22 Jul 2025 • mata
Kalazion merupakan salah satu kelainan kelopak mata yang umum dijumpai dalam praktik sehari-hari. Pemahaman yang komprehensif mengenai definisi, penyebab, dan mekanisme terjadinya kalazion, serta peran penting dokter umum dalam penatalaksanaan awal, menjadi kunci untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien.
Kalazion didefinisikan sebagai suatu inflamasi lipogranulomatosa kronis yang terjadi pada kelenjar Meibom di kelopak mata. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit kelopak mata yang paling sering terjadi dan dapat memengaruhi individu dari segala usia, termasuk anak-anak.
Penting bagi dokter umum untuk memahami bahwa kalazion pada dasarnya bukanlah suatu infeksi akut, melainkan sebuah proses peradangan kronis yang timbul akibat adanya sumbatan pada kelenjar minyak (kelenjar Meibom) yang terletak di dalam kelopak mata.
Kelenjar Meibom ini sendiri memiliki fungsi vital dalam memproduksi komponen lipid lapisan air mata, yang berperan penting dalam menjaga stabilitas lapisan air mata dan mencegah evaporasi berlebih.
Beberapa faktor diketahui dapat menjadi penyebab atau pemicu timbulnya kalazion. Kondisi seperti blefaritis (peradangan pada tepi kelopak mata), penyakit mata kering (dry eye disease), dan infestasi tungau Demodex brevis telah diidentifikasi sebagai faktor risiko. Selain itu, sumbatan pada duktus kelenjar Meibom juga merupakan mekanisme dasar terbentuknya kalazion.
Menariknya, sebuah penelitian terbaru juga mengindikasikan bahwa penggunaan masker wajah, terutama selama periode pandemi COVID-19, muncul sebagai salah satu faktor risiko baru untuk terjadinya kalazion. Pengetahuan mengenai faktor-faktor risiko ini akan sangat membantu dokter umum dalam memberikan edukasi kepada pasien serta mengidentifikasi potensi pemicu, terutama jika terdapat kondisi komorbid seperti blefaritis kronis.
Gambar 1. Chalazion, benjolan pada kelopak mata yang terbentuk saat kelenjar meibom tersumbat
Proses patofisiologi kalazion sangat erat kaitannya dengan kelenjar Meibom. Salah satu dampak signifikan dari kalazion adalah terjadinya kehilangan kelenjar Meibom pada area yang terdampak. Tingkat kehilangan kelenjar ini ternyata tidak berhubungan dengan metode pengobatan yang dipilih (baik konservatif maupun bedah), melainkan lebih ditentukan oleh luas atau besarnya kalazion itu sendiri.
Sebelum dilakukan pengobatan, morfologi kelenjar Meibom pada area kalazion seringkali tidak dapat diamati dengan jelas. Hal ini disebabkan oleh adanya akumulasi substansi granulomatosa dan material lipid abnormal yang menutupi struktur kelenjar.
Mekanisme kerusakan kelenjar ini diduga melibatkan infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam kelenjar Meibom. Infiltrasi ini dapat menghalangi sekresi normal meibum (minyak yang diproduksi kelenjar Meibom), sementara produksi meibum yang abnormal terus berlangsung.
Akibatnya, terjadi peningkatan tekanan di dalam kelenjar, yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan kerusakan pada struktur kelenjar Meibom dan mengakibatkan hilangnya kelenjar tersebut secara permanen. Pemahaman mengenai mekanisme ini membantu dokter umum untuk menjelaskan kepada pasien mengapa kalazion dapat teraba sebagai benjolan yang keras dan mengapa resolusi spontan terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama.
Lebih jauh, hubungan antara disfungsi kelenjar Meibom (misalnya akibat blefaritis kronis ) dengan sumbatan kelenjar , yang kemudian memicu respons inflamasi granulomatosa dan berujung pada kerusakan struktural serta hilangnya kelenjar , menjelaskan mengapa kalazion dapat bersifat rekuren, terutama jika kondisi dasar seperti blefaritis tidak ditangani dengan adekuat.
Kalazion merupakan diagnosis okular kelima yang paling umum ditemui di unit gawat darurat, mencakup sekitar 3.71% dari seluruh kasus mata yang datang. Frekuensi kejadian yang cukup tinggi ini mengindikasikan bahwa dokter umum akan sering berhadapan dengan kasus kalazion dalam praktik sehari-hari. Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai diagnosis dan terapi kalazion menjadi sangat krusial.
Peran dokter umum dalam tatalaksana kalazion terutama terletak pada diagnosis dini dan inisiasi manajemen konservatif. Jika kalazion tidak menunjukkan perbaikan atau resolusi dalam kurun waktu satu bulan setelah dimulainya terapi konservatif, pasien sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis mata untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.
Rekomendasi ini secara jelas mendefinisikan lingkup peran dokter umum dalam alur tatalaksana awal kalazion dan menetapkan batasan waktu yang penting untuk pertimbangan rujukan. Mengingat kalazion dapat menyebabkan hilangnya kelenjar Meibom secara permanen sebanding dengan ukurannya , intervensi dini yang berhasil mengurangi ukuran kalazion atau mempercepat resolusinya, bahkan melalui tindakan konservatif, berpotensi meminimalkan kerusakan kelenjar jangka panjang.
Hal ini menjadi argumen kuat bagi dokter umum untuk bersikap proaktif dalam memberikan tatalaksana awal dan edukasi kepada pasien. Selain itu, peningkatan prevalensi kalazion selama pandemi COVID-19 yang dikaitkan dengan penggunaan masker menunjukkan adanya faktor lingkungan dan perilaku yang dapat dimodifikasi, yang relevan untuk dijadikan materi edukasi kepada pasien oleh dokter umum.
Penegakan diagnosis kalazion di tingkat layanan primer umumnya didasarkan pada anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang teliti. Dokter umum perlu mengenali gambaran klinis khas kalazion serta mampu membedakannya dari kondisi lain yang mungkin memiliki presentasi serupa.
Kalazion umumnya muncul sebagai benjolan atau nodul pada kelopak mata yang bersifat tidak nyeri, teraba keras, dan perkembangannya cenderung lambat. Pada tahap awal pembentukannya, kalazion mungkin saja terasa sedikit nyeri, namun sensasi nyeri ini biasanya akan cepat menghilang seiring waktu. Sifat kronis dan tidak adanya nyeri yang dominan ini menjadi salah satu pembeda utama dari hordeolum (bintitan).
Seiring dengan pertumbuhannya, kalazion dapat tampak kemerahan, membengkak, dan terkadang terasa sedikit lunak saat disentuh. Gejala lain yang mungkin menyertai meliputi iritasi ringan pada mata, mata berair, dan pandangan kabur, terutama jika ukuran kalazion sudah cukup besar sehingga menekan permukaan bola mata.
Dalam beberapa kasus, seluruh kelopak mata dapat terlihat membengkak. Meskipun umumnya tidak nyeri, inflamasi sekunder atau ukuran yang besar dapat memicu timbulnya gejala. Keluhan pandangan kabur merupakan salah satu tanda penting yang mungkin memerlukan perhatian lebih lanjut dan pertimbangan rujukan.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan oleh dokter umum meliputi:
Inspeksi Eksternal: Melalui inspeksi visual, dokter dapat mengamati adanya pembengkakan yang terlokalisir pada kelopak mata. Pembengkakan ini bisa disertai kemerahan dan sedikit nyeri tekan. Kalazion yang berasal dari kelenjar Meibom (kalazion interna) biasanya tampak sebagai pembengkakan yang lebih dalam, terletak di dalam lempeng tarsal kelopak mata.
Palpasi: Saat diraba, lesi kalazion umumnya teraba keras dan tidak terlalu nyeri tekan. Jika terdapat akumulasi pus (yang jarang terjadi pada kalazion murni tanpa infeksi sekunder), lesi mungkin akan terasa fluktuatif. Palpasi membantu membedakan kalazion dari lesi lain yang bersifat lebih fluktuatif dan sugestif infeksi.
Pemeriksaan Kelopak Mata Lebih Lanjut: Dokter spesialis mata biasanya akan menggunakan biomikroskop (slit lamp) dengan cahaya terang dan magnifikasi untuk memeriksa dasar bulu mata dan muara kelenjar-kelenjar minyak pada sisi dalam kelopak mata. Meskipun dokter umum mungkin tidak memiliki fasilitas slit lamp, pemeriksaan kelopak mata dengan pencahayaan yang baik dan melakukan eversi (melipat keluar) kelopak mata (jika memungkinkan dan pasien merasa nyaman) dapat memberikan informasi tambahan yang berguna.
Gambar 2. Meibografi pada chalazion dengan terapi konservatif. Sebelum Terapi (A), setelah terapi (B)
Beberapa kondisi lain dapat memiliki gambaran klinis yang menyerupai kalazion. Oleh karena itu, penting bagi dokter umum untuk mempertimbangkan diagnosis banding berikut:
Hordeolum (Stye/Bintitan): Hordeolum adalah infeksi bakteri akut pada kelenjar di kelopak mata yang menyebabkan pembengkakan yang terlokalisir, terasa nyeri, dan tampak kemerahan di tepi kelopak mata. Kalazion terkadang dapat berkembang sebagai akibat dari hordeolum yang tidak sembuh sempurna. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada sifat akut versus kronis, serta ada tidaknya nyeri yang dominan. Hordeolum bersifat akut dan nyeri, sedangkan kalazion bersifat kronis dan umumnya tidak nyeri. Ini adalah diagnosis banding yang paling sering dijumpai.
Gambar 3. Hordeolum Eksterna
Selulitis Preseptal: Ini adalah infeksi bakteri yang mengenai jaringan kelopak mata dan periorbita di bagian anterior (depan) dari septum orbita. Selulitis preseptal ditandai dengan pembengkakan kelopak mata yang bersifat difus (menyebar), kemerahan, dan nyeri tekan, namun tidak disertai adanya nodul atau abses yang terlokalisir seperti pada kalazion. Gejala sistemik seperti demam ringan juga dapat menyertai selulitis preseptal.
Karsinoma Kelenjar Sebasea (Sebaceous Gland Carcinoma): Ini adalah jenis tumor ganas yang jarang terjadi namun sangat serius, dan seringkali penampilannya menyerupai kalazion atau hordeolum yang bersifat rekuren (kambuh berulang kali). Ciri pembeda yang paling penting adalah adanya lesi yang persisten atau rekuren, tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang adekuat, serta disertai adanya abnormalitas pada tepi kelopak mata seperti hilangnya bulu mata (madarosis) atau perubahan bentuk tepi kelopak. Untuk diagnosis definitif, diperlukan tindakan biopsi. Ini merupakan red flag yang harus diwaspadai oleh dokter umum. Setiap kalazion yang rekuren pada lokasi yang sama, terutama pada individu usia lanjut, atau disertai dengan madarosis atau distorsi tepi kelopak mata, harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan. Keterlambatan dalam diagnosis karsinoma kelenjar sebasea dapat berakibat serius.
Blefaritis: Blefaritis adalah peradangan pada tepi kelopak mata, yang sering disebabkan oleh infeksi bakteri atau disfungsi kelenjar Meibom. Kondisi ini ditandai dengan kemerahan yang difus dan adanya skuama (sisik halus) di sepanjang tepi kelopak mata, dan seringkali melibatkan kedua mata. Blefaritis merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan gejala iritasi dan terbentuknya krusta (kotoran mata yang mengering), berbeda dengan kalazion yang berupa pembengkakan nodular. Blefaritis sendiri merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya kalazion.
Membedakan antara kalazion besar yang mengalami peradangan sekunder dengan hordeolum interna atau selulitis preseptal tahap awal terkadang dapat menjadi tantangan tersendiri bagi dokter umum. Fokus pada riwayat kronisitas, ada atau tidaknya nyeri tekan yang signifikan pada awal mula keluhan, serta ada tidaknya demam dapat membantu dalam proses diferensiasi diagnosis. Riwayat awal yang "tidak nyeri" pada kalazion menjadi kunci pembeda dari hordeolum yang umumnya nyeri sejak awal. Selulitis preseptal cenderung menunjukkan pembengkakan yang lebih difus dan dapat disertai demam. Selain itu, adanya kondisi kulit tertentu seperti rosasea atau dermatitis seboroik diketahui dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kalazion. Mengidentifikasi dan mengelola kondisi sistemik penyerta ini mungkin memegang peranan penting dalam tatalaksana kalazion jangka panjang dan pencegahan rekurensi.
Tatalaksana awal untuk kalazion bersifat konservatif dan bertujuan untuk mengurangi sumbatan kelenjar serta meredakan inflamasi. Dokter umum memiliki peran sentral dalam mengedukasi pasien mengenai langkah-langkah perawatan mandiri ini.
Manajemen konservatif yang meliputi kompres hangat, pijatan lembut pada kelopak mata, dan menjaga kebersihan kelopak mata merupakan terapi lini pertama untuk kalazion. Prinsip kerja dari kompres hangat adalah untuk melunakkan material lemak yang menyumbat duktus kelenjar Meibom, sementara pijatan lembut bertujuan untuk membantu mengeluarkan sumbatan tersebut.
Penting untuk menekankan kepada pasien bahwa konsistensi dalam melakukan perawatan ini dan durasi yang mungkin mencapai beberapa minggu adalah kunci keberhasilan terapi konservatif.
Studi menunjukkan bahwa kompres hangat saja, atau jika dikombinasikan dengan antibiotik topikal (misalnya tobramisin) atau kombinasi antibiotik-steroid topikal (misalnya tobramisin/deksametason) dalam bentuk tetes maupun salep, merupakan pilihan pengobatan lini pertama yang efektif untuk kalazion.
Namun, perlu dicatat bahwa penambahan antibiotik atau steroid topikal pada regimen kompres hangat tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal tingkat resolusi total kalazion dibandingkan dengan penggunaan kompres hangat saja.
Sebagai panduan praktis yang dapat disampaikan dokter umum kepada pasien, cara melakukan kompres hangat adalah dengan membasahi waslap bersih menggunakan air hangat (bukan air panas untuk menghindari luka bakar).
Waslap hangat tersebut kemudian ditempelkan pada kelopak mata yang terkena selama kurang lebih 15 menit, dan dilakukan setidaknya tiga kali dalam sehari. Tujuannya adalah untuk membantu membuka kelenjar minyak yang tersumbat.
Penggunaan obat-obatan topikal seperti antibiotik atau steroid dalam tatalaksana kalazion masih menjadi subjek diskusi, dengan bukti ilmiah yang bervariasi.
Antibiotik Topikal:
Penggunaan antibiotik topikal pada kalazion umumnya tidak diperlukan secara rutin, namun dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu dimana terdapat dugaan adanya infeksi primer atau sekunder. Pemberian salep antibiotik topikal dalam jangka pendek dapat dipertimbangkan jika lesi kalazion secara aktif mengeluarkan cairan (drainase) atau jika disertai dengan tanda-tanda blefarokonjungtivitis (peradangan pada kelopak mata dan konjungtiva).
Sebuah studi retrospektif yang melibatkan pasien anak dengan kalazion tidak menemukan adanya penurunan kemungkinan untuk menjalani perawatan prosedural (seperti insisi dan kuretase dan/atau injeksi steroid intralesi) pada kelompok yang mendapatkan terapi antibiotik topikal awal dan/atau steroid, jika dibandingkan dengan kelompok yang hanya menerima tindakan konservatif.
Hal ini menggarisbawahi bahwa bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung penggunaan rutin antibiotik topikal dalam mencegah progresi kalazion ke tahap yang memerlukan tindakan invasif masih kurang. Mengenai Dosis Obat Kalazion berupa antibiotik topikal, tidak ada dosis spesifik yang disebutkan secara konsisten dalam literatur ilmiah yang tersedia untuk pengobatan kalazion primer itu sendiri.
Jika terdapat blefaritis anterior yang menyertai, antibiotik topikal dapat memberikan sedikit perbaikan gejala dan efektif dalam membersihkan bakteri dari tepi kelopak mata, namun perlu ditekankan bahwa indikasi ini lebih ditujukan untuk blefaritisnya, bukan secara langsung untuk resolusi granuloma kalazion.
Kombinasi Antibiotik-Steroid Topikal:
Penggunaan tetes mata steroid ringan topikal dapat menjadi bagian dari tatalaksana konservatif kalazion. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa penambahan kombinasi antibiotik-steroid (misalnya tobramisin/deksametason) pada regimen kompres hangat tidak memberikan perbedaan yang signifikan dalam tingkat resolusi total kalazion jika dibandingkan dengan penggunaan kompres hangat saja.
Manfaat dari steroid topikal kemungkinan lebih terletak pada kemampuannya untuk mengurangi inflamasi akut yang mungkin menyertai kalazion, namun tidak secara signifikan meningkatkan angka resolusi kalazion itu sendiri. Lebih lanjut, pada pasien anak, regimen pengobatan yang menyertakan steroid tidak ditemukan lebih efektif daripada penggunaan antibiotik topikal saja dalam hal mencegah perlunya intervensi prosedural.
Sama halnya dengan antibiotik topikal, tidak ada Dosis Obat Kalazion spesifik berupa kombinasi antibiotik-steroid topikal yang direkomendasikan secara konsisten untuk kalazion. Referensi hanya menyebutkan "tetes steroid ringan topikal" tanpa memberikan spesifikasi lebih lanjut mengenai jenis atau dosisnya.
Pertimbangan Umum Terapi Topikal:
Ada indikasi bahwa kalazion yang sedang dalam fase meradang mungkin mendapatkan manfaat dari pengobatan topikal, namun kesimpulan ini masih terbatas karena ukuran sampel penelitian yang kecil pada analisis subkelompok tersebut. Hal ini menunjukkan potensi peran terapi topikal pada fase inflamasi akut, tetapi bukan sebagai terapi definitif untuk menghilangkan granuloma kalazion.
Sebuah tinjauan sistematis juga menemukan bahwa jumlah publikasi ilmiah yang membahas secara mendalam mengenai efikasi pengobatan konservatif dan topikal untuk kalazion masih relatif sedikit, yang menyoroti keterbatasan bukti ilmiah berkualitas tinggi untuk modalitas terapi ini.
Meskipun beberapa sumber menyebutkan bahwa kompres hangat dengan atau tanpa tambahan antibiotik/steroid topikal merupakan pilihan lini pertama yang efektif, sumber lain menunjukkan bahwa bukti mengenai efektivitas tambahan dari antibiotik/steroid topikal ini masih lemah atau kurang meyakinkan. Hal ini menyiratkan bahwa kompres hangat dan menjaga kebersihan kelopak mata adalah komponen terpenting dari tatalaksana konservatif.
Penambahan obat topikal mungkin tidak selalu diperlukan atau memberikan manfaat yang signifikan untuk resolusi kalazion itu sendiri, kecuali jika terdapat tanda-tanda inflamasi berat atau infeksi sekunder yang jelas.Selain itu, observasi bahwa durasi kalazion yang lebih pendek sebelum dimulainya pengobatan topikal berkorelasi dengan risiko intervensi prosedural yang lebih rendah perlu diinterpretasi dengan hati-hati.
Hal ini tidak secara otomatis berarti bahwa obat topikal tersebut yang mencegah perlunya tindakan operasi. Kemungkinan besar, kalazion yang baru terbentuk (dengan durasi yang pendek) memang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk sembuh dengan terapi konservatif , terlepas dari apakah obat topikal diberikan atau tidak.
Berdasarkan pertimbangan ini, dan terkait dengan kata kunci "Dosis Obat Kalazion", dokter umum sebaiknya memfokuskan upaya pada edukasi pasien dan mendorong kepatuhan terhadap regimen kompres hangat serta menjaga kebersihan kelopak mata. Penggunaan antibiotik topikal sebaiknya dicadangkan untuk kasus-kasus dengan tanda infeksi sekunder atau blefarokonjungtivitis yang jelas.
Sementara itu, penggunaan steroid topikal (jika dipertimbangkan) harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan hanya untuk periode singkat mengingat potensi efek sampingnya, dengan pemahaman bahwa manfaat utamanya mungkin hanya untuk mengurangi inflamasi sementara, bukan untuk resolusi granuloma kalazion secara permanen.
Meskipun tatalaksana konservatif menjadi pilihan awal, terdapat kondisi-kondisi tertentu dimana intervensi yang lebih invasif seperti eksisi bedah perlu dipertimbangkan. Dokter umum memegang peranan penting dalam mengidentifikasi pasien yang memerlukan rujukan ke dokter spesialis mata untuk tindakan lebih lanjut.
Kegagalan terapi konservatif merupakan salah satu indikasi utama untuk mempertimbangkan tindakan eksisi. Beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai kegagalan ini meliputi:
Durasi Kalazion Persisten:
Waktu menjadi faktor kunci dalam evaluasi respons terhadap terapi konservatif. Jika kalazion tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan atau resolusi setelah satu bulan menjalani manajemen konservatif, pasien sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis mata.
Lebih lanjut, para ahli menyarankan untuk mempertimbangkan peralihan ke terapi yang lebih invasif, seperti insisi dan kuretase atau injeksi steroid intralesi, untuk kalazion yang telah persisten selama lebih dari dua bulan.
Lesi yang sudah lama ada cenderung kurang memberikan respons terhadap terapi konservatif saja. Hal ini didukung oleh sebuah studi dimana salah satu kriteria untuk pemberian terapi konservatif adalah durasi kalazion kurang dari dua bulan sejak keluhan pasien muncul.
Sebagai perbandingan, durasi rata-rata pra-perawatan pada kelompok pasien yang akhirnya menjalani tindakan bedah dalam studi tersebut adalah 5.93 bulan. Dengan demikian, periode satu hingga dua bulan tampaknya menjadi rentang waktu yang umum digunakan untuk mengevaluasi kembali efektivitas terapi konservatif dan membuat keputusan mengenai perlunya rujukan.
Ukuran Kalazion yang Signifikan atau Tidak Berkurang:
Ukuran kalazion juga menjadi pertimbangan penting. Dalam salah satu studi, kriteria untuk terapi konservatif adalah jika lebar horizontal kalazion kurang dari 5 mm. Sebaliknya, ukuran rata-rata kalazion pada kelompok pasien yang menjalani tindakan bedah adalah 7.00 mm.
Studi lain pada pasien anak juga menunjukkan bahwa ukuran lesi rata-rata berbeda secara signifikan antara kelompok yang berhasil dengan terapi konservatif dan kelompok yang memerlukan tindakan bedah, dimana ukuran lesi pada kelompok bedah cenderung lebih besar.
Oleh karena itu, kalazion yang berukuran besar atau tidak menunjukkan adanya pengurangan ukuran meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang adekuat merupakan indikasi untuk mempertimbangkan intervensi lebih lanjut.
Tidak Responsif terhadap Injeksi Steroid (jika sudah dilakukan oleh spesialis):
Jika pasien telah menerima terapi injeksi steroid intralesi dari dokter spesialis mata namun kalazion tidak merespons setelah dua hingga tiga kali injeksi, maka tindakan eksisi bedah lebih mungkin memberikan manfaat.
Informasi ini lebih relevan bagi dokter umum jika pasien kembali setelah menerima terapi dari spesialis dan kondisinya belum membaik, yang mengindikasikan perlunya rujukan kembali atau diskusi lebih lanjut dengan dokter spesialis mata.
Selain kegagalan terapi konservatif, aspek kosmetik dan dampak pada fungsi visual juga menjadi alasan penting untuk mempertimbangkan eksisi:
Dampak Estetika yang Mengganggu Pasien:
Kalazion dapat menyebabkan morbiditas pada mata tidak hanya karena proses inflamasi tetapi juga karena menimbulkan cacat kosmetik yang dapat mengganggu penampilan. Meskipun tidak mengancam jiwa, penampilan kalazion bisa sangat memengaruhi kualitas hidup dan kepercayaan diri pasien. Keluhan kosmetik ini merupakan alasan yang valid bagi pasien untuk mencari pengobatan lebih lanjut, termasuk tindakan eksisi.
Astigmatisme atau Gangguan Penglihatan Akibat Tekanan Kalazion:
Kalazion, terutama yang berukuran besar dan terletak di kelopak mata atas bagian tengah, dapat menekan permukaan kornea dan menginduksi terjadinya astigmatisme kornea serta iregularitas permukaan kornea. Jenis astigmatisme oblik juga ditemukan lebih besar pada kelompok pasien dengan kalazion.
Tindakan eksisi kalazion terbukti dapat mengurangi tingkat astigmatisme dan iregularitas kornea tersebut. Potensi komplikasi lain akibat pembesaran lesi kalazion adalah pandangan kabur atau gangguan penglihatan karena astigmatisme kornea dan sumbatan pada aksis visual.
Jika pasien mengeluhkan adanya gangguan penglihatan, atau jika secara klinis kalazion tampak menekan kornea, ini merupakan indikasi kuat untuk merujuk pasien ke dokter spesialis mata. Pertimbangan ini menjadi sangat penting pada pasien anak karena adanya risiko terjadinya ambliopia ("mata malas") jika astigmatisme yang diinduksi kalazion tidak segera ditangani.
Ini merupakan skenario yang paling serius dan memerlukan kewaspadaan tinggi dari dokter umum:
Karsinoma kelenjar sebasea, suatu jenis kanker kelopak mata yang agresif, seringkali dapat menyamar sebagai kondisi jinak seperti blefaritis atau kalazion. Oleh karena itu, setiap lesi yang persisten, berulang (rekuren) pada lokasi yang sama, atau tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang adekuat harus dicurigai sebagai kemungkinan keganasan.
Tindakan biopsi eksisi diindikasikan setelah pengobatan konservatif gagal pada kasus-kasus yang dicurigai sebagai karsinoma kelenjar sebasea. Pedoman CISTERN bahkan menyarankan untuk melakukan biopsi pada kalazion yang atipikal atau pada kasus blefaritis unilateral kronis yang terjadi pada pasien berusia di atas 60 tahun.
Setiap kalazion yang berulang di tempat yang sama, tampak atipikal (misalnya, disertai ulserasi, kehilangan bulu mata/madarosis, atau perdarahan), atau terjadi pada pasien usia lanjut dan tidak kunjung sembuh, harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata untuk evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan pelaksanaan biopsi guna menyingkirkan diagnosis keganasan.
Kegagalan terapi konservatif, ukuran kalazion, dan dampak visual atau kosmetik seringkali merupakan faktor-faktor yang saling terkait. Kalazion yang berukuran besar (lebih dari 5 mm) memiliki kemungkinan lebih besar untuk gagal merespons terapi konservatif, lebih mungkin menyebabkan astigmatisme, dan lebih mungkin menjadi masalah kosmetik yang signifikan bagi pasien. Hal ini menciptakan suatu konstelasi faktor yang mendorong ke arah pertimbangan intervensi yang lebih invasif.
Meskipun terdapat kriteria objektif seperti durasi, ukuran, dan ada tidaknya gangguan visual, keputusan untuk melakukan eksisi juga dipengaruhi oleh preferensi pasien dan dampak kalazion pada kualitas hidup mereka, termasuk aspek kosmetik. Dokter umum perlu mempertimbangkan hal ini saat berdiskusi dengan pasien dan saat membuat keputusan rujukan.
Spektrum urgensi rujukan juga perlu dipahami. Rujukan untuk kalazion yang gagal terapi konservatif atau karena alasan kosmetik umumnya bersifat elektif. Namun, rujukan untuk kasus dengan kecurigaan keganasan atau yang disertai gangguan visual signifikan (terutama pada anak-anak karena risiko ambliopia ) bersifat lebih mendesak.
Faktor-faktor lain seperti jenis kelamin laki-laki dan adanya riwayat rosasea juga teridentifikasi sebagai faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan diperlukannya intervensi bedah pada kalazion. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa populasi pasien mungkin memiliki kalazion yang lebih resisten terhadap terapi konservatif dan karenanya lebih mungkin memerlukan tindakan eksisi.
Ketika tatalaksana konservatif tidak membuahkan hasil atau terdapat indikasi lain, dokter spesialis mata dapat mempertimbangkan beberapa pilihan tatalaksana invasif. Pengetahuan dasar mengenai prosedur ini penting bagi dokter umum untuk dapat memberikan informasi awal kepada pasien dan memahami alur rujukan.
Injeksi steroid intralesi merupakan salah satu alternatif minimal invasif yang dapat dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk melakukan eksisi bedah.
Gambaran Umum Prosedur dan Obat yang Digunakan:
Prosedur ini melibatkan penyuntikan obat kortikosteroid langsung ke dalam lesi kalazion. Injeksi steroid intralesi dapat menjadi pilihan untuk lesi kalazion yang berukuran kecil dan lesi yang lokasinya berdekatan dengan aparatus lakrimal (sistem saluran air mata). Obat steroid yang umum digunakan untuk prosedur ini adalah Triamcinolone Acetonide (TA).
Dosis Obat Kalazion (Triamcinolone Acetonide):
Dosis Triamcinolone Acetonide yang umumnya digunakan adalah sebanyak 0.1 hingga 0.2 ml dari sediaan dengan konsentrasi 40 mg/ml, yang diinjeksikan secara intralesi. Informasi mengenai dosis spesifik ini penting untuk diketahui, terutama terkait dengan kata kunci "Dosis Obat Kalazion", dan memberikan gambaran konkret kepada dokter umum mengenai tindakan yang mungkin akan dilakukan oleh dokter spesialis mata.
Tingkat Keberhasilan dan Jumlah Injeksi:
Sebagian besar pasien (sekitar 60%) dilaporkan mengalami resolusi kalazion setelah satu kali suntikan, sementara sekitar 20% lainnya memerlukan dua kali suntikan. Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk resolusi setelah injeksi adalah sekitar 2.5 minggu. Secara umum, rata-rata diperlukan satu hingga dua kali injeksi untuk mencapai resolusi lesi.
Pertimbangan Rujukan untuk Injeksi:
Jika lesi kalazion tidak menunjukkan respons yang memadai setelah dua hingga tiga kali injeksi steroid intralesi, maka tindakan eksisi bedah lebih mungkin memberikan manfaat. Jika pasien dirujuk untuk tindakan injeksi dan ternyata tidak berhasil, dokter umum harus mengantisipasi kemungkinan perlunya rujukan lebih lanjut untuk pertimbangan eksisi.
Potensi Komplikasi (Meskipun Jarang Dilaporkan dalam Studi):
Studi tidak mencatat adanya komplikasi serius seperti kehilangan penglihatan, atrofi lemak subkutan, atau perubahan depigmentasi kulit akibat injeksi steroid. Meskipun studi ini melaporkan profil keamanan yang baik, dokter umum sebaiknya tetap menyadari adanya potensi risiko umum yang terkait dengan injeksi steroid, seperti depigmentasi kulit, atrofi kulit, atau peningkatan tekanan intraokular (TIO), meskipun kejadiannya jarang.
Eksisi dan kuretase merupakan tindakan bedah minor yang dianggap sebagai terapi definitif untuk kalazion, terutama jika terapi yang lebih konservatif atau injeksi steroid gagal mengatasi kondisi tersebut.
Deskripsi Singkat Prosedur:
Prosedur ini bertujuan untuk mengeluarkan isi dari kalazion dan, yang lebih penting, mengangkat seluruh lesi beserta kapsulnya untuk mencegah kekambuhan. Tindakan ini relatif sederhana dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Secara umum, prosedur melibatkan injeksi anestesi lokal (misalnya, lidokain dengan epinefrin) di sekitar lesi.
Area kelopak mata kemudian dibersihkan dengan larutan antiseptik povidone-iodine. Sebuah klem khusus kalazion digunakan untuk menjepit dan membalik kelopak mata, sehingga bagian konjungtiva tarsal (sisi dalam kelopak mata) tempat kalazion berada menjadi terpapar. Insisi vertikal kemudian dibuat pada konjungtiva tarsal di atas kalazion, dengan menjaga jarak minimal 2-3 mm dari tepi kelopak mata untuk menghindari kerusakan pada struktur penting.
Setelah insisi, isi kalazion (material granulomatosa dan lipid) akan dikeluarkan menggunakan alat kuret. Kapsul kalazion juga akan dikuret atau ditraumatize untuk meminimalkan risiko rekurensi. Biasanya, jahitan atau penutup mata (patch) tidak diperlukan setelah prosedur ini.
Perawatan Pasca-operasi yang Perlu Diketahui GP:
Setelah prosedur eksisi dan kuretase, pasien akan diberikan instruksi perawatan pasca-operasi. Dokter umum mungkin terlibat dalam pemantauan pasca-operasi atau menjawab pertanyaan pasien terkait hal ini.
Medikasi: Salep mata yang mengandung kombinasi antibiotik dan steroid (misalnya, salep tobramisin 0.3% / deksametason 0.1%) atau salep antibiotik saja biasanya diresepkan untuk digunakan tiga kali sehari selama 7 hingga 14 hari. Tujuannya adalah untuk mencegah infeksi dan mengontrol peradangan pasca-operasi. Pengetahuan mengenai regimen obat pasca-operasi ini, termasuk Dosis Obat Kalazion untuk kondisi pasca-eksisi, sangat relevan bagi dokter umum.
Follow-up: Jadwal kontrol biasanya ditetapkan dalam 1 hingga 4 minggu setelah tindakan untuk menilai proses penyembuhan dan resolusi kalazion. Komplikasi pasca-operasi jarang terjadi; kemerahan dan rasa nyeri ringan pada area operasi bersifat sementara dan akan membaik seiring dengan proses penyembuhan. Dokter umum dapat membantu memantau tanda-tanda infeksi atau komplikasi lain dan memberikan keyakinan kepada pasien mengenai proses penyembuhan yang normal.
Tatalaksana kalazion seringkali mengikuti pendekatan bertahap (stepped-care approach), dimulai dari terapi konservatif, kemudian jika gagal dapat dilanjutkan dengan injeksi steroid intralesi, dan sebagai pilihan terakhir adalah eksisi bedah. Dokter umum memainkan peran kunci dalam mengelola tahap awal dan dalam mengidentifikasi kapan pasien perlu dirujuk ke tingkat perawatan berikutnya.
Terkait dengan kata kunci "Dosis Obat Kalazion", informasi dosis yang paling konkret dari sumber-sumber ilmiah yang tersedia adalah dosis untuk injeksi intralesi Triamcinolone Acetonide (0.1-0.2 ml dari sediaan 40 mg/ml) dan dosis salep antibiotik/steroid pasca-eksisi (misalnya, tobramisin 0.3%/deksametason 0.1% yang digunakan tiga kali sehari selama 7-14 hari).
Penting untuk ditekankan bahwa keberhasilan jangka panjang dari prosedur eksisi dan kuretase sangat bergantung pada pengangkatan seluruh lesi beserta kapsulnya untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Ini adalah detail teknis yang membedakan prosedur ini dari sekadar drainase sederhana dan menjelaskan mengapa tindakan ini lebih bersifat definitif.
Mencegah kekambuhan kalazion melibatkan pengelolaan faktor risiko yang mendasari dan edukasi pasien mengenai perawatan jangka panjang.
Blefaritis, atau peradangan pada tepi kelopak mata, diketahui merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya kalazion. Oleh karena itu, pengelolaan blefaritis yang efektif menjadi kunci penting dalam upaya mencegah kekambuhan kalazion.
Manajemen blefaritis umumnya berfokus pada praktik kebersihan kelopak mata harian, aplikasi kompres hangat secara teratur, dan pembersihan tepi kelopak mata secara lembut untuk mengangkat krusta dan debris. Dokter umum dapat memberikan edukasi dan instruksi yang jelas kepada pasien mengenai cara melakukan perawatan mandiri ini.
Untuk kasus blefaritis anterior, penggunaan antibiotik topikal dilaporkan dapat memberikan sedikit perbaikan gejala dan efektif dalam membersihkan bakteri dari tepi kelopak mata. Pada kasus blefaritis yang tergolong berat atau yang disertai dengan kondisi rosasea, dokter dapat mempertimbangkan pemberian terapi antibiotik sistemik berupa tetrasiklin (misalnya, doksisiklin dengan dosis 50-100 mg sekali sehari, yang diberikan selama minimal tiga bulan).
Eritromisin dapat menjadi alternatif antibiotik sistemik yang baik untuk digunakan pada anak-anak dan wanita hamil. Pemberian antibiotik sistemik ini juga relevan dengan kata kunci "Dosis Obat Kalazion" dalam konteks manajemen kondisi predisposisi yang dapat memicu kalazion.
Kepatuhan pasien terhadap rutinitas kebersihan kelopak mata dan penggunaan obat-obatan pemeliharaan (jika diresepkan) sangat krusial untuk mengelola gejala blefaritis dan mencegah kekambuhannya. Dokter umum memiliki peran penting dalam memberikan edukasi yang berkelanjutan kepada pasien mengenai pentingnya menjaga kebersihan kelopak mata secara rutin sebagai upaya pencegahan masalah kelopak mata di masa depan, termasuk rekurensi kalazion.
Blefaritis seringkali merupakan kondisi kronis. Mengingat blefaritis adalah faktor risiko signifikan untuk kalazion , maka kalazion juga memiliki kecenderungan untuk bersifat rekuren jika kondisi blefaritis yang mendasarinya tidak dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Hal ini menekankan perlunya pendekatan manajemen jangka panjang, bukan hanya sekadar pengobatan untuk episode akut kalazion.
Pada kasus-kasus blefaritis berat atau yang berhubungan dengan rosasea, penggunaan antibiotik oral seperti doksisiklin mungkin diperlukan. Ini merupakan suatu bentuk intervensi yang lebih signifikan dibandingkan terapi topikal dan mungkin memerlukan pemantauan lebih lanjut oleh dokter umum atau bahkan rujukan ke dokter spesialis, namun penting untuk diketahui sebagai bagian dari strategi pencegahan kalazion rekuren pada kasus-kasus tertentu.
Penatalaksanaan kalazion oleh dokter umum memerlukan pemahaman yang baik mengenai diagnosis, pilihan terapi, dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan rujukan. Berikut adalah poin-poin kunci yang dapat menjadi panduan:
Alur tatalaksana kalazion umumnya mengikuti pendekatan bertahap. Dimulai dengan diagnosis dan terapi kalazion secara konservatif yang meliputi kompres hangat, kebersihan kelopak mata, dan pijatan lembut. Jika terdapat tanda-tanda inflamasi atau infeksi sekunder, terapi medis topikal dapat dipertimbangkan. Evaluasi respons terhadap terapi konservatif sebaiknya dilakukan dalam 1-2 bulan.
Jika tidak ada perbaikan, atau jika kalazion menyebabkan gangguan visual yang signifikan, masalah kosmetik yang mengganggu, atau terdapat kecurigaan keganasan (misalnya, kalazion rekuren yang atipikal, terutama pada usia lanjut), maka rujukan ke dokter spesialis mata adalah langkah yang tepat.
Dokter umum memiliki peran krusial dalam memulai tatalaksana konservatif kalazion, yang seringkali efektif untuk kasus-kasus awal. Edukasi kepada pasien mengenai kondisi kalazion, cara melakukan perawatan mandiri di rumah, dan kapan harus kembali untuk kontrol atau evaluasi lebih lanjut sangatlah penting.
Selain itu, kemampuan untuk mengidentifikasi tanda-tanda bahaya (red flags), seperti kalazion yang tidak kunjung sembuh, berulang di tempat yang sama dengan gambaran atipikal, atau disertai hilangnya bulu mata, yang mengarah pada kecurigaan keganasan, adalah kompetensi vital yang harus dimiliki dokter umum untuk memastikan pasien mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.
Pemahaman yang baik mengenai diagnosis dan terapi kalazion, termasuk pengetahuan mengenai berbagai pilihan Dosis Obat Kalazion yang relevan untuk kondisi terkait seperti blefaritis, injeksi intralesi, atau perawatan pasca-eksisi, akan membantu dokter umum dalam memberikan pelayanan yang komprehensif.
Penting untuk ditekankan kepada pasien bahwa resolusi kalazion, bahkan dengan terapi konservatif, dapat membutuhkan waktu. Selain itu, perlu dipahami bahwa hilangnya kelenjar Meibom adalah konsekuensi dari proses penyakit kalazion itu sendiri, dan bukan semata-mata akibat dari pengobatan yang diberikan. Informasi ini membantu dokter umum dalam mengelola ekspektasi pasien terhadap hasil pengobatan.
Terkait Dosis Obat Kalazion, artikel ini telah menyoroti dosis spesifik untuk injeksi intralesi Triamcinolone Acetonide (0.1-0.2 ml dari sediaan 40 mg/ml) dan salep antibiotik/steroid pasca-eksisi (misalnya, tobramisin 0.3%/deksametason 0.1% tiga kali sehari selama 7-14 hari).
Untuk terapi topikal dalam fase konservatif, ditekankan bahwa bukti ilmiah mengenai dosis spesifik untuk resolusi kalazion itu sendiri masih kurang kuat, dan penggunaannya lebih ditujukan untuk mengatasi inflamasi atau infeksi sekunder. Dosis doksisiklin untuk manajemen blefaritis sebagai upaya pencegahan rekurensi juga telah disebutkan.
Jenis Tatalaksana | Deskripsi Singkat & Mekanisme | Indikasi Utama & Peran dalam Alur Tatalaksana | Efektivitas Berdasarkan Bukti (Resolusi Kalazion) | Dosis Obat Kalazion yang Relevan (jika ada & terbukti) | Pertimbangan/Kapan Dirujuk oleh GP |
Kompres Hangat & Kebersihan Kelopak Mata | Aplikasi panas untuk melunakkan sumbatan meibum, kebersihan untuk mengurangi kolonisasi bakteri dan debris. Pijatan lembut untuk membantu drainase. | Lini pertama untuk semua kalazion. | Efektif sebagai terapi awal; resolusi bervariasi, bisa memakan waktu beberapa minggu. Sekitar 18-21% resolusi total dengan kompres hangat saja. | Tidak ada (non-farmakologis). | Jika tidak ada perbaikan dalam 1-2 bulan, atau jika memburuk. |
Antibiotik Topikal | Mengatasi infeksi bakteri sekunder atau blefarokonjungtivitis. | Dipertimbangkan jika ada tanda infeksi aktif atau drainase purulen, atau blefaritis penyerta. | Tidak terbukti signifikan meningkatkan resolusi kalazion primer atau mencegah kebutuhan prosedur invasif dibandingkan konservatif saja. | Tidak ada dosis spesifik untuk resolusi kalazion primer. Dosis untuk blefaritis atau infeksi sekunder sesuai jenis antibiotik. | Jika kalazion tidak merespons atau dicurigai infeksi berat. |
Kombinasi Antibiotik/Steroid Topikal | Mengurangi inflamasi dan mengatasi potensi infeksi bakteri. | Dapat dipertimbangkan untuk kalazion yang meradang. | Tidak menunjukkan superioritas signifikan dibandingkan kompres hangat saja untuk resolusi total kalazion. Tidak lebih efektif dari antibiotik saja dalam mencegah prosedur pada anak. | Tidak ada dosis spesifik untuk resolusi kalazion primer. menyebut "tetes steroid ringan". | Sama seperti antibiotik topikal; penggunaan steroid harus hati-hati dan jangka pendek. |
Injeksi Steroid Intralesi (oleh Spesialis) | Injeksi Triamcinolone Acetonide (TA) langsung ke lesi untuk mengurangi inflamasi dan ukuran. | Kalazion persisten yang gagal terapi konservatif, lesi kecil, atau dekat aparatus lakrimal. | Tingkat keberhasilan baik; 60% resolusi dengan 1 injeksi, 20% dengan 2 injeksi. Rata-rata 1-2 injeksi. | 0.1 - 0.2 ml TA (40 mg/ml). | Rujukan ke spesialis mata untuk prosedur ini. Jika gagal setelah 2-3 injeksi, pertimbangkan eksisi. |
Eksisi & Kuretase (oleh Spesialis) | Pengangkatan bedah isi kalazion dan kapsulnya. | Kalazion persisten yang gagal terapi konservatif dan/atau injeksi steroid, kalazion besar, mengganggu visual/kosmetik, atau dicurigai ganas. | Sangat efektif, terapi definitif dengan tingkat kekambuhan rendah jika kapsul diangkat. | Pasca-operasi: Salep antibiotik/steroid (misalnya, tobramisin 0.3%/deksametason 0.1% TID selama 7-14 hari). | Rujukan ke spesialis mata untuk prosedur ini. Terutama jika ada red flags keganasan. |
Antibiotik Sistemik (untuk Blefaritis Berat/Rosasea) | Mengelola kondisi dasar (blefaritis/rosasea) untuk mencegah rekurensi kalazion. | Blefaritis berat atau yang berhubungan dengan rosasea, sebagai bagian dari pencegahan kalazion rekuren. | Efektif untuk mengontrol blefaritis. | Doksisiklin 50-100 mg QD atau Limesiklin 408 mg QD, minimal 3 bulan. | Dapat dikelola GP atau dirujuk jika diagnosis/manajemen kompleks. |
The effects of chalazion and the excision surgery on the ocular surface - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10559556/
Effects of chalazion and its treatments on the meibomian glands: a nonrandomized, prospective observation clinical study - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7353760/
Chalazion Treatment & Management: Approach Considerations, Conservative Measures, Pharmacologic Therapy - Medscape Reference, diakses Mei 8, 2025, https://emedicine.medscape.com/article/1212709-treatment
Hordeolum (Stye) - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459349/
Chalazion: Symptoms, Causes, Prevention & Treatments - Cleveland Clinic, diakses Mei 8, 2025, https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/17657-chalazion
Sebaceous carcinoma presenting as chronic chalazion - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40086849/
Malignant Eyelid Lesions - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK582127/
Risk factors for chalazion diagnosis and subsequent surgical ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10560700/
Chalazion - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2974575/
Conservative therapy for chalazia: is it really effective? - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29338124/
The impact of topical treatment for chalazia on the odds of procedural management, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37302727/
Interventions for chronic blepharitis - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4270370/
Chalazia: A Scoping Review to Identify the Evidence Behind Treatments - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39656051/
Conservative Treatment of Chalazion in Pediatric Patients - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39287407
Intralesional triamcinolone acetonide injection for primary and ..., diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15878075/
Effect of Chalazion Excision on Refractive Error and Corneal Topography - ResearchGate, diakses Mei 8, 2025, https://www.researchgate.net/publication/26316080_Effect_of_Chalazion_Excision_on_Refractive_Error_and_Corneal_Topography
Large-sized chalazia in middle upper eyelids compress the cornea and induce the corneal astigmatism - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5374600/
Triamcinolone - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544309/
The Cheesier, the Better - Review of Optometry, diakses Mei 8, 2025, https://www.reviewofoptometry.com/article/the-cheesier-the-better
Dedicated Chalazion Clinic as a Tool for Early Surgical Education in Ophthalmology Residency - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10804763/
Blepharitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459305/