5 Jul 2025 • pediatri , THT
1. Pendahuluan: Memahami Lanskap Tonsilofaringitis Akut pada Anak
Tonsilofaringitis akut, yang didefinisikan sebagai inflamasi pada faring dan/atau tonsil, merupakan salah satu alasan paling umum mengapa anak-anak dibawa ke fasilitas layanan kesehatan primer. Kondisi ini mencakup sekitar 1.3% dari total kunjungan rawat jalan.
Data dari Amerika Serikat pada tahun 2010 menunjukkan lebih dari 1.8 juta kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) disebabkan oleh faringitis, dengan lebih dari 690.000 kasus terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun. Prevalensi yang tinggi ini menekankan pentingnya pemahaman mendalam mengenai diagnosis dan tatalaksana kondisi ini bagi dokter umum.
Etiologi tonsilofaringitis akut sangat beragam. Mayoritas kasus, sekitar 50% hingga 80%, disebabkan oleh infeksi virus. Berbagai jenis virus pernapasan seperti Rhinovirus, Influenza, Adenovirus, Coronavirus, Parainfluenza, dan Respiratory Syncytial Virus (RSV) sering menjadi penyebabnya.
Virus lain seperti Coxsackievirus, Echovirus, Herpes Simplex Virus (HSV), dan Epstein-Barr Virus (EBV) – penyebab mononukleosis infeksiosa – juga dapat menyebabkan faringitis akut.
Di antara penyebab bakteri, Streptococcus pyogenes, atau Group A Beta-hemolytic Streptococcus (GABHS), merupakan patogen yang paling signifikan secara klinis. GABHS bertanggung jawab atas sekitar 15% hingga 30% kasus tonsilofaringitis akut pada anak-anak usia sekolah.
Identifikasi dan terapi GABHS menjadi krusial karena potensinya menyebabkan komplikasi serius, baik supuratif (seperti abses peritonsil, otitis media, sinusitis, mastoiditis) maupun non-supuratif (seperti Demam Rematik Akut/ARF dan Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus/APSGN).
Mengingat nyeri tenggorokan hebat sering menjadi keluhan utama yang mengganggu kualitas hidup anak, terutama pada kasus dengan inflamasi yang signifikan, terapi adjuvan untuk meredakan gejala telah menjadi area penelitian. Kortikosteroid, khususnya deksametason, dengan sifat anti-inflamasinya yang kuat, telah diteliti potensinya dalam manajemen simtomatik tonsilofaringitis akut.
Tingginya prevalensi kasus viral dan tekanan untuk meredakan gejala dengan cepat seringkali berkontribusi pada peresepan antibiotik yang tidak perlu. Oleh karena itu, manajemen nyeri yang efektif, mungkin termasuk penggunaan deksametason secara selektif, dapat menjadi strategi penting untuk meningkatkan kenyamanan pasien dan mendukung penggunaan antibiotik yang rasional.
Artikel ini bertujuan mengulas aspek diagnosis dan terapi tonsilofaringitis akut pada anak, dengan fokus khusus pada bukti ilmiah terkini (berbasis studi terindeks PubMed) mengenai penggunaan deksametason injeksi sebagai terapi adjuvan, yang relevan bagi praktik dokter umum.
2. Diagnosis Tepat Kunci Terapi Efektif Tonsilofaringitis Akut pada Anak
Menegakkan diagnosis yang akurat merupakan langkah fundamental dalam tatalaksana tonsilofaringitis akut pada anak. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat adalah titik awal.
Presentasi klinis klasik GABHS biasanya meliputi onset gejala yang mendadak, nyeri tenggorokan, demam (seringkali >38°C), adanya eksudat pada tonsil, pembesaran dan nyeri tekan kelenjar getah bening servikal anterior, serta yang penting, tidak adanya gejala infeksi virus saluran napas atas seperti batuk, pilek (rhinorrhea), konjungtivitis, atau suara serak.
Sebaliknya, faringitis viral seringkali disertai satu atau lebih gejala tersebut. Infeksi EBV (mononukleosis infeksiosa) dapat menyerupai GABHS dengan demam, nyeri tenggorokan, dan eksudat, namun seringkali disertai kelelahan (fatigue) yang nyata, limfadenopati generalisata, dan terkadang splenomegali.
Gambar 1. Foto klinis tonsilitis
Untuk membantu stratifikasi risiko GABHS berdasarkan temuan klinis, beberapa sistem skor telah dikembangkan, yang paling terkenal adalah Skor Centor dan modifikasinya oleh McIsaac. Skor Centor memberikan poin untuk adanya riwayat demam, eksudat tonsil, limfadenopati servikal anterior yang nyeri tekan, dan tidak adanya batuk.
Skor McIsaac memodifikasi skor Centor dengan menambahkan poin untuk usia 3-14 tahun (karena insiden GABHS lebih tinggi pada kelompok usia ini) dan mengurangi poin untuk usia ≥45 tahun. Secara umum, skor 0-1 dianggap berisiko rendah GABHS, skor 2-3 berisiko sedang (memerlukan pengujian lebih lanjut), dan skor 4 atau lebih berisiko tinggi.
Namun, penting untuk disadari bahwa gejala klinis GABHS dan faringitis viral seringkali tumpang tindih secara signifikan. Oleh karena itu, diagnosis yang hanya berdasarkan gambaran klinis, termasuk skor Centor/McIsaac, tidak cukup andal untuk memastikan atau menyingkirkan infeksi GABHS. Validitas dan utilitas skor ini pada populasi anak, terutama anak usia dini, masih menjadi perdebatan.
Meskipun beberapa studi validasi skala besar menunjukkan kemampuannya dalam stratifikasi risiko , studi lain, termasuk yang dilakukan pada anak-anak, menemukan bahwa skor ini memiliki nilai prediktif yang terbatas atau tidak efektif dalam memprediksi hasil kultur GABHS positif pada populasi pediatrik.
Perlu diingat bahwa skor Centor awalnya dikembangkan dan divalidasi pada orang dewasa. Dengan demikian, skor klinis sebaiknya digunakan sebagai alat bantu untuk memandu keputusan pengujian, bukan sebagai pengganti konfirmasi mikrobiologis.
Konfirmasi diagnosis GABHS memerlukan pengujian laboratorium. Rapid Antigen Detection Test (RADT) merupakan metode yang cepat dan memiliki spesifisitas tinggi, namun sensitivitasnya bervariasi, dilaporkan berkisar antara 70% hingga 90%. Hasil RADT positif umumnya cukup untuk memulai terapi antibiotik.
Namun, karena sensitivitasnya yang tidak sempurna, hasil RADT negatif pada anak dan remaja sebaiknya dikonfirmasi dengan kultur tenggorokan, yang masih dianggap sebagai baku emas diagnosis GABHS. Nucleic Acid Amplification Tests (NAATs) juga tersedia sebagai alternatif diagnostik dengan sensitivitas yang baik.
Terdapat situasi di mana pengujian GABHS umumnya tidak diindikasikan. Pengujian rutin tidak direkomendasikan pada anak berusia di bawah 3 tahun, karena insiden faringitis GABHS dan risiko ARF pada kelompok usia ini sangat rendah.
Pengecualian dapat dipertimbangkan jika terdapat faktor risiko spesifik, seperti memiliki saudara kandung yang terinfeksi GABHS. Selain itu, jika gambaran klinis sangat kuat mengarah ke etiologi viral (misalnya, adanya batuk, pilek, suara serak, dan/atau ulkus oral yang jelas), pengujian GABHS biasanya tidak diperlukan.
Dalam praktik sehari-hari, ketersediaan dan kepraktisan tes diagnostik seperti RADT dan kultur tenggorokan dapat menjadi tantangan, terutama di daerah dengan sumber daya terbatas atau di beberapa fasilitas layanan primer. Keterbatasan ini dapat menyulitkan penerapan pedoman yang berbasis tes secara konsisten dan mungkin mendorong praktik peresepan antibiotik secara empiris berdasarkan penilaian klinis yang kurang akurat.
Gambar 2. Manajemen faringitis berdasarkan Italian (A), NICE Guideline (B), dan IDSA Guideline (C)
Secara ringkas, diagnosis tonsilofaringitis akut pada anak membutuhkan pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang teliti, dan penggunaan tes diagnostik (RADT dan/atau kultur) secara bijaksana.
Pengujian terutama diindikasikan pada anak berusia di atas 3 tahun dengan gejala sugestif GABHS dan tanpa tanda-tanda jelas infeksi virus. Skor klinis dapat membantu dalam stratifikasi risiko awal, namun tidak dapat menggantikan konfirmasi laboratoris untuk diagnosis definitif GABHS.
3. Prinsip Terapi Tonsilofaringitis Akut pada Anak
Setelah diagnosis ditegakkan, langkah selanjutnya adalah menentukan terapi yang tepat untuk tonsilofaringitis akut pada anak. Mengingat mayoritas kasus disebabkan oleh virus, sebagian besar episode tonsilofaringitis bersifat self-limiting, dengan resolusi gejala biasanya terjadi dalam 5 hingga 7 hari.
Oleh karena itu, pilar utama penatalaksanaan untuk kasus-kasus ini adalah terapi suportif, yang mencakup hidrasi adekuat, istirahat yang cukup, serta pemberian analgesik dan antipiretik seperti asetaminofen atau obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS/NSAID) untuk meredakan nyeri dan demam.
Pemberian antibiotik hanya diindikasikan jika terdapat bukti infeksi GABHS, baik melalui hasil RADT positif maupun kultur tenggorokan positif. Tujuan utama pemberian antibiotik pada GABHS adalah untuk mempercepat resolusi gejala (meskipun efeknya mungkin hanya memperpendek durasi sakit sekitar 1-2 hari), mencegah terjadinya komplikasi supuratif dan non-supuratif (terutama ARF), serta mengurangi periode penularan infeksi ke orang lain.
Pemilihan antibiotik dan penentuan dosis obat tonsilofaringitis akut pada anak yang disebabkan GABHS harus didasarkan pada rekomendasi pedoman klinis. Pilihan lini pertama yang dianjurkan secara luas adalah golongan Penisilin, yaitu Penisilin V (fenoksimetilpenisilin) atau Amoksisilin.
Obat-obat ini dipilih karena memiliki spektrum aktivitas yang sempit (lebih terarah pada GABHS), frekuensi efek samping yang rendah, biaya yang relatif murah, dan belum adanya laporan resistensi klinis GABHS terhadap penisilin yang menyebabkan kegagalan terapi.
Amoksisilin: Dosis yang umum direkomendasikan adalah 50 mg/kg berat badan per hari, biasanya diberikan dalam satu atau dua dosis terbagi, dengan dosis harian maksimal 1 gram. Pemberian dosis sekali atau dua kali sehari dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
Penisilin V: Dosis bervariasi berdasarkan berat badan. Untuk anak dengan berat badan <27 kg, dosisnya adalah 250 mg diberikan 2 hingga 3 kali sehari. Untuk anak dengan berat badan ≥27 kg, remaja, dan dewasa, dosisnya adalah 500 mg diberikan 2 hingga 3 kali sehari.
Benzatin Penisilin G Intramuskular (IM): Merupakan alternatif yang efektif, terutama jika terdapat kekhawatiran mengenai kepatuhan minum obat oral atau pada pasien dengan risiko tinggi komplikasi. Dosis tunggal IM diberikan berdasarkan berat badan: 600.000 Unit untuk berat <27 kg, dan 1.200.000 Unit untuk berat ≥27 kg.
Durasi terapi antibiotik standar untuk GABHS adalah 10 hari. Durasi ini direkomendasikan untuk memastikan eradikasi bakteri dari faring dan secara efektif mencegah terjadinya ARF. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa beberapa pedoman, terutama dari Eropa, menyarankan durasi terapi yang lebih pendek (5-7 hari) jika tujuan utama pengobatan adalah resolusi gejala klinis, bukan pencegahan ARF secara primer.
Bagi pasien dengan riwayat alergi terhadap Penisilin, pilihan antibiotik alternatif perlu dipertimbangkan. Jika alergi bersifat non-anafilaksis (misalnya, ruam kulit), Sefalosporin generasi pertama (seperti Sefaleksin atau Sefadroksil) dapat menjadi pilihan yang aman dan efektif, diberikan selama 10 hari.
Jika terdapat riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis terhadap golongan beta-laktam, maka Klindamisin (diberikan selama 10 hari) atau golongan Makrolida (seperti Azitromisin selama 5 hari, atau Klaritromisin selama 10 hari) dapat digunakan. Pemilihan Makrolida harus mempertimbangkan pola resistensi GABHS terhadap Makrolida di tingkat lokal, yang dapat bervariasi.
Penting untuk diketahui bahwa terdapat variabilitas yang cukup signifikan di antara pedoman klinis internasional mengenai pendekatan diagnostik, kriteria untuk memulai terapi antibiotik, dan durasi pengobatan tonsilofaringitis GABHS. Beberapa pedoman sangat menekankan pencegahan ARF sebagai tujuan utama, sehingga merekomendasikan terapi 10 hari untuk semua kasus GABHS terkonfirmasi.
Pedoman lain mungkin menganggap GABHS sebagai kondisi yang cenderung self-limiting pada populasi dengan risiko ARF rendah, sehingga merekomendasikan antibiotik secara lebih selektif atau dengan durasi lebih pendek. Ada pula pendekatan yang menyesuaikan strategi berdasarkan risiko ARF individual atau regional. Variabilitas ini menunjukkan belum adanya konsensus global tunggal dan menekankan pentingnya dokter umum untuk merujuk pada pedoman nasional atau lokal yang berlaku.
Kesimpulannya, terapi tonsilofaringitis akut pada anak bersifat suportif untuk kasus viral. Untuk GABHS yang terkonfirmasi, antibiotik merupakan terapi utama, dengan Amoksisilin atau Penisilin V sebagai pilihan lini pertama. Mengetahui dosis obat tonsilofaringitis akut pada anak yang tepat berdasarkan berat badan, durasi terapi standar 10 hari, serta pilihan alternatif untuk pasien alergi adalah esensial bagi praktik klinis.
4. Deksametason Sistemik (Termasuk Injeksi): Peran sebagai Terapi Adjuvan
Kortikosteroid, seperti deksametason, dikenal memiliki efek anti-inflamasi yang poten. Pada kasus tonsilofaringitis akut, proses inflamasi di orofaring merupakan penyebab utama timbulnya gejala yang mengganggu, seperti nyeri tenggorokan hebat, kesulitan menelan (odinofagia), pembengkakan tonsil, dan eritema mukosa.
Oleh karena itu, penggunaan deksametason sebagai terapi tambahan (adjuvan) bertujuan untuk menekan respons inflamasi lokal tersebut, dengan harapan dapat meredakan gejala secara lebih cepat, terutama nyeri tenggorokan yang seringkali menjadi keluhan paling dominan bagi pasien.
Penting untuk menekankan bahwa deksametason dalam konteks ini diposisikan sebagai terapi adjuvan atau tambahan, yang bertujuan untuk manajemen gejala, khususnya peredaan nyeri. Penggunaannya tidak dimaksudkan sebagai pengganti terapi definitif, seperti pemberian antibiotik untuk kasus tonsilofaringitis GABHS yang terkonfirmasi.
Sebagian besar studi klinis yang mengevaluasi efikasi deksametason memberikannya bersamaan dengan terapi standar, termasuk antibiotik jika diindikasikan. Studi-studi klinis telah mengevaluasi pemberian deksametason melalui berbagai rute, termasuk oral (tablet atau sirup) dan intramuskular (IM/injeksi).
Beberapa penelitian bahkan secara langsung membandingkan efikasi antara rute oral dan IM, dan umumnya menemukan bahwa kedua rute pemberian tersebut memberikan tingkat peredaan nyeri yang serupa. Ketersediaan bukti untuk kedua rute ini memberikan fleksibilitas klinis.
Rute injeksi (IM) mungkin menjadi pilihan yang lebih relevan pada pasien yang mengalami kesulitan menelan obat oral akibat nyeri hebat atau pada situasi klinis tertentu lainnya.Fokus utama penggunaan deksametason pada tonsilofaringitis akut adalah untuk mempercepat peredaan nyeri dan mengurangi intensitas gejala inflamasi lainnya. Manfaat yang diharapkan bersifat simtomatik dan umumnya terjadi dalam waktu relatif singkat setelah pemberian.
Penggunaannya tidak bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dasar (infeksi virus atau bakteri) itu sendiri. Pemahaman ini penting agar ekspektasi terhadap terapi deksametason tetap realistis, baik bagi klinisi maupun pasien/orang tua.
Secara ringkas, deksametason sistemik, baik melalui rute oral maupun injeksi, bekerja sebagai agen anti-inflamasi yang dapat membantu meredakan gejala tonsilofaringitis akut, terutama nyeri tenggorokan. Perannya adalah sebagai terapi tambahan (adjuvan) pada tatalaksana standar, bukan sebagai terapi utama.
5. Bukti Ilmiah Efikasi Deksametason untuk Nyeri pada Anak
Sejumlah penelitian, termasuk uji klinis acak terkontrol (RCT) dan tinjauan sistematis (systematic reviews/meta-analyses), telah mengevaluasi efikasi deksametason sebagai terapi adjuvan pada tonsilofaringitis akut.
Tinjauan sistematis dan meta-analisis yang menggabungkan data dari studi pada anak-anak dan dewasa secara konsisten menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid (umumnya deksametason dosis tunggal) secara signifikan lebih efektif daripada plasebo dalam mempercepat onset peredaan nyeri dan meningkatkan kemungkinan tercapainya resolusi nyeri komplit dalam 24 hingga 48 jam pertama.
Secara kuantitatif, onset peredaan nyeri dilaporkan terjadi rata-rata 4.8 hingga 6 jam lebih cepat pada kelompok yang menerima deksametason dibandingkan plasebo.
Pasien yang menerima deksametason memiliki kemungkinan sekitar 1.5 hingga 2.4 kali lebih besar untuk mengalami resolusi nyeri komplit dalam 24 jam (Relative Risk/RR ~2.2-2.4) dan 48 jam (RR ~1.5).
Pengurangan skor nyeri absolut pada skala Visual Analogue Scale (VAS 0-10) juga dilaporkan lebih besar sekitar 1.0 hingga 1.3 poin pada kelompok deksametason setelah 24 jam.
Namun, ketika melihat secara spesifik pada RCT yang dilakukan pada populasi anak, gambarannya mungkin sedikit lebih bernuansa:
Studi oleh Bulloch dkk. , yang melibatkan 184 anak, menemukan bahwa deksametason oral (dosis 0.6 mg/kg, maksimal 10 mg) tidak secara signifikan mengurangi waktu hingga onset peredaan nyeri jika dianalisis pada keseluruhan kelompok anak. Akan tetapi, analisis pada subkelompok anak yang hasil RADT GABHS-nya positif (n=85) menunjukkan adanya percepatan waktu median hingga onset reda nyeri yang signifikan secara statistik (6 jam pada kelompok deksametason vs 11.5 jam pada kelompok plasebo, p=0.02). Meskipun demikian, penulis studi ini menilai bahwa perbedaan tersebut mungkin memiliki signifikansi klinis yang marjinal. Studi ini tidak menemukan perbedaan dalam waktu hingga resolusi nyeri komplit antara kedua kelompok.
Studi oleh Olympia dkk. , sebuah RCT pada 90 anak usia 4-21 tahun dengan GABHS terkonfirmasi, membandingkan deksametason oral (0.6 mg/kg, maks 10 mg) dosis tunggal, deksametason dosis yang sama selama 3 hari, dan plasebo. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua rejimen deksametason mempercepat perbaikan kondisi umum dan tingkat aktivitas pasien (median perbaikan 1 hari vs 2 hari pada plasebo). Namun, percepatan resolusi nyeri tenggorokan hanya signifikan secara statistik pada kelompok yang menerima deksametason selama 3 hari, bukan dosis tunggal.
Studi oleh Niland dkk. , sebuah RCT pada 60 anak dengan GABHS positif, juga menggunakan deksametason oral (0.6 mg/kg, maks 10 mg). Meskipun detail spesifik dari studi ini tidak tersedia dalam materi yang diberikan, studi ini diikutsertakan dalam meta-analisis yang secara keseluruhan menunjukkan manfaat kortikosteroid.
Dosis deksametason yang paling konsisten diteliti dan terbukti efektif dalam studi-studi ini adalah dosis tunggal 0.6 mg/kg berat badan (diberikan secara oral atau IM), dengan dosis maksimal yang tidak melebihi 10 mg per dosis.
Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun bukti secara umum mendukung efikasi deksametason, manfaatnya pada populasi anak mungkin tidak seuniversal pada dewasa dan tampaknya lebih jelas atau konsisten pada kasus-kasus dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi (misalnya, nyeri hebat, eksudat masif) atau pada kasus yang terkonfirmasi disebabkan oleh GABHS.
Studi Bulloch dkk. secara eksplisit menyoroti perbedaan respons antara subkelompok GABHS positif dan negatif pada anak. Hal ini menyiratkan bahwa seleksi pasien yang tepat mungkin menjadi kunci untuk memaksimalkan potensi manfaat klinis deksametason pada anak.
Meskipun fokus permintaan awal adalah pada rute injeksi, penting untuk dicatat bahwa bukti ilmiah yang kuat juga mendukung penggunaan deksametason oral dengan dosis yang sama (0.6 mg/kg, maks 10 mg). Beberapa studi bahkan menunjukkan efikasi yang sebanding antara rute oral dan IM. Ketersediaan bukti untuk kedua rute ini memberikan fleksibilitas bagi klinisi dalam memilih cara pemberian yang paling sesuai untuk pasien.
Berikut adalah ringkasan bukti efikasi deksametason dosis tunggal:
Tabel 1: Ringkasan Bukti Efikasi Deksametason Dosis Tunggal pada Tonsilofaringitis Akut (Anak & Dewasa, Berdasarkan Tinjauan Sistematis)
Outcome | Hasil Kuantitatif (vs Plasebo) | Tingkat Kepastian Bukti* | Catatan |
Onset Reda Nyeri | Rata-rata 4.8 - 6 jam lebih cepat | Moderate | Manfaat lebih konsisten pada GABHS+ / kasus berat |
Resolusi Nyeri Komplit (24 jam) | Kemungkinan 2.2 - 2.4x lebih tinggi (RR ~2.2-2.4) | Moderate - High | NNTB** ~5 |
Resolusi Nyeri Komplit (48 jam) | Kemungkinan ~1.5x lebih tinggi (RR ~1.5) | High | NNTB** ~4-12 |
Pengurangan Skor Nyeri (VAS 0-10, 24 jam) | Rata-rata 1.0 - 1.3 poin lebih besar | Moderate | Signifikansi klinis dapat bervariasi |
*Tingkat kepastian bukti berdasarkan penilaian GRADE dalam tinjauan sistematis terkait.
**NNTB: Number Needed to Treat for an additional Beneficial outcome.
6. Profil Keamanan Deksametason Dosis Tunggal pada Anak
Pertimbangan mengenai keamanan adalah aspek krusial dalam setiap keputusan terapi, terutama pada populasi anak. Berdasarkan data dari uji klinis acak terkontrol (RCT) dan tinjauan sistematis yang secara spesifik mengevaluasi penggunaan deksametason dosis tunggal (baik oral maupun IM) untuk tonsilofaringitis akut, profil keamanan jangka pendeknya tampak baik.
Studi-studi ini secara konsisten melaporkan bahwa tidak ada peningkatan risiko efek samping serius pada kelompok pasien yang menerima deksametason dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo. Efek samping yang dilaporkan umumnya bersifat ringan dan insidensinya sebanding antara kelompok perlakuan dan kontrol.
Sebagai contoh, sebuah tinjauan sistematis yang merangkum data dari 10 RCT (termasuk studi pada anak) tidak menemukan peningkatan risiko efek samping yang signifikan terkait penggunaan kortikosteroid jangka pendek. Tinjauan lain juga menyimpulkan bahwa profil efek samping jangka pendek antara kelompok kortikosteroid dan plasebo serupa.
Meskipun demikian, penting untuk mencatat beberapa keterbatasan. Sebagian besar bukti keamanan berasal dari studi yang hanya menggunakan dosis tunggal deksametason. Data mengenai keamanan penggunaan dosis kumulatif yang lebih besar atau penggunaan berulang pada pasien yang mengalami episode tonsilofaringitis berulang masih sangat terbatas dalam konteks ini.
Selain itu, meskipun RCT pada faringitis tidak menunjukkan peningkatan risiko, beberapa studi observasional pada populasi lain (terutama dewasa dengan kondisi medis berbeda) telah melaporkan adanya potensi efek samping serius yang jarang terjadi, bahkan dengan penggunaan kortikosteroid jangka pendek.
Namun, tinjauan sistematis lain yang fokus pada penggunaan kortikosteroid jangka pendek untuk kondisi pernapasan pada anak juga tidak menunjukkan peningkatan efek samping. Satu tinjauan , merujuk pada studi Hayward dkk. tahun 2017 yang dilakukan pada orang dewasa , mencatat adanya empat kejadian serius yang dilaporkan di antara 576 partisipan (dua pada kelompok deksametason dan dua pada kelompok plasebo).
Kejadian ini meliputi rawat inap karena abses parafaringeal, abses peritonsil, tonsilitis berat, dan pneumonia (yang kemudian menyebabkan kematian setelah keluar dari rumah sakit). Namun, kejadian-kejadian ini kemungkinan besar merupakan komplikasi dari penyakit dasarnya atau tidak terkait langsung dengan obat studi.
Dengan mempertimbangkan bahwa sebagian besar kasus tonsilofaringitis akut bersifat self-limiting dan tersedia pilihan analgesik over-the-counter (OTC) yang relatif aman dan efektif (seperti asetaminofen atau ibuprofen), keputusan untuk menambahkan deksametason harus selalu melibatkan pertimbangan rasio manfaat-risiko secara individual.
Manfaat potensial berupa percepatan peredaan nyeri perlu ditimbang terhadap potensi risiko efek samping, meskipun bukti saat ini menunjukkan risiko jangka pendek yang rendah untuk dosis tunggal.
Secara klinis, penggunaan deksametason dosis tunggal (0.6 mg/kg, maks 10 mg) untuk tonsilofaringitis akut pada anak tampaknya memiliki profil keamanan jangka pendek yang dapat diterima berdasarkan bukti RCT yang tersedia. Namun, klinisi harus tetap waspada dan menyadari keterbatasan data mengenai penggunaan jangka panjang atau berulang.
7. Pertimbangan Klinis untuk Dokter Umum: Kapan dan Bagaimana?
Meskipun bukti menunjukkan potensi manfaat deksametason dalam meredakan nyeri tonsilofaringitis akut, penggunaannya tidak direkomendasikan secara rutin untuk semua pasien. Keputusan untuk memberikan deksametason sebaiknya didasarkan pada penilaian klinis yang cermat dan selektif. Pertimbangkan penggunaannya pada kasus-kasus tertentu, seperti:
Anak dengan nyeri tenggorokan yang sangat hebat, yang secara signifikan mengganggu kemampuan untuk makan atau minum (berisiko dehidrasi), tidur, atau beraktivitas normal.
Adanya tanda-tanda inflamasi orofaringeal yang berat pada pemeriksaan fisik, seperti pembengkakan tonsil yang masif, eritema yang luas, atau eksudat yang banyak.
Kasus tonsilofaringitis GABHS yang telah terkonfirmasi (melalui RADT atau kultur) dengan gejala klinis yang berat, di mana bukti manfaat deksametason tampak lebih konsisten.
Jika diputuskan untuk menggunakan deksametason, dosis obat yang paling didukung oleh bukti ilmiah adalah dosis tunggal 0.6 mg/kg berat badan, yang dapat diberikan baik secara oral maupun intramuskular (IM), dengan dosis maksimal tidak melebihi 10 mg.
Tabel 2: Dosis dan Administrasi Deksametason Adjuvan pada Tonsilofaringitis Akut Anak
Parameter | Rekomendasi Praktis |
Obat | Deksametason |
Dosis | 0.6 mg/kg berat badan |
Rute | Oral atau Intramuskular (IM) |
Frekuensi | Dosis Tunggal |
Dosis Maksimal | 10 mg |
Penting untuk dicatat bahwa posisi deksametason dalam pedoman tata laksana tonsilofaringitis masih bervariasi. Beberapa pedoman yang lebih lama, seperti dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) tahun 2012, secara eksplisit tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid untuk faringitis GABHS.
Pedoman dari European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ESCMID) tahun 2012 menyarankan penggunaannya hanya untuk kasus berat pada orang dewasa dan harus disertai antibiotik.
Rekomendasi yang lebih baru, seperti BMJ Rapid Recommendations tahun 2018 (berdasarkan studi pada dewasa), memberikan rekomendasi lemah yang mendukung penggunaan deksametason oral dosis tunggal, namun sangat menekankan perlunya shared decision making (pengambilan keputusan bersama) antara dokter dan pasien.
Hingga saat ini, belum ada konsensus global yang kuat yang mendukung penggunaan rutin deksametason pada semua anak dengan tonsilofaringitis akut. Mengingat manfaat utama deksametason bersifat simtomatik (peredaan nyeri) dan rekomendasi pedoman yang bervariasi atau bersifat lemah, keputusan akhir untuk menggunakannya sebaiknya melibatkan diskusi terbuka dengan orang tua pasien.
Penjelasan mengenai potensi manfaat (kemungkinan reda nyeri lebih cepat) dan profil keamanan jangka pendek yang umumnya baik, serta alternatif terapi yang tersedia (analgesik OTC), akan membantu orang tua berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang paling sesuai untuk anak mereka.
Secara klinis, pertimbangkan deksametason injeksi (atau oral) dengan dosis 0.6 mg/kg (maksimal 10 mg) sebagai opsi terapi adjuvan pada anak dengan tonsilofaringitis akut yang menunjukkan gejala berat, inflamasi signifikan, atau pada kasus GABHS terkonfirmasi dengan nyeri hebat. Keputusan ini harus bersifat individual, tidak rutin, dan idealnya didiskusikan bersama orang tua.
8. Kesimpulan: Menempatkan Deksametason dalam Praktik Klinis
Tonsilofaringitis akut merupakan kondisi yang sangat umum dijumpai pada praktik dokter umum yang menangani pasien anak. Mayoritas kasus disebabkan oleh virus dan bersifat self-limiting, memerlukan terapi suportif. Diagnosis yang akurat, melalui kombinasi penilaian klinis dan tes diagnostik (RADT/kultur) bila diindikasikan, sangat penting untuk mengidentifikasi infeksi GABHS.
Terapi antibiotik diindikasikan hanya untuk GABHS terkonfirmasi, dengan Amoksisilin atau Penisilin V sebagai pilihan utama. Pemahaman mengenai dosis obat tonsilofaringitis akut pada anak yang tepat (berdasarkan berat badan) dan durasi terapi standar (10 hari) adalah kunci untuk eradikasi bakteri dan pencegahan komplikasi seperti ARF.
Dalam konteks manajemen gejala, bukti ilmiah dari studi-studi terindeks PubMed menunjukkan bahwa pemberian deksametason sistemik (baik melalui injeksi IM maupun oral) dalam dosis tunggal (0.6 mg/kg, maksimal 10 mg) dapat memberikan manfaat tambahan.
Deksametason terbukti dapat mempercepat peredaan nyeri tenggorokan secara signifikan pada anak dengan tonsilofaringitis akut, terutama pada kasus yang disebabkan oleh GABHS atau yang disertai gejala klinis berat. Profil keamanan jangka pendek untuk penggunaan dosis tunggal ini dilaporkan baik dalam studi klinis yang tersedia.
Namun demikian, penting untuk menekankan bahwa peran deksametason adalah sebagai terapi adjuvan simtomatik yang selektif. Penggunaannya tidak menggantikan terapi antibiotik untuk GABHS dan tidak diindikasikan secara rutin untuk semua kasus tonsilofaringitis.
Keputusan untuk memberikan deksametason harus didasarkan pada penilaian klinis yang cermat terhadap tingkat keparahan gejala dan kondisi pasien secara individual, serta idealnya melibatkan proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making) dengan orang tua pasien.
Dengan menerapkan pendekatan diagnostik yang akurat, penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional, serta mempertimbangkan deksametason secara selektif pada kasus yang tepat, dokter umum dapat mengoptimalkan tatalaksana tonsilofaringitis akut pada anak, tidak hanya untuk mengatasi infeksi tetapi juga untuk meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien selama masa sakit.
Diagnosis and Treatment of Pharyngitis in Children - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7118881/
Tonsillitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544342/
Diagnosis and management of acute pharyngotonsillitis among pediatric patients at Ribat Teaching Hospital: a prospective audit (2021-2022), diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10468629/
Pharyngitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519550/
Update on the management of acute pharyngitis in children - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3042010/
Worldwide comparison of treatment guidelines for sore throat - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7883223/
Diagnostic Methods, Clinical Guidelines, and Antibiotic Treatment for Group A Streptococcal Pharyngitis: A Narrative Review, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7593338/
Treatment of recurrent acute tonsillitis—a systematic review and clinical practice recommendations, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10597714/
Treatment of acute pharyngitis in children: an Italian intersociety consensus (SIPPS-SIP-SITIP-FIMP-SIAIP-SIMRI-FIMMG) - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11539554/
Effectiveness of corticosteroid treatment in acute pharyngitis: a systematic review of the literature - NCBI, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK80097/
Steroids as adjuvant treatment of sore throat in acute bacterial pharyngitis - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3264011/
Steroids as Adjuvant Therapy for Acute Pharyngitis in Ambulatory Patients: A Systematic Review - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2807390/
Efficacy of Corticosteroids for Sore Throat Management in Adults: A Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Trials, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11421831/
Adjuvant prednisone therapy in pharyngitis: a randomised controlled trial from general practice - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1463093/
Corticosteroids for a sore throat? - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3701759/
Bacterial Pharyngitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559007/
Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and Management of Group A Streptococcal Pharyngitis: 2012 Update by the Infectious Diseases Society of America, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7108032/
Paediatrics: how to manage pharyngitis in an era of increasing antimicrobial resistance, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8007209/
Centor Score (Modified/McIsaac) for Strep Pharyngitis - MDCalc, diakses April 30, 2025, https://www.mdcalc.com/calc/104/centor-score-modified-mcisaac-strep-pharyngitis
Large-Scale Validation of the Centor and McIsaac Scores to Predict Group A Streptococcal Pharyngitis, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3627733/
Streptococcal Pharyngitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525997/
Empirical validation of guidelines for the management of pharyngitis in children and adults - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15069046/
Centor criteria in children in a paediatric emergency department: for what it is worth - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3641432/
Centor scores associated poorly with rapid antigen test findings in children with sore throat - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11554731/
The impact of national guidelines on the diagnostics of sore throat in children - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11301984/
Diagnostic Accuracy of Centor Score for Diagnosis of Group A Streptococcal Pharyngitis among Adults in Primary Care Clinics in Malaysia, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9438850/
Acute pharyngitis in children and adults: descriptive comparison of current recommendations from national and international guidelines and future perspectives - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37819417/
Treatment of acute pharyngitis in children: an Italian intersociety consensus (SIPPS-SIP-SITIP-FIMP-SIAIP-SIMRI-FIMMG) - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39501298/
Acute pharyngitis in children and adults: descriptive comparison of current recommendations from national and international guidelines and future perspectives - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10746578/
Are systemic corticosteroids useful for the management of acute pharyngitis? - Medwave, diakses April 30, 2025, https://www.medwave.cl/puestadia/resepis/7111.html?lang=en
Corticosteroids for treatment of sore throat: systematic review and meta-analysis of randomised trials - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28931508/
Steroids as adjuvant therapy for acute pharyngitis in ambulatory patients: a systematic review - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20065280/
Corticosteroids for sore throat: a clinical practice guideline - PMC, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6284245/
Dexamethasone as adjuvant therapy for severe acute pharyngitis - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8427434/
Efficacy of single-dose dexamethasone as adjuvant therapy for acute pharyngitis - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11802044/
A pilot study of 1 versus 3 days of dexamethasone as add-on therapy in children with streptococcal pharyngitis - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16732143/
Corticosteroids for treatment of sore throat: systematic review and meta-analysis of randomised trials - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5605780/
Oral dexamethasone for the treatment of pain in children with acute pharyngitis: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12712025/
Steroids as adjuvant treatment of sore throat in acute bacterial pharyngitis - PubMed, diakses April 30, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22267621/
Corticosteroids as standalone or add‐on treatment for sore throat - PMC - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7193118/
Effect of Oral Dexamethasone Without Immediate Antibiotics vs Placebo on Acute Sore Throat in Adults: A Randomized Clinical Trial - PubMed Central, diakses April 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5470351/
Treatment of Acute Pharyngitis with Corticosteroids - Wiki Journal Club, diakses April 30, 2025, https://www.wikijournalclub.org/wiki/Treatment_of_Acute_Pharyngitis_with_Corticosteroids