Dokter Post - Diagnosis dan Terapi Pterygium: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum Termasuk Dosis Obat Terkini

Diagnosis dan Terapi Pterygium: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum Termasuk Dosis Obat Terkini

19 Jul 2025 • mata

Deskripsi

Diagnosis dan Terapi Pterygium: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum Termasuk Dosis Obat Terkini

1. Pendahuluan: Mengenal Pterygium Lebih Dekat

Pterygium, suatu kondisi yang cukup sering dijumpai dalam praktik klinis, didefinisikan sebagai penyakit permukaan okular yang ditandai oleh pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva berbentuk sayap atau segitiga yang dapat meluas hingga ke kornea. Mengingat prevalensinya yang relatif umum, pemahaman yang baik mengenai kondisi ini menjadi relevan bagi dokter umum yang seringkali menjadi lini pertama kontak pasien. 

Meskipun telah menjadi subjek penelitian intensif selama bertahun-tahun, berbagai aspek patofisiologi inti pterygium, termasuk peran pasti faktor herediter dan jalur molekuler yang terlibat, masih menyimpan banyak ketidakpastian dan terus menjadi area riset yang aktif.

Penting untuk disadari bahwa pterygium bukan hanya sekadar masalah kosmetik minor. Lebih dari itu, ia merupakan suatu kondisi patologis dengan potensi dampak signifikan terhadap fungsi visual dan kesehatan permukaan mata secara keseluruhan. 

Pertumbuhan pterygium dapat menyebabkan irregularitas pada kornea, yang merupakan struktur krusial untuk pembiasan cahaya dan kualitas penglihatan. Implikasi ini menggarisbawahi pentingnya bagi dokter umum untuk tidak menganggap remeh kondisi ini. 

Pemahaman bahwa pterygium dapat bersifat progresif dan berpotensi menyebabkan gangguan visual lebih lanjut menekankan perlunya deteksi dini, evaluasi cermat, dan pemahaman akan opsi tatalaksana awal serta kriteria rujukan yang tepat. 

Artikel ini akan berfokus secara komprehensif pada aspek-aspek kunci 'Diagnosis dan terapi Pterygium', dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan informasi praktis bagi dokter umum dalam menghadapi kasus pterygium.

2. Mengapa Pterygium Terjadi? Etiologi dan Patofisiologi Singkat

Etiologi pterygium bersifat multifaktorial, namun paparan kronis terhadap radiasi ultraviolet (UV) dari sinar matahari secara konsisten diidentifikasi sebagai faktor risiko utama dan paling signifikan dalam inisiasi dan progresi pterygium. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa individu dengan paparan sinar matahari lebih dari 5 jam per hari memiliki peningkatan risiko pterygium dengan Odds Ratio (OR) 1.24.

Selain paparan UV, beberapa faktor risiko tambahan telah diidentifikasi. Faktor demografis meliputi usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki (OR 1.30), serta individu dengan pekerjaan yang dominan di luar ruangan (OR 1.46) atau yang tinggal di daerah pedesaan (OR 1.45). 

Dari segi gaya hidup, konsumsi alkohol juga dikaitkan dengan peningkatan risiko (OR 1.17). Menariknya, penggunaan kacamata hitam ditemukan memiliki efek protektif yang signifikan (OR 0.47), demikian pula dengan merokok (OR 0.84), meskipun risiko kesehatan keseluruhan akibat merokok jauh lebih besar dan tidak sebanding dengan potensi manfaat kecil ini.

Patofisiologi pterygium adalah proses yang kompleks dan melibatkan disregulasi berbagai jalur molekuler. Ini bukan sekadar respons iritatif sederhana terhadap lingkungan. Sebaliknya, paparan UV dan faktor pemicu lainnya menginisiasi kaskade perubahan seluler yang melibatkan peningkatan aktivitas sitokin pro-inflamasi, berbagai faktor pertumbuhan (termasuk Vascular Endothelial Growth Factor - VEGF yang merangsang angiogenesis), dan matrix metalloproteinases (MMPs) yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler dan remodeling jaringan. 

Proses patologis lain yang turut berkontribusi meliputi stres oksidatif, gangguan mekanisme apoptosis sel (kematian sel terprogram), potensi disfungsi gen supresor tumor seperti p53, dan kemungkinan keterlibatan infeksi virus dalam beberapa kasus. 

Lebih lanjut, penelitian terbaru menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi Transient Receptor Potential Vanilloid 1 (TRPV1), suatu kanal ion yang terlibat dalam sensasi nyeri dan inflamasi, juga diduga berperan dalam mediasi proses inflamasi dan respons sensorik pada jaringan pterygium. 

Pemahaman akan dasar multifaktorial dan kompleksitas patogenesis ini membantu menjelaskan mengapa beberapa individu lebih rentan terhadap pterygium, mengapa rekurensi menjadi masalah yang sering terjadi pasca terapi, dan mengapa pendekatan tatalaksana terkadang memerlukan strategi berlapis.

3. Diagnosis Pterygium di Layanan Primer

Diagnosis pterygium di tingkat layanan primer umumnya didasarkan pada temuan klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan mata eksternal. Secara tipikal, pterygium tampak sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskular dari konjungtiva bulbi, seringkali berasal dari sisi nasal (meskipun dapat juga dari temporal atau keduanya), yang meluas ke permukaan kornea dengan bentuk menyerupai sayap atau segitiga.

Gejala yang dikeluhkan pasien dapat bervariasi, mulai dari asimtomatik pada pterygium kecil hingga keluhan signifikan pada lesi yang lebih besar atau meradang. Gejala umum meliputi mata merah, iritasi, sensasi benda asing, fotofobia ringan, mata kering, atau rasa gatal. 

Jika pterygium telah tumbuh cukup besar hingga menginduksi astigmatisme kornea (perubahan kelengkungan kornea) atau secara fisik mulai menutupi aksis visual (area pupil), pasien mungkin akan melaporkan penglihatan kabur, distorsi, atau bahkan penurunan tajam penglihatan.

Gambar 1. Foto Klinis Pterygium

Figure 1

Salah satu aspek krusial dalam evaluasi klinis oleh dokter umum adalah kemampuan untuk membedakan antara pterygium tipikal yang bersifat jinak dengan lesi atipikal. Pterygium atipikal mungkin menunjukkan karakteristik seperti pertumbuhan yang sangat cepat, pigmentasi yang tidak biasa atau berlebihan, vaskularisasi yang sangat menonjol dan ireguler, atau riwayat rekurensi yang agresif setelah terapi sebelumnya.

Adanya fitur atipikal ini harus meningkatkan kecurigaan akan kemungkinan adanya displasia atau bahkan neoplasia permukaan okular, seperti ocular surface squamous neoplasia (OSSN). Identifikasi tanda-tanda atipikal ini merupakan "red flag" yang memerlukan rujukan segera ke spesialis mata untuk evaluasi lebih lanjut, yang mungkin mencakup biopsi.

Penting untuk dipahami bahwa pterygium tidak hanya tumbuh di permukaan mata, tetapi juga dapat secara aktif menarik dan mengubah topografi kornea. Hal ini dapat menyebabkan irregularitas permukaan kornea, astigmatisme (seringkali jenis with-the-rule, di mana kornea lebih curam pada meridian vertikal), dan aberasi optik lainnya yang menurunkan kualitas penglihatan. 

Pada kasus-kasus di mana pterygium telah menyebabkan perubahan refraktif yang signifikan, pengangkatan dini mungkin diperlukan untuk mengurangi atau mencegah kesalahan refraksi sekunder yang bersifat permanen. Oleh karena itu, peran diagnostik dokter umum tidak hanya terbatas pada identifikasi lesi, tetapi juga mencakup penilaian awal terhadap potensi risiko dan dampak fungsional pterygium. 

Dokumentasi yang cermat mengenai ukuran pterygium (misalnya, seberapa jauh invasi ke kornea dalam milimeter), tingkat vaskularisasi, gejala yang dikeluhkan pasien, dan hasil pemeriksaan tajam penglihatan (jika memungkinkan) sangat penting untuk pemantauan longitudinal dan sebagai dasar untuk keputusan rujukan yang tepat. Aspek 'Diagnosis dan terapi Pterygium' ini menjadi fundamental bagi dokter umum.

4. Pilihan Tatalaksana Pterygium untuk Dokter Umum

A. Tatalaksana Konservatif dan Medikamentosa Awal

Untuk pterygium yang berukuran kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi aktif, bersifat asimtomatik atau hanya menimbulkan gejala ringan, dan tidak menunjukkan pertumbuhan progresif yang mengancam aksis visual, pendekatan konservatif seringkali menjadi pilihan awal.

  1. Observasi: Pemantauan rutin terhadap ukuran, vaskularisasi, dan gejala pterygium dianjurkan. Pasien diedukasi untuk melaporkan setiap perubahan.

  2. Lubrikan Okular (Air Mata Buatan): Ini adalah lini pertama untuk meredakan gejala iritasi, kekeringan, sensasi benda asing, dan ketidaknyamanan umum. Sediaan tanpa pengawet lebih dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang atau frekuen [Praktik Umum].

  3. Dekongestan Topikal Ringan: Dapat digunakan sesekali untuk mengurangi kemerahan, namun penggunaannya harus dibatasi karena potensi rebound hyperemia dan efek samping lain jika digunakan berlebihan.

  4. Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID) Topikal: Dapat dipertimbangkan untuk periode singkat guna mengurangi inflamasi dan ketidaknyamanan, terutama jika ada episode iritasi akut.

  5. Kortikosteroid Topikal Potensi Rendah: Penggunaannya oleh dokter umum harus sangat hati-hati dan dipertimbangkan hanya untuk kasus dengan inflamasi signifikan yang tidak merespons terapi lain. Pemberian harus jangka pendek, dan dokter umum perlu mewaspadai potensi efek samping seperti peningkatan tekanan intraokular (TIO), induksi katarak, dan peningkatan risiko infeksi. Jika memungkinkan, pemantauan TIO dipertimbangkan.

  6. Siklosporin 0.05% Tetes Mata: Meskipun peran utamanya yang terbukti adalah sebagai terapi adjuvan pasca-bedah untuk mencegah rekurensi , potensi anti-inflamasi dan imunomodulatornya dapat dipertimbangkan dalam kasus tertentu pterygium dengan inflamasi kronis di bawah pengawasan, meskipun data pendukung untuk penggunaan sebagai terapi medis primer pada pterygium yang belum dioperasi kurang kuat.

  7. Agen Anti-VEGF: Peran agen anti-VEGF dalam tatalaksana primer pterygium masih dalam tahap penelitian dan belum menjadi standar praktik rutin.

Peran utama dokter umum dalam tatalaksana medikamentosa pterygium adalah manajemen simtomatik yang aman dan stabilisasi jangka pendek, bukan upaya kuratif definitif. Jika gejala persisten, memburuk, atau pterygium menunjukkan tanda progresi, rujukan ke spesialis mata adalah langkah yang tepat.

B. Kapan Merujuk untuk Tatalaksana Bedah? Indikasi Kunci untuk Dokter Umum

Keputusan untuk merujuk pasien pterygium untuk evaluasi bedah didasarkan pada beberapa indikasi kunci:

  1. Gangguan Penglihatan Signifikan: Ini merupakan indikasi utama, termasuk penurunan tajam penglihatan akibat astigmatisme yang diinduksi pterygium, atau pertumbuhan pterygium yang secara fisik telah mencapai atau mengancam aksis visual (area pupil).

  2. Pertumbuhan Progresif: Adanya bukti objektif (melalui pengukuran serial atau dokumentasi fotografi) bahwa pterygium terus tumbuh dan menginvasi kornea menuju pusat.

  3. Iritasi Kronis atau Inflamasi Berat: Gejala persisten berupa mata merah, nyeri, sensasi benda asing, atau fotofobia yang tidak memberikan respons adekuat terhadap tatalaksana konservatif maksimal.

  4. Keterbatasan Gerakan Bola Mata: Meskipun jarang, pterygium yang sangat besar dan tebal dapat membentuk jaringan parut simblefaron yang mengganggu motilitas okular dan menyebabkan diplopia.

  5. Alasan Kosmetik: Jika penampilan pterygium menyebabkan distres psikologis atau masalah estetika yang signifikan bagi pasien, pembedahan dapat dipertimbangkan setelah diskusi menyeluruh mengenai risiko dan manfaat prosedur dengan spesialis mata.

  6. Kecurigaan Pterygium Atipikal atau Adanya Displasia/Neoplasia: Sebagaimana telah ditekankan sebelumnya, ini merupakan indikasi absolut untuk rujukan segera guna evaluasi dan kemungkinan biopsi oleh spesialis mata.

Dokter umum memainkan peran vital dalam mengidentifikasi pasien yang memerlukan intervensi bedah dan memastikan rujukan dilakukan secara tepat waktu untuk mencegah komplikasi visual jangka panjang atau keterlambatan diagnosis kondisi yang lebih serius.

C. Teknik Bedah Utama dan Terapi Adjuvan (Informasi Penting untuk Dokter Umum)

Ketika pembedahan diindikasikan, beberapa teknik dan terapi adjuvan dapat dipertimbangkan oleh spesialis mata untuk memaksimalkan keberhasilan dan meminimalkan rekurensi.

  1. Eksisi Pterygium dengan Conjunctival Autograft (CAG): Teknik ini dianggap sebagai standar emas. Setelah jaringan pterygium diangkat, defek pada sklera ditutup dengan graf konjungtiva sehat yang diambil dari area lain mata pasien (biasanya superotemporal). CAG secara konsisten menunjukkan tingkat rekurensi yang lebih rendah dibandingkan prosedur lain. Fiksasi graf dapat menggunakan jahitan atau lem fibrin, di mana lem fibrin dilaporkan dapat mengurangi inflamasi pasca operasi dan mungkin menurunkan angka rekurensi.

  2. Transplantasi Membran Amnion (Amniotic Membrane Transplantation - AMT): AMT menjadi alternatif, terutama jika konjungtiva donor tidak cukup, ada inflamasi berat, atau pada pterygium rekuren. AMT dapat membantu proses epitelisasi dan mengurangi inflamasi serta pembentukan jaringan parut. Beberapa studi menunjukkan tingkat rekurensi yang sebanding dengan CAG, terutama bila dikombinasikan dengan lem fibrin, dan mungkin dengan profil efek samping yang lebih rendah.

  3. Teknik Bare Sclera: Teknik ini melibatkan eksisi pterygium tanpa penutup graf, membiarkan sklera sembuh sendiri. Teknik ini sebaiknya dihindari karena tingkat rekurensi yang sangat tinggi.

Untuk mengurangi risiko rekurensi, terapi adjuvan sering digunakan:

  • Mitomycin C (MMC) Intraoperatif: Aplikasi topikal tunggal larutan MMC (umumnya 0.02%) pada dasar sklera selama beberapa menit setelah eksisi pterygium dan sebelum penempatan graf telah terbukti signifikan menurunkan tingkat rekurensi.

  • Siklosporin 0.05% Tetes Mata Pasca Operasi: Kombinasi CAG dengan penggunaan siklosporin 0.05% tetes mata pasca operasi diidentifikasi sebagai strategi adjuvan terbaik untuk mencegah rekurensi pterygium primer dalam sebuah meta-analisis jaringan.

Pemahaman dasar mengenai opsi bedah modern dan berbagai terapi adjuvan ini membantu dokter umum dalam mengelola ekspektasi pasien dan mendukung kesinambungan perawatan.

Tabel 1: Ringkasan Pilihan Terapi Adjuvan Umum pada Bedah Pterigium Primer dan Perkiraan Tingkat Rekurensi.


Teknik Bedah + Adjuvan

Perkiraan Tingkat Rekurensi (%)

Catatan Kunci / Sumber Utama

Eksisi + Conjunctival Autograft (CAG) Saja

7.6 ; bervariasi

Standar, sering dengan adjuvan

CAG + Mitomycin C (MMC) 0.02% Intraoperatif

1.4

Bukti kualitas tinggi, sangat efektif

CAG + Siklosporin 0.05% Tetes Mata Pasca Operasi

Peringkat terbaik

Pilihan adjuvan yang sangat efektif

Eksisi + Amniotic Membrane Transplantation (AMT)

9.0 ; tidak beda sig. vs CAG

Alternatif CAG, mungkin < efek samping

Eksisi + Bare Sclera

Tinggi

Sebaiknya dihindari

5. Mengatasi Rekurensi: Tantangan dalam Terapi Pterygium

Rekurensi pterygium setelah pengangkatan bedah adalah komplikasi yang paling sering terjadi dan menjadi tantangan signifikan dalam tatalaksana jangka panjang. Pterygium rekuren seringkali menunjukkan pertumbuhan yang lebih agresif dan lebih sulit ditangani daripada lesi primer, menyoroti sifat biologis yang persisten dari kondisi ini pada beberapa individu.

Beberapa strategi dapat dipertimbangkan untuk pterygium rekuren atau sebagai upaya pencegahan rekurensi tambahan:

  1. Mitomycin C (MMC) Topikal Pasca Operasi: Meskipun penggunaan utamanya adalah intraoperatif, MMC topikal dalam bentuk tetes mata (misalnya, dosis 0.4 mg/ml atau 0.04%) juga telah diteliti sebagai terapi adjuvan pasca operasi. Dosis yang lebih rendah (0.4 mg/ml) bertujuan meminimalkan efek samping topikal seperti iritasi konjungtiva, lakrimasi berlebih, dan keratitis pungtata superfisial, yang lebih sering terlihat pada dosis lebih tinggi (misalnya, 1.0 mg/ml atau 0.1%). Penggunaan MMC topikal pasca operasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena potensi komplikasi sklera.

  2. 5-Fluorouracil (5-FU) Intralesi untuk Pterygium Rekuren: Untuk kasus pterygium yang telah mengalami rekurensi, injeksi mingguan 5-FU secara intralesi (langsung ke dalam jaringan pterygium rekuren) telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Dosis yang umum digunakan adalah 0.1-0.2 ml (setara dengan 2.5-5 mg) 5-FU, dimulai dalam waktu 1 bulan setelah rekurensi teridentifikasi. Terapi ini dilaporkan efektif dalam menghentikan progresi dan menginduksi regresi pterygium rekuren pada sebagian besar kasus, dengan efek yang bertahan lama dan tanpa komplikasi signifikan terkait terapi 5-FU pada studi yang ada.

  3. Beta Radioterapi Pasca Operasi: Penggunaan radiasi beta (seringkali dengan aplikator Strontium-90) sebagai terapi adjuvan pasca operasi pernah cukup populer. Beberapa studi melaporkan manfaat dalam mencegah rekurensi. Namun, penggunaannya cenderung menurun seiring ketersediaan alternatif farmakologis yang efektif dan kekhawatiran mengenai potensi risiko jangka panjang radiasi.

Penanganan pterygium rekuren seringkali memerlukan pendekatan yang berbeda dan mungkin lebih intensif. Dokter umum harus menyadari bahwa rekurensi adalah kemungkinan nyata dan pasien mungkin memerlukan rujukan kembali ke spesialis mata untuk tatalaksana lebih lanjut.

Tabel 2: Contoh 'Dosis Obat Pterygium' yang Relevan dalam Konteks Tatalaksana.


Obat

Penggunaan Utama dalam Konteks Pterygium

Contoh Dosis & Cara Pemberian Umum

Mitomycin C (MMC)

Adjuvan Intraoperatif

Larutan 0.02% (0.2 mg/ml), aplikasi topikal tunggal selama 1-5 menit pada sklera setelah eksisi pterygium

Mitomycin C (MMC)

Adjuvan Topikal Pasca Operasi (jarang digunakan saat ini, pertimbangkan risiko)

Tetes mata 0.04% (0.4 mg/ml), mis., 1-2x/hari selama 5-14 hari, rejimen bervariasi

Siklosporin

Adjuvan Topikal Pasca Operasi (setelah CAG)

Tetes mata 0.05%, mis., 2x/hari selama minimal 3-6 bulan atau lebih lama sesuai instruksi spesialis

5-Fluorouracil (5-FU)

Terapi Pterygium Rekuren

Injeksi intralesi 2.5-5 mg (0.1-0.2 ml dari larutan 25mg/ml atau 50mg/ml) per minggu, jumlah sesi bervariasi

Kortikosteroid Topikal (Contoh: Deksametason 0.1%, Prednisolon Asetat 1%, Fluorometolon 0.1%)

Kontrol Inflamasi Pasca Operasi

Dosis tapering (mis., mulai 4-6x/hari, diturunkan bertahap selama 4-8 minggu atau lebih lama sesuai protokol spesialis)

Lubrikan/Air Mata Buatan (Tanpa Pengawet lebih dianjurkan jika penggunaan sering)

Terapi Simtomatik (iritasi, mata kering)

Sesuai kebutuhan (mis., 3-4x/hari atau lebih sering)

Catatan: Dosis dan durasi terapi dapat bervariasi tergantung pada protokol spesialis dan respons individu pasien. Tabel ini hanya sebagai panduan umum.

6. Perawatan Pasca Operasi dan Komplikasi: Peran Dokter Umum

Setelah pasien menjalani pembedahan pterygium oleh spesialis mata, dokter umum dapat memainkan peran penting dalam perawatan pasca operasi dan identifikasi dini komplikasi. Kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan pasca operasi, terutama penggunaan kortikosteroid topikal, adalah faktor krusial. 

Studi menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid topikal yang adekuat dan patuh setelah eksisi pterygium dengan CAG secara signifikan mengurangi tingkat rekurensi; sebaliknya, ketidakpatuhan atau penghentian dini terapi kortikosteroid dikaitkan dengan peningkatan risiko rekurensi yang sangat dramatis (Odds Ratio hingga 190.4). 

Hal ini menggarisbawahi peran sentral inflamasi dalam patogenesis rekurensi dan pentingnya mengendalikannya secara farmakologis.

Peran dokter umum dalam fase ini meliputi:

  • Pemantauan Umum: Memantau kenyamanan pasien, manajemen nyeri ringan, tanda-tanda penyembuhan luka awal (berkurangnya kemerahan, tidak ada sekret abnormal).

  • Penguatan Kepatuhan: Memperkuat instruksi spesialis mengenai penggunaan obat tetes mata (antibiotik, kortikosteroid, lubrikan) dan menekankan pentingnya menyelesaikan seluruh rangkaian pengobatan sesuai jadwal.

  • Identifikasi Dini Komplikasi:

  • Gejala Umum Pasca Operasi: Iritasi ringan, mata merah superfisial, sensasi benda asing, dan fotofobia ringan adalah hal yang umum dan biasanya membaik.

  • Infeksi: Meskipun jarang, infeksi pasca operasi seperti konjungtivitis bakterial atau skleritis infeksiosa (dengan Pseudomonas sebagai patogen umum) adalah komplikasi serius. Gejala skleritis infeksiosa meliputi nyeri hebat, penurunan visus, fotofobia berat, sekret purulen, dan kemerahan fokal yang intens. Kondisi ini memerlukan rujukan segera kembali ke spesialis.

  • Inflamasi Berlebihan atau Persisten: Kemerahan, bengkak, atau nyeri yang tidak membaik atau memburuk.

  • Masalah Graf (pada CAG): Dislokasi, retraksi, atau graft melt (jarang).

  • Efek Samping Obat: Misalnya, iritasi akibat MMC topikal jika digunakan.

Dokter umum harus segera merujuk kembali pasien ke spesialis mata jika timbul nyeri hebat yang tidak terkontrol, penurunan visus mendadak, munculnya sekret purulen, hipopion, kemerahan sklera yang dalam dan fokal, atau jika ada keraguan mengenai kondisi pasien. Komunikasi yang baik antara dokter umum dan spesialis mata sangat krusial untuk kesinambungan perawatan.

7. Pencegahan Pterygium: Edukasi untuk Pasien

Pencegahan primer melalui modifikasi perilaku adalah strategi paling efektif dan hemat biaya untuk mengurangi insidensi dan prevalensi pterygium. Mengingat paparan radiasi UV adalah faktor risiko utama yang paling konsisten dan dapat dimodifikasi , edukasi yang kuat mengenai perlindungan UV oleh dokter umum dapat memiliki dampak kesehatan masyarakat yang signifikan.

  • Proteksi Terhadap Radiasi UV: Ini adalah pilar utama. Penggunaan kacamata hitam yang memiliki kemampuan memblok radiasi UVA dan UVB secara signifikan mengurangi risiko pengembangan pterygium (OR 0.47 untuk pengguna kacamata hitam). Kacamata model wrap-around memberikan proteksi yang lebih baik.

  • Penggunaan Topi Bertepi Lebar: Memberikan perlindungan tambahan dari sinar UV yang mencapai mata.

  • Menghindari Paparan Sinar Matahari Berlebihan: Terutama pada jam-jam puncak intensitas UV (biasanya antara pukul 10 pagi hingga 4 sore).

  • Modifikasi Faktor Risiko Lain:

  • Meskipun merokok dilaporkan memiliki efek protektif minor terhadap pterygium , risiko kesehatan keseluruhan akibat merokok jauh lebih besar. Edukasi harus tetap fokus pada penghentian merokok.

  • Mengingat konsumsi alkohol dikaitkan dengan peningkatan risiko pterygium , edukasi mengenai moderasi atau penghentian konsumsi alkohol mungkin relevan.

  • Lubrikasi Mata: Bagi individu yang sering berada di lingkungan kering, berdebu, atau berangin, penggunaan air mata buatan secara teratur dapat membantu mengurangi iritasi permukaan mata kronis.

Dokter umum berada di garis depan untuk memberikan konseling pencegahan ini, terutama kepada mereka yang memiliki faktor risiko tinggi (misalnya, pekerja luar ruangan).

8. Kesimpulan: Poin Kunci untuk Praktik Sehari-hari Dokter Umum

Pemahaman yang komprehensif mengenai 'Diagnosis dan terapi Pterygium' memberdayakan dokter umum untuk memberikan perawatan yang optimal bagi pasien. Poin-poin kunci yang perlu diingat meliputi:

  • Pterygium adalah kondisi umum yang dipicu terutama oleh paparan UV, namun memiliki patofisiologi kompleks yang melibatkan inflamasi dan proses pertumbuhan seluler.

  • Diagnosis yang akurat, termasuk kemampuan untuk membedakan pterygium tipikal dari varian atipikal yang mungkin menandakan kondisi lebih serius, adalah fundamental.

  • Peran dokter umum sangat penting dalam tatalaksana simtomatik awal yang aman, memberikan edukasi pasien yang komprehensif (terutama mengenai pencegahan melalui proteksi UV dan pentingnya kepatuhan pengobatan), serta melakukan rujukan yang tepat waktu ke spesialis mata bila terdapat indikasi bedah atau kecurigaan keganasan.

  • Pemahaman dasar mengenai opsi bedah modern (seperti CAG dengan atau tanpa AMT) dan berbagai terapi adjuvan (termasuk 'Dosis Obat Pterygium' seperti MMC dan Siklosporin) membantu dokter umum dalam mengelola ekspektasi pasien, mendukung kesinambungan perawatan pasca operasi, dan memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dengan spesialis.

  • Rekurensi tetap menjadi tantangan utama, menekankan pentingnya pemilihan teknik bedah dan adjuvan yang tepat, serta kepatuhan pasien terhadap instruksi pasca operasi, terutama penggunaan kortikosteroid.

  • Upaya pencegahan, dengan fokus utama pada perlindungan mata dari paparan radiasi ultraviolet, adalah strategi jangka panjang yang paling efektif dan harus selalu ditekankan dalam edukasi pasien.

Dengan pendekatan yang terinformasi dan kolaboratif, dokter umum dapat memainkan peran signifikan dalam manajemen pterygium, meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mencegah komplikasi visual yang tidak diinginkan.

Referensi

  1. Pterygium: an update on pathophysiology, clinical features, and ..., diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34104871/

  2. Risk factors for pterygium: Latest research progress on major pathogenesis - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38636803/

  3. Prevalence and risk factors of pterygium: a systematic review and ..., diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29551597/

  4. The management of pterygium - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/406589/

  5. Comparison among adjuvant treatments for primary pterygium: a ..., diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29146761/

  6. Conjunctival and Limbal Conjunctival Autograft vs. Amniotic Membrane Graft in Primary Pterygium Surgery: A 30-Year Comprehensive Review - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36961661/

  7. Amniotic membrane transplantation and conjunctival autograft ..., diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36438046/

  8. Mitomycin eye drops as treatment for pterygium - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/3211484/

  9. Intra-lesional 5 fluorouracil for the management of recurrent pterygium - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23807385/

  10. Another look at pterygium surgery with postoperative beta radiation - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7865444/

  11. Role of post-operative topical corticosteroids in recurrence rate after pterygium excision with conjunctival autograft - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12929992/

Management of infectious scleritis after pterygium excision - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10632006/