Dokter Post - Diagnosis dan Terapi Orchitis pada Lansia: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum Berbasis Bukti Pubmed

Diagnosis dan Terapi Orchitis pada Lansia: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum Berbasis Bukti Pubmed

3 Sep 2025 • Interna , urologi

Deskripsi

Diagnosis dan Terapi Orchitis pada Lansia: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum Berbasis Bukti Pubmed

I. Pendahuluan: Memahami Orchitis pada Pasien Lansia – Tantangan Diagnosis dan Terapi

Orchitis didefinisikan sebagai inflamasi pada satu atau kedua testis. Kondisi ini seringkali disertai dengan epididimitis, suatu inflamasi pada epididimis, yang secara kolektif disebut sebagai epididimo-orchitis. Pada populasi lansia, orchitis dapat menjadi manifestasi dari masalah urogenital yang lebih kompleks dan memerlukan evaluasi yang teliti. 

Bagi dokter umum, yang sering menjadi lini pertama kontak pasien lansia dengan keluhan skrotum akut, pemahaman mendalam mengenai kondisi ini sangat krusial. Diagnosis yang cepat dan akurat tidak hanya penting untuk meredakan gejala tetapi juga untuk mencegah komplikasi jangka panjang seperti atrofi testis, pembentukan abses, dan yang paling penting, untuk menyingkirkan kondisi darurat bedah seperti torsio testis atau keganasan testis yang mungkin memiliki presentasi serupa.

Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam konteks orchitis pada lansia adalah fenomena "inflammageing". Istilah ini merujuk pada kondisi proinflamasi kronis ringan yang umumnya menyertai proses penuaan. Proses penuaan itu sendiri telah dikaitkan dengan peningkatan proses inflamasi di berbagai sistem organ, termasuk traktus reproduksi pria. 

Keadaan dasar proinflamasi ini dapat menjadikan lansia lebih rentan terhadap perkembangan orchitis atau mengalami respons inflamasi yang lebih hebat ketika terpapar pemicu infeksius maupun non-infeksius. Dengan kata lain, ambang batas untuk berkembangnya orchitis klinis mungkin lebih rendah pada lansia, atau respons inflamasi yang terpicu dapat menjadi lebih nyata atau berkepanjangan. 

Hal ini memiliki implikasi baik pada diagnosis, di mana dokter perlu waspada terhadap presentasi atipikal, maupun pada manajemen, yang mungkin memerlukan dukungan anti-inflamasi yang lebih cermat.

II. Etiologi dan Faktor Risiko Khas Orchitis pada Lansia: Perspektif Klinis

Etiologi orchitis pada lansia cukup beragam, mulai dari infeksi bakteri, virus, hingga penyebab non-infeksius seperti efek samping obat. Memahami spektrum penyebab ini dan faktor risiko yang menyertainya adalah kunci untuk diagnosis dan terapi yang tepat.

  • A. Orchitis Bakterial

Orchitis bakterial merupakan penyebab paling umum pada pria berusia di atas 35 tahun, termasuk populasi lansia. Infeksi ini seringkali bersifat asendens, berasal dari infeksi saluran kemih (ISK) atau prostatitis, atau dapat juga terjadi akibat instrumentasi urologis.

  • Patogen Umum:

  • Bakteri enterik gram-negatif adalah pelaku utama. Escherichia coli dilaporkan sebagai agen etiologi pada mayoritas kasus dengan bakteriuria, mencapai 86% (19 dari 22 pasien) dalam satu studi mengenai epididimo-orchitis akut (AEO).

  • Pseudomonas aeruginosa juga merupakan patogen yang signifikan, terutama pada pasien lansia dengan riwayat penyakit genitourinaria sebelumnya atau mereka yang menggunakan kateter urin. Orchitis yang disebabkan oleh P. aeruginosa bisa lebih sulit diobati pada kelompok usia ini. Sebuah laporan kasus menyoroti tiga pasien dengan epididimo-orchitis akibat P. aeruginosa, yang semuanya memiliki penyakit genitourinaria sebelumnya.

  • Faktor Risiko Utama pada Lansia:

  • Obstruksi Saluran Kemih Bawah (Benign Prostatic Hyperplasia - BPH): BPH sangat prevalen pada pria lansia dan menjadi faktor risiko utama terjadinya epididimo-orchitis. Dinyatakan bahwa epididimo-orchitis adalah diagnosis yang relatif umum pada pria lansia dan seringkali berkaitan dengan obstruksi aliran keluar prostat. Studi lain juga menemukan bahwa obstruksi saluran keluar kandung kemih (BOO), yang sering disebabkan oleh BPH, secara signifikan lebih umum pada pasien di atas usia 50 tahun dengan AEO. Keterkaitan erat antara BPH dan orchitis bakterial pada lansia menunjukkan bahwa manajemen BPH yang optimal tidak hanya penting untuk mengatasi gejala gangguan berkemih (LUTS), tetapi juga berperan sebagai strategi preventif terhadap orchitis berulang. Obstruksi akibat BPH menyebabkan stasis urin, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan bakteri. Peningkatan tekanan intravesikal atau refluks urin yang terinfeksi dapat menyebarkan bakteri secara retrograd ke epididimis dan testis. Jika BPH tidak ditangani secara efektif, sumber infeksi dan mekanisme penyebarannya akan tetap ada, sehingga meningkatkan risiko episode orchitis di masa mendatang.

  • Kateterisasi Urin: Penggunaan kateter urin, baik sementara maupun jangka panjang (menetap), secara signifikan meningkatkan risiko ISK, yang selanjutnya dapat memicu orchitis. MeSH term "Urinary Catheterization" dikaitkan dengan kasus orchitis akibat P. aeruginosa.

  • Riwayat Prosedur Urologis: Setiap manipulasi atau instrumentasi pada saluran kemih, seperti sistoskopi atau operasi prostat, dapat menjadi jalur masuk bagi bakteri.

  • Penyakit Genitourinaria Lainnya: Kondisi seperti striktur uretra atau kandung kemih neurogenik juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.

  • B. Orchitis Viral

  • Mumps Orchitis: Meskipun insidensinya telah menurun secara drastis berkat program vaksinasi MMR (Measles, Mumps, Rubella), kasus sporadis mumps orchitis masih dapat terjadi pada individu yang tidak divaksinasi atau yang imunitasnya menurun. Lebih lanjut, konsekuensi jangka panjang dari infeksi mumps yang terjadi di masa muda dapat bermanifestasi di usia tua.

  • Konsekuensi Jangka Panjang: Atrofi testis dan gangguan produksi hormon androgen adalah komplikasi signifikan yang dapat timbul bertahun-tahun setelah episode akut mumps orchitis. Sebuah studi melaporkan kasus tiga pria lansia (berusia 63-68 tahun) yang mengalami ginekomastia 1 hingga 30 tahun setelah mumps orchitis. Hal ini disebabkan oleh penurunan kapasitas sel Leydig untuk mensekresikan testosteron akibat kerusakan pasca-infeksi, yang diperparah oleh peningkatan normal aromatisasi perifer androgen menjadi estrogen seiring bertambahnya usia. Fenomena ini menggarisbawahi bahwa riwayat mumps di masa muda, yang mungkin telah dilupakan oleh pasien lansia, dapat menjadi petunjuk diagnostik penting untuk keluhan hormonal atau temuan atrofi testis di kemudian hari. Ini menekankan pentingnya anamnesis yang komprehensif mencakup riwayat penyakit masa kanak-kanak atau dewasa muda, bahkan pada pasien geriatri.

  • Virus Lain: Meskipun data spesifik mengenai virus lain sebagai penyebab orchitis pada lansia terbatas dalam materi yang ditinjau, virus-virus lain yang secara umum diketahui dapat menyebabkan orchitis (misalnya, Coxsackievirus, Echovirus, Varicella-zoster virus) perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding, terutama jika tidak ditemukan bukti infeksi bakteri. Satu studi menyarankan bahwa "investigations for viral and fastidious infections may be of help" pada kasus AEO dengan etiologi yang tidak jelas.

  • C. Orchitis Non-Infeksius

  • Orchitis Imbas Obat (Drug-Induced): Beberapa obat telah dilaporkan dapat menyebabkan orchitis sebagai efek samping. Amiodarone, obat antiaritmia yang sering digunakan pada pasien lansia dengan masalah kardiovaskular, adalah salah satu contoh yang terdokumentasi.

  • Sebuah laporan kasus mendeskripsikan seorang pria lansia berusia 88 tahun yang mengalami epididimo-orchitis setelah penggunaan amiodarone selama beberapa tahun, padahal sebelumnya ia dapat mentoleransi obat tersebut tanpa efek samping. Gejala orchitisnya sepenuhnya mereda setelah amiodarone dihentikan. Mekanisme pasti bagaimana amiodarone menyebabkan toksisitas testis ini belum diketahui, namun kondisi ini penting untuk dipertimbangkan, terutama pada pasien lansia yang seringkali menerima polifarmasi. Kasus amiodarone-induced orchitis ini menyoroti risiko iatrogenik pada populasi lansia. Setiap kasus orchitis pada lansia tanpa bukti infeksi yang jelas harus memicu tinjauan menyeluruh terhadap daftar obat yang dikonsumsi pasien, bahkan untuk obat-obatan yang telah lama digunakan tanpa masalah sebelumnya.

  • Trauma atau Vaskulitis: Meskipun tidak secara spesifik dibahas secara mendalam dalam materi yang ditinjau sebagai penyebab orchitis pada lansia, trauma pada skrotum atau kondisi vaskulitis sistemik yang melibatkan pembuluh darah testis secara teoritis dapat menyebabkan inflamasi testis.

  • Orchitis Autoimun: Penelitian pada model hewan (murine experimental autoimmune orchitis - EAO) menunjukkan bahwa proses autoimun dapat menyebabkan inflamasi testis. Temuan seperti fibrosis interstitial dan aktivasi komplemen yang memperburuk disfungsi sel Leydig dan antagonis sintesis androgen pada model EAO membuka pertanyaan tentang potensi peran proses autoimun atau inflamasi kronis idiopatik pada beberapa kasus orchitis atau disfungsi testis pada manusia, termasuk lansia. Hal ini terutama relevan dalam konteks "inflammageing", di mana sistem imun yang menua mungkin lebih rentan terhadap disregulasi. Namun, perlu ditekankan bahwa ini masih bersifat spekulatif berdasarkan data hewan dan memerlukan penelitian lebih lanjut pada manusia.

  • Kasus Langka: Penyebab orchitis yang sangat jarang namun penting untuk diingat adalah penyebaran infeksi dari sumber intra-abdomen. Sebuah laporan kasus yang tidak biasa menggambarkan seorang pria berusia 70 tahun dengan karsinoma kolon sigmoid yang mengalami perforasi, bermanifestasi sebagai epididimo-orchitis dan kemudian berkembang menjadi Fournier's gangrene. Kasus ini menekankan perlunya mempertimbangkan kemungkinan patologi intra-abdomen, terutama pada kasus orchitis yang atipikal, disertai gejala sistemik berat, atau berkembang menjadi kondisi serius seperti Fournier's gangrene.

Berikut adalah tabel ringkasan mengenai etiologi umum dan faktor risiko orchitis pada lansia:

Tabel 1: Etiologi Umum dan Faktor Risiko Orchitis pada Lansia


Jenis Etiologi

Patogen/Penyebab Spesifik (Contoh)

Faktor Risiko Utama pada Lansia (Contoh)

Bakterial

Escherichia coli , Pseudomonas aeruginosa

BPH/Obstruksi Saluran Kemih Bawah , Kateterisasi Urin , Riwayat Prosedur Urologis

Viral

Virus Mumps

Riwayat Mumps (tanpa vaksinasi/infeksi lampau), Imunosupresi

Non-Infeksius/Imbas Obat

Amiodarone , Trauma (jarang)

Polifarmasi (penggunaan amiodarone), Riwayat trauma skrotum

III. Panduan Praktis: Diagnosis Orchitis pada Lansia – Menuju Akurasi Klinis

Diagnosis orchitis pada lansia memerlukan pendekatan sistematis yang menggabungkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, dan penggunaan pemeriksaan penunjang yang tepat.

  • A. Anamnesis dan Gejala Kunci

Anamnesis yang komprehensif adalah langkah awal yang krusial.

  • Keluhan Utama: Pasien biasanya mengeluhkan nyeri skrotum yang dapat bersifat akut atau berkembang secara gradual, umumnya unilateral. Pembengkakan testis dan kemerahan (eritema) pada kulit skrotum juga merupakan keluhan umum.

  • Gejala Penyerta:

  • Demam dan menggigil sering menyertai, terutama pada orchitis bakterial, yang mengindikasikan adanya respons inflamasi sistemik.

  • Gejala infeksi saluran kemih (ISK) seperti disuria (nyeri saat berkemih), frekuensi (sering berkemih), dan urgensi (keinginan kuat untuk segera berkemih) dapat menyertai, terutama jika orchitis disebabkan oleh penyebaran infeksi dari saluran kemih. Satu laporan kasus menyebutkan pasien lansia dengan epididimo-orchitis yang juga mengalami disuria dan frekuensi.

  • Mual dan muntah dapat terjadi, dan meskipun tidak spesifik untuk orchitis, gejala ini juga dapat ditemukan pada kondisi darurat seperti torsio testis.

  • Riwayat Penting:

  • Riwayat Urogenital: Riwayat ISK berulang, BPH yang diketahui, riwayat prosedur urologis (misalnya, sistoskopi, operasi prostat), dan penggunaan kateter urin (baik saat ini maupun di masa lalu) merupakan faktor risiko penting untuk orchitis bakterial.

  • Riwayat Penyakit Menular Seksual (PMS): Meskipun orchitis akibat PMS (misalnya, disebabkan oleh Chlamydia trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae) lebih umum pada pria muda yang aktif secara seksual, kemungkinan ini tidak boleh sepenuhnya diabaikan pada lansia, terutama jika terdapat faktor risiko (misalnya, pasangan seksual baru, riwayat PMS). Satu studi menemukan Chlamydia trachomatis pada 28% dari 39 pasien AEO yang dites, meskipun rerata usia pasien dalam studi tersebut adalah 44 tahun.

  • Riwayat Mumps: Riwayat infeksi mumps, terutama jika disertai parotitis dan kemudian orchitis, penting untuk digali karena dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti atrofi testis dan hipogonadisme.

  • Riwayat Penggunaan Obat-obatan: Daftar obat yang lengkap harus ditinjau, dengan perhatian khusus pada obat-obat yang diketahui dapat menyebabkan orchitis, seperti amiodarone.

  • Riwayat Trauma Skrotum: Trauma langsung pada skrotum dapat menyebabkan inflamasi testis.

  • B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan hati-hati dan sistematis.

  • Inspeksi: Perhatikan adanya pembengkakan skrotum unilateral atau bilateral, eritema pada kulit skrotum, dan apakah kulit tampak tegang atau mengkilat.

  • Palpasi:

  • Testis yang terkena biasanya membengkak, terasa hangat, dan sangat nyeri tekan. Konsistensi testis juga perlu dinilai.

  • Epididimis seringkali ikut terlibat (epididimitis), sehingga teraba membesar dan nyeri tekan, biasanya terletak di bagian posterosuperior testis. Membedakan antara orchitis isolada dan epididimo-orchitis hanya berdasarkan palpasi bisa sulit.

  • Refleks Kremaster: Pemeriksaan refleks kremaster sangat penting untuk membantu membedakan orchitis dari torsio testis. Refleks ini diperiksa dengan menggores bagian medial paha atas; respons normal adalah elevasi testis ipsilateral. Pada torsio testis, refleks kremaster biasanya negatif (absen). Sebaliknya, pada orchitis atau epididimitis, refleks kremaster umumnya positif (ada), meskipun nyeri hebat kadang dapat menyulitkan penilaian.

  • Pemeriksaan Colok Dubur (Digital Rectal Examination - DRE): DRE diindikasikan untuk menilai kelenjar prostat, terutama jika ada kecurigaan BPH (prostat membesar, kenyal) atau prostatitis (prostat nyeri tekan hebat).

  • Pemeriksaan Abdomen: Palpasi abdomen dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan patologi intra-abdomen yang dapat menyebabkan nyeri alih ke skrotum (misalnya, hernia inguinalis inkarserata, aneurisma aorta, atau batu ureter).

  • C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang membantu mengkonfirmasi diagnosis, mengidentifikasi etiologi, dan menyingkirkan diagnosis banding penting.

  • Urinalisis dan Kultur Urin: Pemeriksaan ini wajib dilakukan pada semua pasien dengan dugaan orchitis. Adanya piuria (leukosit dalam urin) dan bakteriuria mendukung diagnosis orchitis bakterial. Kultur urin dengan tes sensitivitas antibiotik sangat penting untuk memandu terapi antibiotik definitif.

  • Pewarnaan Gram dan Kultur Sekret Uretra: Dipertimbangkan jika terdapat duh (discharge) uretra atau jika ada kecurigaan infeksi menular seksual berdasarkan anamnesis dan faktor risiko.

  • Tes Darah Lengkap: Dapat menunjukkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, yang mengindikasikan adanya infeksi bakteri sistemik.

  • Marka Inflamasi (C-Reactive Protein - CRP / Laju Endap Darah - LED): Umumnya meningkat pada kondisi inflamasi akut seperti orchitis, namun tidak spesifik untuk penyebab tertentu.

  • Ultrasonografi (USG) Doppler Skrotum: Ini adalah pemeriksaan pencitraan pilihan dan seringkali menjadi kunci dalam evaluasi skrotum akut.

  • Tujuan Utama USG Doppler Skrotum:

  1. Mengkonfirmasi Diagnosis Orchitis/Epididimo-orchitis: USG dapat menunjukkan pembesaran testis dan/atau epididimis, perubahan ekogenisitas jaringan (biasanya hipoekoik), penebalan dinding skrotum, dan yang penting, peningkatan aliran darah (hipervaskularisasi) pada pemeriksaan Doppler.

Gambar 1. USG Doppler Testis menunjukkan hiperemia dan Epididymo-Orchitis

  1. Menyingkirkan Torsio Testis: Ini adalah peran paling krusial dari USG Doppler pada skrotum akut. Pada torsio testis, aliran darah ke testis yang terkena akan menurun secara signifikan atau bahkan tidak ada sama sekali. Temuan ini merupakan indikasi untuk eksplorasi bedah segera.

  2. Mendeteksi Komplikasi: USG dapat mengidentifikasi komplikasi seperti pembentukan abses testis (area avaskular atau hipoekoik dengan debris internal), hidrokel reaktif (akumulasi cairan di sekitar testis), atau pionefrosis jika ada obstruksi berat.

  3. Mengevaluasi Massa Testis: USG dapat membantu membedakan inflamasi dari massa testis solid yang mungkin bersifat ganas. Satu studi, meskipun pada populasi yang lebih muda (rerata usia 45 tahun), menemukan bahwa pada pasien yang dievaluasi dengan USG setelah diagnosis klinis epididimitis, beberapa di antaranya ternyata memiliki lesi testis yang mencurigakan, dan kanker dikonfirmasi pada empat pria. Meskipun studi ini tidak secara eksklusif pada lansia, prinsip kehati-hatian dan potensi keganasan sebagai diagnosis banding tetap berlaku.

  • Meskipun sebagian kasus epididimitis dapat didiagnosis dan diobati dengan benar tanpa USG skrotum, risiko adanya kanker testis yang mendasari harus tetap diingat. Rekomendasi untuk USG tindak lanjut pada pasien dengan gejala persisten atau tanpa bakteriuria (terutama pada usia <50 tahun dalam studi tersebut) dapat diekstrapolasi sebagai pertimbangan kewaspadaan pada populasi lansia. Pada lansia, presentasi klinis orchitis dapat tumpang tindih dengan kondisi lain yang juga umum pada usia tersebut, seperti hernia atau komplikasi BPH. Oleh karena itu, USG Doppler skrotum bukan hanya alat untuk menyingkirkan torsio, tetapi juga untuk memetakan anatomi skrotum secara keseluruhan dan mengidentifikasi patologi penyerta atau alternatif yang mungkin terlewatkan oleh pemeriksaan fisik saja, terutama jika pasien memiliki komorbiditas multipel.

  • D. Diagnosis Banding Utama pada Lansia

Mengingat potensi keseriusan beberapa kondisi lain yang dapat bermanifestasi sebagai skrotum akut, diagnosis banding yang cermat sangat penting.

  • Torsio Testis: Meskipun insidensinya lebih rendah pada lansia dibandingkan pada remaja atau dewasa muda, torsio testis tetap merupakan diagnosis banding kritis yang tidak boleh terlewatkan karena memerlukan intervensi bedah segera untuk menyelamatkan testis. Harus ditekankan bahwa "torsion must be excluded in all patients who present with acute scrotum". Ada laporan kasus torsio testis pada pria berusia 57 tahun, yang menggarisbawahi bahwa "Testicular torsion should be considered in the differential diagnosis of acute scrotum, regardless of patient age".

  • Epididimitis Isolada: Inflamasi yang terbatas pada epididimis. Secara klinis, seringkali sulit dibedakan dari epididimo-orchitis tanpa bantuan USG.

  • Tumor Testis: Dapat bermanifestasi sebagai massa testis yang nyeri (akibat perdarahan atau nekrosis intra-tumor) atau tanpa nyeri. USG skrotum sangat membantu dalam membedakannya dari proses inflamasi.

  • Hidrokel atau Spermatokel Terinfeksi/Inflamasi: Kantung berisi cairan di sekitar testis (hidrokel) atau kista berisi sperma di epididimis (spermatokel) dapat mengalami inflamasi atau infeksi sekunder.

  • Hernia Inguinalis Inkarserata/Strangulata: Sebagian usus yang terjepit dalam kantung hernia di daerah inguinal atau skrotum dapat menyebabkan nyeri hebat dan pembengkakan skrotum. Ini juga merupakan kondisi darurat bedah.

  • Nyeri Alih dari Patologi Retroperitoneal atau Intra-abdomen: Kondisi seperti aneurisma aorta abdominalis, batu ureter distal, atau apendisitis (jarang) dapat menyebabkan nyeri yang menjalar ke skrotum.

  • Fournier's Gangrene: Ini adalah infeksi fasia nekrotikans yang agresif pada perineum, skrotum, dan penis. Merupakan kegawatdaruratan bedah dengan mortalitas tinggi. Satu laporan kasus menggambarkan pasien dengan epididimo-orchitis yang berkembang menjadi Fournier's gangrene, yang ternyata disebabkan oleh perforasi karsinoma kolon.

  • Orchitis Imbas Obat: Seperti yang telah dibahas, obat seperti amiodarone dapat menjadi penyebab.

IV. Strategi Terapi Orchitis Komprehensif pada Lansia: Mengoptimalkan Hasil

Penatalaksanaan orchitis pada lansia bertujuan untuk meredakan gejala, mengeradikasi infeksi (jika ada), mencegah komplikasi, dan menangani penyebab dasar atau faktor predisposisi.

  • A. Prinsip Umum Penatalaksanaan Suportif

Tindakan suportif ini penting untuk semua jenis orchitis, terlepas dari etiologinya:

  • Istirahat Baring (Bed Rest): Mengurangi aktivitas fisik dapat membantu mengurangi pergerakan skrotum dan mempercepat pemulihan.

  • Elevasi Skrotum: Menggunakan penyangga skrotum (athletic supporter) atau handuk yang digulung untuk mengangkat skrotum dapat membantu mengurangi edema, meningkatkan drainase vena dan limfatik, serta mengurangi nyeri.

  • Kompres Dingin (Cold Packs): Aplikasi kompres es yang dibungkus kain pada area skrotum selama 15-20 menit beberapa kali sehari, terutama pada 24-48 jam pertama, dapat membantu mengurangi inflamasi, pembengkakan, dan nyeri.

  • Analgesia:

  • Antiinflamasi Nonsteroid (AINS): Obat seperti ibuprofen atau naproxen efektif untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Namun, penggunaannya pada lansia memerlukan kehati-hatian karena potensi efek samping gastrointestinal dan renal. Fungsi ginjal harus dipertimbangkan, dan AINS sebaiknya dihindari pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau risiko tinggi perdarahan lambung.

  • Parasetamol (Asetaminofen): Merupakan analgesik pilihan yang lebih aman untuk lansia jika AINS dikontraindikasikan, meskipun efek anti-inflamasinya lebih rendah.

  • Analgesik Opioid: Pada kasus nyeri yang sangat berat dan tidak merespons terhadap AINS atau parasetamol, analgesik opioid jangka pendek (misalnya, kodein atau tramadol) dapat dipertimbangkan. Namun, penggunaannya harus sangat hati-hati pada lansia karena risiko efek samping seperti konstipasi, sedasi, kebingungan, dan depresi pernapasan.

  • Hidrasi Adekuat: Memastikan asupan cairan yang cukup penting, terutama jika pasien mengalami demam.

  • B. Terapi Medikamentosa: Fokus pada Pemilihan Antibiotik dan Dosis Obat Orchitis pada Lansia

  • Orchitis Bakterial:

  • Pemilihan Antibiotik Empiris: Terapi antibiotik harus segera dimulai setelah diagnosis klinis orchitis bakterial ditegakkan dan spesimen urin untuk kultur telah diambil. Pemilihan antibiotik empiris harus didasarkan pada patogen yang paling mungkin menjadi penyebab dan pola resistensi lokal. Pada lansia, antibiotik harus mencakup bakteri Gram-negatif enterik yang umum menyebabkan ISK (seperti E. coli) dan juga mempertimbangkan kemungkinan Pseudomonas aeruginosa, terutama pada pasien dengan riwayat instrumentasi urologis, penggunaan kateter jangka panjang, atau ISK berulang.

  • Pilihan Umum (dengan pertimbangan fungsi ginjal pada lansia):

  • Fluorokuinolon (misalnya, Ciprofloxacin, Levofloxacin): Golongan antibiotik ini memiliki penetrasi yang baik ke jaringan prostat dan epididimis serta spektrum aktivitas yang luas terhadap patogen urogenital umum. Ciprofloxacin telah dilaporkan berhasil digunakan untuk mengobati epididimo-orchitis akibat P. aeruginosa. Levofloxacin juga merupakan pilihan yang sering digunakan.

  • Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX): Dapat menjadi alternatif jika fluorokuinolon dikontraindikasikan (misalnya, riwayat alergi, risiko interaksi obat yang signifikan) atau jika data sensitivitas lokal menunjukkan efektivitasnya.

  • Durasi Terapi: Durasi terapi antibiotik untuk orchitis bakterial biasanya 10-14 hari. Pada kasus yang lebih berat, disertai prostatitis, atau jika ada pembentukan abses, durasi terapi mungkin perlu diperpanjang hingga 4-6 minggu.

  • Terapi Definitif: Setelah hasil kultur urin dan tes sensitivitas antibiotik tersedia (biasanya dalam 2-3 hari), terapi antibiotik empiris harus ditinjau kembali dan disesuaikan jika perlu untuk memastikan patogen target terliput oleh antibiotik yang paling efektif dan dengan spektrum tersempit.

  • Pertimbangan Dosis Obat Orchitis pada Lansia:

  • Penyesuaian Dosis berdasarkan Fungsi Ginjal: Ini adalah pertimbangan krusial pada pasien lansia. Banyak antibiotik, termasuk fluorokuinolon dan TMP-SMX, diekskresikan melalui ginjal. Seiring bertambahnya usia, fungsi ginjal cenderung menurun, bahkan pada lansia yang tampak sehat. Oleh karena itu, perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR) harus dihitung (misalnya, menggunakan rumus CKD-EPI atau MDRD) pada semua pasien lansia sebelum memulai terapi antibiotik. Jika terdapat gangguan fungsi ginjal, dosis antibiotik harus disesuaikan (penurunan dosis atau perpanjangan interval pemberian) sesuai dengan panduan dosis renal untuk menghindari akumulasi obat dan toksisitas.

  • Ciprofloxacin: Meskipun penggunaannya dilaporkan pada kasus epididimo-orchitis , dosis spesifik untuk lansia atau penyesuaian dosis tidak dirinci dalam materi yang ditinjau. Dosis standar mungkin perlu dikurangi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

  • Interaksi Obat: Lansia seringkali mengonsumsi banyak obat (polifarmasi) untuk berbagai kondisi komorbid. Potensi interaksi antara antibiotik yang diresepkan untuk orchitis dan obat-obatan lain yang sedang dikonsumsi pasien (misalnya, antikoagulan, antidiabetik, obat kardiovaskular) harus selalu diperiksa dengan cermat untuk menghindari efek samping yang merugikan.

  • Orchitis Viral (misalnya Mumps Orchitis):

  • Tidak ada terapi antivirus spesifik yang terbukti efektif untuk mumps orchitis atau kebanyakan orchitis viral lainnya. Penatalaksanaan bersifat suportif, seperti yang telah diuraikan di atas (istirahat, elevasi skrotum, analgesik, kompres dingin).

  • Orchitis Imbas Obat (misalnya Amiodarone-induced Orchitis):

  • Terapi utama adalah mengidentifikasi dan menghentikan obat penyebab. Pada kasus amiodarone-induced epididymo-orchitis yang dilaporkan, gejala pasien sepenuhnya mereda setelah amiodarone dihentikan.

  • Gejala biasanya membaik secara bertahap setelah penghentian obat. Terapi suportif juga dapat diberikan untuk meredakan gejala.

  • Peran Agen Anti-inflamasi: Selain penggunaan AINS untuk analgesia, literatur menyebutkan "Anti-Inflammatory Agents / therapeutic use" sebagai MeSH term yang terkait dengan penyakit genital pria dan inflamasi, serta mempertanyakan "impact of anti-inflammatory drug treatments on elder men's general health status". Ini mengisyaratkan potensi peran yang lebih luas dari agen anti-inflamasi dalam manajemen kondisi inflamasi traktus genital pria, termasuk orchitis, meskipun rekomendasi spesifik mengenai penggunaan kortikosteroid atau agen anti-inflamasi poten lainnya tidak secara eksplisit diberikan dalam materi yang ditinjau untuk orchitis akut.

Berikut adalah tabel panduan mengenai pertimbangan antibiotik dan dosis untuk orchitis bakteri pada lansia, yang mengintegrasikan informasi dari literatur dengan prinsip farmakoterapi geriatri umum:

Tabel 2: Pertimbangan Antibiotik dan Dosis untuk Orchitis Bakteri pada Lansia


Antibiotik

Kemungkinan Patogen Target

Dosis Umum Dewasa (Oral)

Pertimbangan Dosis pada Lansia

Catatan Penting (Contoh)

Ciprofloxacin

E. coli, Klebsiella spp., Proteus spp., P. aeruginosa

500-750 mg setiap 12 jam

Perlu penyesuaian dosis jika eGFR < 50 mL/min. Umumnya ditoleransi baik jika fungsi ginjal normal, namun monitor efek samping (misalnya, SSP, tendinopati).

Risiko tendinitis/ruptur tendon (terutama jika bersama kortikosteroid), perpanjangan interval QT, efek samping SSP (kebingungan, pusing), interaksi dengan teofilin, warfarin, antasida. Hindari pada riwayat aneurisma aorta.

Levofloxacin

E. coli, Klebsiella spp., Proteus spp., P. aeruginosa

500-750 mg setiap 24 jam

Perlu penyesuaian dosis jika eGFR < 50 mL/min. Profil efek samping serupa ciprofloxacin.

Sama seperti ciprofloxacin. Risiko hipo/hiperglikemia pada pasien diabetes.

Trimetoprim-Sulfametoksazol (TMP-SMX)

E. coli, Klebsiella spp., Proteus spp.

160mg/800mg (DS) setiap 12 jam

Perlu penyesuaian dosis jika eGFR < 30 mL/min. Hindari jika eGFR < 15 mL/min. Monitor kalium serum (risiko hiperkalemia).

Risiko reaksi hipersensitivitas (termasuk sindrom Stevens-Johnson), supresi sumsum tulang (pada penggunaan jangka panjang), hiperkalemia (terutama dengan ACE inhibitor/ARB atau spironolakton), interaksi dengan warfarin, metotreksat. Pastikan hidrasi adekuat.

Catatan: Dosis dan durasi spesifik harus selalu disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, hasil kultur dan sensitivitas, fungsi ginjal, dan pedoman lokal. Tabel ini hanya sebagai panduan umum.

  • C. Manajemen Penyebab Dasar dan Kondisi Komorbid
    Mengidentifikasi dan menangani faktor predisposisi sangat penting untuk mencegah rekurensi orchitis.

  • Manajemen BPH: Jika BPH teridentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap stasis urin dan infeksi, maka pengobatan BPH (baik secara medis dengan alpha-blocker atau 5-alpha-reductase inhibitor, maupun secara bedah seperti TURP jika diindikasikan) menjadi bagian integral dari manajemen jangka panjang.

  • Manajemen Kateter Urin: Jika pasien menggunakan kateter urin, kebutuhan akan kateter harus dievaluasi kembali secara berkala. Jika kateter masih diperlukan, perawatan kateter yang aseptik dan higienis sangat penting untuk meminimalkan risiko infeksi. Penggantian kateter secara rutin sesuai jadwal juga diperlukan.

  • D. Indikasi Rujukan ke Spesialis Urologi

Meskipun banyak kasus orchitis dapat ditangani oleh dokter umum, rujukan ke spesialis urologi diindikasikan dalam beberapa situasi:

  • Kecurigaan Kuat Torsio Testis: Ini adalah kegawatdaruratan bedah yang memerlukan rujukan segera tanpa penundaan.

  • Tidak Ada Perbaikan Klinis: Jika tidak ada perbaikan gejala yang signifikan dalam 48-72 jam setelah memulai terapi antibiotik empiris yang adekuat.

  • Kecurigaan Abses Testis atau Tumor Testis: Jika pemeriksaan fisik atau USG menunjukkan adanya abses atau massa yang mencurigakan keganasan.

  • Orchitis Berulang: Episode orchitis yang berulang memerlukan evaluasi urologis lebih lanjut untuk mengidentifikasi dan menangani penyebab yang mendasari (misalnya, kelainan anatomi, BPH berat, prostatitis kronis).

  • Kebutuhan untuk Intervensi Bedah: Misalnya, untuk drainase abses testis, atau orkiektomi (pengangkatan testis) jika terjadi nekrosis testis yang luas atau jika ditemukan tumor testis. Laporan kasus menyebutkan perlunya debridemen bedah untuk Fournier's gangrene yang berkembang dari epididimo-orchitis , dan orkiektomi sebagai salah satu manajemen pada torsio testis.

  • Diagnosis Tidak Pasti: Jika diagnosis masih meragukan setelah evaluasi awal.

  • Satu studi merekomendasikan rujukan ke urolog untuk re-evaluasi atau USG tindak lanjut pada "Patients below 50 years of age without bacteriuria and patients with persistent symptoms after antibiotic treatment". Prinsip kehati-hatian ini dapat diekstrapolasi pada pasien lansia dengan gejala persisten atau diagnosis yang tidak jelas, bahkan jika ada bakteriuria, mengingat kompleksitas yang lebih tinggi pada populasi ini. Keputusan untuk merujuk pasien lansia dengan orchitis ke spesialis urologi sebaiknya tidak hanya didasarkan pada kegagalan terapi awal atau kecurigaan kondisi darurat, tetapi juga harus mempertimbangkan kompleksitas manajemen jangka panjang dari kondisi predisposisi (seperti BPH berat) dan potensi dampak orchitis terhadap kualitas hidup lansia secara keseluruhan. Pendekatan ini mencerminkan pandangan holistik yang melampaui sekadar penanganan episode akut, menuju perencanaan strategi manajemen jangka panjang yang komprehensif, termasuk pencegahan rekurensi dan optimalisasi fungsi urogenital.

V. Prognosis dan Potensi Komplikasi Orchitis pada Lansia

Prognosis orchitis pada lansia umumnya baik jika diagnosis ditegakkan secara dini dan terapi yang tepat diberikan, terutama untuk orchitis bakterial. Namun, beberapa komplikasi dapat timbul, terutama jika pengobatan tertunda atau tidak adekuat, atau pada kasus orchitis viral tertentu.

  • Prognosis Umum: Dengan terapi antibiotik yang sesuai, sebagian besar kasus orchitis bakterial pada lansia dapat sembuh sepenuhnya tanpa sekuele jangka panjang. Orchitis viral, seperti mumps orchitis, mungkin memiliki perjalanan yang lebih bervariasi, dengan potensi komplikasi jangka panjang yang lebih tinggi.

  • Potensi Komplikasi:

  • Atrofi Testis: Ini adalah salah satu komplikasi yang paling dikhawatirkan, terutama setelah episode orchitis yang berat atau mumps orchitis. Atrofi testis dapat menyebabkan penurunan produksi testosteron dan berujung pada hipogonadisme.

  • Abses Skrotum/Testis: Akumulasi pus di dalam testis atau skrotum dapat terjadi sebagai komplikasi dari infeksi bakteri yang tidak terkontrol. Kondisi ini biasanya memerlukan drainase bedah selain terapi antibiotik. Satu studi melaporkan bahwa "abscess formation" terjadi pada 4% pasien dengan AEO.

  • Epididimitis Kronis atau Orkhialgia Kronis (Nyeri Testis Kronis): Beberapa pasien dapat mengalami nyeri testis yang persisten atau berulang setelah episode akut orchitis, yang dapat signifikan mempengaruhi kualitas hidup.

  • Infertilitas: Meskipun infertilitas mungkin bukan kekhawatiran reproduksi utama pada mayoritas populasi lansia, terjadinya komplikasi ini (terutama setelah orchitis bilateral) menunjukkan adanya kerusakan signifikan pada jaringan testis dan fungsi spermatogenesis. Literatur menyebutkan "Genital Tract Inflammation" sebagai salah satu topik dalam manajemen infertilitas pria, dan menghubungkan prostatitis, epididimitis, dan orchitis dengan potensi infertilitas.

  • Sepsis: Pada kasus yang sangat berat, terutama pada pasien lansia dengan sistem imun yang lemah atau komorbiditas multipel, infeksi dapat menyebar ke aliran darah (bakteremia), yang berpotensi berkembang menjadi sepsis. Satu studi mencatat bahwa "bacteremia occurred in 1%" pasien dengan AEO.

  • Perkembangan menjadi Fournier's Gangrene: Meskipun jarang, orchitis atau epididimo-orchitis dapat menjadi titik awal bagi perkembangan Fournier's gangrene, suatu infeksi nekrotikans fasia yang mengancam jiwa, seperti yang dilaporkan dalam kasus perforasi karsinoma kolon yang bermanifestasi sebagai epididimo-orchitis.

  • Dampak pada Fungsi Seksual dan Kualitas Hidup: Nyeri akut maupun kronis, ketidaknyamanan fisik, dan potensi hipogonadisme akibat atrofi testis dapat berdampak negatif pada fungsi seksual (misalnya, penurunan libido, disfungsi ereksi) dan kualitas hidup secara umum pada pasien lansia. Komplikasi orchitis pada lansia, seperti atrofi testis yang mengarah pada hipogonadisme , dapat memiliki implikasi yang lebih luas daripada sekadar masalah urologis lokal. Penurunan kadar testosteron dapat memperburuk sindrom geriatri lainnya yang sudah umum pada usia tersebut, seperti sarkopenia (kehilangan massa otot), kelemahan fisik (frailty), penurunan fungsi kognitif, osteoporosis, dan perubahan mood. Dengan demikian, orchitis pada lansia berpotensi mempengaruhi kesehatan sistemik dan status fungsional secara keseluruhan, menjadikannya isu geriatri yang lebih signifikan.

VI. Kesimpulan: Poin Penting bagi Dokter Umum dalam Penatalaksanaan Orchitis pada Lansia

Penatalaksanaan orchitis pada pasien lansia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan individual, dengan mempertimbangkan berbagai etiologi, faktor risiko spesifik usia, dan potensi komplikasi. Beberapa poin penting yang perlu ditekankan bagi dokter umum adalah:

  • Strategi Diagnosis yang Cermat:

  • Anamnesis yang teliti adalah kunci, mencakup riwayat penyakit urogenital sebelumnya (terutama BPH), prosedur urologis, penggunaan kateter, riwayat obat-obatan (khususnya amiodarone), dan riwayat penyakit masa lalu seperti mumps.

  • Pemeriksaan fisik harus fokus pada temuan skrotum, termasuk penilaian refleks kremaster untuk membantu menyingkirkan torsio testis. Pemeriksaan colok dubur juga penting untuk evaluasi prostat.

  • Ultrasonografi Doppler skrotum memainkan peran krusial dalam mengkonfirmasi diagnosis, mengevaluasi aliran darah testis (vital untuk menyingkirkan torsio), dan mendeteksi komplikasi atau patologi lain seperti tumor atau abses.

  • Strategi Terapi yang Bijak:

  • Terapi suportif (istirahat, elevasi skrotum, kompres dingin, analgesia) penting untuk semua pasien.

  • Pada dugaan orchitis bakterial, pemilihan antibiotik empiris harus didasarkan pada patogen yang paling mungkin dan disesuaikan dengan hasil kultur jika tersedia. Pertimbangan dosis obat orchitis pada lansia, terutama penyesuaian dosis berdasarkan fungsi ginjal (eGFR) dan potensi interaksi obat, adalah fundamental.

  • Manajemen penyebab dasar, seperti BPH, sangat penting untuk mencegah rekurensi.

  • Kewaspadaan terhadap Diagnosis Banding Serius:

  • Torsio testis harus selalu menjadi diagnosis banding utama yang disingkirkan pada setiap kasus skrotum akut, berapapun usia pasien.

  • Keganasan testis, meskipun lebih jarang, juga harus dipertimbangkan, terutama jika terdapat massa testis pada pemeriksaan atau USG. Upaya "Diagnosis dan terapi orchitis pada lansia" harus selalu waspada terhadap kondisi-kondisi ini.

  • Pentingnya Follow-up:

  • Pemantauan tindak lanjut diperlukan untuk memastikan resolusi gejala dan infeksi, serta untuk mendeteksi komplikasi dini atau patologi yang mungkin terlewatkan pada evaluasi awal.

  • Pendekatan Individual:

  • Mengingat heterogenitas dalam status kesehatan populasi lansia, sering adanya komorbiditas multipel, dan penggunaan polifarmasi, pendekatan penatalaksanaan harus selalu diindividualisasi. Komunikasi yang baik dengan pasien dan/atau keluarga mengenai diagnosis, rencana terapi, dan prognosis sangat penting.

Dengan pemahaman yang komprehensif mengenai aspek-aspek ini, dokter umum dapat memainkan peran sentral dalam memberikan perawatan yang optimal dan berbasis bukti bagi pasien lansia dengan orchitis, sehingga meningkatkan hasil klinis dan kualitas hidup mereka.

Rerferensi

  1. Ringdahl, E. & Teague, L. (2013). Testicular torsion: Diagnosis, evaluation, and management. American Family Physician, 88(12), 835–840. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24364548/ [Diakses 28 Mei 2025].

  2. Pilatz, A., Wagenlehner, F., Bschleipfer, T., Schuppe, H.C. & Weidner, W. (2019). Is follow-up ultrasound necessary after acute epididymitis? A retrospective analysis from a large university hospital. Andrologia, 51(3), e13228. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30600755/ [Diakses 28 Mei 2025].

  3. Fijak, M., Schneider, E., Klug, J., Bhushan, S. & Meinhardt, A. (2018). Ageing and inflammation in the male reproductive tract. Andrologia, 50(11), e13034. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29740839/ [Diakses 28 Mei 2025].

  4. Mittemeyer, B.T., Lennox, K.W. & Borski, A.A. (1966). Etiology and clinical features of acute epididymo-orchitis. The Journal of Urology, 95(3), 390–392. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17372435/ [Diakses 28 Mei 2025].

  5. Ginsberg, P.C., Zakaria, M.A. & Stone, N.N. (1989). Acute epididymo-orchitis caused by Pseudomonas aeruginosa and Staphylococcus aureus: A case report. The Journal of Urology, 142(1), 134–135. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2513359/ [Diakses 28 Mei 2025].

  6. Coburn, M., Davis, R.S. & Weinerth, J.L. (1997). Perforated colonic carcinoma presenting as epididymo-orchitis and testicular abscess. The Journal of Urology, 158(2), 574–575. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9315070/ [Diakses 28 Mei 2025].

  7. Vermeulen, A., Rubens, R. & Verdonck, L. (1980). Androgen and estrogen production in elderly men with prostatic carcinoma before and during treatment with stilboestrol and orchiectomy. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 50(3), 429–435. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7354122/ [Diakses 28 Mei 2025].

  8. Roy, A.K., Kumar, R., Singh, S.K., & Jha, N.K. (2019). Amiodarone induced epididymo-orchitis. Indian Journal of Pharmacology, 51(3), 205–207. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31198686/ [Diakses 28 Mei 2025].

  9. Chen, H., Ge, R.S. & Zirkin, B.R. (2022). High throughput scRNA-Seq provides insights into Leydig cell aging. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), 119(7), e2119323119. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35111154/ [Diakses 28 Mei 2025].

  10. Doncel, G.F., Haddad, S., Doe, R.P. & Swerdloff, R.S. (1993). Murine experimental autoimmune orchitis (EAO) induced by testis homogenate and adjuvants: A model for autoimmune infertility. Journal of Reproductive Immunology, 23(1), 63–78. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8242900/ [Diakses 28 Mei 2025].

  11. Chandra, A., Verma, A.K. & Singh, R. (2008). Torsion of testis with large epididymal cyst in a 57-year-old man: A case report. Cases Journal, 1, 314. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19009868/ [Diakses 28 Mei 2025].

  12. Krausz, C. & Riera-Escamilla, A. (2015). Clinical management of male infertility: From the andrologist’s point of view. Clinical Endocrinology (Oxford), 83(5), 675–685. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25905383/ [Diakses 28 Mei 2025].