu RCT menunjukkan bahwa suplementasi Vitamin C dengan dosis 100 mg per hari berpotensi memberikan manfaat dalam mencegah ISK selama kehamilan, terutama di daerah dengan insiden ISK yang tinggi dan prevalensi resistensi antimikroba yang signifikan. Studi ini tidak menemukan efek samping yang merugikan pada keturunan. Namun, sebelum dapat direkomendasikan secara luas, temuan ini memerlukan konfirmasi melalui uji coba tambahan dengan desain yang lebih kuat.

  • D-mannose: Merupakan gula sederhana yang diduga bekerja dengan cara mengikat ligan pada permukaan bakteri sehingga mencegah perlekatan bakteri ke sel uroepitelial. Bukti ilmiah mengenai efektivitas D-mannose untuk pencegahan ISK pada populasi umum masih bertentangan dan uji coba klinis yang ada belum memberikan kesimpulan yang meyakinkan. Data spesifik pada kehamilan masih sangat terbatas.

  • Pentingnya Kepatuhan dan Follow-up:

Kepatuhan pasien terhadap seluruh rangkaian pengobatan antibiotik, baik untuk episode akut maupun regimen profilaksis, serta kepatuhan terhadap jadwal follow-up yang telah ditentukan, merupakan faktor kunci keberhasilan tatalaksana ISK rekuren. Pemantauan ketat mungkin diperlukan, terutama pada kasus-kasus berisiko tinggi. Sebuah studi menunjukkan bahwa insiden ASB dapat dikurangi secara signifikan pada wanita hamil yang menerima profilaksis nitrofurantoin disertai dengan pengawasan klinis yang ketat dan tingkat kehadiran kunjungan klinik lebih dari 90%

Mengingat banyak strategi non-farmakologis bergantung pada perubahan perilaku pasien sehari-hari , edukasi yang jelas, praktis, dan disampaikan secara berulang bukan hanya sekadar tambahan, melainkan merupakan komponen inti dari intervensi terapeutik itu sendiri. Keberhasilan upaya pencegahan ISK rekuren sangat bergantung pada sejauh mana pasien memahami pentingnya tindakan-tindakan tersebut dan menerapkannya secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.

Dokter umum juga harus mampu mengkomunikasikan secara jujur dan transparan mengenai keterbatasan bukti ilmiah untuk beberapa intervensi non-antibiotik yang populer, seperti penggunaan produk cranberry pada kehamilan. Meskipun aman, pasien tidak boleh hanya mengandalkan intervensi semacam ini sebagai pengganti dari tatalaksana medis yang telah terbukti efektif, seperti penggunaan antibiotik untuk infeksi aktif atau regimen profilaksis pada kasus-kasus tertentu yang diindikasikan.

Idealnya, strategi pencegahan ISK rekuren pada kehamilan bersifat multifaset dan berlapis. Dimulai dengan edukasi komprehensif dan implementasi modifikasi perilaku serta gaya hidup sebagai fondasi utama. Jika langkah-langkah awal ini terbukti tidak cukup efektif dalam mengendalikan kekambuhan, atau jika risiko komplikasi dinilai sangat tinggi, maka pertimbangan untuk profilaksis antibiotik dapat diambil sebagai langkah berikutnya.

5. Kesimpulan: Poin Kunci untuk Praktik Dokter Umum dalam Menangani ISK Rekuren pada Ibu Hamil

Penanganan ISK rekuren pada ibu hamil merupakan aspek penting dalam praktik kedokteran umum yang memerlukan perhatian khusus terhadap diagnosis yang akurat, pemilihan terapi yang bijak, dan strategi pencegahan yang komprehensif.

  • Ringkasan Rekomendasi Utama:

  • Diagnosis ISK rekuren pada ibu hamil harus ditegakkan melalui anamnesis yang cermat mengenai riwayat infeksi sebelumnya, pemeriksaan fisik yang teliti, dan yang terpenting, konfirmasi melalui kultur urin untuk identifikasi patogen dan uji sensitivitas antibiotik.

  • Pemilihan antibiotik untuk tatalaksana episode akut harus dilakukan secara bijaksana, dengan mempertimbangkan profil keamanan obat pada setiap trimester kehamilan, potensi efikasi terhadap patogen yang paling umum, dan pola resistensi bakteri lokal maupun individual.

  • Peran profilaksis antibiotik, baik pasca-sanggama maupun harian, perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus ISK rekuren tertentu yang memenuhi indikasi, dengan pemilihan regimen dan dosis yang tepat serta pemantauan berkelanjutan.

  • Edukasi pasien mengenai pentingnya strategi non-farmakologis, termasuk hidrasi adekuat, praktik berkemih yang benar, dan higiene perineum, merupakan upaya pencegahan berkelanjutan yang krusial dan harus selalu ditekankan.

  • Pentingnya Pendekatan Individual dan Pemantauan Berkelanjutan:
    Setiap kasus ISK rekuren pada kehamilan bersifat unik. Oleh karena itu, tatalaksana harus disesuaikan secara individual berdasarkan frekuensi dan keparahan episode infeksi, faktor risiko yang dimiliki pasien, respons terhadap terapi sebelumnya, hasil kultur dan sensitivitas, serta preferensi pasien setelah dilakukan diskusi bersama mengenai pilihan tatalaksana (shared decision making). Pemantauan berkelanjutan selama periode kehamilan dan, pada beberapa kasus dengan riwayat ISK rekuren yang berat, hingga periode pasca persalinan, adalah kunci untuk deteksi dini kekambuhan dan penyesuaian strategi manajemen.

Meskipun dokter umum berada di garis depan dalam penanganan ISK pada kehamilan, kasus-kasus ISK rekuren yang sangat sulit dikendalikan, terutama yang melibatkan episode pielonefritis berulang, adanya dugaan kelainan urologis struktural (misalnya, pada kasus relaps yang persisten meskipun dengan terapi adekuat), atau kebutuhan akan regimen profilaksis yang kurang umum (seperti methenamine hippurate) , mungkin memerlukan rujukan atau konsultasi dengan spesialis obstetri dan ginekologi atau spesialis urologi untuk tatalaksana yang lebih komprehensif dan optimal.

Lebih jauh, riwayat ISK rekuren selama kehamilan dapat menjadi penanda bagi wanita yang mungkin memiliki predisposisi untuk terus mengalami ISK rekuren di luar masa kehamilan. Perubahan fisiologis selama kehamilan dapat dianggap sebagai "uji stres" bagi sistem urinarius. 

Jika seorang wanita mengalami ISK rekuren selama periode ini, ada kemungkinan ia memiliki faktor predisposisi yang akan tetap ada setelah kehamilan berakhir, meskipun mungkin manifestasinya berkurang. Oleh karena itu, memberikan edukasi mengenai strategi pencegahan jangka panjang dan pentingnya kewaspadaan terhadap gejala ISK pada periode pasca persalinan dan seterusnya dapat menjadi praktik yang bermanfaat.

Referensi

  1. StatPearls Publishing. (2024) Urinary Tract Infection in Pregnancy - StatPearls - NCBI Bookshelf. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537047/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  2. Smaill, F. dan Vazquez, J.C. (2019) Urinary Tract Infections In Pregnancy - PMC. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4170332/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  3. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). (2023) Urinary tract infection (recurrent) - NCBI Bookshelf. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK611967/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  4. Gilstrap, L.C., Ramin, S.M. (2001) Urinary tract infections in pregnancy. Obstetrics and Gynecology Clinics of North America. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11148747/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  5. Harding, C., Mossop, H. dan Homer, T. (2022) Antibiotic prophylaxis for urinary tract infection - PMC. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9796973/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  6. Beerepoot, M.A.J., Geerlings, S.E. (2016) A systematic review of non-antibiotic measures for the prevention of urinary tract infection. Infection. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5899369/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  7. StatPearls Publishing. (2024) Recurrent Urinary Tract Infections - StatPearls - NCBI Bookshelf. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557479/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  8. A., Fassett, M.J. dan Getahun, D. (2000) Treatment of lower urinary tract infection in pregnancy. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11295408/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  9. StatPearls Publishing. (2024) Cystitis - StatPearls - NCBI Bookshelf. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482435/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  10. Hooton, T.M., Stamm, W.E. (1992) Effective prophylaxis for recurrent urinary tract infections during prolonged antimicrobial use. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/1576275/ (Diakses: 7 Juni 2025).

  11. Vazquez, J.C., Abalos, E. (2012) Interventions for preventing recurrent urinary tract infection during pregnancy. Cochrane Database of Systematic Reviews. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23152271/ (Diakses: 7 Juni 2025).