15 Sep 2025 • urologi
1. Pendahuluan
Retensio urine, didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mengeluarkan urine secara adekuat , merupakan kondisi urologis yang sering memerlukan dekompresi kandung kemih segera. Di sisi lain, trombositopenia, suatu kelainan hematologis yang ditandai dengan jumlah trombosit rendah (umumnya di bawah 100 hingga 150 × 10⁹/L), meningkatkan risiko perdarahan.
Pertemuan kedua kondisi ini, yaitu retensio urine pada pasien dengan trombositopenia, menyajikan tantangan diagnostik dan terapeutik yang unik. Tantangan utama terletak pada upaya menyeimbangkan kebutuhan mendesak untuk mengatasi obstruksi aliran urine dengan risiko perdarahan yang meningkat akibat trombositopenia, terutama selama prosedur intervensi seperti kateterisasi uretra.
Kompleksitas penanganan meningkat secara signifikan ketika dua kondisi dengan potensi komplikasi yang berlawanan—obstruksi versus perdarahan—terjadi bersamaan. Ini bukan sekadar penjumlahan dua masalah, melainkan sebuah interaksi yang memerlukan pertimbangan khusus. Sebagai contoh, retensio urine seringkali membutuhkan intervensi seperti kateterisasi.
Namun, pada pasien dengan trombositopenia, tindakan ini membawa risiko perdarahan yang lebih tinggi dari biasanya. Kesalahan dalam manajemen awal dapat berujung pada morbiditas signifikan, seperti perdarahan hebat yang sulit dikontrol, infeksi sekunder akibat stasis urine, atau kerusakan ginjal permanen akibat obstruksi yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif bagi dokter umum sangat krusial untuk memberikan tata laksana awal yang tepat dan aman, serta untuk mengenali kapan pasien memerlukan rujukan ke spesialis. Artikel ini bertujuan memberikan panduan mengenai diagnosis dan terapi Retensio Urine pada Trombositopenia, dengan fokus pada pendekatan praktis bagi dokter umum.
2. Memahami Retensio Urine dan Trombositopenia: Sebuah Tinjauan Singkat
2.1. Retensio Urine
Retensio urine dapat bersifat akut (Acute Urinary Retention - AUR) atau kronis (Chronic Urinary Retention - CUR). AUR merupakan kegawatdaruratan urologi yang ditandai dengan ketidakmampuan berkemih secara tiba-tiba dan seringkali disertai nyeri suprapubik hebat. CUR berkembang secara bertahap dan mungkin tidak terlalu simtomatik pada awalnya.
Etiologi retensio urine sangat beragam, meliputi:
Obstruktif: Penyebab tersering, seperti hiperplasia prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia - BPH) yang menyumbang sekitar 53% kasus , striktur uretra, keganasan prostat atau kandung kemih, dan bekuan darah (clot retention).
Infeksi/Inflamasi: Prostatitis akut, infeksi saluran kemih (ISK) berat.
Neurogenik: Cedera medula spinalis, stroke, neuropati diabetik, sklerosis multipel.
Farmakologis: Obat-obatan dengan efek antikolinergik (misalnya, antidepresan trisiklik, antihistamin), simpatomimetik (misalnya, dekongestan), opioid.
Pasca operasi: Terutama setelah operasi di daerah pelvis atau anestesi spinal/epidural.
Gejala klinis kunci retensio urine meliputi ketidakmampuan berkemih, nyeri dan distensi suprapubik (terutama pada AUR) yang dapat dipalpasi sebagai massa di atas simfisis pubis , serta gejala saluran kemih bawah (Lower Urinary Tract Symptoms - LUTS) seperti pancaran lemah, nokturia, atau urgensi yang mungkin mendahului AUR atau menyertai CUR.
Pada pasien dengan trombositopenia, kemungkinan retensio urine akibat bekuan darah harus selalu dipertimbangkan, terutama jika ada riwayat hematuria. Trombositopenia dapat menyebabkan hematuria , dan hematuria yang signifikan dapat membentuk bekuan darah di dalam kandung kemih. Bekuan ini kemudian dapat menyumbat aliran keluar urine, menyebabkan retensio.
2.2. Trombositopenia
Trombositopenia secara umum didefinisikan sebagai hitung trombosit di bawah 150 × 10⁹/L. Risiko perdarahan signifikan biasanya meningkat jika hitung trombosit turun di bawah 50 × 10⁹/L, dan risiko perdarahan spontan menjadi sangat tinggi pada hitung trombosit di bawah 10-20 × 10⁹/L.
Penyebab trombositopenia dapat diklasifikasikan menjadi:
Penurunan produksi trombosit di sumsum tulang: Akibat supresi sumsum tulang (misalnya, kemoterapi, radioterapi), keganasan hematologi (leukemia, limfoma), anemia aplastik, infiltrasi tumor solid ke sumsum tulang.
Peningkatan destruksi trombosit perifer: Melalui mekanisme imun (Immune Thrombocytopenia - ITP, Drug-Induced Thrombocytopenia - DITP seperti akibat heparin), atau non-imun (Disseminated Intravascular Coagulation - DIC, Thrombotic Thrombocytopenic Purpura - TTP, Hemolytic Uremic Syndrome - HUS, infeksi berat/sepsis).
Sekuestrasi trombosit: Terutama pada hipersplenisme akibat sirosis hepatis dengan hipertensi portal.
Dilusi: Akibat transfusi masif produk darah yang tidak mengandung trombosit (misalnya, packed red cells) atau pemberian cairan intravena dalam volume besar.
Implikasi klinis utama trombositopenia adalah peningkatan risiko perdarahan, yang manifestasinya bervariasi mulai dari petekie, purpura, ekimosis, perdarahan mukosa (gusi, epistaksis), hingga perdarahan yang lebih serius seperti perdarahan gastrointestinal, intrakranial, atau hematuria. Pemahaman etiologi trombositopenia dapat memberikan petunjuk penting.
Misalnya, jika pasien sedang menjalani kemoterapi, trombositopenia akibat supresi sumsum tulang adalah kemungkinan besar. Jika terdapat tanda-tanda infeksi berat, DIC atau trombositopenia akibat sepsis bisa menjadi penyebabnya. Selain jumlah trombosit, kecepatan penurunan trombosit juga penting; penurunan yang cepat, seperti yang dapat terjadi pada DITP , mungkin lebih mengkhawatirkan daripada trombositopenia kronis yang stabil.
3. Pendekatan Diagnosis Retensio Urine pada Pasien Trombositopenia
Tujuan diagnosis pada pasien dengan retensio urine dan trombositopenia adalah untuk mengkonfirmasi adanya retensio urine, mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya, menilai tingkat keparahan trombositopenia, dan mengevaluasi risiko perdarahan secara keseluruhan.
3.1. Anamnesis Terarah
Anamnesis yang cermat adalah langkah awal yang krusial.
Keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang: Tanyakan onset dan durasi retensio, gejala LUTS yang mendahului, adanya hematuria (makroskopik atau mikroskopik, warna, adanya bekuan darah), karakteristik nyeri (lokasi, intensitas, penjalaran), dan ada tidaknya demam atau gejala sistemik lain.
Riwayat penyakit dahulu: Gali riwayat trombositopenia sebelumnya (penyebab yang diketahui, pengobatan yang pernah diterima, nilai trombosit terendah), kelainan perdarahan lain, penyakit ginjal, keganasan (terutama urologi atau hematologi), riwayat operasi urologi atau pelvis, dan riwayat radioterapi di daerah pelvis.
Riwayat pengobatan: Catat semua obat yang sedang atau baru dikonsumsi, termasuk obat yang dapat menyebabkan retensio urine (antikolinergik, simpatomimetik, opioid) atau trombositopenia (misalnya, kemoterapi, heparin, beberapa jenis antibiotik, antikonvulsan). Penggunaan antikoagulan atau antiplatelet juga penting karena dapat memperburuk perdarahan.
Riwayat sosial: Kebiasaan merokok dan paparan bahan kimia tertentu merupakan faktor risiko keganasan urotelial yang dapat bermanifestasi sebagai hematuria dan retensio.
Anamnesis harus secara aktif mencari "tanda bahaya" (red flags) untuk keganasan, terutama pada pasien usia lanjut dengan hematuria makroskopik dan retensio urine. Hematuria makroskopik memiliki nilai prediktif positif yang tinggi untuk keganasan urologi. Trombositopenia sendiri bisa merupakan manifestasi paraneoplastik atau akibat langsung dari infiltrasi sumsum tulang oleh sel tumor.
3.2. Pemeriksaan Fisik Komprehensif
Pemeriksaan fisik yang teliti membantu mengarahkan diagnosis.
Keadaan umum dan tanda vital: Evaluasi status hemodinamik (frekuensi nadi, tekanan darah, frekuensi napas, suhu) untuk mendeteksi tanda-tanda syok hipovolemik akibat perdarahan atau syok septik jika ada infeksi.
Pemeriksaan abdomen: Inspeksi adanya distensi abdomen bawah, palpasi untuk distensi kandung kemih (teraba sebagai massa kistik di suprapubik), nyeri tekan suprapubik, atau adanya massa lain.
Pemeriksaan genitalia eksterna dan colok dubur (Digital Rectal Examination - DRE): Pada pria, DRE penting untuk menilai ukuran, konsistensi, dan adanya nodul pada prostat. Pada kedua jenis kelamin, DRE menilai tonus sfingter ani dan mencari adanya massa rektal atau di kavum Douglas. Temuan DRE bisa sangat informatif: prostat yang membesar, kenyal, dan simetris mengarah ke BPH ; prostat yang keras, bernodul, atau asimetris mencurigakan keganasan prostat; nyeri hebat pada DRE dapat menandakan prostatitis akut.
Pemeriksaan neurologis singkat: Fokus pada fungsi motorik dan sensorik ekstremitas bawah serta refleks perineum jika dicurigai penyebab neurogenik.
Pencarian tanda-tanda perdarahan lain: Inspeksi kulit dan mukosa untuk petekie, purpura, ekimosis, perdarahan gusi, atau epistaksis.
3.3. Pemeriksaan Penunjang Esensial
Pemeriksaan penunjang membantu mengkonfirmasi diagnosis dan menilai komplikasi.
Urinalisis: Pemeriksaan dasar untuk mencari hematuria (derajat, adanya dismorfik eritrosit), leukosituria, nitrit (indikasi infeksi bakteri Gram-negatif), proteinuria, pH, dan berat jenis urine.
Darah Lengkap (Full Blood Count - FBC): Fokus utama pada hitung trombosit untuk menilai derajat trombositopenia. Perhatikan juga kadar hemoglobin untuk menilai adanya anemia akibat perdarahan dan hitung leukosit untuk tanda-tanda infeksi.
Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin): Untuk menilai adanya gangguan fungsi ginjal akibat obstruksi (azotemia pasca-renal). Pada sebuah studi kasus obstruksi saluran kemih pada hewan, ditemukan nilai urea dan kreatinin yang tinggi bersamaan dengan trombositopenia pada sebagian besar kasus.
Studi Koagulasi (Prothrombin Time - PT, Activated Partial Thromboplastin Time - aPTT, International Normalized Ratio - INR): Diindikasikan terutama jika pasien menggunakan antikoagulan, memiliki riwayat penyakit hati, atau mengalami perdarahan masif.
Pencitraan (Ultrasonografi - USG Abdomen/Pelvis): Pemeriksaan non-invasif yang sangat penting untuk mengkonfirmasi distensi kandung kemih, mengukur volume residu urin (Post-Void Residual - PVR), mengidentifikasi penyebab obstruksi (misalnya, pembesaran prostat, batu kandung kemih, tumor, bekuan darah masif), dan menilai adanya hidronefrosis atau hidroureter sebagai tanda obstruksi saluran kemih bagian atas. Hasil USG dapat secara langsung mempengaruhi keputusan manajemen. Misalnya, jika USG menunjukkan kandung kemih penuh dengan bekuan darah masif, ini mengindikasikan perlunya penggunaan kateter kaliber besar dan potensi untuk irigasi atau bahkan evakuasi bekuan secara operatif.
Kultur Urin: Dilakukan jika urinalisis menunjukkan tanda-tanda infeksi (leukosituria, nitrit positif) untuk identifikasi patogen dan uji sensitivitas antibiotik.
Kombinasi temuan, seperti hematuria, trombositopenia, dan adanya massa di kandung kemih pada USG, dapat sangat sugestif terhadap diagnosis tertentu, misalnya tumor kandung kemih yang menyebabkan perdarahan dan mungkin trombositopenia paraneoplastik.
Tabel 1: Pertimbangan Kunci dalam Diagnosis Retensio Urine dengan Trombositopenia
Komponen Diagnosis | Poin Penting/Pertimbangan Khusus pada Trombositopenia |
Anamnesis | Riwayat perdarahan abnormal (hematuria, epistaksis, gusi berdarah), obat-obatan yang diketahui menyebabkan trombositopenia (misalnya kemoterapi, heparin), riwayat penyakit autoimun. |
Pemeriksaan Fisik | Cari tanda-tanda perdarahan aktif (petekie, purpura, ekimosis, hematoma), evaluasi status hemodinamik dengan cermat. |
Laboratorium | Hitung trombosit (derajat keparahan), kadar hemoglobin (menilai dampak perdarahan), fungsi ginjal (menilai obstruksi), studi koagulasi (jika ada indikasi). |
Pencitraan (USG) | Identifikasi bekuan darah di kandung kemih, evaluasi ukuran prostat, cari tanda keganasan, nilai adanya hidronefrosis. |
4. Strategi Terapi Retensio Urine dengan Komplikasi Trombositopenia
Tujuan utama terapi adalah melakukan dekompresi kandung kemih yang aman dan efektif, mengontrol hematuria jika ada, dan meminimalkan risiko komplikasi terkait trombositopenia. Pendekatan harus bersifat individual, mempertimbangkan tingkat keparahan retensio urine, derajat trombositopenia, adanya perdarahan aktif, dan kondisi komorbid pasien.
4.1. Manajemen Awal dan Stabilisasi Pasien
Langkah awal adalah penilaian cepat Airway, Breathing, Circulation (ABC), terutama jika pasien menunjukkan tanda-tanda syok atau sepsis. Jika terdapat hipotensi atau tanda-tanda hipovolemia akibat perdarahan, resusitasi cairan dengan larutan kristaloid intravena harus segera dilakukan.
Pemberian analgesia yang adekuat juga penting jika pasien mengeluh nyeri hebat. Prioritas pertama adalah stabilisasi hemodinamik; dekompresi kandung kemih, meskipun penting, mungkin perlu didahului oleh upaya resusitasi jika kondisi pasien tidak stabil.
Gambar 1. Manajemen retensi urine akut
4.2. Dekompresi Kandung Kemih: Kateterisasi Uretra
Kateterisasi uretra merupakan tindakan lini pertama untuk dekompresi kandung kemih pada kasus retensio urine.
Pemilihan Kateter: Pemilihan ukuran dan jenis kateter sangat krusial. Jika tidak ada hematuria makroskopik atau dugaan bekuan darah, kateter Foley standar (misalnya, 16-18 French) mungkin cukup. Namun, jika terdapat hematuria makroskopik atau dugaan adanya bekuan darah, direkomendasikan penggunaan kateter Foley 3-way dengan kaliber besar (misalnya, ≥22 French) untuk memungkinkan irigasi dan evakuasi bekuan yang efektif. Penggunaan kateter dengan balon 30 cc umumnya tidak direkomendasikan kecuali segera setelah tindakan reseksi prostat transuretra (TURP). Pemilihan kateter yang tidak tepat, misalnya terlalu kecil pada kasus retensi bekuan, dapat menyebabkan kegagalan dekompresi, penyumbatan kateter berulang, dan memperpanjang penderitaan pasien.
Teknik Pemasangan: Pemasangan kateter harus dilakukan dengan teknik aseptik yang ketat dan penggunaan lubrikan gel anestesi yang adekuat untuk meminimalkan trauma pada uretra dan risiko perdarahan iatrogenik. Keterampilan melakukan kateterisasi dengan lembut dan benar menjadi sangat penting pada pasien trombositopenia untuk menghindari trauma tambahan yang dapat memicu atau memperburuk perdarahan.
Pertimbangan pada Trombositopenia: Meskipun ada risiko perdarahan, dekompresi kandung kemih yang mengalami retensio adalah prioritas untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan meredakan nyeri. Keputusan mengenai transfusi trombosit profilaksis sebelum kateterisasi akan dibahas lebih lanjut.
4.3. Manajemen Hematuria dan Retensi Bekuan Darah (Clot Retention)
Jika terdapat hematuria makroskopik dengan pembentukan bekuan darah yang menyebabkan retensi, irigasi kandung kemih menjadi langkah penting.
Irigasi Manual: Menggunakan spuit Toomey atau spuit kateter berukuran besar (misalnya, 50-60 mL) dengan larutan NaCl 0.9% steril untuk menginstilasi dan kemudian mengaspirasi isi kandung kemih secara perlahan dan hati-hati. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan bekuan darah dan menjaga patensi kateter.
Irigasi Kontinu (Continuous Bladder Irrigation - CBI): Jika perdarahan aktif atau bekuan terus terbentuk, CBI melalui kateter 3-way dapat membantu menjaga kebersihan kandung kemih, mencegah pembentukan bekuan baru, dan melarutkan bekuan kecil yang sudah ada. Kecepatan irigasi disesuaikan untuk menjaga aliran urine tetap jernih atau berwarna merah muda terang.
Gambar 2. Evaluasi awal dan menejemen Gross hematuria dengan retensi clot
Agen Kimiawi untuk Pelarutan Bekuan (Chemical Thrombolysis): Apabila irigasi manual atau kontinu tidak berhasil mengatasi bekuan darah yang masif dan terorganisir, dapat dipertimbangkan instilasi agen pelarut bekuan ke dalam kandung kemih. Beberapa opsi meliputi:
Larutan hidrogen peroksida: Campuran 1 bagian 3% H₂O₂ dengan 5 bagian NaCl 0.9% (misalnya, 10 mL H₂O₂ 3% dalam 50 mL NaCl 0.9%) diinstilasi sebanyak 30-50 mL ke dalam kandung kemih dan dibiarkan selama 3-5 menit, kemudian diaspirasi. Prosedur ini dapat diulang beberapa kali.
Chymotrypsin: Sebanyak 40.000 unit chymotrypsin dilarutkan dalam 50 mL larutan natrium bikarbonat 5% diinstilasi ke dalam kandung kemih dan dibiarkan selama sekitar 30 menit sebelum diaspirasi.
Sistoskopi dan Evakuasi Bekuan (Clot Evacuation): Jika metode konservatif gagal, atau jika bekuan sangat besar dan padat sehingga tidak dapat dievakuasi melalui kateter, tindakan sistoskopi dengan evakuasi bekuan mungkin diperlukan. Prosedur ini biasanya dilakukan oleh spesialis urologi di ruang operasi dan memungkinkan visualisasi langsung sumber perdarahan serta tindakan hemostasis seperti elektrokauterisasi jika diperlukan.
Terdapat suatu hirarki intervensi untuk manajemen retensi bekuan darah, dimulai dari yang paling tidak invasif (irigasi manual) hingga yang lebih invasif (sistoskopi). Penting untuk diingat bahwa kegagalan mengevakuasi bekuan darah secara adekuat tidak hanya menyebabkan obstruksi mekanis, tetapi juga dapat memperburuk perdarahan karena produk pemecahan bekuan (fibrin degradation products) yang dihasilkan oleh aktivitas urokinase endogen memiliki efek antikoagulan alami, sehingga dapat melanggengkan perdarahan.
Tabel 2: Ringkasan Opsi Manajemen Retensi Bekuan Darah pada Pasien Trombositopenia
Metode | Deskripsi Singkat/Teknik | Pertimbangan pada Trombositopenia/Indikasi |
Kateterisasi Awal | Kateter Foley 3-way, kaliber besar (≥22 French). | Pilihan utama untuk dekompresi dan memungkinkan irigasi. |
Irigasi Manual | NaCl 0.9% steril menggunakan spuit besar (50-60 mL), instilasi dan aspirasi berulang. | Lini pertama untuk evakuasi bekuan. Lakukan dengan hati-hati untuk menghindari trauma. |
Irigasi Kontinu (CBI) | NaCl 0.9% steril melalui kateter 3-way, kecepatan disesuaikan. | Untuk hematuria aktif atau pembentukan bekuan persisten. Membantu menjaga patensi kateter. |
Agen Kimiawi (Pelarut Bekuan) | - H₂O₂: 1:5 (3% H₂O₂ : NaCl 0.9%), instilasi 30-50 mL selama 3-5 menit. <br> - Chymotrypsin: 40.000 U dalam 50 mL NaBic 5%, instilasi selama 30 menit. | Dipertimbangkan jika irigasi manual/CBI tidak efektif untuk bekuan masif. Risiko iritasi mukosa. |
Sistoskopi dengan Evakuasi Bekuan | Prosedur endoskopik untuk evakuasi bekuan secara visual dan mekanis, memungkinkan identifikasi dan koagulasi sumber perdarahan. | Indikasi jika metode konservatif gagal, bekuan sangat besar/terorganisir. Memerlukan keahlian urologi. Pertimbangkan status koagulasi dan trombosit sebelum prosedur. |
4.4. Peran Transfusi Trombosit
Keputusan untuk melakukan transfusi trombosit harus bersifat individual, dengan mempertimbangkan secara cermat antara potensi manfaat (mengurangi risiko perdarahan) dan risiko yang terkait dengan transfusi (misalnya, reaksi transfusi, alloimunisasi, transmisi infeksi).
Transfusi Profilaksis Sebelum Kateterisasi Uretra atau Prosedur Invasif Minimal:
Tidak ada konsensus absolut mengenai ambang batas trombosit untuk kateterisasi uretra. Namun, data dari prosedur pemasangan kateter vena sentral (Central Venous Catheter - CVC) menunjukkan bahwa CVC dapat dilakukan dengan aman pada pasien dengan hitung trombosit ≥20 × 10⁹/L tanpa memerlukan transfusi trombosit profilaksis. Pasien dengan hitung trombosit <20 × 10⁹/L ditemukan memiliki risiko perdarahan yang lebih tinggi selama pemasangan CVC. Meskipun kateterisasi uretra adalah prosedur yang berbeda, data ini dapat memberikan panduan umum.
Pada praktiknya, jika kateterisasi diperkirakan akan sulit (misalnya, pada pasien dengan striktur uretra atau pembesaran prostat yang signifikan) atau jika pasien memiliki trombositopenia yang sangat berat (misalnya, hitung trombosit <10-20 × 10⁹/L), transfusi trombosit profilaksis untuk mencapai target >20 × 10⁹/L atau bahkan >30 × 10⁹/L dapat dipertimbangkan setelah menimbang risiko dan manfaat.
Transfusi pada Perdarahan Aktif atau Sebelum Prosedur Berisiko Tinggi (misalnya, Sistoskopi):
Pada pasien dengan perdarahan aktif yang signifikan (misalnya, hematuria makroskopik masif yang tidak terkontrol) atau pada kondisi seperti DIC, transfusi trombosit dipertimbangkan jika hitung trombosit turun di bawah 50 × 10⁹/L.
Sebelum prosedur invasif yang lebih berisiko seperti sistoskopi dengan evakuasi bekuan atau biopsi, target hitung trombosit yang lebih tinggi (misalnya, >50 × 10⁹/L) umumnya diinginkan untuk meminimalkan risiko perdarahan intra dan pasca-prosedur.
Target Transfusi: Tujuan transfusi adalah untuk mencapai tingkat trombosit yang dianggap cukup untuk mendukung hemostasis pada situasi klinis tertentu, bukan untuk mencapai normalisasi penuh hitung trombosit.
Penting untuk diingat bahwa tidak ada satu ambang batas transfusi trombosit yang berlaku universal. Keputusan transfusi adalah penilaian klinis yang kompleks, bukan sekadar melihat angka trombosit. Transfusi trombosit yang tidak perlu akan meningkatkan risiko efek samping dan biaya perawatan. Selain itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi penyebab dasar trombositopenia jika memungkinkan, karena transfusi trombosit hanya bersifat suportif dan efeknya sementara.
Tabel 3: Panduan Singkat Transfusi Trombosit pada Pasien Dewasa dengan Trombositopenia dan Retensio Urine/Hematuria
Skenario Klinis | Target Trombosit/Ambang Transfusi yang Dipertimbangkan |
Kateterisasi uretra rutin, tanpa perdarahan aktif, perkiraan prosedur mudah | Umumnya tidak memerlukan transfusi profilaksis jika trombosit ≥20 × 10⁹/L. Pertimbangkan jika <10-20 × 10⁹/L atau jika prosedur diperkirakan sulit. |
Hematuria makroskopik persisten atau perdarahan aktif sedang-berat | Pertimbangkan transfusi jika trombosit <50 × 10⁹/L. |
Sebelum sistoskopi dengan evakuasi bekuan atau prosedur urologi invasif lainnya | Targetkan trombosit >50 × 10⁹/L. |
Trombositopenia berat (<10 × 10⁹/L) dengan risiko perdarahan spontan tinggi | Pertimbangkan transfusi profilaksis, terutama jika ada faktor risiko perdarahan lain. |
4.5. Mengatasi Penyebab Dasar dan Rujukan
Setelah stabilisasi awal dan dekompresi kandung kemih berhasil dilakukan, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi dan, jika memungkinkan, mengatasi penyebab dasar retensio urine. Ini mungkin termasuk memulai terapi alpha-blocker untuk BPH setelah kateter dilepas atau mengobati ISK dengan antibiotik yang sesuai.
Demikian pula, investigasi dan manajemen penyebab trombositopenia (misalnya, menghentikan obat yang dicurigai menyebabkan DITP, memulai terapi untuk ITP) adalah krusial dan seringkali memerlukan konsultasi dengan spesialis hematologi.
Indikasi Rujukan ke Spesialis Urologi:
Kesulitan atau kegagalan dalam pemasangan kateter uretra.
Hematuria masif atau retensi bekuan darah yang tidak teratasi dengan irigasi manual atau kontinu.
Kebutuhan untuk sistoskopi (diagnostik atau terapeutik, seperti evakuasi bekuan).
Kecurigaan adanya keganasan urologi berdasarkan temuan klinis atau pencitraan.
Retensio urine berulang atau kronis yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan penyebab dan rencana manajemen jangka panjang.
Indikasi Rujukan ke Spesialis Hematologi:
Trombositopenia berat yang penyebabnya tidak diketahui.
Trombositopenia yang tidak membaik setelah penghentian obat yang dicurigai sebagai penyebab.
Kecurigaan adanya kelainan hematologi primer (misalnya, leukemia, sindrom mielodisplasia, ITP berat).
Kasus retensio urine pada pasien dengan trombositopenia seringkali memerlukan pendekatan multidisiplin. Dokter umum memegang peran penting dalam melakukan stabilisasi awal, diagnosis presumtif, dan dekompresi kandung kemih. Namun, rujukan yang tepat waktu dan terarah ke spesialis urologi dan/atau hematologi sangat penting untuk memastikan pasien menerima manajemen definitif dan perawatan jangka panjang yang optimal.
5. Kesimpulan dan Poin Kunci untuk Praktik Sehari-hari
Penanganan pasien dengan diagnosis dan terapi Retensio Urine pada Trombositopenia memerlukan pendekatan yang hati-hati, sistematis, dan individual. Tantangan utama adalah menyeimbangkan kebutuhan dekompresi kandung kemih yang segera dengan risiko perdarahan akibat trombositopenia.
Poin-poin kunci yang perlu diingat oleh dokter umum meliputi:
Prioritaskan Stabilisasi Pasien: Lakukan penilaian ABC dan resusitasi jika diperlukan sebelum intervensi urologis.
Dekompresi Kandung Kemih yang Cepat dan Aman: Jangan menunda kateterisasi uretra pada retensio urine hanya karena adanya trombositopenia ringan hingga sedang, kecuali ada kontraindikasi spesifik atau risiko perdarahan yang sangat tinggi.
Pemilihan Kateter yang Tepat: Gunakan kateter dengan ukuran adekuat, terutama kateter 3-way kaliber besar (≥22 French) jika terdapat hematuria makroskopik atau dugaan retensi bekuan darah, untuk memfasilitasi irigasi.
Manajemen Aktif Hematuria dan Bekuan Darah: Lakukan irigasi kandung kemih (manual atau kontinu) jika diperlukan. Pertimbangkan agen kimiawi pelarut bekuan jika metode standar gagal.
Pertimbangan Cermat Transfusi Trombosit: Transfusi trombosit tidak rutin dilakukan sebelum kateterisasi. Keputusan transfusi harus didasarkan pada kondisi klinis (perdarahan aktif, risiko prosedur) dan target trombosit yang sesuai, bukan hanya angka absolut.
Identifikasi dan Atasi Penyebab Dasar: Upayakan untuk mengetahui dan menangani penyebab retensio urine dan trombositopenia.
Kenali Batasan dan Rujuk Tepat Waktu: Jangan ragu untuk merujuk ke spesialis urologi dan/atau hematologi jika kasus kompleks, tidak ada perbaikan dengan manajemen awal, atau memerlukan intervensi spesialistik.
Waspadai Tanda Bahaya: Selalu waspada terhadap tanda-tanda yang mungkin mengindikasikan kondisi serius yang mendasari, seperti keganasan.
Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai aspek-aspek diagnosis dan terapi retensio urine pada pasien dengan trombositopenia, dokter umum dapat meningkatkan kualitas perawatan pasien, mengurangi risiko komplikasi, dan memastikan bahwa pasien menerima intervensi yang paling sesuai pada waktu yang tepat. Artikel ini diharapkan dapat memberdayakan para dokter umum dalam menghadapi skenario klinis yang menantang ini.
Foster, H.E. & Dahm, P. (2018) Urinary Retention in Adults: Evaluation and Initial Management. PubMed. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30277739/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Liang, T. & Yu, X. (2025) Digging into the Cause of Drug-Induced Thrombocytopenia: A Case. PubMed Central (PMC). Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11981883/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Ather, M.H., Jafri, A.H. & Sulaiman, M.N. (2009) Management of macroscopic haematuria in the emergency. PubMed Central (PMC). Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2658267/ (Diakses: 7 Juni 2025).
DeVita, V.T., Hellman, S. & Rosenberg, S.A. (2003) Algorithm for the Management of Urinary Obstruction - Holland-Frei Cancer Medicine. NCBI Bookshelf. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK13333/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Garcia, P.H. et al. (2025) A retrospective description of blood and urine alterations in 386 male cats with urethral obstruction in Botucatu, São Paulo, Brazil. PubMed. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39737037/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Flores-Mireles, A.L. & Hooton, T.M. (2023) Complicated Urinary Tract Infections. StatPearls. NCBI Bookshelf. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK436013/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Al-Otaibi, K. et al. (2023) Hemorrhagic Cystitis: Making Rapid and Shrewd Clinical and Therapeutic Decisions. PubMed Central (PMC). Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10317550/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Bansal, D., Bhansali, A. & Kaur, P. (2022) Gross and Microscopic Hematuria. StatPearls. NCBI Bookshelf. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534213/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Jain, S. et al. (2023) Hydrogen peroxide bladder irrigation: A simple, safe and effective management option for clot retention. PubMed Central (PMC). Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10568079/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Manikandan, R. et al. (2008) Efficacy and survival associated with cystoscopy and clot evacuation for radiation or cyclophosphamide induced hemorrhagic cystitis. PubMed. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19091348/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Giani, M. et al. (2025) Transfusion of Fresh Frozen Plasma and Platelets in Critically Ill Patients. PubMed. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40074060/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Kaufman, R.M. et al. (2011) Optimal preprocedural platelet transfusion threshold for central venous catheter placement. PubMed. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21517892/ (Diakses: 7 Juni 2025).
Levi, M., Toh, C.H., Thachil, J. & Watson, H.G. (2009) Guidelines for the diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation. PubMed. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19222477/ (Diakses: 7 Juni 2025).