8 Dec 2025 • Obgyn
Solusio plasenta, atau abruptio placentae, merupakan suatu kedaruratan obstetri yang ditandai oleh separasi prematur plasenta dari dinding uterus sebelum kala dua persalinan. Kondisi ini bukan merupakan peristiwa acak, melainkan puncak dari suatu proses patologis yang seringkali telah berlangsung lama, berakar pada disfungsi vaskular pada antarmuka uteroplasenta.
Studi menunjukkan bahwa wanita yang mengalami solusio plasenta memiliki fungsi vaskular yang terganggu, ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular dan penurunan perfusi plasenta. Patofisiologi ini menempatkan kondisi seperti hipertensi kronis dan preeklamsia sebagai faktor risiko utama, karena keduanya secara inheren menyebabkan kerusakan vaskular. Faktor risiko lainnya yang signifikan termasuk riwayat solusio plasenta pada kehamilan sebelumnya (yang meningkatkan risiko hingga 10 kali lipat), trauma abdomen, serta penggunaan tembakau.
Pemahaman bahwa solusio plasenta seringkali merupakan manifestasi akut dari suatu kondisi kronis yang mendasari adalah krusial bagi praktisi lini depan. Hal ini menggarisbawahi pentingnya kewaspadaan yang tinggi pada pasien dengan faktor-faktor risiko tersebut.
Penekanan pada "penurunan perfusi plasenta" sebagai mekanisme dasar mengindikasikan bahwa plasenta pada pasien-pasien ini sudah berada dalam kondisi 'rapuh' atau terkompromi bahkan sebelum terjadinya abrupsi yang nyata secara klinis. Insiden pemicu, yaitu rupturnya pembuluh darah maternal di dalam desidua basalis, memulai kaskade perdarahan yang membentuk hematoma retroplasenta dan memicu separasi lebih lanjut.

Setelah perdarahan inisial terjadi di dalam lapisan desidua, sebuah kaskade biokimia yang dimediasi oleh trombin menjadi pendorong utama progresi solusio plasenta dari insiden vaskular lokal menjadi krisis feto-maternal sistemik. Ruptur pembuluh darah desidua menyebabkan pelepasan masif tissue factor dari sel-sel desidua, yang merupakan pemicu poten bagi jalur koagulasi ekstrinsik dan menghasilkan trombin dalam jumlah yang sangat besar.
Trombin yang berlebihan ini memiliki efek pleiotropik yang dahsyat. Pertama, trombin adalah stimulan miometrium yang sangat kuat, menyebabkan kontraksi uterus yang intens, seringkali tidak terkoordinasi, dan berkelanjutan (tetanik). Inilah mekanisme yang mendasari temuan klinis klasik berupa uterus yang teraba sangat keras seperti papan (woody hard atau board-like consistency) dan nyeri perut hebat yang dirasakan pasien. Kedua, trombin memicu respons inflamasi yang signifikan. Ketiga, dan yang paling mengancam jiwa ibu, adalah jika trombin dalam jumlah besar ini berhasil masuk ke dalam sirkulasi maternal.
Hal ini dapat memicu koagulopati konsumtif atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), di mana faktor-faktor pembekuan dan trombosit dikonsumsi secara masif di seluruh tubuh, menyebabkan perdarahan yang tidak terkontrol.
Gambar 1. Prematuritas akibat perdarahan desidua

Dengan demikian, trombin adalah "mesin" patologis yang menghubungkan perdarahan awal dengan dua manifestasi klinis utama: nyeri hebat akibat hipertonus uterus dan risiko perdarahan maternal katastrofik akibat DIC. Ini menjelaskan mengapa kondisi ibu dapat memburuk dengan sangat cepat, bahkan pada kasus concealed hemorrhage di mana perdarahan pervaginam minimal atau tidak ada sama sekali karena darah terperangkap di belakang plasenta.
Tatalaksana karenanya tidak bisa hanya berfokus pada penggantian volume darah, tetapi harus secara proaktif mengantisipasi dan mengelola koagulopati yang mengancam. Ini merupakan pergeseran paradigma dari sekadar "menghentikan perdarahan" menjadi "mengelola kaskade kegagalan sistemik".
Gawat janin atau fetal distress pada solusio plasenta merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan fungsi plasenta sebagai organ pertukaran gas. Hipoksia fetal terjadi melalui dua mekanisme utama yang saling memperkuat, menciptakan serangan ganda terhadap suplai oksigen janin.
Mekanisme pertama adalah pengurangan area permukaan plasenta yang fungsional. Separasi fisik plasenta dari dinding uterus secara langsung mengurangi luas area yang tersedia untuk difusi oksigen dan nutrisi dari ibu ke janin, serta pembuangan karbondioksida dan produk sisa metabolik dari janin ke ibu. Semakin luas area plasenta yang terlepas, semakin berat derajat hipoksia yang dialami janin.
Mekanisme kedua adalah kompresi ruang intervillous. Hematoma retroplasenta yang terus membesar memberikan tekanan mekanis pada jaringan plasenta di sekitarnya. Ditambah lagi dengan kontraksi uterus yang tetanik (hipertonus) akibat stimulasi trombin, tekanan di dalam ruang intervillous meningkat drastis. Peningkatan tekanan ini secara efektif menekan dan menghambat aliran darah maternal ke dalam ruang tersebut, lebih lanjut mengurangi pengiriman oksigen ke vili korionik yang masih menempel.
Gambar 2. Fisiologi Otak Fetus saat terjad hipoksia

Kombinasi dari hilangnya area pertukaran gas dan kompresi sirkulasi pada area yang tersisa ini menciptakan suatu kondisi insufisiensi uteroplasenta akut dan berat. Inilah inti dari fetal distress pada solusio plasenta. Ini mengubah persepsi dari sekadar "masalah perdarahan" menjadi "masalah kegagalan organ akut" pada janin, yang menjelaskan mengapa status janin dapat memburuk secara dramatis dalam hitungan menit.
Menghadapi penurunan suplai oksigen yang mendadak dan berat, janin yang matur memiliki serangkaian respons pertahanan fisiologis yang canggih untuk bertahan hidup. Respons ini dimediasi terutama oleh kemoreseptor di badan karotis dan aorta, yang mendeteksi penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah.
Respons kompensatorik awal bertujuan untuk mengurangi konsumsi oksigen dan memprioritaskan distribusi oksigen ke organ-organ paling vital. Janin akan menghentikan gerakan napas dan aktivitas motorik lainnya yang tidak esensial. Secara kardiovaskular, terjadi penurunan denyut jantung janin (DJJ), atau bradikardia, yang berfungsi mengurangi kerja dan konsumsi oksigen miokardium. Secara bersamaan, terjadi vasokonstriksi perifer yang masif, yang mengalihkan aliran darah dari organ-organ yang kurang krusial seperti usus, ginjal, dan ekstremitas, menuju tiga sirkulasi vital: otak, kelenjar adrenal, dan jantung itu sendiri. Fenomena ini dikenal sebagai efek brain sparing.
Namun, mekanisme kompensasi ini memiliki batas. Jika episode hipoksia berat dan berkelanjutan, seperti yang terjadi pada solusio plasenta yang progresif, janin akan memasuki fase dekompensasi. Cadangan energi miokardium akan habis, dan jantung tidak lagi mampu mempertahankan curah jantung yang adekuat. Metabolisme seluler beralih dari aerobik ke anaerobik, menghasilkan akumulasi asam laktat dan menyebabkan asidosis metabolik yang parah. Asidosis ini merusak fungsi enzim seluler, mengganggu kontraktilitas jantung, dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan otak hipoksik-iskemik (HIE), cedera organ multipel, dan kematian janin.
Pemahaman terhadap kaskade respons ini memberikan dasar ilmiah di balik interpretasi kardiotokografi (CTG). Bradikardia awal mungkin merupakan respons kompensatorik, tetapi bradikardia yang persisten atau disertai hilangnya variabilitas adalah tanda dekompensasi miokardial dan asidosis berat, yang menandakan bahwa jendela untuk intervensi yang efektif menyempit dengan cepat.
Diagnosis solusio plasenta secara fundamental adalah diagnosis klinis, yang seringkali dibuat di bawah tekanan waktu dan dengan informasi yang tidak lengkap. Secara klasik, diagnosis didasarkan pada trias klinis: perdarahan pervaginam, nyeri perut atau punggung, dan nyeri tekan uterus (uterine tenderness). Perdarahan pervaginam, yang seringkali berwarna merah gelap, terjadi pada sekitar 80% kasus.
Nyeri perut digambarkan sebagai nyeri yang tajam, konstan, dan memberat, berbeda dari nyeri kontraksi persalinan yang intermiten. Pada pemeriksaan fisik, uterus dapat teraba tegang, iritabel, dan sangat nyeri saat dipalpasi. Pada kasus yang berat, uterus dapat menjadi sekeras papan (board-like) akibat hipertonus dan infiltrasi darah ke dalam miometrium (uterus Couvelaire).
Namun, ketergantungan mutlak pada trias klasik ini sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis yang fatal. Jebakan diagnostik utama adalah concealed hemorrhage (perdarahan tersembunyi), yang terjadi pada sekitar 20% kasus. Pada kondisi ini, darah terperangkap sepenuhnya di belakang plasenta, sehingga tidak ada atau hanya sedikit perdarahan pervaginam yang terlihat.
Pasien mungkin datang dengan keluhan nyeri perut hebat, tanda-tanda syok hipovolemik (takikardia, hipotensi) yang tidak sebanding dengan perdarahan eksternal, dan gawat janin pada CTG, tanpa adanya perdarahan yang jelas. Oleh karena itu, prinsip utama yang harus dipegang adalah: absence of vaginal bleeding does not rule out placental abruption.
Setiap keluhan nyeri perut yang signifikan dan tidak dapat dijelaskan pada kehamilan trimester kedua atau ketiga, terutama jika disertai uterus yang iritabel, harus meningkatkan kecurigaan tinggi terhadap solusio plasenta sampai terbukti sebaliknya. Diagnosis definitif seringkali bersifat retrospektif, yaitu ketika bekuan darah retroplasenta yang terorganisir ditemukan pada plasenta setelah persalinan.
Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas pencitraan lini pertama yang sering digunakan dalam evaluasi perdarahan trimester ketiga. Pada kasus solusio plasenta, USG dapat membantu dengan mengidentifikasi adanya hematoma retroplasenta, yang terlihat sebagai area hipoekoik, isoekoik, atau hiperekoik (tergantung pada usia perdarahan) di antara plasenta dan dinding uterus.
Namun, sangat penting untuk memahami keterbatasan signifikan dari USG dalam konteks ini. Sensitivitas USG untuk mendeteksi solusio plasenta dilaporkan rendah, berkisar antara 25% hingga 50%. Artinya, lebih dari separuh kasus solusio plasenta mungkin tidak terdeteksi oleh USG. Kegagalan deteksi ini dapat terjadi karena beberapa alasan: perdarahan mungkin bersifat isoekoik dengan plasenta di sekitarnya, bekuan darah mungkin terlalu kecil untuk divisualisasikan, atau perdarahan mungkin telah terdekompresi melalui serviks.
Konsekuensi klinis dari keterbatasan ini sangat besar. Hasil USG yang normal sama sekali tidak dapat menyingkirkan diagnosis solusio plasenta. Keputusan klinis untuk intervensi tidak boleh ditunda hanya karena USG tidak menunjukkan adanya hematoma. Diagnosis solusio plasenta tetap merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik, dan yang terpenting, penilaian kondisi janin melalui CTG. Peran USG lebih sebagai alat untuk mengkonfirmasi kecurigaan klinis jika ditemukan hasil positif dan untuk menyingkirkan diagnosis banding lain seperti plasenta previa, di mana pemeriksaan dalam merupakan kontraindikasi absolut.
Dalam skenario dugaan solusio plasenta, kardiotokografi (CTG) adalah alat diagnostik tunggal yang paling penting dan paling sensitif untuk menilai kesejahteraan janin secara real-time. CTG berfungsi sebagai jendela langsung menuju status oksigenasi dan hemodinamik janin, merefleksikan dampak dari insufisiensi uteroplasenta yang sedang berlangsung. Pola CTG yang non-reassuring merupakan prediktor kuat untuk hasil perinatal yang buruk, terutama asidemia fetal (pH arteri umbilikalis < 7.0). Oleh karena itu, kemampuan untuk mengenali dan menginterpretasikan pola CTG patologis secara akurat adalah keterampilan yang krusial.
Patofisiologi solusio plasenta secara langsung tercermin dalam temuan CTG. Aktivitas trombin yang berlebihan menyebabkan hiperstimulasi uterus, yang pada rekaman tokogram terlihat sebagai kontraksi yang sangat sering (takipolisistol, didefinisikan sebagai >5 kontraksi dalam 10 menit) atau peningkatan tonus basal uterus (hipertonus). Kondisi ini mengurangi waktu relaksasi uterus, menghambat pengisian darah ke ruang intervillous, dan memperburuk hipoksia janin.
Penurunan perfusi oksigen akibat separasi plasenta dan kompresi ruang intervillous menyebabkan insufisiensi uteroplasenta, yang pada CTG bermanifestasi sebagai deselerasi lambat (late decelerations). Ini adalah penurunan DJJ yang gradual dan berulang, di mana titik nadir deselerasi terjadi setelah puncak kontraksi, menandakan bahwa janin tidak dapat mentoleransi stres akibat kontraksi. Deselerasi lambat merupakan tanda bahaya yang signifikan dan prediktor kuat asidemia fetal.
Respons janin terhadap hipoksia akut yang mendadak dan berat seringkali berupa deselerasi berkepanjangan (prolonged deceleration), yaitu penurunan DJJ di bawah baseline selama lebih dari 2-3 menit tetapi kurang dari 10 menit. Jika hipoksia berlanjut dan miokardium janin mulai mengalami dekompensasi, ini akan bermanifestasi sebagai bradikardia, yaitu DJJ baseline <110 bpm yang berlangsung lebih dari 10 menit. Bradikardia adalah tanda yang paling mengkhawatirkan dan merupakan prediktor paling signifikan untuk asidemia fetal berat pada kasus solusio plasenta, dengan odds ratio mencapai 50.34.
Ketika asidosis metabolik terjadi dan menekan sistem saraf pusat janin, variabilitas DJJ akan menurun dan akhirnya menghilang. Hilangnya variabilitas (amplitudo <5 bpm) adalah tanda pre-terminal yang menunjukkan bahwa janin telah kehabisan cadangan kompensasinya. Pola lain yang sangat patologis Adalah pola sinusoidal, yaitu pola gelombang sinus yang halus dan teratur dengan frekuensi 3-5 siklus per menit. Pola ini sering dikaitkan dengan anemia janin berat (akibat kehilangan darah janin ke dalam hematoma atau ke sirkulasi ibu) atau hipoksia berat, dan memerlukan intervensi segera.
Kombinasi dari temuan-temuan ini—misalnya, bradikardia dengan hilangnya variabilitas—merupakan gambaran CTG Kategori III yang menandakan kondisi terminal dan menuntut persalinan darurat tanpa penundaan.
Tabel 1: Interpretasi Pola CTG Patologis pada Solusio Plasenta dan Implikasi Klinisnya |
Pola CTG |
Takipolisistol / Hipertonus |
Deselerasi Lambat (Late Decelerations) |
Deselerasi Berkepanjangan (Prolonged Deceleration) |
Bradikardia |
Hilangnya Variabilitas |
Pola Sinusoidal |
Saat kecurigaan klinis terhadap solusio plasenta muncul, evaluasi laboratorium yang cepat dan komprehensif sangat penting untuk menilai tingkat keparahan dampak sistemik pada ibu, terutama untuk mendeteksi kehilangan darah dan koagulopati yang sedang berkembang. Pemeriksaan yang harus segera dilakukan meliputi:
Hitung Darah Lengkap (CBC): Untuk menilai kadar hemoglobin dan hematokrit sebagai indikator kehilangan darah dan menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah (PRC). Trombositopenia juga dapat menjadi bagian dari DIC.
Golongan Darah dan Rhesus (Rh): Esensial untuk persiapan transfusi darah. Jika ibu Rh-negatif, penentuan status ini sangat penting untuk administrasi Rho(D) imunoglobulin pasca-persalinan.
Profil Koagulasi: Ini adalah komponen paling kritis. Pemeriksaan harus mencakup waktu protrombin (PT), waktu tromboplastin parsial teraktivasi (aPTT), dan kadar fibrinogen. Kadar fibrinogen adalah penanda yang paling sensitif untuk koagulopati konsumtif pada solusio plasenta. Kadar fibrinogen <200 mg/dL pada kehamilan dianggap sangat abnormal dan merupakan tanda bahaya DIC yang akan datang. Penurunan kadar fibrinogen seringkali mendahului kelainan pada PT dan aPTT.
Tes Kleihauer-Betke (KB test): Tes ini mendeteksi dan mengukur persentase sel darah merah janin dalam sirkulasi ibu. Tes ini memiliki dua tujuan utama: pertama, pada ibu Rh-negatif, hasil tes KB dapat membantu menentukan dosis Rho(D) imunoglobulin yang adekuat untuk mencegah sensitisasi. Kedua, perdarahan feto-maternal yang masif dapat menyebabkan anemia berat pada janin, yang mungkin menjelaskan pola CTG sinusoidal atau hilangnya variabilitas, dan mengindikasikan kebutuhan akan transfusi pada neonatus setelah lahir.
Sintesis data dari temuan klinis, CTG, dan laboratorium memberikan gambaran keparahan yang jauh lebih jelas daripada masing-masing komponen secara terpisah. Sebagai contoh, seorang pasien dengan uterus yang teraba keras (temuan klinis), CTG yang menunjukkan deselerasi lambat (temuan CTG), dan hasil laboratorium yang menunjukkan hipofibrinogenemia (temuan lab) secara koheren menunjukkan adanya solusio plasenta yang parah (Kelas 2 atau 3).
Kombinasi ini menandakan aktivitas trombin yang masif yang telah menyebabkan insufisiensi plasenta berat dan koagulopati konsumtif, sehingga menuntut tindakan tatalaksana yang paling agresif dan mobilisasi tim multidisiplin.
Prinsip fundamental dan tak tergoyahkan dalam manajemen setiap kedaruratan obstetri, termasuk solusio plasenta, adalah bahwa resusitasi dan stabilisasi ibu merupakan prioritas absolut. Janin yang terancam tidak dapat diselamatkan jika ibunya berada dalam kondisi syok atau tidak stabil. Upaya untuk menyelamatkan janin dengan mengorbankan stabilisasi ibu adalah pendekatan yang keliru dan berbahaya.
Tatalaksana yang efektif menuntut pendekatan tim yang terkoordinasi di mana penilaian dan stabilisasi ibu, pemantauan janin, serta persiapan untuk persalinan darurat harus berjalan secara simultan, bukan berurutan. Langkah-langkah resusitasi maternal harus segera dimulai begitu kecurigaan solusio plasenta muncul:
Akses Vaskular: Segera pasang dua jalur intravena (IV) berkaliber besar (misalnya, 16-gauge atau 18-gauge) untuk memungkinkan resusitasi cairan dan transfusi produk darah yang cepat.
Resusitasi Cairan: Mulai resusitasi cairan agresif dengan larutan kristaloid isotonik (misalnya, Ringer Laktat atau NaCl 0.9%) untuk mengatasi hipovolemia.
Pengambilan Sampel Darah: Saat memasang jalur IV, segera ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium yang telah dibahas sebelumnya (CBC, golongan darah, profil koagulasi).
Persiapan Transfusi: Segera hubungi bank darah untuk menyiapkan produk darah, termasuk sel darah merah (PRC), plasma beku segar (FFP), trombosit, dan kriopresipitat, terutama jika ada tanda-tanda syok, perdarahan berat, atau koagulopati.
Oksigenasi: Berikan oksigen aliran tinggi melalui sungkup muka untuk memaksimalkan saturasi oksigen maternal dan pengiriman oksigen ke janin.
Pemantauan Ketat: Pantau tanda-tanda vital ibu (tekanan darah, laju nadi, laju pernapasan, saturasi oksigen) dan output urin secara terus-menerus.
Pada kasus di mana ibu tidak stabil secara hemodinamik, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea (SC) darurat, terlepas dari apakah janin masih hidup atau sudah meninggal. Hal ini karena persalinan pervaginam yang lama dapat memperburuk kondisi ibu yang sudah kritis.
Setelah langkah-langkah stabilisasi awal dimulai, keputusan tatalaksana definitif harus dibuat dengan cepat. Pilihan manajemen berkisar dari manajemen ekspektatif hingga persalinan segera. Keputusan ini didasarkan pada tiga variabel kritis: usia kehamilan, stabilitas hemodinamik ibu, dan status janin pada pemantauan CTG.
Manajemen Ekspektatif merupakan pilihan yang sangat terbatas dan hanya dapat dipertimbangkan dalam kondisi yang sangat spesifik:
Kasus Sangat Ringan: Solusio plasenta Kelas 1, di mana perdarahan minimal, uterus tidak iritabel, dan ibu stabil secara hemodinamik.
Janin Preterm: Usia kehamilan jauh dari aterm, biasanya <34 minggu, di mana risiko morbiditas akibat prematuritas sangat tinggi.
Status Janin Reassuring: Rekaman CTG harus benar-benar normal (Kategori I) tanpa tanda-tanda gawat janin.
Fasilitas Memadai: Pasien harus dirawat di rumah sakit tersier dengan kemampuan pemantauan feto-maternal berkelanjutan, serta akses segera ke ruang operasi dan unit perawatan intensif neonatal (NICU) 24/7.
Jika manajemen ekspektatif dipilih, pemberian kortikosteroid antenatal (misalnya, betametason atau deksametason) untuk akselerasi pematangan paru janin sangat diindikasikan jika usia kehamilan antara 24 hingga 34 minggu.
Persalinan Segera adalah strategi tatalaksana yang paling umum dan diindikasikan pada sebagian besar kasus solusio plasenta, termasuk:
Setiap Kasus di Dekat atau Cukup Bulan: Jika usia kehamilan ≥37 minggu, persalinan harus segera dilakukan karena paru-paru janin sudah matang dan risiko melanjutkan kehamilan jauh lebih besar daripada risiko persalinan. Banyak ahli juga merekomendasikan persalinan untuk usia kehamilan ≥34 minggu.
Gawat Janin: Adanya pola CTG yang non-reassuring (Kategori II yang memburuk atau Kategori III) pada usia kehamilan berapa pun adalah indikasi absolut untuk persalinan segera.
Ketidakstabilan Ibu: Perdarahan yang signifikan, tanda-tanda syok, atau koagulopati pada ibu memerlukan persalinan segera, terlepas dari usia kehamilan atau status janin.
Diagram alur berikut merangkum proses pengambilan keputusan ini.
Tabel 2: Algoritma Tatalaksana Solusio Plasenta Berdasarkan Status Feto-Maternal dan Usia Kehamilan |
Dugaan Solusio Plasenta |
↓ |
Lakukan Penilaian & Resusitasi Simultan: - Stabilisasi Maternal (ABC, 2 IV line, Cairan, Oksigen, Ambil Darah) - Pasang CTG Kontinu untuk Penilaian Janin |
↓ |
Evaluasi Status Feto-Maternal: |
Jalur 1: Ibu TIDAK Stabil ATAU Janin menunjukkan Gawat Janin (CTG Kategori II/III) |
↓ |
PERSALINAN SEGERA (EMERGENCY) (Terlepas dari Usia Kehamilan) Metode Pilihan: Sectio Caesarea Darurat 3 |
Jalur 2: Ibu Stabil DAN Status Janin Reassuring (CTG Kategori I) |
↓ |
Evaluasi Usia Kehamilan: |
Jika Usia Kehamilan ≥37 minggu (atau ≥34-36 minggu sesuai kebijakan institusi): |
↓ |
Lakukan Persalinan Metode: Induksi persalinan jika serviks matang dan tidak ada kontraindikasi. Pertimbangkan SC jika induksi gagal atau diperkirakan lama. 3 |
Jika Usia Kehamilan <34 minggu: |
↓ |
Manajemen Ekspektatif di Rumah Sakit - Rawat Inap dengan Pemantauan Feto-Maternal Ketat - Berikan Kortikosteroid Antenatal - Siapkan untuk persalinan jika kondisi ibu atau janin memburuk. 1 |
Ketika keputusan untuk persalinan segera telah dibuat karena adanya gawat janin, pilihan metode persalinan bukanlah perdebatan akademis antara "SC vs Pervaginam", melainkan sebuah keputusan pragmatis yang didasarkan pada satu faktor utama: kecepatan. Dalam konteks gawat janin akibat solusio plasenta, jalan tercepat untuk melahirkan bayi hampir selalu merupakan jalan yang paling benar.
Sectio Caesarea (SC) Darurat adalah metode persalinan pilihan pada hampir semua kasus solusio plasenta dengan janin yang hidup dan menunjukkan tanda-tanda gawat janin. Tujuannya adalah untuk Meminimalkan decision-to-delivery interval (DDI), yaitu waktu dari keputusan untuk melahirkan hingga bayi benar-benar lahir. Studi menunjukkan bahwa setiap menit sangat berharga; DDI 20 menit dibandingkan dengan 30 menit secara signifikan mengurangi kemungkinan hasil perinatal yang buruk (odds ratio 0.44). Penundaan, bahkan hanya beberapa menit, dapat menjadi pembeda antara bayi yang lahir sehat dan bayi dengan kerusakan neurologis permanen.
Persalinan Pervaginam dapat dipertimbangkan hanya dalam dua skenario utama:
Jika persalinan sudah dalam fase sangat lanjut dan kelahiran pervaginam diperkirakan akan terjadi dalam waktu yang sangat singkat, lebih cepat daripada persiapan dan pelaksanaan SC darurat.
Jika janin telah meninggal (intrauterine fetal demise, IUFD) dan kondisi ibu stabil serta tidak ada koagulopati berat. Dalam situasi ini, persalinan pervaginam lebih diutamakan untuk menghindari morbiditas akibat operasi besar pada ibu. Namun, jika ibu tidak stabil, perdarahan terus berlanjut, atau persalinan tidak maju, SC tetap menjadi pilihan bahkan pada kasus IUFD.
Pada pasien dengan riwayat SC sebelumnya, upaya persalinan pervaginam harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Gejala solusio plasenta (nyeri, perdarahan, perubahan CTG) dapat sangat mirip dengan gejala ruptur uteri, sehingga sulit untuk dibedakan. Di fasilitas dengan pemantauan dan akses SC darurat yang terbatas, SC elektif berulang mungkin merupakan pilihan yang lebih aman.
Tatalaksana solusio plasenta tidak berakhir saat bayi lahir. Tim medis harus siap untuk menghadapi "babak kedua" dari keadaan darurat ini, yang melibatkan manajemen komplikasi pada ibu dan resusitasi neonatus.
Komplikasi Maternal: Risiko utama pasca-persalinan adalah perdarahan pasca-persalinan (PPH). Risiko ini meningkat karena dua faktor: atonia uteri dan koagulopati. Uterus yang terinfiltrasi darah (uterus Couvelaire) dan terpapar produk degradasi fibrin mungkin tidak dapat berkontraksi secara efektif setelah plasenta lahir. Ditambah dengan koagulopati konsumtif yang mungkin sudah ada, ini menciptakan resep untuk perdarahan masif. Manajemen PPH harus agresif, meliputi pijatan uterus, uterotonika (oksitosin, metilergometrin, misoprostol), dan jika perlu, prosedur bedah seperti ligasi arteri uterina atau histerektomi sebagai tindakan penyelamatan jiwa. Manajemen koagulopati dengan komponen darah (FFP, kriopresipitat, trombosit) juga krusial.
Komplikasi Neonatal: Bayi yang lahir dari kehamilan dengan solusio plasenta berat berisiko sangat tinggi mengalami berbagai komplikasi. Kehadiran tim resusitasi neonatal yang kompeten saat persalinan adalah wajib. Komplikasi yang harus diantisipasi meliputi:
Asfiksia Perinatal: Memerlukan resusitasi segera sesuai pedoman resusitasi neonatal.
Ensefalopati Hipoksik-Iskemik (HIE): Bayi yang memenuhi kriteria mungkin menjadi kandidat untuk terapi hipotermia.
Syok Hipovolemik dan Anemia: Akibat kehilangan darah ke dalam hematoma atau sirkulasi ibu, mungkin memerlukan resusitasi cairan dan transfusi darah.
Disfungsi Koagulasi: Bayi baru lahir juga dapat mengalami koagulopati akibat paparan tissue factor dan produk degradasi fibrin, yang meningkatkan risiko perdarahan intrakranial.
Oleh karena itu, persalinan idealnya dilakukan di pusat rujukan yang memiliki fasilitas NICU.
Solusio plasenta dengan gawat janin merupakan salah satu kedaruratan paling berbahaya dalam obstetri, mengancam nyawa ibu dan janin secara bersamaan. Tatalaksana yang berhasil bergantung pada pemahaman yang mendalam tentang patofisiologinya—sebuah krisis vaskular dan koagulasi yang berpuncak pada hipoksia fetal akut.
Diagnosisnya menuntut tingkat kewaspadaan klinis yang tinggi, dengan kesadaran bahwa tanda-tanda klasik bisa menyesatkan dan USG memiliki keterbatasan signifikan. Kardiotokografi (CTG) berdiri sebagai pilar utama dalam pemantauan janin, di mana pola seperti bradikardia dan deselerasi lambat merupakan tanda bahaya yang harus segera ditindaklanjuti.
Strategi manajemen yang efektif berpusat pada prinsip stabilisasi maternal sebagai prioritas utama, diikuti oleh pengambilan keputusan yang cepat dan tegas mengenai waktu dan metode persalinan. Pada kasus dengan gawat janin, persalinan melalui seksio sesarea darurat adalah metode pilihan untuk meminimalkan waktu menuju penyelamatan janin.
Pendekatan berbasis tim yang terkoordinasi, di mana resusitasi, diagnosis, dan persiapan untuk intervensi definitif berjalan secara paralel, adalah kunci untuk mengoptimalkan hasil akhir bagi ibu dan bayi. Bagi praktisi di lini depan, kemampuan untuk mengenali kondisi ini secara cepat, memulai stabilisasi awal, dan merujuk atau bertindak secara tepat waktu adalah penentu utama antara kehidupan dan kematian.
Placental Abruption: A Review - Number Analytics (n.d.) Number Analytics Blog. Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://www.numberanalytics.com/blog/placental-abruption-review-pathophysiology-diagnosis-management
Placental Abruption - StatPearls (n.d.) NCBI Bookshelf. Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482335/
Antepartum Haemorrhage (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3263934/
Placental Abruption at Near-Term and Term Gestations (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10176440/
Abruption-associated prematurity (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3175371/
Interventions for treating placental abruption (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8711592/
Coagulation function and placental pathology in neonates with placental abruption (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6957995/
Maternal, Labor, Delivery, and Perinatal Outcomes Associated with Placental Abruption: A Systematic Review (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5683164/
The fetal brain sparing response to hypoxia: physiological mechanisms (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4721497/
Optimizing the management of acute, prolonged decelerations and fetal bradycardia based on the understanding of fetal pathophysiology (n.d.) PubMed. Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37270260/
Prediction of fetal acidemia in placental abruption (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3735466/
The correlation of intraoperative findings and foetal outcome in cases taken for caesarean section based on non-reassuring cardiotocographic changes – A review article (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9810911/
Pregnancy Trauma - StatPearls (n.d.) NCBI Bookshelf. Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430926/
Labor management and neonatal outcomes in cardiotocography categories II and III (Review) (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11019468/
Cardiotocographic findings in abruptio placentae (n.d.) PubMed. Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/3781073/
A comparative study of CTG monitoring one hour before labor in infants born with and without asphyxia (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10601321/
Mode of delivery in placental abruption: A case report on difficulty in management (n.d.) PubMed Central (PMC). Diakses 19 Juli 2025. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC12143720/