Diagnosis dan Terapi Ileus Obstruktif: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum Termasuk Dosis Obat Suportif

23 Oct 2025 • Interna

Deskripsi

Diagnosis dan Terapi Ileus Obstruktif: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum Termasuk Dosis Obat Suportif

1. Pendahuluan: Memahami Ileus Obstruktif dan Tantangannya bagi Dokter Umum

Ileus obstruktif merupakan salah satu kondisi gawat darurat bedah yang paling sering dihadapi, ditandai dengan adanya gangguan atau penghentian total aliran normal isi usus akibat sumbatan mekanis. Kondisi ini memerlukan "Diagnosis dan Terapi Ileus Obstruktif" yang cepat dan akurat untuk mencegah komplikasi yang berpotensi fatal, seperti iskemia, nekrosis, hingga perforasi usus. 

Dokter Umum memegang peranan krusial sebagai lini terdepan dalam mengenali gejala awal, melakukan stabilisasi pasien, dan menentukan waktu rujukan yang tepat ke fasilitas dengan layanan bedah.

Penyebab tersering ileus obstruktif pada populasi dewasa adalah adhesi atau perlengketan usus pascaoperasi, yang bertanggung jawab atas 65-75% kasus di negara-negara maju. Diikuti oleh hernia (misalnya, hernia inguinalis inkarserata) dan keganasan atau tumor, yang sering disingkat sebagai "ABC" (Adhesions, Bulges, Cancer). 

Penyebab lain yang lebih jarang namun tetap signifikan meliputi ileus batu empedu (sekitar 0.095% dari seluruh kasus obstruksi usus, namun insidensinya meningkat hingga 25% pada pasien berusia di atas 65 tahun), volvulus (puntiran usus), intususepsi (invaginasi segmen usus), atau impaksi benda asing. Mengingat adhesi pascaoperasi adalah penyebab utama, anamnesis mengenai riwayat operasi abdomen sebelumnya menjadi sangat penting. 

Demikian pula, hernia sebagai penyebab umum kedua menekankan perlunya pemeriksaan fisik yang cermat dan menyeluruh, terutama pada area inguinal dan bekas luka insisi operasi, karena kegagalan mengidentifikasi hernia inkarserata dapat berakibat pada penundaan terapi definitif yang dibutuhkan pasien.

2. Kunci "Diagnosis Ileus Obstruktif" di Layanan Primer

Anamnesis Cermat (Gejala Khas)

Diagnosis awal ileus obstruktif sangat bergantung pada anamnesis yang teliti. Trias klasik gejala yang sering muncul meliputi nyeri perut kolik yang bersifat hilang timbul, muntah, dan distensi atau kembung pada abdomen. Muntah dapat bervariasi mulai dari cairan lambung, bilier (kehijauan), hingga fekalen (seperti feses), tergantung pada lokasi sumbatan di usus. 

Obstipasi absolut, yaitu ketidakmampuan pasien untuk buang angin (flatus) maupun buang air besar (BAB), merupakan tanda penting yang mengarah pada obstruksi komplit. Namun, perlu diingat bahwa pada kasus obstruksi parsial, pasien terkadang masih bisa mengalami diare intermiten.

Karakteristik dan waktu timbulnya muntah dapat memberikan petunjuk awal mengenai perkiraan lokasi obstruksi. Sebagai contoh, obstruksi yang terletak di bagian proksimal usus halus (misalnya jejunum) cenderung menyebabkan muntah yang timbul lebih cepat, sering, dan masif, yang dapat dengan cepat mengakibatkan dehidrasi dan gangguan elektrolit. 

Sebaliknya, pada obstruksi di bagian distal usus halus (misalnya ileum terminal) atau kolon, distensi abdomen biasanya lebih dominan, dan muntah mungkin baru muncul di fase yang lebih lanjut. Pemahaman akan variasi presentasi gejala ini membantu Dokter Umum untuk mengantisipasi potensi kecepatan perburukan kondisi pasien dan kebutuhan resusitasi cairan yang lebih agresif pada kasus tertentu, bahkan sebelum hasil pencitraan tersedia.

Pemeriksaan Fisik: Temuan Vital dan Abdomen yang Mengarahkan

Pemeriksaan fisik yang komprehensif sangat vital. Perhatikan tanda-tanda dehidrasi seperti takikardia, hipotensi, dan penurunan turgor kulit. Pada pemeriksaan abdomen, dapat ditemukan distensi, suara perkusi timpani, dan nyeri tekan yang bisa bersifat difus atau terlokalisir. 

Pada fase awal obstruksi, bising usus mungkin terdengar meningkat dengan nada tinggi (borborygmi bernada tinggi atau metallic sound), namun seiring berjalannya waktu dan usus menjadi lelah, bising usus dapat melemah atau bahkan menghilang. Penting untuk selalu memeriksa adanya bekas luka operasi sebelumnya dan mencari tanda-tanda hernia, baik di area inguinal, femoral, umbilikal, maupun pada bekas insisi operasi.

Adanya tanda-tanda peritonitis, seperti nyeri lepas tekan (rebound tenderness) atau defans muskular (dinding perut teraba kaku seperti papan), merupakan red flags yang mengindikasikan kemungkinan komplikasi serius seperti strangulasi (jeratan usus yang mengganggu aliran darah) atau perforasi usus. Demam tinggi dan nyeri tekan hebat yang terlokalisir juga dapat menjadi petunjuk adanya iskemia atau strangulasi. 

Temuan ini secara signifikan mengubah alur tatalaksana, dari yang semula mungkin dipertimbangkan untuk manajemen konservatif menjadi suatu kondisi yang memerlukan rujukan dan intervensi bedah segera. Meskipun diagnosis strangulasi secara klinis bisa sulit, kewaspadaan tinggi terhadap tanda-tanda ini sangat penting karena mortalitas dapat meningkat drastis jika terjadi keterlambatan penanganan.

Pemeriksaan Penunjang Awal

  • Laboratorium:
    Pemeriksaan laboratorium awal bertujuan untuk menilai status hidrasi, gangguan elektrolit, dan tanda-tanda komplikasi.

  • Darah lengkap: Dapat menunjukkan peningkatan hematokrit akibat hemokonsentrasi karena dehidrasi, atau leukositosis yang mungkin menandakan adanya infeksi, inflamasi berat, atau bahkan strangulasi.

  • Elektrolit dan Fungsi Ginjal: Sering ditemukan hiponatremia, hipokalemia, dan alkalosis metabolik akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui muntah. Peningkatan kadar ureum dan kreatinin dapat mengindikasikan dehidrasi berat hingga cedera ginjal akut prarenal.

  • Analisa Gas Darah (AGD) dan Laktat: AGD dapat menunjukkan alkalosis metabolik pada pasien dengan muntah berkepanjangan. Sebaliknya, asidosis metabolik, terutama jika disertai peningkatan kadar laktat serum, dapat menjadi pertanda adanya iskemia atau infark usus. Meskipun kadar laktat memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah untuk mendeteksi iskemia mesenterika secara dini , peningkatan kadar laktat tetap harus diwaspadai sebagai tanda perburukan. Perubahan serial pada parameter laboratorium, seperti peningkatan progresif leukosit, perburukan gangguan elektrolit, atau munculnya asidosis laktat, dapat menjadi indikator penting adanya perburukan klinis atau kegagalan terapi konservatif, bahkan sebelum manifestasi klinis yang lebih jelas terlihat. Pemantauan tren perubahan ini lebih bermakna daripada hanya mengandalkan satu nilai tunggal.

  • Pencitraan Dasar: Foto Polos Abdomen (BNO 3 Posisi):

Foto polos abdomen, yang meliputi posisi supine, tegak (atau lateral dekubitus jika pasien tidak bisa berdiri), dan foto toraks tegak (untuk melihat udara bebas di bawah diafragma), seringkali menjadi modalitas pencitraan awal karena ketersediaannya yang luas dan biaya yang relatif murah, terutama di fasilitas kesehatan dengan akses terbatas ke CT scan. 

Temuan yang sugestif ileus obstruktif meliputi dilatasi loop-loop usus halus proksimal dari titik obstruksi (diameter >2.5-3 cm), Gambaran air-fluid levels multipel yang membentuk pola seperti anak tangga (step-ladder pattern), dan sedikit atau tidak adanya distribusi gas di kolon hingga rektum. Tanda "string of beads" juga bisa terlihat.


Meskipun demikian, foto polos abdomen memiliki keterbatasan signifikan. Pemeriksaan ini seringkali tidak dapat menentukan lokasi pasti (titik transisi) atau etiologi obstruksi secara akurat, dan bahkan bisa tampak normal meskipun terdapat SBO, terutama pada kasus obstruksi parsial atau closed-loop obstruction. Sensitivitasnya dilaporkan berkisar antara 79-83% dan spesifisitasnya 67-83%.

Oleh karena itu, foto polos abdomen lebih berperan sebagai alat triage atau skrining awal. Temuan positif dapat memperkuat kecurigaan klinis, namun hasil yang normal tidak dapat sepenuhnya menyingkirkan diagnosis SBO jika kecurigaan klinis tetap tinggi. Keterbatasan ini menggarisbawahi pentingnya pertimbangan untuk pemeriksaan CT scan jika diagnosis masih meragukan atau diperlukan informasi lebih detail.

Gambar 1. Foto BOF menunjukkan air fluid level pada gaster dan intestine serta dilatasi usus halus

  • Kapan Merujuk untuk CT Scan Abdomen (dengan Kontras):

CT scan abdomen dengan kontras intravena (dan terkadang oral atau rektal) dianggap sebagai gold standard atau baku emas untuk diagnosis ileus obstruktif. Pemeriksaan ini diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengidentifikasi lokasi pasti sumbatan (titik transisi antara usus yang berdilatasi dan yang kolaps), menentukan etiologi (misalnya adhesi, hernia internal atau eksternal, tumor, batu empedu), menilai tingkat keparahan obstruksi (parsial atau komplit), dan yang terpenting, mendeteksi adanya komplikasi seperti iskemia, nekrosis, perforasi,
closed-loop obstruction, atau abses.


Temuan khas pada CT scan meliputi dilatasi loop usus proksimal dari obstruksi dan kolapsnya segmen usus di bagian distal. Tanda-tanda lain yang dapat ditemukan adalah penebalan dinding usus (>3mm), edema submukosa atau perdarahan, mesenteric stranding atau edema mesenterium, dan adanya ascites. 

Tanda spesifik seperti "target sign" dapat mengindikasikan intususepsi, "whirl sign" mengarah pada volvulus, dan "venous cut-off sign" menunjukkan adanya trombosis vena mesenterika. Kehadiran cairan bebas intraperitoneal dengan densitas Hounsfield Unit (HU) >10 pada CT scan sangat sugestif akan perlunya intervensi operatif. 

Pada kasus ileus batu empedu, Rigler's Triad yang terdiri dari pneumobilia (udara dalam sistem bilier), gambaran obstruksi usus halus, dan visualisasi batu empedu ektopik di dalam lumen usus, dapat terlihat lebih jelas dengan CT scan. Perlu dicatat bahwa pada kasus dugaan benda asing tertentu, seperti tusuk gigi, CT scan tanpa kontras (unenhanced CT) justru bisa lebih superior dalam mendeteksinya.


Kemampuan CT scan untuk memberikan informasi detail mengenai titik transisi, etiologi, dan ada tidaknya komplikasi (terutama iskemia) adalah hal yang tidak dapat diperoleh dari foto polos abdomen. Informasi ini secara krusial memandu keputusan manajemen selanjutnya, apakah pasien dapat menjalani terapi konservatif atau memerlukan tindakan bedah segera. 

Sebagai contoh, temuan closed-loop obstruction pada CT scan merupakan indikasi kuat untuk intervensi bedah, seperti yang diakui oleh mayoritas ahli bedah.

Gambar 2. CT abdomen potongan axial dengan dilatasi usus bagian proximal dan bagian distal yang kolaps

Untuk membantu Dokter Umum dalam memilih modalitas pencitraan, tabel perbandingan berikut dapat menjadi panduan:

3. "Terapi Ileus Obstruktif": Pertimbangan antara Pendekatan Konservatif dan Operatif

Manajemen Konservatif Awal oleh Dokter Umum (dan di Rumah Sakit)

Manajemen awal ileus obstruktif yang tidak terkomplikasi berfokus pada stabilisasi pasien dan dekompresi usus. Prinsip dasar terapi konservatif meliputi:

  • Puasa (Nothing Per Oral - NPO): Mengistirahatkan usus dengan tidak memberikan makanan atau minuman per oral.

  • Resusitasi Cairan Intravena: Pemberian cairan kristaloid (misalnya, Ringer Laktat atau NaCl 0.9%) untuk mengoreksi dehidrasi, hipovolemia, dan menjaga keseimbangan cairan elektrolit. Volume dan kecepatan pemberian disesuaikan dengan status hemodinamik dan defisit cairan pasien.

  • Koreksi Gangguan Elektrolit: Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, gangguan elektrolit seperti hipokalemia atau hiponatremia perlu dikoreksi.

  • Dekompresi dengan Pemasangan Nasogastric Tube (NGT): Pemasangan NGT bertujuan untuk mengeluarkan cairan dan gas yang terakumulasi di lambung dan usus proksimal, sehingga mengurangi distensi abdomen, mual, muntah, dan risiko aspirasi pneumonia. Meskipun penggunaan NGT mungkin bervariasi antar institusi atau praktisi, banyak ahli bedah merekomendasikannya, terutama pada pasien yang simptomatik.

Peran Water-Soluble Contrast Agent (WSCA) seperti Gastrografin (sodium diatrizoate dan meglumine diatrizoate) telah banyak diteliti dalam manajemen SBO adhesional (ASBO). WSCA dapat memiliki fungsi diagnostik sekaligus terapeutik. 

Secara diagnostik, jika kontras yang diberikan per oral atau melalui NGT (biasanya 50-100 mL) terlihat mencapai kolon pada foto polos abdomen follow-up dalam rentang waktu 6 hingga 24 jam, hal ini mengindikasikan resolusi obstruksi dan merupakan prediktor kuat keberhasilan terapi konservatif. 

Secara terapeutik, sifat hiperosmolar Gastrografin dapat menarik cairan ke dalam lumen usus, sehingga membantu mengurangi edema dinding usus dan merangsang peristaltik, yang berpotensi mempercepat resolusi obstruksi. 

Beberapa studi meta-analisis dan uji klinis acak menunjukkan bahwa penggunaan WSCA dapat mengurangi lama rawat inap dan menurunkan angka kebutuhan operasi pada beberapa kelompok pasien, meskipun hasil antar studi masih bervariasi. Sebuah protokol yang menggunakan Gastrografin melaporkan tingkat keberhasilan resolusi obstruksi sekitar 69% hingga 80% pada pasien SBO.

Terapi konservatif umumnya diindikasikan untuk pasien dengan obstruksi usus parsial, terutama yang disebabkan oleh adhesi (ASBO), dan tanpa adanya tanda-tanda komplikasi seperti strangulasi, iskemia, perforasi, atau peritonitis. Pasien juga harus stabil secara hemodinamik. Pendekatan konservatif ini biasanya dicoba selama 24 hingga 72 jam (maksimal 3-5 hari) dengan pemantauan klinis dan radiologis yang ketat. 

Manajemen konservatif standar dilaporkan berhasil pada sekitar 80% pasien dengan obstruksi parsial. Penting untuk dipahami bahwa terapi konservatif bukanlah pendekatan yang statis, melainkan suatu proses dinamis yang memerlukan evaluasi berkelanjutan terhadap respons pasien. 

Penggunaan WSCA seperti Gastrografin dapat menjadi alat yang berharga, tidak hanya untuk berpotensi mempercepat resolusi pada kasus-kasus tertentu, tetapi juga sebagai alat prognostik untuk membantu mengidentifikasi pasien mana yang kemungkinan akan gagal dengan terapi konservatif dan memerlukan intervensi bedah lebih awal, sehingga menghindari observasi berkepanjangan yang tidak perlu.

Kapan Intervensi Bedah Diperlukan? (Indikasi Operasi)

Keputusan untuk melakukan intervensi bedah pada kasus ileus obstruktif didasarkan pada beberapa faktor, mulai dari tanda bahaya yang memerlukan tindakan segera hingga kegagalan terapi konservatif.

  • Tanda Bahaya (Indikasi Absolut dan Segera):

  • Kecurigaan kuat atau bukti adanya strangulasi usus, yang ditandai dengan nyeri perut hebat yang persisten dan tidak sebanding dengan temuan fisik lainnya, demam, takikardia yang tidak merespons resusitasi cairan, leukositosis yang signifikan, atau asidosis metabolik.

  • Tanda-tanda iskemia usus atau nekrosis pada pemeriksaan CT scan, seperti penebalan dinding usus yang nyata, hilangnya enhancement kontras pada dinding usus, adanya pneumatosis intestinalis (udara di dalam dinding usus), atau gas pada vena porta.

  • Perforasi usus, yang biasanya ditandai dengan adanya udara bebas intraperitoneal pada pemeriksaan pencitraan (foto toraks tegak atau CT scan).

  • Peritonitis generalisata atau lokalisata, yang ditandai dengan defans muskular, nyeri lepas tekan, dan kondisi umum pasien yang memburuk.

  • Obstruksi Usus Komplit: Obstruksi usus komplit, di mana tidak ada pasase udara maupun cairan sama sekali melewati titik sumbatan, umumnya memerlukan intervensi bedah, meskipun beberapa kasus tertentu (misalnya adhesi dini pascaoperasi) dapat dicoba dengan manajemen konservatif yang sangat ketat dan singkat.
    Closed loop obstruction, di mana segmen usus tersumbat di dua titik (proksimal dan distal), merupakan kondisi yang sangat berbahaya karena risiko strangulasi dan perforasi yang tinggi, sehingga menjadi indikasi kuat untuk operasi segera.

  • Kegagalan Terapi Konservatif: Jika tidak ada perbaikan klinis (misalnya, resolusi nyeri, pasase flatus atau feses, penurunan volume drainase NGT) atau radiologis (misalnya, kontras tidak mencapai kolon setelah pemberian WSCA) setelah periode observasi dan manajemen konservatif yang adekuat, biasanya dalam 24-48 jam (maksimal 72 jam atau 3-5 hari), maka intervensi bedah dipertimbangkan. Durasi gejala lebih dari 48 jam sebelum intervensi juga dikaitkan dengan peningkatan risiko perlunya reseksi usus.

  • Etiologi Spesifik: Beberapa penyebab ileus obstruktif secara inheren memerlukan tindakan bedah, seperti hernia inkarserata atau strangulata, volvulus yang tidak dapat diatasi dengan dekompresi endoskopik (misalnya volvulus sigmoid), atau ileus batu empedu dengan impaksi batu yang besar dan tidak mungkin keluar secara spontan.

Jenis prosedur bedah yang dilakukan bervariasi tergantung pada etiologi, lokasi obstruksi, dan ada tidaknya komplikasi. Prosedur yang umum meliputi adhesiolisis (pembebasan perlengketan usus), yang dapat dilakukan secara laparoskopi pada kasus-kasus tertentu yang terseleksi (misalnya, pasien stabil, tidak ada distensi usus yang masif, diduga adhesi tunggal) atau melalui laparotomi (operasi terbuka). 

Jika ditemukan segmen usus yang sudah mengalami iskemia berat, nekrosis, atau perforasi, maka diperlukan reseksi (pemotongan) segmen usus tersebut diikuti dengan anastomosis (penyambungan kembali usus) atau pembuatan stoma (lubang usus buatan di dinding perut). Pada kasus ileus batu empedu, dilakukan enterolitotomi (insisi pada usus untuk mengeluarkan batu empedu), dengan atau tanpa reseksi usus jika terdapat kerusakan dinding usus. 

Perbaikan fistula bilioenterik (saluran abnormal antara kandung empedu dan usus) yang menjadi penyebab masuknya batu empedu ke usus masih bersifat kontroversial dan keputusannya tergantung pada kondisi pasien dan temuan intraoperatif. Tentu saja, jika penyebabnya adalah hernia, maka koreksi hernia (herniotomi dan herniorafi/hernioplasti) adalah tindakan utama.

Keputusan untuk melakukan operasi berada dalam suatu spektrum, mulai dari urgensi absolut (misalnya pada peritonitis atau strangulasi yang jelas) hingga keputusan yang diambil setelah periode observasi (misalnya pada kegagalan terapi konservatif). Faktor waktu memegang peranan yang sangat krusial; penundaan tindakan bedah pada kasus-kasus yang memerlukan intervensi, terutama jika sudah terjadi strangulasi, akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. 

Oleh karena itu, Dokter Umum harus memahami bahwa meskipun terapi konservatif merupakan pilihan pertama untuk kasus-kasus yang tidak terkomplikasi, kewaspadaan terhadap tanda-tanda bahaya dan pemahaman mengenai batas waktu observasi yang aman adalah kunci untuk melakukan rujukan bedah yang tepat waktu.

4. Panduan "Dosis Obat Ileus Obstruktif" untuk Manajemen Suportif oleh Dokter Umum

Manajemen Nyeri (Analgesik)

Nyeri merupakan gejala yang paling dominan dan menyusahkan pada ileus obstruktif. Tujuan pemberian analgesik adalah untuk mengurangi penderitaan pasien tanpa mengaburkan tanda-tanda klinis penting yang mungkin mengarah pada peritonitis atau iskemia usus.

  • Pilihan:

  • Parasetamol: Dapat diberikan sebagai analgesik lini pertama untuk nyeri ringan hingga sedang. Dosis umum: 500-1000 mg setiap 4-6 jam per oral (PO) atau intravena (IV), dengan dosis maksimal 4 gram per hari.

  • Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS), misalnya Ketorolac: Efektif untuk nyeri sedang hingga berat, namun perlu digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan risiko gangguan fungsi ginjal, riwayat perdarahan saluran cerna, atau dehidrasi berat. Dosis Ketorolac: 30 mg IV atau intramuskular (IM) sebagai dosis awal, dapat dilanjutkan dengan 15-30 mg setiap 6 jam jika diperlukan, untuk penggunaan jangka pendek.

  • Opioid (misalnya, Tramadol, Morfin): Diindikasikan untuk nyeri berat yang tidak merespons analgesik non-opioid. Dosis harus dititrasi secara hati-hati sesuai respons pasien dan dengan pemantauan efek samping.

  • Tramadol: 50-100 mg setiap 4-6 jam (PO/IV/IM).

  • Morfin: Dosis awal kecil, misalnya 2.5-5 mg IV, dapat diulang setiap 2-4 jam atau disesuaikan dengan kebutuhan dan respons klinis. Penting untuk memantau tanda-tanda depresi pernapasan, sedasi berlebihan, dan konstipasi.
    Pemberian analgesik yang adekuat sangat penting untuk kenyamanan pasien. Namun, Dokter Umum harus tetap waspada agar pemberian analgesik, terutama opioid, tidak menutupi perkembangan gejala yang mengarah ke peritonitis atau iskemia, yang memerlukan evaluasi bedah segera. Pemilihan jenis dan dosis analgesik harus selalu mempertimbangkan kondisi umum pasien, termasuk fungsi ginjal dan risiko perdarahan.

Mengatasi Mual dan Muntah (Antiemetik)

Mual dan muntah adalah gejala yang sering menyertai ileus obstruktif dan dapat memperburuk dehidrasi serta ketidaknyamanan pasien.

  • Pilihan:

  • Metoklopramid: Merupakan agen prokinetik yang dapat efektif untuk mual dan muntah pada kasus obstruksi usus parsial. Dosis: 10 mg IV atau IM, dapat diberikan setiap 6-8 jam.

Penting untuk diingat bahwa metoklopramid dikontraindikasikan pada obstruksi usus komplit karena efek prokinetiknya dapat meningkatkan tekanan intralumen dan memperburuk nyeri atau bahkan meningkatkan risiko perforasi.

  • Ondansetron: Merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 yang efektif sebagai antiemetik dan memiliki profil efek samping yang relatif baik. Dosis: 4-8 mg IV atau IM, dapat diberikan setiap 8 jam. Ondansetron sering menjadi pilihan yang lebih aman jika ada keraguan mengenai apakah obstruksi bersifat parsial atau komplit.

  • Haloperidol: Dapat digunakan untuk mual dan muntah yang refrakter terhadap obat lain, atau pada kasus obstruksi komplit (karena tidak memiliki efek prokinetik yang signifikan). Dosis rendah: 0.5-2 mg IV, IM, atau subkutan (SC), dapat diulang jika perlu. Haloperidol disebutkan sebagai antiemetik pilihan jika obstruksi usus maligna (MBO) berkembang menjadi obstruksi komplit.

  • Dexamethasone: Kortikosteroid ini memiliki efek antiemetik sentral dan dapat membantu mengurangi edema peritumor atau inflamasi pada dinding usus, yang berpotensi memperbaiki transit usus dan mengurangi gejala obstruksi. Dosis: 4-8 mg IV sekali sehari atau dalam dosis terbagi. Penggunaannya lebih sering dipertimbangkan pada konteks obstruksi akibat keganasan.

    Pemilihan antiemetik harus mempertimbangkan apakah obstruksi bersifat parsial atau komplit. Agen prokinetik seperti metoklopramid dapat bermanfaat pada obstruksi parsial, namun berisiko pada obstruksi komplit.

Antibiotik

Pemberian antibiotik profilaksis secara rutin tidak direkomendasikan pada kasus SBO yang tidak terkomplikasi.

 Penggunaan antibiotik harus dipertimbangkan secara selektif jika terdapat kecurigaan atau bukti adanya komplikasi seperti strangulasi, iskemia usus, perforasi, atau tanda-tanda infeksi sistemik/sepsis (misalnya, demam tinggi, leukositosis berat, hipotensi). Jika diindikasikan, pilihan antibiotik harus mencakup bakteri aerob Gram-negatif dan bakteri anaerob.

Konsultasi dengan dokter spesialis bedah atau penyakit dalam sangat dianjurkan untuk pemilihan regimen antibiotik yang tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak perlu harus dihindari untuk mencegah resistensi.

Obat Lain (Agen Antisecretory - lebih relevan pada obstruksi inoperabel/paliatif)

Pada kasus-kasus tertentu, terutama obstruksi usus maligna yang inoperabel atau dalam setting perawatan paliatif, agen antisekretorik seperti Octreotide (analog somatostatin) atau Scopolamine Butylbromide (antikolinergik) dapat dipertimbangkan. Obat-obatan ini bekerja dengan mengurangi volume sekresi gastrointestinal, sehingga dapat mengurangi volume drainase NGT, mual, muntah, dan nyeri.

  • Octreotide: Dosis awal dapat berupa 0.1-0.2 mg SC atau IV setiap 8 jam, atau melalui infus kontinu 0.3-0.6 mg per 24 jam.

  • Scopolamine Butylbromide: Dosis 20 mg SC atau IV setiap 6 jam, atau melalui infus kontinu 60-120 mg per 24 jam.


Meskipun efektif, penggunaan agen-agen ini lebih umum dalam konteks paliatif. Untuk SBO akut yang berpotensi reversibel dan memerlukan tindakan bedah, fokus utama tetap pada resusitasi cairan, dekompresi usus, dan keputusan operatif yang tepat waktu. Namun, pengetahuan mengenai opsi ini tetap berguna bagi Dokter Umum, terutama jika menghadapi kasus obstruksi yang disebabkan oleh keganasan lanjut.

5. Kesimpulan: Peran Kritis Dokter Umum dalam Alur "Diagnosis dan Terapi Ileus Obstruktif"

Ileus obstruktif merupakan kondisi gawat darurat bedah yang memerlukan pendekatan diagnosis dan terapi yang cepat dan tepat. Dokter Umum berada di garda terdepan dan memegang peranan yang sangat krusial dalam alur penanganan pasien. 

Kemampuan untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti guna membangun kecurigaan awal, memahami peran dan keterbatasan pemeriksaan penunjang awal seperti foto polos abdomen, serta mengetahui kapan harus merujuk untuk pemeriksaan CT scan sebagai baku emas, adalah kompetensi esensial.

Pemahaman mengenai prinsip-prinsip manajemen konservatif awal—meliputi puasa, resusitasi cairan intravena, dekompresi NGT, observasi ketat, dan pertimbangan penggunaan water-soluble contrast agent (WSCA) pada kasus-kasus tertentu yang non-komplikata—dapat membantu stabilisasi pasien. 

Namun, yang tidak kalah penting adalah kemampuan untuk mengidentifikasi secara cepat tanda-tanda bahaya seperti strangulasi, iskemia, perforasi, atau peritonitis, serta mengenali kegagalan terapi konservatif, yang kesemuanya merupakan indikasi untuk intervensi bedah segera.

Penting untuk ditekankan bahwa ileus obstruktif pada dasarnya adalah suatu kondisi bedah. Setelah diagnosis ditegakkan atau dicurigai kuat, dan stabilisasi awal telah dilakukan, rujukan ke dokter spesialis bedah merupakan langkah yang tidak dapat ditawar. Penundaan rujukan pada kasus-kasus yang sebenarnya memerlukan tindakan operasi dapat berakibat pada peningkatan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.

Dengan pengetahuan yang komprehensif mengenai "Diagnosis dan Terapi Ileus Obstruktif", termasuk panduan "Dosis Obat Ileus Obstruktif" untuk manajemen suportif awal, Dokter Umum diberdayakan untuk melakukan diagnosis awal yang lebih akurat, memberikan terapi suportif yang tepat guna dan aman, serta membuat keputusan rujukan yang bijaksana dan tepat waktu. 

Tindakan yang dilakukan oleh Dokter Umum dalam beberapa jam pertama sejak pasien datang seringkali sangat menentukan hasil akhir penanganan pasien. Kerjasama tim yang solid dan komunikasi yang baik antara Dokter Umum dan Dokter Spesialis Bedah adalah kunci keberhasilan dalam memberikan prognosis terbaik bagi pasien dengan ileus obstruktif.

Referensi

  1. Post-cholecystectomy Gallstone Ileus: A Narrative Review - PMC, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12048743/

  2. Small Bowel Obstruction - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Juni 12, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448079/

  3. Miracles from Heaven Case Report: Small Bowel Obstruction ..., diakses Juni 12, 2025, https://canadiem.org/miracles-from-heaven-case-report-small-bowel-obstruction/

  4. Small Bowel Obstruction - PMC, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8292006/

  5. gallstone obstructive ileus: Topics by Science.gov, diakses Juni 12, 2025, https://www.science.gov/topicpages/g/gallstone+obstructive+ileus

  6. The diagnostic and therapeutic value of Gastrografin in small bowel ..., diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11937050/

  7. Small bowel emergency surgery: literature's review - PMC, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3025845/

  8. Bowel obstruction and perforation due to a large gallstone. A case report - PMC, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4975710/

  9. Small Bowel Obstruction Caused by the Ingestion of a Wooden Toothpick: The CT findings and a Literature Review - ResearchGate, diakses Juni 12, 2025, https://www.researchgate.net/publication/315320800_Small_Bowel_Obstruction_Caused_by_the_Ingestion_of_a_Wooden_Toothpick_The_CT_findings_and_a_Literature_Review

  10. Water-soluble contrast agent use in adhesional small bowel obstruction: a survey of surgical practices and clinical trial considerations | The Annals of The Royal College of Surgeons of England, diakses Juni 12, 2025, https://publishing.rcseng.ac.uk/doi/10.1308/rcsann.2024.0121

  11. Diagnosis and surgical management strategy for pediatric small bowel obstruction: Experience from a single medical center, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9989272/

  12. The 48th Congress of the European Society for Surgical Research - AVESİS, diakses Juni 12, 2025, https://avesis.aybu.edu.tr/yayin/6fff13ba-dd55-441c-820c-b2dfe35b689b/a-case-with-an-accidentally-left-reverdin-malleable-after-an-abdominal-surgery/document.pdf

  13. Recommendations for Bowel Obstruction With Peritoneal Carcinomatosis | Request PDF, diakses Juni 12, 2025, https://www.researchgate.net/publication/262071926_Recommendations_for_Bowel_Obstruction_With_Peritoneal_Carcinomatosis

  14. (PDF) Role of Octreotide, Scopolamine Butylbromide, and Hydration ..., diakses Juni 12, 2025, https://www.researchgate.net/publication/12628873_Role_of_Octreotide_Scopolamine_Butylbromide_and_Hydration_in_Symptom_Control_of_Patients_with_Inoperable_Bowel_Obstruction_and_Nasogastric_Tubes