7 Sep 2025 • urologi
Varikokel didefinisikan sebagai dilatasi abnormal dan berkelok-kelok dari vena-vena dalam pleksus pampiniformis di korda spermatika, yang sering disertai dengan refluks vena, baik secara kontinu maupun intermiten. Secara sederhana, kondisi ini dapat diibaratkan sebagai "varises" pada pembuluh darah balik di dalam kantong zakar (skrotum).
Pemahaman mengenai varikokel menjadi penting bagi dokter umum karena kondisi ini relatif umum ditemui dan merupakan salah satu penyebab utama infertilitas pada pria yang berpotensi untuk dikoreksi.
Secara epidemiologis, prevalensi varikokel pada populasi pria dewasa secara umum diperkirakan mencapai sekitar 15%. Angka ini meningkat secara signifikan pada kelompok pria dengan masalah infertilitas, yaitu sekitar 35% hingga 50% pada kasus infertilitas primer (pasangan belum pernah hamil) dan bahkan dapat mencapai 69% hingga 81% pada kasus infertilitas sekunder (pasangan pernah hamil sebelumnya namun kemudian mengalami kesulitan).
Data ini menggarisbawahi bahwa dokter umum memiliki kemungkinan besar untuk menemui pasien dengan varikokel, baik yang datang dengan keluhan spesifik, terdeteksi secara insidental saat pemeriksaan fisik rutin, maupun saat melakukan evaluasi awal pada pasangan dengan keluhan sulit memiliki keturunan. Penting untuk dicatat bahwa varikokel tidak hanya ditemukan pada pria yang belum pernah memiliki anak.
Tingginya angka kejadian pada kasus infertilitas sekunder menunjukkan bahwa kondisi ini dapat berkembang atau menjadi signifikan secara klinis seiring waktu. Oleh karena itu, evaluasi terhadap kemungkinan varikokel tetap relevan meskipun seorang pria telah memiliki keturunan sebelumnya, terutama jika pasangan kembali mengalami kesulitan konsepsi.
Relevansi varikokel bagi dokter umum terletak pada beberapa aspek. Pertama, varikokel merupakan penyebab infertilitas pria yang paling umum dan dapat dikoreksi. Deteksi dini oleh dokter umum dapat mengarahkan pasien untuk mendapatkan evaluasi dan intervensi yang tepat waktu oleh spesialis, yang berpotensi memperbaiki parameter semen dan meningkatkan peluang pasangan untuk hamil secara alami. Kedua, selain infertilitas, varikokel juga dapat menimbulkan gejala lain seperti nyeri skrotum kronis atau menyebabkan atrofi (penyusutan ukuran) testis, yang keduanya memerlukan perhatian medis dan penanganan lebih lanjut.
Mekanisme dasar terjadinya varikokel melibatkan refluks atau aliran balik darah vena dari vena renalis (pada sisi kiri, karena alasan anatomis) atau dari vena kava inferior (pada sisi kanan yang lebih jarang) ke dalam pleksus pampiniformis. Refluks ini umumnya disebabkan oleh inkompetensi atau tidak adanya katup pada vena spermatika interna.
Peningkatan tekanan hidrostatik vena akibat aliran balik ini kemudian menyebabkan dilatasi, stasis atau perlambatan aliran darah, dan penampakan vena yang berkelok-kelok khas varikokel.
Gangguan aliran darah vena ini menciptakan lingkungan mikro yang tidak ideal di dalam testis, yang berdampak negatif pada proses spermatogenesis (pembentukan sperma) dan fungsi testis secara keseluruhan melalui beberapa mekanisme utama:
Hipertermia Skrotum: Stasis darah vena yang lebih hangat di sekitar testis menyebabkan peningkatan suhu intratestikular. Padahal, suhu testis normalnya harus 2-4°C lebih rendah dari suhu inti tubuh agar spermatogenesis dapat berlangsung optimal.
Stres Oksidatif: Ini merupakan salah satu mekanisme kerusakan utama. Akumulasi Reactive Oxygen Species (ROS) yang berlebihan terjadi akibat kombinasi hipoksia jaringan, stasis darah, dan refluks metabolit dari ginjal atau adrenal. ROS yang tinggi dapat merusak membran sel sperma dan materi genetik di dalamnya, yang dikenal sebagai fragmentasi DNA sperma. Studi secara konsisten menunjukkan bahwa varikokel berhubungan dengan peningkatan stres oksidatif dan penurunan kapasitas antioksidan dalam cairan semen. Bahkan, pria yang fertil namun memiliki varikokel juga dapat menunjukkan peningkatan kadar ROS.
Hipoksia Testis: Aliran darah arteri ke testis dapat berkurang. Hal ini bisa disebabkan oleh vasokonstriksi arteriol intratestikular akibat refluks hormon katekolamin dari vena renalis atau adrenal, atau akibat peningkatan tekanan vena yang menghambat aliran masuk arteri.
Refluks Metabolit Toksik: Produk-produk metabolik dari ginjal atau kelenjar adrenal, seperti katekolamin dan kortisol, dapat mengalir balik dan terakumulasi di testis, memberikan efek toksik.
Disfungsi Hormonal: Varikokel dapat mengganggu fungsi sel Leydig di testis, yang bertanggung jawab untuk produksi testosteron. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kadar testosteron dan berpotensi mengganggu keseimbangan aksis hipotalamus-pituitari-gonad, yang kadang ditunjukkan dengan peningkatan kadar Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) sebagai respons kompensasi. Perbaikan kadar testosteron serum sering dilaporkan setelah tindakan koreksi varikokel (varikokelektomi). Sebuah meta-analisis menunjukkan peningkatan signifikan kadar testosteron total serum setelah prosedur ini, disertai dengan penurunan kadar FSH. Perbaikan profil hormonal ini tidak hanya berpotensi meningkatkan kesuburan, tetapi juga dapat berkontribusi pada perbaikan kesehatan androgenik pria secara keseluruhan.
Kerusakan DNA Sperma: Peningkatan angka fragmentasi DNA sperma (DNA Fragmentation Index atau DFI) adalah konsekuensi penting dari stres oksidatif dan mekanisme patofisiologis lainnya pada varikokel. DFI yang tinggi berdampak negatif pada kemampuan sperma untuk membuahi sel telur dan perkembangan embrio yang sehat. Varikokelektomi terbukti dapat secara signifikan menurunkan DFI.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa tingkat keparahan varikokel secara klinis, atau gradenya, dapat berkorelasi dengan derajat stres oksidatif yang dialami testis. Varikokel dengan grade yang lebih tinggi cenderung dikaitkan dengan kadar ROS seminal yang lebih tinggi dan kualitas semen yang lebih buruk.
Walaupun pedoman terkini dari American Urological Association (AUA) dan American Society for Reproductive Medicine (ASRM) tidak secara spesifik membedakan berdasarkan grade untuk indikasi umum varikokelektomi pada pria dewasa dengan infertilitas , temuan ini memberikan landasan biologis bahwa varikokel yang lebih besar mungkin memiliki dampak patofisiologis yang lebih berat.
Penegakan diagnosis varikokel melibatkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, dan pada kasus tertentu, pemeriksaan penunjang.
Anamnesis:
Pasien dengan varikokel seringkali tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) dan kondisi ini ditemukan secara insidental saat pemeriksaan untuk alasan lain atau saat evaluasi infertilitas. Namun, beberapa keluhan yang mungkin muncul meliputi:
Adanya benjolan atau pembengkakan pada skrotum, yang sering dideskripsikan pasien sebagai "rasa berat", "tidak nyaman", atau seperti ada "gumpalan".
Nyeri skrotum: Karakteristik nyeri biasanya tumpul, pegal, atau seperti berdenyut. Nyeri dapat memberat dengan aktivitas fisik, berdiri lama, atau cuaca panas, dan biasanya membaik dengan berbaring atau istirahat.
Infertilitas: Pasangan mengalami kesulitan untuk hamil setelah satu tahun atau lebih melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan kontrasepsi.
Atrofi testis: Pasien atau dokter mungkin menyadari adanya penyusutan ukuran testis pada sisi yang terdapat varikokel.
Pemeriksaan Fisik: Standar Emas Diagnosis Klinis Varikokel
Pemeriksaan fisik memegang peranan paling penting dalam mendiagnosis varikokel klinis.
Persiapan: Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang hangat dan nyaman untuk memastikan relaksasi otot kremaster dan dartos skrotum, sehingga memudahkan palpasi.
Teknik:
Inspeksi dan palpasi skrotum dilakukan dengan pasien dalam posisi berdiri dan kemudian berbaring.
Manuver Valsava (meminta pasien untuk mengejan seperti saat buang air besar) dilakukan saat pasien berdiri. Manuver ini akan meningkatkan tekanan intraabdomen dan membuat varikokel yang lebih kecil menjadi lebih mudah teraba atau terlihat.
Temuan Khas:
Pada palpasi, varikokel teraba sebagai massa yang lunak, tidak nyeri tekan, dan sering dideskripsikan seperti meraba "sekantong cacing" (bag of worms) yang terletak di atas dan di belakang testis.
Varikokel biasanya akan berkurang ukurannya atau menghilang sama sekali saat pasien dalam posisi berbaring karena tekanan vena menurun.
Penting juga untuk memperhatikan ukuran dan konsistensi kedua testis. Adanya perbedaan volume testis yang signifikan (misalnya, lebih dari 2 mL atau 20% perbedaan volume, terutama pada remaja) atau konsistensi testis yang lebih lunak pada sisi varikokel dapat menjadi indikasi dampak negatif varikokel pada pertumbuhan dan fungsi testis.
Untuk standarisasi temuan pemeriksaan fisik, digunakan sistem grading varikokel klinis sebagai berikut:Tabel 1: Sistem Grading Varikokel Klinis
Grade | Temuan pada Pemeriksaan Fisik |
Subklinis | Tidak terlihat, tidak terpalpasi, bahkan dengan manuver Valsava (diagnosis hanya dengan USG) |
Grade 1 | Terpalpasi hanya saat manuver Valsava, tidak terlihat |
Grade 2 | Terpalpasi saat berdiri tanpa manuver Valsava, tetapi tidak terlihat |
Grade 3 | Mudah terlihat dari jarak tertentu saat berdiri, bahkan tanpa manuver Valsava |
Pemeriksaan Penunjang: Kapan Diperlukan?
USG Skrotum dengan Doppler Warna: Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi adanya dilatasi vena pleksus pampiniformis (biasanya diameter vena >2-3 mm) dan menunjukkan adanya refluks darah vena saat manuver Valsava. Terdapat variasi dalam rekomendasi penggunaan USG skrotum dengan Doppler. European Association of Urology (EAU) menyarankan konfirmasi diagnosis varikokel klinis dengan USG Doppler. Sebaliknya, AUA dan ASRM menyatakan bahwa diagnosis primer ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, dan USG tidak direkomendasikan secara rutin kecuali jika hasil pemeriksaan fisik meragukan, sulit dilakukan (misalnya pada pasien obesitas atau dengan riwayat operasi skrotum sebelumnya), atau untuk penilaian volume testis yang akurat, terutama pada populasi remaja. Bagi dokter umum, USG Doppler dapat menjadi alat konfirmasi yang berharga untuk meningkatkan keyakinan diagnostik dan menyediakan data objektif. Menariknya, sebuah survei di Tunisia menunjukkan bahwa lebih dari 75% ahli urologi di sana secara sistematis meminta pemeriksaan USG skrotum , yang mungkin mencerminkan preferensi untuk konfirmasi objektif.
Gambar 1. USG dengan tampilan varikokel sisi kanan derajat 3
Analisis Semen: Pemeriksaan ini merupakan komponen krusial dalam evaluasi pria dengan varikokel yang menjadi bagian dari pasangan infertil. Direkomendasikan untuk melakukan analisis semen minimal dua kali dengan interval beberapa minggu untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat. Parameter semen yang sering terpengaruh oleh varikokel meliputi penurunan konsentrasi sperma (oligozoospermia), penurunan motilitas sperma (asthenozoospermia), dan peningkatan jumlah sperma dengan morfologi abnormal (teratozoospermia), yang secara kolektif dikenal sebagai sindrom OAT (Oligo-Astheno-Teratozoospermia). Studi menunjukkan perbaikan signifikan pada ketiga parameter ini setelah tindakan varikokelektomi, bahkan pada pasien dengan OAT berat.
Pemeriksaan Hormonal: Pemeriksaan kadar hormon seperti testosteron total (diambil pagi hari), FSH, dan LH tidak rutin dilakukan untuk semua kasus varikokel. Namun, pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan pada pria dengan varikokel dan infertilitas, terutama jika disertai tanda-tanda klinis hipogonadisme, atrofi testis bilateral, atau parameter semen yang sangat buruk. Seperti telah disebutkan, kadar testosteron dapat membaik setelah varikokelektomi.
Meskipun sebagian besar remaja dengan varikokel yang tidak dikoreksi dilaporkan tetap dapat mencapai paternitas di kemudian hari , penekanan pada varikokel sebagai kondisi "yang dapat dikoreksi" dan potensi perbaikan parameter semen pasca-intervensi membuka diskusi mengenai manfaat intervensi pada kasus tertentu.
Keputusan untuk intervensi pada remaja tidak bersifat mutlak, namun pertimbangan untuk mengoptimalkan potensi kesuburan di masa depan atau mencegah kerusakan testis lebih lanjut menjadi penting, terutama jika ditemukan tanda-tanda obyektif seperti perbedaan volume testis yang signifikan atau abnormalitas parameter semen pada usia remaja akhir.
Keputusan untuk melakukan terapi pada varikokel bergantung pada beberapa faktor, termasuk ada tidaknya gejala, status fertilitas pasien, temuan analisis semen, dan usia pasien.
Indikasi Utama Terapi Varikokel:
Tabel 2: Indikasi Utama Tatalaksana Varikokel pada Pria Dewasa dan Remaja
Populasi Target | Indikasi Utama untuk Pertimbangan Terapi |
Pria Dewasa | Infertilitas: Varikokel terpalpasi secara klinis, DAN pasangan memiliki infertilitas yang terdokumentasi (≥1 tahun), DAN pasangan wanita memiliki fertilitas normal atau penyebab infertilitasnya telah terkoreksi/dapat diobati, DAN pria memiliki ≥1 parameter semen abnormal atau hasil tes fungsi sperma abnormal. |
Nyeri Skrotum Kronis: Nyeri signifikan, bersifat tumpul, terkait varikokel, dan tidak responsif terhadap terapi konservatif (setelah menyingkirkan penyebab lain). | |
Kosmetik (jarang): Varikokel sangat besar dan mengganggu secara estetika. | |
Remaja | Gagal Tumbuh Kembang Testis Ipsilateral: Perbedaan volume testis >20% dibandingkan testis kontralateral yang progresif dan terdokumentasi. |
Parameter Semen Abnormal: Pada remaja akhir (setelah pubertas sempurna). | |
Nyeri Skrotum Signifikan: Mengganggu aktivitas sehari-hari. | |
Varikokel Bilateral Grade Tinggi. |
Pilihan Terapi Utama:
Tujuan utama terapi varikokel adalah untuk menghentikan refluks darah vena pada pleksus pampiniformis.
Varikokelektomi Bedah Mikro (Microsurgical Varicocelectomy): Teknik ini, baik melalui pendekatan inguinal maupun subinguinal, sering dianggap sebagai "standar emas" oleh banyak ahli. Prosedur ini melibatkan penggunaan mikroskop bedah untuk melakukan identifikasi dan ligasi (pengikatan) vena-vena pleksus pampiniformis yang mengalami dilatasi, sambil secara cermat mempreservasi arteri testikularis, duktus deferens, dan pembuluh limfatik. Keunggulan utama teknik ini adalah angka keberhasilan yang tinggi, angka rekurensi yang rendah (sekitar 1-2%), dan angka komplikasi yang juga rendah, terutama insiden hidrokel pascaoperasi yang minimal karena preservasi pembuluh limfatik. Namun, ketersediaan dan penerapan teknik optimal ini mungkin belum merata. Sebagai contoh, data dari Tunisia menunjukkan bahwa penggunaan magnifikasi (kunci dalam bedah mikro) dalam prosedur varikokelektomi subinguinal masih terbatas.
Teknik Bedah Terbuka Lain (Tanpa Mikroskop): Termasuk pendekatan retroperitoneal (teknik Palomo) atau inguinal (teknik Ivanissevich). Teknik ini mungkin lebih cepat dan tidak memerlukan peralatan khusus seperti mikroskop. Namun, angka rekurensi dan komplikasi (terutama hidrokel dan risiko cedera arteri) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan bedah mikro.
Varikokelektomi Laparoskopik: Prosedur ini melibatkan ligasi vena spermatika interna secara proksimal, dekat dengan muaranya ke vena renalis, menggunakan instrumen laparoskopi. Kelebihannya adalah visualisasi yang baik dan kemampuan untuk mengatasi varikokel bilateral melalui insisi kecil yang sama. Namun, teknik ini memerlukan anestesi umum, memiliki risiko (meskipun jarang) cedera organ intraabdomen, biaya yang mungkin lebih tinggi, waktu operasi yang lebih lama, dan angka rekurensi/persistensi varikokel dilaporkan sekitar 6-15%.
Embolisasi Perkutan (Radiologi Intervensi): Ini adalah prosedur minimal invasif yang dilakukan oleh ahli radiologi intervensi. Melalui akses vena (biasanya vena femoralis di pangkal paha atau vena jugularis di leher), kateter dimasukkan menuju vena spermatika interna, kemudian dilakukan oklusi atau penyumbatan vena menggunakan materi seperti koil, balon, atau agen sklerosan. Kelebihannya adalah dapat dilakukan dengan anestesi lokal dan pemulihan yang cepat. Kekurangannya meliputi paparan radiasi, risiko alergi terhadap zat kontras, potensi migrasi koil, dan angka rekurensi yang bisa lebih tinggi dibandingkan bedah mikro. Embolisasi sering menjadi pilihan yang baik untuk kasus varikokel rekuren setelah bedah atau pada pasien yang bukan merupakan kandidat ideal untuk pembedahan.
Penting untuk ditekankan bahwa hingga saat ini, menurut Global Andrology Forum (GAF), tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan terapi medis (medikamentosa) untuk mengatasi varikokel itu sendiri atau memperbaiki parameter semen secara langsung tanpa koreksi anatomis varikokel.
Hasil yang Diharapkan Pasca Terapi:
Perbaikan Parameter Semen: Peningkatan konsentrasi, motilitas, dan morfologi sperma dilaporkan terjadi pada sekitar 50-70% pasien setelah terapi. Sebuah studi pada pasien dengan OAT berat menunjukkan peningkatan yang signifikan pada konsentrasi sperma (dari rata-rata 1.6 juta/mL menjadi 13.51 juta/mL setelah 18 bulan), motilitas progresif (A+B) sperma (dari 2.92% menjadi 13.92%), dan persentase morfologi sperma normal (dari 3.80% menjadi 10.82%) setelah varikokelektomi. Selain itu, terjadi penurunan signifikan pada Indeks Fragmentasi DNA (DFI) sperma (dari rata-rata 31.4% menjadi 20.5% setelah 18 bulan). Perbaikan ini biasanya mulai terlihat dalam 3-6 bulan pasca terapi.
Peningkatan Kadar Testosteron: Dapat terjadi perbaikan kadar testosteron, terutama pada pria dengan kadar testosteron subnormal sebelum terapi.
Peningkatan Angka Kehamilan: Angka kehamilan alami dilaporkan meningkat setelah terapi varikokel, meskipun besarannya bervariasi dalam berbagai studi (misalnya, antara 20-60%). Manfaat varikokelektomi tidak hanya terbatas pada peningkatan peluang kehamilan alami. Bagi pasangan yang pada akhirnya memerlukan teknologi reproduksi berbantu (Assisted Reproductive Technology/ART) seperti Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI), perbaikan kualitas sperma pasca-varikokelektomi dapat memberikan kontribusi signifikan. Studi menunjukkan bahwa pria yang menjalani varikokelektomi sebelum ICSI memiliki angka fertilisasi, angka kehamilan klinis, dan angka kelahiran hidup yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak menjalani koreksi varikokel.
Potensi Komplikasi Terapi:
Komplikasi pasca terapi varikokel umumnya bersifat ringan. Beberapa yang mungkin terjadi meliputi:
Hidrokel: Merupakan komplikasi yang paling umum, disebabkan oleh gangguan drainase limfatik. Insidensinya jauh lebih rendah pada teknik bedah mikro (sekitar 0.4%) dibandingkan dengan laparoskopi (2.8%), bedah terbuka retroperitoneal (8.2%), atau bedah inguinal makroskopik (7.3%).
Infeksi pada luka operasi.
Rekurensi atau persistensi varikokel (angka lebih rendah pada bedah mikro).
Cedera arteri testikularis, yang berpotensi menyebabkan atrofi testis (sangat jarang, terutama dengan penggunaan teknik mikro).
Nyeri kronis atau parestesia (rasa kebas atau kesemutan) di area insisi.
Dokter umum memegang peran yang sangat strategis dalam alur penatalaksanaan varikokel, mulai dari deteksi awal hingga rujukan yang tepat.
Deteksi Dini: Melakukan anamnesis yang cermat terkait keluhan pada skrotum, riwayat fertilitas pasangan, dan faktor risiko lainnya. Pemeriksaan fisik skrotum yang benar dan teliti, termasuk manuver Valsava, sebaiknya menjadi bagian dari pemeriksaan rutin pada pria dewasa atau dilakukan ketika ada keluhan spesifik.
Edukasi Awal Pasien: Memberikan penjelasan yang jelas dan mudah dimengerti mengenai apa itu varikokel, potensi dampaknya terhadap kesuburan dan fungsi testis, serta pentingnya evaluasi lebih lanjut oleh spesialis Urologi jika terindikasi.
Rujukan yang Tepat Waktu dan Tepat Sasaran: Merujuk pasien ke spesialis Urologi atau Andrologi jika ditemukan varikokel klinis, terutama pada kondisi-kondisi seperti:
Pasangan yang mengalami infertilitas.
Remaja dengan tanda-tanda atrofi testis atau varikokel grade tinggi.
Pasien dengan keluhan nyeri skrotum kronis yang diduga kuat berhubungan dengan varikokel.
Pria dengan hasil analisis semen yang abnormal.
Manajemen Konservatif Awal (untuk Nyeri Ringan): Pada kasus varikokel dengan keluhan nyeri ringan, dokter umum dapat menyarankan penggunaan penyangga skrotum (scrotal support), pemberian analgesik golongan Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) untuk periode singkat, dan anjuran untuk membatasi aktivitas fisik yang dapat memperberat keluhan.
Follow-up Pasca Terapi (Bekerjasama dengan Spesialis): Setelah pasien menjalani terapi, dokter umum dapat berperan dalam memantau kondisi pasien, memahami hasil terapi dan implikasinya, serta memberikan dukungan berkelanjutan.
Adanya potensi kesenjangan antara rekomendasi pedoman internasional dan praktik klinis aktual di beberapa tempat, seperti yang mungkin tercermin dari studi di Tunisia mengenai variasi dalam indikasi terapi berdasarkan grade atau pilihan teknik bedah , menempatkan dokter umum dalam peran penting sebagai navigator bagi pasien. Dokter umum dapat membantu pasien memahami berbagai opsi terapi berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia, sekaligus menyadari bahwa praktik lokal dapat bervariasi. Mendorong diskusi yang terbuka dan informatif antara pasien dan spesialis urologi menjadi kunci agar pasien dapat membuat keputusan yang tepat mengenai tatalaksana varikokelnya.
Varikokel adalah suatu kondisi patologis yang umum ditemukan pada pria dan memiliki signifikansi klinis yang penting, terutama sebagai salah satu penyebab utama infertilitas pria yang dapat dikoreksi. Diagnosis varikokel klinis sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan fisik yang cermat, yang meliputi inspeksi, palpasi pleksus pampiniformis, dan penggunaan manuver Valsava untuk meningkatkan sensitivitas pemeriksaan.
Pemeriksaan penunjang seperti USG skrotum dengan Doppler warna dan analisis semen memegang peranan penting dalam kasus-kasus tertentu, terutama dalam konteks evaluasi infertilitas atau jika temuan pemeriksaan fisik meragukan.
Keputusan untuk melakukan terapi varikokel, yang umumnya berupa varikokelektomi (dengan teknik bedah mikro sering dianggap sebagai pilihan utama karena efikasi dan profil keamanannya), harus didasarkan pada pedoman klinis yang ada, dengan mempertimbangkan secara komprehensif status fertilitas pasien dan pasangannya, hasil parameter semen, ada tidaknya gejala seperti nyeri, dan usia pasien, terutama pada populasi remaja.
Intervensi terapi yang tepat pada varikokel terbukti dapat memberikan perbaikan pada parameter semen, berpotensi meningkatkan kadar testosteron, dan pada akhirnya meningkatkan angka kehamilan, baik secara alami maupun dengan bantuan teknologi reproduksi.
Dokter umum berada di garda terdepan dan memegang peran krusial dalam siklus manajemen varikokel, mulai dari melakukan deteksi dini, memberikan edukasi awal yang akurat kepada pasien, hingga melakukan rujukan yang tepat waktu dan tepat sasaran ke spesialis Urologi atau Andrologi. Kontribusi dokter umum sangat esensial untuk memastikan pasien mendapatkan tatalaksana varikokel yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada kesehatan reproduksi pria.
Neliti. (2025) Diagnosis dan tata laksana varikokel. Tersedia pada: https://media.neliti.com/media/publications/400004-diagnosis-dan-tata-laksana-varikokel-4fb9f851.pdf (Diakses: 28 Mei 2025).
ResearchGate. (2025) Diagnosis dan Tata Laksana Varikokel. Tersedia pada: https://www.researchgate.net/publication/369151871_Diagnosis_dan_Tata_Laksana_Varikokel (Diakses: 28 Mei 2025).
Diamond, D.A., Goldstein, M., Schlegel, P.N., et al. (2021) ‘Systematic Review of the Impact of Varicocele Grade on Response to Surgical Repair’, The Journal of Urology. American Urological Association. doi:10.1097/JU.0000000000000311.
Majzoub, A., Agarwal, A., Esteves, S.C., Cho, C.L. (2024) ‘Varicocele repair for severe oligoasthenoteratozoospermia: Scoping review of published guidelines, and systematic review of the literature’, Asian Journal of Andrology, 26(5), hlm. 533–543. doi:10.1080/20905998.2024.2400629.
Agarwal, A., Baskaran, S., Majzoub, A., et al. (2024) ‘The Effects of Varicocelectomy on Sperm DNA Fragmentation and Other Sperm Parameters: A Systematic Review and Meta-Analysis’, Basic and Clinical Andrology, 34, hlm. 15. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11245582/ (Diakses: 28 Mei 2025).
Global Andrology Forum (2024) Clinical Guidelines on the Management of Infertile Men with Varicocele. ResearchGate. Tersedia pada: https://www.researchgate.net/publication/390653203_Global_Andrology_Forum_GAF_Clinical_Guidelines_on_the_Management_of_Infertile_Men_with_Varicocele (Diakses: 28 Mei 2025).
Cocuzza, M., Athayde, K.S., Srougi, M. (2023) ‘From pathophysiology to practice: addressing varicocele management in the context of male infertility’, International Brazilian Journal of Urology, 49(1), hlm. 10–22. Tersedia pada: https://www.scielo.br/j/ibju/a/96DxJvYJBYqQrYHVmG36bFS/ (Diakses: 28 Mei 2025).
Global Andrology Forum (2024) ‘Global Andrology Forum (GAF) Clinical Guidelines on the Management of Infertile Men with Varicocele’, World Journal of Men’s Health. PubMed. doi:10.5534/wjmh.240154.
Ben Chehida, M.A., Chakroun, N., Kerkeni, W., et al. (2024) ‘Varicocele management in Tunisia: Overview of practices and comparison with latest international guidelines’, Progres en Urologie, 34(10), hlm. 520–527. doi:10.1016/j.purol.2024.07.003.