Diagnosis dan Terapi Combusio: Panduan Komprehensif Resusitasi Cairan dan Evaluasi Kritis untuk Dokter Umum

16 Oct 2025 • Kulit

Deskripsi

Diagnosis dan Terapi Combusio: Panduan Komprehensif Resusitasi Cairan dan Evaluasi Kritis untuk Dokter Umum

1. Pendahuluan: Combusio – Ancaman Multidimensi yang Membutuhkan Respon Cepat dan Tepat

Luka bakar, atau combusio, merupakan cedera yang jauh lebih kompleks daripada sekadar kerusakan kulit lokal. Ini adalah kondisi serius yang memicu respons stres sistemik yang mendalam, berpotensi menyebabkan morbiditas dan mortalitas tinggi, terutama jika disertai dengan trauma lain (polytrauma) yang dapat memperburuk luaran pasien. 

Data menunjukkan bahwa sekitar 58% kematian akibat luka bakar terjadi dalam 72 jam pertama pasca cedera, dengan syok luka bakar awal menjadi penyebab utama. Fakta ini menggarisbawahi betapa krusialnya intervensi dini dan adekuat. Tingginya angka kematian dini ini secara langsung menempatkan dokter umum di fasilitas layanan primer atau unit gawat darurat sebagai garda terdepan yang memegang peranan vital. 

Kesalahan atau keterlambatan dalam diagnosis dan terapi awal dapat berakibat fatal bahkan sebelum pasien berhasil mencapai pusat rujukan luka bakar.

Saat ini, pilihan terapi obat yang efektif untuk mengatasi syok luka bakar dan progresi cedera sekunder masih terbatas. Keterbatasan ini tampaknya muncul dari pendekatan "treat-as-you-go" yang kurang terintegrasi, bukan pendekatan sistem yang lebih holistik. 

Kondisi ini semakin mempertegas pentingnya pemahaman patofisiologi yang komprehensif dan penerapan strategi manajemen yang sistematis, di mana resusitasi cairan yang optimal menjadi salah satu pilar utama. Artikel ini bertujuan untuk menyediakan panduan praktis berbasis bukti ilmiah terkini dari Pubmed bagi para dokter umum mengenai

Gambar 1. Sistem organ yang terdampak pada luka bakar berat

Diagnosis dan Terapi Combusio, dengan fokus khusus pada aspek evaluasi kritis dan strategi resusitasi cairan.

2. Evaluasi Awal dan Diagnosis Akurat: Fondasi Tata Laksana Combusio

Manajemen awal yang tepat pada pasien combusio dimulai dengan evaluasi yang cepat, sistematis, dan akurat. Kesalahan dalam penilaian awal dapat berdampak signifikan pada keputusan terapeutik dan luaran pasien.

2.1. Langkah Kritis Penilaian Awal: Mengikuti Prinsip ATLS (Advanced Trauma Life Support)

Setiap pasien dengan luka bakar berat harus dianggap sebagai pasien trauma. Oleh karena itu, evaluasi awal wajib mengikuti prinsip-prinsip ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure/Environment) yang diuraikan dalam Advanced Trauma Life Support (ATLS). Langkah pertama yang esensial, baik di layanan pra-rumah sakit maupun di unit gawat darurat, adalah menghentikan proses pembakaran (cease the burning process) untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut. 

Penekanan pada ATLS ini mengingatkan bahwa stabilisasi fungsi vital merupakan prioritas absolut, bahkan sebelum fokus mendalam pada luka bakarnya sendiri. Mengabaikan potensi ancaman jalan napas demi menghitung luas luka bakar, misalnya, adalah kesalahan yang dapat berakibat fatal. Selain itu, upaya untuk meminimalkan keterlambatan transportasi pasien ke Unit Luka Bakar yang memiliki fasilitas dan keahlian memadai juga merupakan faktor penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas.

2.2. Menentukan Luas Luka Bakar: Aplikasi "Rule of Nines" dan Pertimbangannya

Estimasi luas permukaan tubuh total atau Total Body Surface Area (TBSA) yang terbakar adalah langkah krusial untuk menentukan kebutuhan cairan resusitasi dan prognosis. Metode "Rule of Nines" atau "Wallace Rule of Nines" merupakan alat yang umum digunakan untuk estimasi cepat TBSA pada pasien dewasa. 

Metode ini membagi permukaan tubuh menjadi area-area yang masing-masing merepresentasikan 9% atau kelipatannya: kepala dan leher (9%), setiap ekstremitas atas (9%), setiap ekstremitas bawah (18%), trunkus anterior (18%), trunkus posterior (18%), dan perineum (1%). Penting untuk diingat bahwa hanya luka bakar derajat dua (ketebalan parsial atau partial-thickness) dan derajat tiga (ketebalan penuh atau full-thickness) yang dihitung dalam estimasi TBSA. 

Eritema atau luka bakar derajat satu tidak dimasukkan dalam perhitungan. Untuk luka bakar dengan area yang relatif kecil (<15% TBSA) atau sangat luas (>85% TBSA, di mana area kulit yang tidak terbakar dihitung), metode Palmar Surface (permukaan telapak tangan pasien, termasuk jari, diperkirakan sekitar 0.8% hingga 1% TBSA) dapat digunakan.

Gambar 2. Rule of Nine


Akurasi dalam estimasi TBSA sangatlah penting. Resusitasi yang kurang (under-resuscitation) dapat menyebabkan syok progresif dan kerusakan organ, sementara resusitasi berlebih (over-resuscitation) meningkatkan risiko Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan sindrom kompartemen abdomen. Meskipun "Rule of Nines" praktis, perlu disadari adanya keterbatasan, misalnya kurang akurat pada anak-anak dan dapat dipengaruhi oleh variasi Indeks Massa Tubuh (IMT). 

Oleh karena itu, dokter umum harus menggunakan metode ini sebagai estimasi awal dan selalu siap untuk melakukan penyesuaian berdasarkan respons klinis pasien. Akurasi estimasi TBSA adalah input fundamental untuk formula resusitasi cairan, sehingga kesalahan pada tahap ini akan berdampak langsung pada volume cairan yang diberikan.

Tabel 1: Estimasi Luas Luka Bakar Dewasa Menggunakan "Rule of Nines"


Area Tubuh

Persentase TBSA (%)

Kepala & Leher

9

Trunkus Anterior

18

Trunkus Posterior

18

Setiap Lengan

9

Setiap Tungkai

18

Perineum

1

2.3. Mengklasifikasikan Kedalaman Luka Bakar: Implikasi Terapeutik

Penilaian kedalaman luka bakar menentukan prognosis lokal, kebutuhan intervensi bedah, dan potensi pembentukan jaringan parut. Klasifikasi tradisional membagi kedalaman luka bakar sebagai berikut :

  • Derajat Satu (Superfisial): Hanya mengenai lapisan epidermis. Ditandai dengan eritema (kemerahan), nyeri, dan blanching (memucat saat ditekan), tanpa pembentukan blister.

  • Derajat Dua (Ketebalan Parsial / Partial-Thickness): Melibatkan epidermis dan sebagian dermis.

  • Superfisial Partial-Thickness: Mengenai epidermis dan lapisan papilaris dermis. Sangat nyeri, tampak merah muda atau merah terang, lembab, seringkali dengan blister, dan blanching. Umumnya sembuh dalam 1-3 minggu dengan risiko skar minimal.

  • Deep Partial-Thickness: Meluas hingga lapisan retikularis dermis. Rasa nyeri mungkin berkurang dibandingkan superfisial. Permukaan bisa kering atau sedikit lembab, dengan warna bervariasi dari merah bercak putih hingga kuning pucat. Proses blanching lambat atau tidak ada. Penyembuhan memerlukan waktu lebih dari 3 minggu dan seringkali meninggalkan jaringan parut hipertrofik; kadang memerlukan grafting.

  • Derajat Tiga (Ketebalan Penuh / Full-Thickness): Melibatkan seluruh lapisan epidermis dan dermis, bahkan dapat meluas hingga jaringan subkutan. Area luka bakar tidak terasa nyeri, tampak kering, keras seperti kulit (eschar), dengan warna bervariasi dari putih lilin, coklat tua, hingga hitam. Tidak ada blanching. Luka bakar ini memerlukan eksisi dan skin grafting untuk penyembuhan.

  • Derajat Empat: Luka bakar yang meluas lebih dalam mengenai fasia, otot, dan tulang.

Konsep Jackson's Zones of Burn Injury membantu memahami dinamika cedera luka bakar. Luka bakar terdiri dari tiga zona konsentris: zona koagulasi (area nekrosis ireversibel di pusat cedera), zona stasis (area dengan perfusi buruk yang mengelilingi zona koagulasi, jaringan di sini masih viable namun sangat rentan), dan zona hiperemia (area perifer dengan peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi, yang umumnya akan sembuh). Zona stasis memiliki signifikansi klinis yang besar. 

Jaringan di zona ini dapat mengalami kerusakan lebih lanjut dan berubah menjadi nekrosis (proses yang dikenal sebagai burn wound conversion) dalam 24 hingga 48 jam pertama jika perfusi tidak adekuat. Pemahaman ini menekankan betapa penting dan mendesaknya resusitasi cairan yang dini dan efektif. Resusitasi yang optimal berpotensi menyelamatkan zona stasis, sehingga mengurangi kedalaman akhir luka bakar dan pada akhirnya memperbaiki prognosis pasien.

2.4. Mewaspadai Cedera Inhalasi: Diagnosis Dini Kunci Prognosis

Cedera inhalasi (CI) merupakan komplikasi serius pada pasien luka bakar dan diketahui sebagai faktor risiko independen untuk mortalitas. Tanda dan gejala klinis yang dapat mengarahkan kecurigaan pada CI meliputi riwayat terjebak dalam ruang tertutup yang penuh asap, adanya luka bakar pada wajah, bulu hidung yang hangus, sputum yang mengandung jelaga, suara serak (hoarseness), stridor, sesak napas, dan batuk. 

Pada pasien dengan kecurigaan kuat CI atau menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan napas, intubasi dini harus segera dipertimbangkan untuk mengamankan jalan napas.Meskipun tanda klinis penting, bronkoskopi dianggap sebagai baku emas untuk diagnosis CI. 

Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi langsung traktus trakeobronkial, penilaian derajat kerusakan mukosa, dan identifikasi adanya jelaga atau edema. Bahkan, telah diusulkan skor deskriptif berdasarkan temuan endoskopik untuk standarisasi diagnosis. Perlu dicatat bahwa riwayat paparan asap dan temuan bulu hidung hangus saja seringkali tidak cukup sebagai kriteria diagnostik definitif CI. 

Keterbatasan tanda klinis klasik ini berarti dokter umum harus memiliki ambang batas kecurigaan yang tinggi terhadap CI, terutama jika terdapat riwayat paparan yang signifikan. Konsekuensi dari melewatkan diagnosis CI atau menunda tindakan pengamanan jalan napas bisa sangat berat, mengingat CI adalah prediktor independen mortalitas.

Lebih lanjut, pasien dengan CI seringkali memerlukan volume resusitasi cairan yang lebih besar dibandingkan pasien tanpa CI dengan luas luka bakar yang sama, sebuah interkoneksi penting yang harus disadari dalam perencanaan terapi.

3. Memahami Patofisiologi Syok Combusio: Dasar Ilmiah Terapi Cairan

Luka bakar yang melibatkan lebih dari 15-20% TBSA pada umumnya akan memicu respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome/SIRS). Respons ini ditandai dengan pelepasan masif berbagai mediator inflamasi, termasuk sitokin, histamin, dan nitrat oksida.

Mediator-mediator ini menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler secara drastis di seluruh tubuh, tidak hanya di area yang terbakar. Akibatnya, terjadi perpindahan cairan intravaskular yang kaya protein (plasma) ke ruang interstisial dalam jumlah besar. Fenomena ini menyebabkan terbentuknya edema masif, baik lokal maupun sistemik, dan secara bersamaan mengakibatkan deplesi volume intravaskular yang parah (hipovolemia). 

Kombinasi antara kehilangan cairan dan vasodilatasi ini menghasilkan kondisi syok yang kompleks, sering disebut sebagai syok luka bakar, yang memiliki komponen distributif dan hipovolemik.

Jika tidak ditangani secara agresif dan cepat dengan resusitasi cairan, hipovolemia berat ini akan menyebabkan penurunan curah jantung, hipoperfusi jaringan dan organ vital, yang pada akhirnya dapat berujung pada disfungsi organ multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/MODS) dan kematian. 

Dari perspektif sistemik yang lebih luas, cedera luka bakar berat memicu "serangan bertubi-tubi dan tanpa henti" dari damage-associated molecular patterns (DAMPs), pathogen-associated molecular patterns (PAMPs), dan sinyal aferen saraf. Semua ini bermuara pada kondisi hiperinflamasi, disfungsi imun, koagulopati, hipermetabolisme, dan nyeri hebat. 

Tujuan utama terapi pada level ini adalah untuk "mengalihkan fenotipe cedera menjadi fenotipe penyembuhan" dengan cara mengurangi kebocoran cairan dan mempertahankan perfusi oksigen jaringan.

Pemahaman bahwa syok combusio adalah proses yang sangat dinamis dan berlangsung cepat menjelaskan mengapa resusitasi cairan harus dimulai sesegera mungkin, idealnya sejak di lokasi kejadian atau setibanya di unit gawat darurat. Setiap penundaan berarti kehilangan cairan intravaskular yang lebih besar dan risiko hipoperfusi organ yang lebih parah. 

Kompleksitas patofisiologi yang melibatkan hiperinflamasi, disfungsi imun, koagulopati, dan hipermetabolisme mengindikasikan bahwa resusitasi cairan, meskipun sangat krusial, hanyalah satu komponen dari manajemen komprehensif. Namun, bagi dokter umum, resusitasi cairan adalah intervensi yang paling vital dan dapat diakses untuk menstabilkan pasien pada fase akut dan mencegah kaskade kegagalan organ lebih lanjut.

4. Terapi Cairan pada Combusio: Strategi Resusitasi Berbasis Bukti

Resusitasi cairan adalah landasan penatalaksanaan awal pasien luka bakar berat. Pendekatan yang tepat terhadap volume, jenis cairan, dan target resusitasi sangat menentukan hasil akhir.

4.1. Tujuan Utama Resusitasi Cairan

Tujuan fundamental dari resusitasi cairan pada pasien luka bakar adalah untuk mempertahankan perfusi dan fungsi organ-organ vital, sambil meminimalkan biaya fisiologis baik yang bersifat langsung maupun tertunda. Ini berarti memberikan volume cairan yang "cukup" (just enough) untuk menjaga fungsi organ tanpa menimbulkan perubahan patologis iatrogenik, seperti edema paru, edema serebral, atau sindrom kompartemen abdomen akibat kelebihan cairan. 

Konsep "just enough" ini menyoroti bahwa resusitasi cairan adalah tindakan penyeimbangan yang cermat. Dokter tidak boleh hanya "mengejar angka" berdasarkan formula, tetapi harus terus-menerus memantau respons pasien dan menyesuaikan terapi untuk menghindari komplikasi akibat resusitasi berlebih (fluid creep) maupun resusitasi yang kurang.

4.2. Formula Resusitasi: Dari Parkland ke Rekomendasi Terkini

Sejumlah formula telah dikembangkan sepanjang sejarah untuk memandu estimasi kebutuhan cairan pada pasien luka bakar, dimulai dari penelitian Underhill, Cope & Moore, hingga formula Evan dan Brooke. Formula yang paling dikenal dan masih sering dijadikan rujukan adalah Formula Parkland (dikembangkan oleh Baxter). 

Formula ini merekomendasikan pemberian cairan kristaloid Ringer Laktat (RL) sebanyak 4 ml x berat badan (kg) x % TBSA luka bakar derajat II & III. Setengah dari total volume ini diberikan dalam 8 jam pertama pasca cedera (dihitung dari saat kejadian luka bakar, bukan saat pasien tiba di rumah sakit), dan setengah sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Meskipun sering disebut sebagai "standar emas", penggunaan Formula Parkland terus menjadi subjek diskusi dan penelitian mengenai akurasinya.

Mengikuti perkembangan bukti ilmiah, American Burn Association (ABA) dalam panduan praktik klinisnya tahun 2023 merekomendasikan untuk memulai resusitasi cairan pada pasien dewasa dengan luka bakar ≥20 TBSA dengan volume awal 2 ml/kg/%TBSA menggunakan RL. Tujuan dari rekomendasi volume awal yang lebih rendah ini adalah untuk mengurangi total volume cairan resusitasi yang diberikan dan potensi komplikasi terkait kelebihan cairan.

Pergeseran rekomendasi ABA ke volume awal yang lebih rendah ini mencerminkan upaya global untuk menghindari fenomena "fluid creep" dan komplikasinya. Ini merupakan perubahan penting yang perlu diketahui oleh dokter umum, menandakan bahwa "lebih banyak" tidak selalu berarti "lebih baik" dalam konteks resusitasi cairan.

Penting untuk diingat bahwa semua formula hanyalah titik awal atau panduan. Kebutuhan cairan dapat bervariasi tergantung kondisi individual pasien. Anak-anak mungkin memerlukan formula yang dimodifikasi (misalnya, Formula Parkland yang dimodifikasi menjadi 3 ml/kg/%TBSA ditambah kebutuhan cairan rumatan/maintenance). 

Pasien dengan kondisi penyerta seperti cedera inhalasi, luka bakar listrik, atau mereka yang mengalami keterlambatan dalam memulai resusitasi, umumnya memerlukan volume cairan yang lebih besar. Penekanan pada titrasi cairan berdasarkan respons klinis pasien tetap menjadi prinsip utama, dan formula tidak boleh menggantikan penilaian klinis yang cermat dan berkelanjutan.

Tabel 2: Perbandingan Formula Resusitasi Cairan Awal pada Combusio Dewasa (≥20 TBSA)


Nama Formula/Rekomendasi

Volume Awal (mL/kg/%TBSA)

Jenis Cairan Utama

Catatan Penting

Parkland (Baxter)

4 mL

Ringer Laktat (RL)

50% dalam 8 jam pertama (dari saat cedera), 50% dalam 16 jam berikutnya.

Rekomendasi ABA 2023

2 mL

Ringer Laktat (RL)

Sebagai volume inisiasi untuk mengurangi total volume resusitasi. Titrasi berdasarkan respons klinis.

4.3. Pemilihan Cairan: Kristaloid, Pertimbangan Koloid (Albumin)

Cairan kristaloid isotonik, khususnya Ringer Laktat (RL), adalah cairan pilihan utama untuk resusitasi awal pada pasien luka bakar (umumnya dalam 24 jam pertama). Alasannya adalah karena RL relatif murah, mudah tersedia, memiliki profil fisiologis yang mirip dengan plasma, dan dapat membantu memperbaiki asidosis metabolik ringan.

Penggunaan cairan koloid, seperti albumin, pada fase awal resusitasi (dalam 24 jam pertama) masih menjadi bahan perdebatan. Kekhawatiran utama adalah bahwa peningkatan permeabilitas kapiler yang masif pada syok luka bakar dapat menyebabkan kebocoran molekul koloid yang besar ke ruang interstisial, yang justru dapat memperburuk edema dan tidak memberikan manfaat signifikan terhadap volume intravaskular. 

Namun demikian, panduan terbaru dari American Burn Association (ABA) merekomendasikan untuk mempertimbangkan penggunaan larutan albumin manusia, terutama pada pasien dengan luka bakar yang sangat luas. Tujuannya adalah untuk membantu menurunkan total volume cairan resusitasi yang dibutuhkan dan berpotensi meningkatkan output urin. 

Secara tradisional, jika koloid digunakan, biasanya dipertimbangkan setelah 8-24 jam pasca luka bakar, ketika integritas kapiler diharapkan mulai membaik. Rekomendasi ABA untuk mempertimbangkan albumin bahkan dalam 48 jam pertama pada luka bakar luas menandakan adanya pergeseran pandangan tentang peran koloid. Bagi dokter umum, ini berarti perlu adanya kesadaran akan opsi ini, meskipun implementasinya kemungkinan besar dilakukan setelah konsultasi dengan spesialis atau di unit luka bakar.

Larutan salin hipertonik pernah diteliti dengan harapan dapat menarik cairan dari interstisial ke intravaskular sehingga mengurangi edema. Namun, penggunaannya tidak menunjukkan superioritas yang konsisten dibandingkan kristaloid isotonik dan membawa risiko komplikasi seperti hipernatremia dan cedera ginjal akut. 

Jenis koloid lain seperti hydroxyethyl starches (HES) sudah tidak direkomendasikan lagi untuk resusitasi pada pasien kritis, termasuk pasien luka bakar, karena terbukti berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan ginjal dan koagulopati.

4.4. Pentingnya Titrasi dan Monitoring: Mencapai Target Resusitasi

Resusitasi cairan pada pasien luka bakar bukanlah sekadar pemberian volume cairan berdasarkan formula, melainkan proses dinamis yang memerlukan titrasi berkelanjutan berdasarkan target fisiologis dan respons klinis pasien.

Parameter monitoring yang paling umum digunakan dan praktis, terutama di fasilitas dengan sumber daya terbatas, adalah output urin. Target output urin untuk pasien dewasa adalah 0.5–1 mL/kg/jam. Untuk anak-anak (berat badan <30 kg), targetnya adalah 1 mL/kg/jam. 

Penting dicatat bahwa pada pasien dengan cedera inhalasi, beberapa ahli menyarankan target output urin yang sedikit lebih rendah, yaitu sekitar 0.3–0.5 mL/kg/jam, untuk menghindari risiko fluid overload mengingat potensi peningkatan permeabilitas kapiler paru. Output urin, meskipun merupakan pilar monitoring, harus diinterpretasikan dalam konteks klinis keseluruhan. 

Misalnya, kondisi hiperglikemia (yang sering terjadi pada stres berat akibat luka bakar) dapat menyebabkan diuresis osmotik, di mana output urin meningkat namun tidak mencerminkan status volume intravaskular atau perfusi organ yang adekuat. Demikian pula, penggunaan diuretik akan mengganggu interpretasi output urin sebagai parameter resusitasi. Oleh karena itu, dokter umum perlu melihat tren output urin dan menggabungkannya dengan parameter lain.

Parameter klinis lain yang harus dipantau meliputi tanda-tanda vital seperti frekuensi nadi (target <120x/menit pada dewasa), tekanan darah (target Mean Arterial Pressure/MAP ≥65 mmHg pada dewasa), status mental (pasien sadar dan orientasi baik), suhu perifer (akral hangat), dan waktu pengisian kapiler (capillary refill time <2 detik).

Monitoring invasif seperti pengukuran tekanan vena sentral (CVP), penggunaan kateter arteri pulmonal (Swan-Ganz), atau teknik transpulmonary thermodilution (TPTD) umumnya dilakukan di unit perawatan intensif luka bakar dan bukan merupakan standar untuk evaluasi awal oleh dokter umum. American Burn Association (ABA) bahkan secara spesifik tidak merekomendasikan penggunaan variabel-variabel yang diturunkan dari TPTD untuk memandu resusitasi syok luka bakar. 

Namun, ABA merekomendasikan pemantauan selektif tekanan intraabdomen (IAP) selama resusitasi syok luka bakar, terutama pada pasien dengan risiko tinggi sindrom kompartemen abdomen (misalnya, luka bakar sangat luas, resusitasi volume besar). Rekomendasi ini menyoroti meningkatnya kesadaran akan risiko sindrom kompartemen abdomen sebagai komplikasi iatrogenik dari resusitasi volume besar. 

Meskipun pengukuran IAP secara invasif mungkin tidak selalu dilakukan oleh semua dokter umum, kesadaran akan risiko ini penting untuk identifikasi dini tanda dan gejala, serta pertimbangan rujukan. Penggunaan perangkat lunak pendukung keputusan berbasis komputer (computer decision support software) untuk memandu titrasi cairan mendapat rekomendasi lemah dari ABA, dengan potensi untuk membantu menurunkan volume resusitasi.

Tabel 3: Target Monitoring Utama dan Parameter Penyesuaian Resusitasi Cairan pada Pasien Combusio Dewasa

Parameter

Target/Nilai Normal

Tindakan Jika Tidak Tercapai (Contoh Umum)

Output Urin

0.5–1 mL/kg/jam (dewasa)

Tingkatkan laju cairan kristaloid. Evaluasi ulang luas luka bakar dan perhitungan kebutuhan cairan. Pertimbangkan faktor lain (misalnya, diuresis osmotik).

0.3–0.5 mL/kg/jam (jika ada cedera inhalasi)

Mean Arterial Pressure (MAP)

≥65 mmHg

Pastikan volume intravaskular adekuat terlebih dahulu. Jika MAP tetap rendah trotz resusitasi volume, pertimbangkan konsultasi untuk vasopressor (bukan adjunctive rutin menurut ABA ).

Frekuensi Nadi

<120 x/menit

Evaluasi status hidrasi, nyeri, kecemasan, hipoksia.

Status Mental

Sadar, orientasi baik

Penurunan kesadaran bisa menandakan hipoperfusi serebral, hipoksia, atau gangguan metabolik. Evaluasi ABCDE ulang.

Tekanan Intraabdomen (IAP)

Pemantauan selektif, target umumnya <12 mmHg

Jika meningkat dan dicurigai sindrom kompartemen abdomen, konsultasi bedah segera.

5. Manajemen Cedera Inhalasi: Pendekatan Komprehensif

Manajemen cedera inhalasi (CI) bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi, meminimalkan obstruksi jalan napas, dan mencegah komplikasi paru lebih lanjut. Diagnosis dini, idealnya dengan bronkoskopi jika tersedia, sangat penting.

Manajemen umum meliputi pemberian oksigen aliran tinggi yang dilembabkan (humidified oxygen), elevasi kepala tempat tidur sekitar 30-45 derajat untuk mengurangi edema jalan napas atas dan memperbaiki ekspansi paru, fisioterapi dada (jika kondisi pasien memungkinkan), dan pulmonary toilet yang agresif termasuk suctioning sekret secara berkala.

Beberapa terapi nebulisasi dapat dipertimbangkan:

  • Heparin nebulisasi: Dapat membantu mengurangi pembentukan fibrin cast di jalan napas dan memperbaiki bersihan mukosiliar. Penggunaannya didukung oleh beberapa literatur. Ketersediaan terapi ini mungkin bervariasi antar fasilitas, namun dokter umum sebaiknya mengetahui opsi ini sebagai bagian dari tatalaksana suportif CI, terutama jika pasien akan dirujuk atau dikelola bersama dengan spesialis.

  • N-asetilsistein (NAC) atau mukolitik lain: Digunakan untuk membantu mengencerkan sekret yang kental dan memfasilitasi pengeluarannya.

  • Bronkodilator (misalnya, Salbutamol): Diberikan jika terdapat tanda-tanda bronkospasme.

Pada pasien yang memerlukan intubasi dan ventilasi mekanis, strategi ventilasi protektif paru (penggunaan volume tidal rendah, pembatasan tekanan plato) dianjurkan untuk meminimalkan ventilator-induced lung injury (VILI). Permissive hypercapnia (membiarkan PaCO2​ sedikit meningkat untuk menghindari tekanan ventilasi yang tinggi) dapat dipertimbangkan dalam kasus tertentu. 

Penggunaan mode ventilasi seperti High Frequency Oscillatory Ventilation (HFOV) atau pemberian surfaktan eksogen untuk CI masih belum memiliki bukti efikasi yang mapan dan tidak rutin direkomendasikan. Penting untuk dicatat bahwa penggunaan antibiotik profilaksis dan kortikosteroid sistemik tidak direkomendasikan dalam manajemen CI karena tidak terbukti memberikan manfaat dan berpotensi meningkatkan risiko infeksi atau komplikasi lain. 

Penolakan terhadap praktik ini adalah poin penting untuk mencegah intervensi yang tidak berbasis bukti dan berpotensi merugikan. Pada kasus di mana terdapat kecurigaan keracunan sianida (misalnya, pada kebakaran yang melibatkan bahan sintetis di ruang tertutup), pemberian hydroxycobalamin sebagai antidotum dapat dipertimbangkan.

6. Kesimpulan: Optimalisasi "Diagnosis dan Terapi Combusio" di Tingkat Dokter Umum

Penatalaksanaan pasien combusio merupakan tantangan kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin. Bagi dokter umum, peran kunci terletak pada evaluasi awal yang cepat dan akurat, stabilisasi hemodinamik melalui resusitasi cairan yang tepat, serta identifikasi dini komplikasi seperti cedera inhalasi. Pemahaman yang baik mengenai prinsip-prinsip ATLS, metode penilaian luas dan kedalaman luka bakar, serta patofisiologi syok luka bakar menjadi dasar untuk intervensi yang efektif.

Resusitasi cairan harus dimulai sesegera mungkin, dengan menggunakan formula resusitasi (seperti rekomendasi ABA 2 ml/kg/%TBSA atau Parkland 4 ml/kg/%TBSA sebagai panduan awal, bukan sebagai dogma kaku. Pemilihan cairan utama adalah kristaloid isotonik (Ringer Laktat), dengan pertimbangan penggunaan albumin pada kasus luka bakar luas sesuai panduan terkini. 

Yang terpenting adalah melakukan titrasi cairan secara cermat berdasarkan target monitoring klinis, terutama output urin, untuk memastikan perfusi organ yang adekuat tanpa menyebabkan fluid overload. Kewaspadaan tinggi terhadap cedera inhalasi dan pemahaman prinsip manajemennya juga krusial.

Optimalisasi Diagnosis dan Terapi Combusio di tingkat layanan primer dan gawat darurat oleh dokter umum secara signifikan dapat meningkatkan harapan hidup dan mengurangi morbiditas pasien luka bakar. Namun, penting juga untuk menyadari batas kompetensi. Meskipun artikel ini bertujuan memberdayakan dokter umum dengan pengetahuan terkini, pengakuan akan kompleksitas kasus tertentu dan pentingnya sistem rujukan yang efektif adalah pesan yang tidak kalah penting. 

Pasien dengan luka bakar luas, luka bakar pada area khusus (wajah, tangan, kaki, perineum, sendi mayor), luka bakar sirkumferensial, luka bakar listrik atau kimia berat, adanya cedera inhalasi signifikan, pasien dengan usia ekstrim, atau dengan komorbiditas berat sebaiknya dirujuk tepat waktu ke pusat luka bakar tersertifikasi yang memiliki sumber daya dan keahlian spesifik. 

Statistik keberhasilan resusitasi yang baik seringkali berasal dari pengalaman di pusat-pusat luka bakar, yang menggarisbawahi pentingnya rujukan pada kasus yang tepat. Dengan demikian, bagian dari terapi yang baik oleh dokter umum adalah mengenali kapan suatu kasus melebihi kapasitas penanganan di fasilitasnya dan memerlukan transfer ke level perawatan yang lebih tinggi. Ini adalah aspek fundamental dari keselamatan pasien dalam manajemen combusio.

Referensi

  1. Pathophysiology of Severe Burn Injuries: New Therapeutic ..., diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38517382/

  2. The Physiologic Basis of Burn Shock and the Need for Aggressive Fluid Resuscitation - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27600122/

  3. Initial evaluation and management of the critical burn patient - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26724246/

  4. Parkland Formula - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30725875/

  5. Rule of Nines - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30020659/

  6. Initial management of a major burn: II—assessment and resuscitation - PMC, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC449823/

  7. Classification of Burn Depth - PMC - PubMed Central, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10948199/

  8. The diagnosis and management of inhalation injury: An evidence ..., diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29398078/

  9. Standardizing the diagnosis of inhalation injury using a descriptive score based on mucosal injury criteria - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22348802/

  10. The Parkland formula in patients with burns and inhalation injury - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7131606/

  11. Fluid management in major burn injuries - PMC - PubMed Central, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3038406/

  12. Burn shock resuscitation - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/1290260/

  13. The role of invasive monitoring in the resuscitation of major burns: a systematic review and meta-analysis - PMC - PubMed Central, diakses Juni 12, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6526380/

  14. American Burn Association Clinical Practice Guidelines on Burn ..., diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38051821/

  15. Fluid resuscitation management in patients with burns: update, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27543523/

  16. Initial management of severe burn injury - PubMed, diakses Juni 12, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31567292/