Dokter Post - Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi Urgensi di Faskes Primer: Panduan Praktis untuk Dokter Umum

Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi Urgensi di Faskes Primer: Panduan Praktis untuk Dokter Umum

2 Aug 2025 • Interna

Deskripsi

Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi Urgensi di Faskes Primer: Panduan Praktis untuk Dokter Umum

Pendahuluan

Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang signifikan, memengaruhi hampir 30% populasi dewasa di Amerika Serikat dan sekitar 31% di seluruh dunia. Diperkirakan 1-2% dari individu dengan hipertensi akan mengalami krisis hipertensi. Krisis hipertensi ini mencakup dua kondisi utama: hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi. 

Hipertensi urgensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah (TD) yang cepat dan bersifat simtomatik, seringkali dengan tekanan darah sistolik (TDS) >180 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD) >110-120 mmHg, namun penting untuk dicatat bahwa kondisi ini terjadi tanpa disertai kerusakan organ target (KOT) akut yang progresif.

Meskipun hipertensi urgensi tidak mengancam jiwa secara langsung seperti hipertensi emergensi, kondisi ini tetap memerlukan perhatian medis dan penurunan TD yang terkontrol dalam beberapa jam hingga hari. Tatalaksana yang tepat bertujuan untuk mencegah risiko kerusakan organ di kemudian hari. 

Penting bagi dokter di fasilitas layanan kesehatan primer (faskes primer) untuk dapat membedakan hipertensi urgensi dari "pseudokrisis hipertensi," yaitu peningkatan TD yang signifikan namun tanpa gejala. 

Meskipun keduanya tidak menunjukkan KOT akut, adanya gejala pada hipertensi urgensi, seperti sakit kepala atau pusing , menjadi pembeda dan dapat memengaruhi pendekatan awal serta persepsi pasien terhadap kondisi mereka. 

Pasien yang simtomatik mungkin merasa lebih cemas dan memerlukan penentraman serta tatalaksana gejala di samping upaya pengendalian TD. Sebaliknya, pasien asimtomatik mungkin kurang menyadari tingkat keparahan kondisinya dan memerlukan edukasi lebih lanjut mengenai pentingnya kontrol TD.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan panduan praktis berbasis bukti ilmiah yang terindeks PubMed bagi Dokter Umum di faskes primer dalam melakukan diagnosis dan tatalaksana hipertensi urgensi, termasuk pemilihan dan dosis obat oral yang tepat dan aman.

I. Membedakan Spektrum Hipertensi Akut: Urgensi, Emergensi, dan Hipertensi Berat Asimtomatik

A. Definisi dan Kriteria Diagnostik

Pemahaman yang jelas mengenai definisi dan kriteria diagnostik dari berbagai bentuk hipertensi akut sangat krusial bagi dokter di layanan primer untuk menentukan tatalaksana yang paling sesuai.

  • Hipertensi Urgensi: Kondisi ini ditandai dengan peningkatan TDS >180 mmHg atau TDD >110-120 mmHg, yang disertai dengan gejala seperti sakit kepala, pusing, epistaksis, kelelahan, atau dispnea ringan. Poin penting yang membedakannya adalah tidak adanya bukti kerusakan organ target (KOT) akut atau yang sedang progresif.

  • Hipertensi Emergensi: Sama seperti hipertensi urgensi, kondisi ini juga menunjukkan peningkatan TDS >180 mmHg atau TDD >120 mmHg. Namun, perbedaannya yang fundamental adalah disertainya bukti KOT akut. Contoh KOT akut meliputi edema paru, iskemia miokard, defisit neurologis, gagal ginjal akut, diseksi aorta, atau eklampsia. Kondisi ini memerlukan rujukan segera ke rumah sakit.

  • Hipertensi Berat Asimtomatik (Pseudokrisis Hipertensi): Istilah ini merujuk pada peningkatan TD yang signifikan (serupa dengan level pada urgensi atau emergensi) namun pasien tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak ada bukti KOT akut.

Perlu dipahami bahwa ambang batas TD yang digunakan untuk mendefinisikan krisis hipertensi (baik urgensi maupun emergensi) seringkali bersifat arbitrer. Laju peningkatan TD relatif terhadap TD basal pasien mungkin memiliki peran yang lebih penting daripada angka absolut TD itu sendiri, terutama pada pasien yang tidak memiliki riwayat hipertensi kronis sebelumnya.

Seorang pasien yang biasanya normotensi dapat mengalami KOT pada level TD absolut yang lebih rendah selama terjadi peningkatan TD akut, dibandingkan dengan pasien hipertensi kronis yang tidak terkontrol dengan baik, di mana tubuhnya mungkin telah beradaptasi terhadap tekanan yang lebih tinggi. 

Oleh karena itu, dokter umum diharapkan tidak hanya berpegang kaku pada angka absolut, tetapi juga mempertimbangkan konteks klinis individual pasien dan kecepatan perubahan TD.

B. Penilaian Kerusakan Organ Target (KOT) Akut di Faskes Primer

Penilaian ada atau tidaknya KOT akut merupakan langkah krusial dalam membedakan hipertensi urgensi dan emergensi. Di faskes primer, di mana fasilitas diagnostik canggih mungkin terbatas, anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang teliti menjadi pilar utama.

Anamnesis Terarah untuk Gejala KOT Akut:

Dokter perlu secara aktif menanyakan gejala-gejala yang mengarah pada KOT:

  • Gejala Neurologis: Tanyakan adanya sakit kepala hebat (terutama jika baru atau berbeda dari biasanya), pusing berat atau vertigo, perubahan tingkat kesadaran (seperti kebingungan, rasa mengantuk berlebihan/somnolen, hingga penurunan kesadaran/stupor), gangguan penglihatan (pandangan kabur, penglihatan ganda, atau kehilangan penglihatan mendadak), kelemahan atau rasa baal pada satu sisi wajah atau tubuh (defisit neurologis fokal), kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan (afasia), atau riwayat kejang. Gejala-gejala ini dapat mengindikasikan ensefalopati hipertensif, stroke, atau keterlibatan sistem saraf pusat lainnya.

  • Gejala Kardiovaskular: Gali informasi mengenai nyeri dada (karakteristiknya seperti tertekan, lokasi, penjalaran ke lengan, leher, atau rahang), sesak napas akut (terutama saat istirahat atau saat berbaring datar/ortopnea), atau rasa berdebar-debar (palpitasi). Keluhan ini bisa menandakan iskemia miokard akut, edema paru akut, atau diseksi aorta.

  • Gejala Ginjal: Tanyakan tentang perubahan frekuensi atau jumlah buang air kecil, terutama penurunan produksi urin (oliguria), atau adanya darah dalam urin (hematuria). Ini bisa menjadi petunjuk adanya gagal ginjal akut.

Gambar 1. Presentasi Klinis Hipertensi Emergensi

Pemeriksaan Fisik Esensial untuk Tanda KOT Akut:

  • Pemeriksaan Neurologis: Lakukan penilaian tingkat kesadaran (menggunakan Glasgow Coma Scale/GCS jika diperlukan), pemeriksaan fungsi nervus kranialis, kekuatan motorik, sensibilitas, dan tanda-tanda gangguan serebelar.

  • Pemeriksaan Kardiovaskular: Lakukan auskultasi paru untuk mendeteksi ronki basah halus yang khas pada edema paru. Auskultasi jantung untuk mencari adanya gallop S3 atau murmur baru. Periksa tekanan vena jugularis untuk melihat adanya distensi. Periksa juga ada tidaknya edema perifer. Penting untuk mengukur TD di kedua lengan; perbedaan TDS >20 mmHg antar lengan dapat menjadi tanda diseksi aorta.

  • Funduskopi: Jika dokter memiliki kompetensi dan fasilitas (oftalmoskop) tersedia, pemeriksaan funduskopi sangat dianjurkan untuk mencari tanda-tanda retinopati hipertensif berat seperti perdarahan retina, eksudat, atau papiledema. Papiledema merupakan tanda pasti KOT dan secara definitif mengklasifikasikan kondisi sebagai hipertensi emergensi.

Pemeriksaan Penunjang Awal (jika tersedia di faskes primer):

  • Urinalisis (Strip Tes): Dapat mendeteksi proteinuria atau hematuria sebagai indikator kerusakan ginjal.

  • Elektrokardiogram (EKG): Dapat menunjukkan tanda-tanda iskemia miokard akut (seperti elevasi atau depresi segmen ST, atau inversi gelombang T yang baru) atau hipertrofi ventrikel kiri.

Mengingat faskes primer umumnya memiliki keterbatasan dalam alat diagnostik canggih seperti CT scan, MRI, atau pemeriksaan laboratorium lengkap untuk penanda KOT spesifik , maka kemampuan dokter umum dalam melakukan anamnesis yang mendalam dan pemeriksaan fisik yang teliti menjadi pilar utama dalam membedakan hipertensi urgensi dan emergensi. 

Keterampilan dasar funduskopi, jika dimiliki dan alat tersedia, akan sangat bernilai. Apabila dari evaluasi klinis yang komprehensif ini tidak ditemukan tanda-tanda KOT akut, maka diagnosis lebih mengarah kepada hipertensi urgensi. 

Keputusan ini menjadi dasar untuk tatalaksana sebagai hipertensi urgensi yang dapat dikelola secara rawat jalan atau dengan observasi singkat di faskes primer, dan bukan merupakan kasus yang memerlukan rujukan emergensi segera. Hal ini memberdayakan dokter umum untuk membuat keputusan klinis yang penting dengan sumber daya yang ada.

Untuk memudahkan diferensiasi, berikut adalah tabel ringkasan perbedaan kunci:

Tabel 1: Perbedaan Kunci Hipertensi Urgensi, Emergensi, dan Hipertensi Berat Asimtomatik

Fitur

Hipertensi Urgensi

Hipertensi Emergensi

Hipertensi Berat Asimtomatik (Pseudokrisis)

Definisi TD

TDS >180 atau TDD >110-120 mmHg

TDS >180 atau TDD >120 mmHg

Peningkatan TD signifikan

Gejala

Ada (sakit kepala, pusing, dll.)

Ada (gejala KOT spesifik)

Tidak ada

Kerusakan Organ Target Akut

Tidak ada

Ada (otak, jantung, ginjal, mata, dll.)

Tidak ada

Tatalaksana Awal

Penurunan TD bertahap (oral, 24-48 jam)

Penurunan TD segera (IV, menit-jam)

Observasi, penyesuaian terapi kronis

Kebutuhan Rawat Inap

Umumnya tidak, observasi singkat atau rawat jalan

Ya, seringkali di ICU/HCU

Umumnya tidak


II. Identifikasi Pasien dengan Hipertensi Urgensi: Anamnesis dan Faktor Risiko

A. Faktor Risiko Umum

Identifikasi faktor risiko penting untuk memahami latar belakang pasien dan potensi komplikasi.

  • Riwayat Hipertensi Sebelumnya: Mayoritas (sekitar 90%) pasien yang datang dengan hipertensi urgensi telah memiliki diagnosis hipertensi sebelumnya. Hal ini menekankan pentingnya pengelolaan hipertensi kronis yang berkelanjutan.

  • Ketidakpatuhan atau Pengobatan Antihipertensi yang Tidak Adekuat: Ini adalah faktor pencetus yang sangat umum. Studi menunjukkan bahwa kehabisan obat (sekitar 16%) atau ketidakpatuhan terhadap regimen pengobatan (sekitar 12%) seringkali mendasari episode urgensi. Ini menjadi area penting untuk intervensi melalui edukasi dan konseling.

  • Demografi: Usia rata-rata pasien dalam satu penelitian di unit gawat darurat (UGD) adalah 54.3 tahun , dan risiko hipertensi emergensi cenderung meningkat pada usia yang lebih tua. Beberapa studi menunjukkan variasi gender, namun data ini perlu diinterpretasikan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan populasi lokal.

  • Komorbiditas: Penyakit ginjal kronis (PGK), penyakit arteri koroner (PAK), riwayat stroke, diabetes melitus (DM), dan hiperlipidemia merupakan komorbiditas yang meningkatkan risiko krisis hipertensi dan potensi KOT. Obesitas juga diidentifikasi sebagai faktor risiko.

  • Faktor Akut Lain: Penggunaan zat simpatomimetik (seperti kokain atau amfetamin) atau penghentian mendadak obat antihipertensi tertentu (misalnya, klonidin) dapat memicu peningkatan TD akut.

B. Anamnesis Kunci di Faskes Primer

Anamnesis yang cermat dan terarah adalah kunci untuk menegakkan diagnosis dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi.

  • Riwayat Hipertensi: Tanyakan mengenai durasi diagnosis hipertensi, obat antihipertensi yang pernah atau sedang dikonsumsi (nama obat, dosis, frekuensi), kepatuhan dalam minum obat, alasan jika tidak patuh (misalnya efek samping, kendala biaya, lupa, atau kehabisan stok obat), serta nilai TD basal atau TD tertinggi yang pernah tercatat sebelumnya. Informasi ini membantu memahami kronisitas kondisi, efektivitas terapi sebelumnya, dan potensi masalah kepatuhan.

  • Gejala Saat Ini: Gali gejala umum hipertensi urgensi seperti sakit kepala (merupakan keluhan tersering, dilaporkan oleh 42% pasien dalam satu studi di UGD), pusing atau rasa melayang (30%), gangguan visual (pandangan kabur, skotoma), epistaksis (mimisan), kelelahan, agitasi psikomotor, dispnea ringan (sesak napas ringan), rasa tidak nyaman di dada (yang berbeda dari angina tipikal), atau mual. Kehadiran gejala-gejala ini tanpa tanda KOT akut akan mengarahkan diagnosis ke hipertensi urgensi.

  • Faktor Pencetus: Identifikasi kemungkinan faktor pencetus seperti stres emosional yang berat, nyeri akut dari kondisi lain, peningkatan konsumsi makanan tinggi garam baru-baru ini, atau penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan TD (misalnya, obat antiinflamasi nonsteroid/OAINS, dekongestan, kortikosteroid, atau NAPZA). Mengidentifikasi faktor-faktor ini penting karena beberapa di antaranya dapat dimodifikasi atau dihindari.

  • Riwayat Penyakit Penyerta: Pastikan untuk menanyakan riwayat DM, penyakit jantung (seperti PAK atau gagal jantung), penyakit ginjal, stroke, atau penyakit vaskular perifer. Pasien dengan komorbiditas ini memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami KOT, bahkan pada level TD yang mungkin tidak setinggi pasien tanpa komorbiditas, dan mungkin memerlukan target penurunan TD yang lebih hati-hati.

Anamnesis mengenai "kehabisan obat" atau "perubahan dosis terakhir" harus dianggap sebagai tanda bahaya yang mengindikasikan adanya masalah sistemik dalam manajemen hipertensi pasien, yang mungkin melampaui sekadar kepatuhan individual. Ini bisa jadi berkaitan dengan aksesibilitas terhadap obat, pemahaman pasien terhadap rejimen pengobatan, atau frekuensi kontrol yang kurang. 

Bagi dokter umum, ini merupakan peluang untuk melakukan intervensi yang lebih mendalam, seperti memastikan pasien memahami cara mendapatkan obat secara berkelanjutan, pentingnya kontinuitas pengobatan, dan memberikan klarifikasi jika ada perubahan dosis yang direkomendasikan oleh dokter spesialis.

Gejala seperti "kelelahan" (fatigue) dan "agitasi psikomotor" pada pasien hipertensi urgensi, meskipun bersifat non-spesifik, dapat menjadi petunjuk awal adanya dekompensasi fisiologis ringan atau tingkat stres yang tinggi akibat TD yang sangat meningkat, bahkan tanpa adanya KOT berat yang jelas. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan holistik dalam menangani pasien, tidak hanya berfokus pada angka TD. 

Selain menurunkan TD, perlu juga dipertimbangkan manajemen simtomatik ringan dan pemberian reassurance untuk mengatasi agitasi atau kelelahan yang mungkin dialami pasien, yang akan berkontribusi pada kenyamanan pasien secara keseluruhan.

III. Pemeriksaan Fisik Awal yang Esensial di Faskes Primer

A. Pengukuran Tekanan Darah yang Akurat

Pengukuran TD yang akurat adalah fondasi diagnosis. Kesalahan dalam pengukuran dapat menyebabkan misklasifikasi dan tatalaksana yang tidak tepat.

  • Manset yang Sesuai: Gunakan manset dengan ukuran yang sesuai dengan lingkar lengan atas (LLA) pasien. Ukuran manset standar memiliki panjang sekitar 35 cm dan lebar 12-13 cm. Idealnya, panjang balon manset mencakup 80-100% LLA, dan lebarnya sekitar 40% LLA. Penggunaan manset yang terlalu kecil akan memberikan hasil yang lebih tinggi palsu, sedangkan manset yang terlalu besar akan memberikan hasil yang lebih rendah palsu.

  • Persiapan Pasien: Pastikan pasien dalam kondisi istirahat tenang setidaknya 5 menit sebelum pengukuran. Pasien tidak boleh dalam keadaan cemas, gelisah, atau kesakitan. Hindari pengukuran jika pasien baru saja merokok, minum kopi, atau beraktivitas fisik berat (tunggu minimal 30 menit). Pastikan pasien tidak sedang menahan buang air kecil atau besar, dan tidak mengenakan pakaian yang ketat di area lengan. Ruangan pemeriksaan sebaiknya tenang dan nyaman.

  • Posisi Pasien: Pengukuran idealnya dilakukan pada posisi duduk dengan punggung bersandar, lengan ditopang setinggi jantung (fossa antecubiti setinggi pertengahan sternum), dan kedua kaki menapak di lantai tanpa disilangkan.

  • Teknik Pengukuran:

  • Pada kunjungan pertama, ukur TD pada kedua lengan. Jika terdapat perbedaan yang konsisten, gunakan lengan dengan hasil pengukuran TD yang lebih tinggi sebagai referensi untuk pengukuran selanjutnya. Perbedaan TDS >15-20 mmHg antar lengan dapat mengindikasikan adanya penyakit vaskular, seperti penyakit arteri perifer atau koarktasio aorta, dan memerlukan investigasi lebih lanjut.

  • Lakukan pengukuran TD sebanyak 2-3 kali dengan selang waktu 1-2 menit. Catat rerata dari minimal dua hasil pengukuran terakhir untuk mendapatkan nilai yang lebih reliabel.

B. Pemeriksaan Tanda Vital Lain dan Pemeriksaan Fisik Terfokus

Selain TD, pemeriksaan tanda vital lain dan pemeriksaan fisik terfokus membantu melengkapi gambaran klinis.

  • Nadi: Periksa frekuensi dan irama nadi. Palpasi nadi untuk mendeteksi adanya aritmia. Takikardia atau irama yang tidak teratur bisa menjadi tanda KOT atau faktor pencetus krisis hipertensi.

  • Status Neurologis Umum: Nilai tingkat kesadaran pasien (apakah compos mentis, apatis, somnolen, atau lebih buruk), orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu, serta ada atau tidaknya agitasi atau kegelisahan.

  • Pemeriksaan Jantung: Lakukan auskultasi jantung untuk mencari adanya bunyi jantung tambahan seperti S3 atau S4 gallop, murmur baru, atau perubahan karakteristik murmur yang sudah ada sebelumnya. Temuan ini bisa mengarah pada gagal jantung atau kelainan katup akut.

  • Pemeriksaan Paru: Auskultasi paru secara menyeluruh untuk mendeteksi adanya ronki basah, terutama di basal paru, yang merupakan tanda edema paru. Dengarkan juga ada tidaknya wheezing.

  • Pemeriksaan Funduskopi: Jika dokter memiliki kompetensi dan alat (oftalmoskop) tersedia, pemeriksaan fundus mata sangat dianjurkan. Cari tanda-tanda retinopati hipertensif berat seperti perdarahan retina, eksudat (cotton wool spots atau hard exudates), atau papiledema (pembengkakan diskus optikus). Papiledema adalah tanda KOT yang signifikan dan mengarahkan diagnosis ke hipertensi emergensi.

  • Pemeriksaan Abdomen: Lakukan palpasi abdomen untuk mencari adanya massa pulsatil yang mungkin mengindikasikan aneurisma aorta abdominalis, meskipun ini jarang namun merupakan kondisi yang mengancam jiwa.

  • Pemeriksaan Ekstremitas: Periksa ada tidaknya edema perifer, terutama pada tungkai dan pergelangan kaki, yang bisa menjadi tanda gagal jantung atau kelebihan cairan.

Pengukuran TD berulang setelah pasien diberi waktu istirahat singkat (misalnya 15-30 menit) di faskes primer adalah langkah penting. Hal ini bertujuan untuk membedakan peningkatan TD yang sesungguhnya (true elevation) dari "efek jas putih" (white coat effect) atau lonjakan TD sementara yang disebabkan oleh stres, nyeri, atau kecemasan saat kunjungan. Penurunan TD yang signifikan pada pengukuran kedua setelah istirahat mungkin mengindikasikan adanya komponen reaktif yang besar terhadap situasi tersebut.

Adanya "gejala penyerta non-spesifik" seperti sakit kepala ringan atau pusing pada pasien dengan hipertensi urgensi , tanpa ditemukannya tanda KOT objektif dari pemeriksaan fisik, akan mengarahkan diagnosis ke hipertensi urgensi, bukan emergensi. 

Meskipun demikian, intensitas dan karakteristik gejala ini (misalnya, apakah sakit kepala terasa "paling hebat seumur hidup" atau hanya sakit kepala biasa yang sering dialami pasien) harus digali lebih lanjut. 

Gejala yang sangat berat atau memiliki karakteristik yang tidak biasa bisa menjadi peringatan dini adanya KOT yang belum termanifestasi secara objektif pada pemeriksaan awal di faskes primer. Oleh karena itu, dokter tidak boleh hanya mengandalkan ada atau tidaknya gejala secara umum, tetapi harus menilai kualitas dan kuantitas gejala tersebut secara detail.

IV. Prinsip Tatalaksana Awal Hipertensi Urgensi di Faskes Primer

A. Target dan Laju Penurunan Tekanan Darah yang Aman

Tujuan utama tatalaksana hipertensi urgensi di faskes primer bukanlah untuk menormalkan TD secara instan, melainkan untuk menurunkannya secara bertahap dan terkontrol. Penurunan TD yang terlalu cepat dan agresif, terutama pada pasien dengan riwayat hipertensi kronis, justru berisiko menyebabkan hipoperfusi ke organ-organ vital seperti otak, jantung, dan ginjal. 

Hal ini disebabkan oleh pergeseran kurva autoregulasi aliran darah otak ke kanan pada penderita hipertensi kronis, yang berarti mereka membutuhkan TD yang lebih tinggi untuk mempertahankan perfusi otak yang adekuat.

Untuk hipertensi urgensi (tanpa KOT akut), target penurunan TD yang aman adalah sekitar 20-25% dari Mean Arterial Pressure (MAP) awal, atau mencapai TD sekitar 160/100 mmHg, dalam kurun waktu 24 hingga 48 jam dengan menggunakan obat-obatan oral. Beberapa sumber juga menyarankan penurunan TD secara bertahap dalam beberapa jam hingga beberapa hari. 

Penting untuk ditekankan bahwa target penurunan TD sebesar 25% dalam satu jam pertama berlaku untuk kondisi hipertensi emergensi yang ditatalaksana dengan obat intravena di rumah sakit, dan bukan untuk hipertensi urgensi yang ditangani dengan obat oral di faskes primer.

Ketiadaan konsensus yang pasti mengenai target dan kecepatan penurunan TD yang ideal pada hipertensi urgensi menuntut dokter umum untuk menggunakan penilaian klinis yang cermat. Pertimbangan harus mencakup TD awal pasien, usia, ada tidaknya komorbiditas, dan bagaimana respons individual pasien terhadap terapi awal yang diberikan. 

Fleksibilitas dalam pendekatan dan observasi yang ketat terhadap respons pasien seringkali lebih penting daripada mengejar target angka TD yang kaku. Pendekatan "mulai dengan dosis rendah dan naikkan perlahan" (start low, go slow) sambil memantau respons pasien lebih diutamakan. Pasien usia lanjut atau mereka dengan riwayat stroke atau penyakit jantung koroner mungkin memerlukan penurunan TD yang lebih lambat dan lebih hati-hati.

B. Manajemen Faktor Pencetus dan Intervensi Non-Farmakologis Awal

Sebelum memulai terapi farmakologis, identifikasi dan manajemen faktor pencetus serta intervensi non-farmakologis awal dapat memberikan kontribusi signifikan:

  • Identifikasi dan Atasi Faktor Pencetus: Jika episode hipertensi urgensi dipicu oleh nyeri akut, berikan analgesik yang sesuai. Jika kecemasan atau agitasi tampak dominan, ciptakan lingkungan yang tenang dan berikan penentraman (reassurance). Penggunaan ansiolitik jangka pendek dapat dipertimbangkan pada kasus agitasi berat jika tidak ada kontraindikasi, namun perlu diingat bahwa ini bukan tatalaksana utama untuk TD itu sendiri. Pastikan juga tidak ada kondisi seperti retensi urin yang mungkin memperburuk TD.

  • Istirahat: Anjurkan pasien untuk beristirahat di tempat yang tenang dan nyaman. Istirahat fisik dan mental dapat membantu menurunkan TD beberapa poin secara alami.

  • Edukasi Awal Kepatuhan: Jika dari anamnesis diketahui pasien memiliki riwayat hipertensi namun tidak patuh minum obat, berikan edukasi awal mengenai pentingnya kepatuhan berobat jangka panjang. Episode hipertensi urgensi seringkali merupakan konsekuensi langsung dari ketidakpatuhan ini.

Intervensi non-farmakologis awal di faskes primer memiliki tujuan ganda. Selain berpotensi menurunkan TD secara langsung beberapa mmHg, intervensi ini juga bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien dan mengurangi komponen TD yang bersifat reaktif terhadap stres atau nyeri. 

Dengan demikian, dokter dapat melakukan penilaian TD yang lebih akurat sebelum mengambil keputusan mengenai terapi farmakologis definitif. Hal ini membantu mencegah overtreatment jika sebagian besar peningkatan TD ternyata disebabkan oleh faktor-faktor reaktif tersebut, sejalan dengan prinsip "obati pasiennya, bukan hanya angkanya".

C. Terapi Farmakologis Oral

Prinsip umum pemberian obat pada hipertensi urgensi di faskes primer adalah menggunakan obat antihipertensi oral yang memiliki onset kerja relatif cepat (dalam 15-60 menit) dan tersedia di fasilitas tersebut. Penggunaan obat parenteral sebaiknya dihindari kecuali dalam kondisi transisi menuju rujukan ke fasilitas yang lebih lengkap.

Pilihan obat oral yang dapat dipertimbangkan berdasarkan data dari PubMed dan ketersediaannya (merujuk pada konteks umum ketersediaan obat esensial di Indonesia seperti yang mungkin tercermin dalam Formularium Nasional/Fornas) meliputi:

  • Kaptopril:

  • Dosis: Dosis awal yang umum digunakan adalah 25 mg per oral. Pengulangan dosis perlu dilakukan dengan hati-hati dan observasi ketat terhadap respons TD pasien; detail spesifik mengenai interval pengulangan untuk hipertensi urgensi di layanan primer tidak secara eksplisit disebutkan dalam sumber yang dirujuk. Beberapa literatur menyebutkan kemungkinan pemberian sublingual, namun keunggulan terapeutik dibandingkan rute oral belum terbukti secara konsisten.

  • Onset Kerja: Sekitar 15-30 menit setelah pemberian.

  • Durasi Kerja: Bervariasi antar sumber, umumnya sekitar 2-8 jam.

  • Perhatian/Kontraindikasi: Harus diwaspadai pada kondisi hipotensi, riwayat angioedema akibat ACE inhibitor sebelumnya, stenosis arteri renalis bilateral, dan kehamilan. Efek samping yang mungkin timbul meliputi batuk kering (lebih sering pada penggunaan kronis), pusing, dan hiperkalemia. Kaptopril termasuk dalam Fornas dan umum digunakan di Indonesia.

  • Klonidin:

  • Dosis: Dosis awal 0.1-0.2 mg per oral. Jika respons belum adekuat, dapat diikuti dengan dosis 0.05-0.1 mg per jam hingga TD target tercapai atau dosis total kumulatif 0.6-0.7 mg.

  • Onset Kerja: Sekitar 30-60 menit.

  • Durasi Kerja: Sekitar 8-16 jam.

  • Perhatian/Kontraindikasi: Waspadai hipotensi, bradikardia berat, dan blok atrioventrikular (AV). Pasien dengan riwayat depresi memerlukan perhatian khusus. Efek samping yang umum adalah sedasi dan mulut kering. Sangat penting untuk menghindari penghentian klonidin secara mendadak karena berisiko menyebabkan rebound hypertension.

  • Nifedipin Kerja Singkat (Short-acting):

  • Penggunaan nifedipin kerja singkat (baik oral maupun sublingual) untuk hipertensi urgensi umumnya tidak direkomendasikan. Hal ini disebabkan oleh risiko penurunan TD yang terlalu cepat, tidak terkontrol, dan dapat memicu takikardia refleks serta kejadian iskemik pada serebral atau jantung. Meskipun salah satu sumber menyebutkan penggunaan nifedipin untuk hipertensi pada kehamilan >20 minggu, ini merupakan indikasi yang sangat spesifik dan berbeda dari tatalaksana hipertensi urgensi secara umum. Penting bagi dokter umum untuk mengetahui hal ini karena praktik lama mungkin masih ada.

Pemilihan obat oral awal untuk hipertensi urgensi di faskes primer sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan efikasi dan onset kerja, tetapi juga profil efek samping yang dapat dipantau dan dikelola dengan baik di tingkat primer, serta potensi interaksi dengan obat-obatan kronis yang mungkin sudah dikonsumsi pasien.

Sebagai contoh, efek sedasi dari klonidin mungkin kurang ideal untuk pasien yang perlu segera kembali beraktivitas atau pada lansia dengan risiko jatuh yang tinggi. Kaptopril dengan risiko batuknya (meskipun lebih relevan untuk penggunaan kronis) atau potensi hipotensi pada dosis pertama perlu diwaspadai.

Ketersediaan obat dalam Formularium Nasional (Fornas) Indonesia, seperti Kaptopril, Nifedipin (meskipun penggunaannya untuk urgensi perlu kehati-hatian khusus), Amlodipin, Atenolol, dan Hydrochlorothiazide (HCT) , merupakan pertimbangan praktis yang penting. 

Namun, rekomendasi penggunaan untuk hipertensi urgensi harus tetap didasarkan pada bukti keamanan dan efikasi dari literatur ilmiah terindeks PubMed, bukan semata-mata karena ketersediaannya. 

Jika pedoman nasional dari PERKI/InaSH merekomendasikan obat tertentu untuk hipertensi urgensi yang juga didukung oleh data PubMed, hal ini akan memperkuat rekomendasi tersebut. Jika Fornas mencantumkan Nifedipin kerja singkat, namun PubMed menyarankan kehati-hatian atau tidak merekomendasikannya untuk hipertensi urgensi, maka peringatan tersebut harus disampaikan.

Tabel 2: Pilihan Obat Oral untuk Hipertensi Urgensi di Faskes Primer*

Nama Obat Generik

Dosis Awal

Frekuensi & Cara Pemberian

Onset Kerja

Durasi Kerja

Perhatian Khusus/Kontraindikasi Utama

Kaptopril

25 mg

Per oral

15-30 menit

2-8 jam

Hipotensi, riwayat angioedema, stenosis arteri renalis bilateral, kehamilan. Efek samping: pusing, (batuk kering pada penggunaan kronis).

Klonidin

0.1-0.2 mg

Per oral

30-60 menit

8-16 jam

Hipotensi, bradikardia, blok AV, depresi. Efek samping: sedasi, mulut kering. Hindari penghentian mendadak (rebound hypertension).

Catatan Kaki Penting: Dosis dan pilihan obat harus disesuaikan dengan kondisi klinis individual, komorbiditas, dan respons pasien. Selalu pantau TD dan gejala efek samping. Penggunaan Nifedipine kerja singkat umumnya tidak direkomendasikan untuk hipertensi urgensi. Konsultasikan panduan nasional/lokal yang berlaku.

V. "Red Flags": Kapan Pasien Hipertensi Urgensi Perlu Dirujuk Segera?

Meskipun hipertensi urgensi umumnya dapat dikelola di faskes primer, terdapat beberapa "red flags" atau tanda bahaya yang mengindikasikan perlunya rujukan segera ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap atau rumah sakit.

  • Munculnya atau Perburukan Tanda KOT Akut: Jika selama observasi atau setelah pemberian terapi awal muncul gejala atau tanda baru yang mengarah pada kerusakan organ target akut, atau jika gejala KOT yang sudah ada sebelumnya memburuk. Ini termasuk defisit neurologis (penurunan kesadaran, kelemahan fokal baru, gangguan bicara, kejang, papiledema), keluhan kardiovaskular (nyeri dada tipikal infark miokard, edema paru berat, tanda-tanda diseksi aorta seperti nyeri dada atau punggung yang merobek dan perbedaan TD antar lengan), atau gangguan ginjal (penurunan produksi urin yang signifikan/oliguria hingga anuria, hematuria berat).

  • Tekanan Darah yang Tidak Terkontrol: Jika TD tetap sangat tinggi (misalnya, persisten di atas 200-220/120-130 mmHg) atau bahkan cenderung meningkat meskipun telah diberikan terapi oral awal yang adekuat dan dilakukan observasi selama beberapa jam di faskes primer. Hal ini dapat menunjukkan kegagalan tatalaksana awal di tingkat primer atau adanya faktor lain yang belum teridentifikasi.

  • Gejala Berat yang Persisten: Meskipun TD mungkin menunjukkan sedikit penurunan, jika pasien terus mengeluhkan sakit kepala yang sangat hebat dan tidak berkurang dengan analgesia, muntah berulang, atau sesak napas yang memberat, ini bisa menjadi pertanda KOT yang sedang berkembang.

  • Kondisi Khusus: Pasien hamil dengan hipertensi berat memerlukan penanganan khusus karena risiko preeklamsia atau eklampsia. Kecurigaan adanya feokromositoma (misalnya, riwayat episode TD sangat tinggi disertai sakit kepala, palpitasi, dan keringat berlebih) juga memerlukan rujukan untuk investigasi dan tatalaksana lebih lanjut.

  • Keraguan Diagnosis: Jika dokter umum merasa ragu apakah kondisi pasien benar-benar hipertensi urgensi atau ada kondisi lain yang mendasari (misalnya, stroke dengan TD reaktif yang tinggi), lebih aman untuk merujuk pasien guna evaluasi lebih komprehensif.

"Perubahan status mental" merupakan salah satu red flag yang sangat sensitif dan harus ditanggapi dengan serius, bahkan jika perubahan tersebut tampak subtil. Ini bisa menjadi manifestasi awal dari ensefalopati hipertensif atau stroke. 

Dokter umum di layanan primer harus memiliki ambang batas yang rendah untuk merujuk pasien dengan TD sangat tinggi yang menunjukkan setiap perubahan perilaku atau tingkat kesadaran yang baru, karena kondisi ini dapat berkembang dengan cepat.

Kegagalan TD untuk turun secara signifikan (misalnya, kurang dari 10-15% dalam beberapa jam pertama) setelah pemberian dosis awal obat oral yang adekuat pada pasien yang diyakini sebagai hipertensi urgensi (tanpa KOT awal) mungkin mengindikasikan adanya pseudo-resistensi (misalnya, akibat nyeri hebat yang belum teratasi atau ansietas berat) atau bahkan kemungkinan hipertensi sekunder yang belum terdiagnosis. 

Jika kondisi ini tidak membaik dengan penanganan faktor perancu, evaluasi lebih lanjut atau rujukan mungkin diperlukan.

VI. Manajemen Jangka Panjang dan Edukasi Pasien Pasca Episode Hipertensi Urgensi

Penanganan episode hipertensi urgensi tidak berhenti setelah TD berhasil diturunkan. Manajemen jangka panjang dan edukasi pasien yang komprehensif sangat penting untuk mencegah rekurensi dan komplikasi kardiovaskular lebih lanjut.

A. Pentingnya Kunjungan Tindak Lanjut (Follow-up)

  • Jadwal Follow-up Awal: Pasien yang mengalami episode hipertensi urgensi harus dijadwalkan untuk kunjungan tindak lanjut dalam waktu 24-72 jam hingga beberapa hari setelah penanganan awal. Tujuan kunjungan ini adalah untuk mengevaluasi respons terhadap terapi yang diberikan, melakukan penyesuaian dosis jika diperlukan, dan mulai merencanakan strategi manajemen jangka panjang.

  • Pemantauan TD Rutin: Tekankan pentingnya pemantauan TD secara rutin, baik yang dilakukan di klinik maupun secara mandiri di rumah (Home Blood Pressure Monitoring/HBPM). Pemantauan rutin adalah kunci keberhasilan manajemen hipertensi kronis.

B. Optimalisasi Terapi Antihipertensi Kronis

  • Evaluasi Ulang Rejimen: Tinjau kembali seluruh rejimen obat antihipertensi yang diterima pasien. Jika pasien belum pernah terdiagnosis hipertensi sebelumnya, lakukan evaluasi lengkap untuk menegakkan diagnosis hipertensi dan melakukan stratifikasi risiko kardiovaskular. Episode hipertensi urgensi bisa menjadi penanda adanya hipertensi yang tidak terkontrol atau baru terdiagnosis.

  • Penyesuaian Terapi: Jika pasien sudah dalam terapi antihipertensi, evaluasi tingkat kepatuhan dan efektivitas obat yang selama ini digunakan. Pertimbangkan untuk melakukan penyesuaian dosis, penambahan jenis obat, atau penggantian obat sesuai dengan pedoman tatalaksana hipertensi kronis yang berlaku, seperti panduan dari Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI/InaSH).

  • Kombinasi Obat: Jika diperlukan lebih dari satu jenis obat antihipertensi untuk mencapai target TD, pertimbangkan penggunaan sediaan kombinasi dosis tetap (Fixed-Dose Combination/FDC). Penggunaan FDC dapat membantu meningkatkan kepatuhan pasien karena mengurangi jumlah pil yang harus dikonsumsi.

C. Edukasi Pasien yang Komprehensif

Edukasi yang efektif adalah kunci keberhasilan manajemen jangka panjang.

  • Pemahaman Kondisi Hipertensi: Jelaskan kepada pasien bahwa hipertensi seringkali merupakan "silent killer" yang tidak menimbulkan gejala khas. Tekankan pentingnya kontrol TD jangka panjang untuk mencegah komplikasi serius seperti stroke, penyakit jantung, dan penyakit ginjal.

  • Kepatuhan Berobat: Sampaikan dengan jelas pentingnya minum obat secara teratur sesuai instruksi dokter. Pasien tidak boleh menghentikan atau mengubah dosis obat sendiri tanpa konsultasi terlebih dahulu. Diskusikan strategi untuk mengatasi masalah lupa minum obat atau kesulitan dalam mendapatkan akses obat. Mengingat tingginya prevalensi "kehabisan obat" sebagai pencetus hipertensi urgensi , edukasi pasien harus mencakup aspek praktis perencanaan pengambilan obat. Ingatkan jadwal kontrol untuk peresepan ulang, dan tekankan pentingnya untuk tidak menunggu hingga obat habis total sebelum meminta resep baru. Ini adalah intervensi sederhana namun berpotensi memberikan dampak yang tinggi.

  • Modifikasi Gaya Hidup: Modifikasi gaya hidup merupakan komponen vital dalam pengelolaan hipertensi. Anjurkan hal-hal berikut:

  • Diet Rendah Garam: Batasi asupan natrium, idealnya kurang dari 2-2.4 gram per hari.

  • Diet Sehat: Terapkan pola makan sehat seperti diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) atau diet Mediterania yang kaya akan buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, serta rendah lemak jenuh.

  • Aktivitas Fisik Teratur: Lakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang minimal 150 menit per minggu.

  • Penurunan Berat Badan: Jika pasien memiliki berat badan berlebih (overweight) atau obesitas, anjurkan untuk menurunkan berat badan secara bertahap.

  • Stop Merokok: Berikan dukungan dan motivasi untuk berhenti merokok.

  • Batasi Konsumsi Alkohol: Jika mengonsumsi alkohol, batasi jumlahnya sesuai rekomendasi.

  • Manajemen Stres dan Istirahat Cukup: Ajarkan teknik manajemen stres dan pastikan pasien mendapatkan istirahat yang cukup.

  • Pemantauan TD Mandiri (HBPM): Ajarkan pasien cara mengukur TD di rumah dengan benar menggunakan alat yang tervalidasi. Informasikan mengenai target TD yang diharapkan dan kapan harus menghubungi dokter jika TD tidak terkontrol atau timbul gejala tertentu. Ini akan memberdayakan pasien dalam manajemen penyakitnya.

  • Kapan Mencari Pertolongan Medis Segera: Ulangi edukasi mengenai gejala-gejala KOT (red flags) yang memerlukan evaluasi medis segera untuk mencegah keterlambatan penanganan jika di kemudian hari terjadi episode hipertensi emergensi.

Edukasi pasca-episode hipertensi urgensi seharusnya bersifat dua arah. Penting untuk melibatkan penggalian pemahaman pasien, kepercayaan mereka terhadap pengobatan, serta hambatan-hambatan yang mungkin mereka hadapi dalam menjalankan terapi. Ini lebih dari sekadar penyampaian informasi satu arah. Dokter umum perlu menciptakan ruang dialog untuk mengatasi miskonsepsi, membangun kepercayaan, dan bersama-sama mencari solusi atas hambatan yang ada, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan kepatuhan jangka panjang.

VII. Kesimpulan

Penatalaksanaan hipertensi urgensi di faskes primer memerlukan pendekatan yang cermat dan komprehensif. Dokter umum memegang peran vital dalam melakukan diagnosis diferensial yang akurat antara hipertensi urgensi, emergensi, dan hipertensi berat asimtomatik, terutama dengan mengandalkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menyingkirkan adanya kerusakan organ target akut. 

Pemberian tatalaksana awal yang aman dengan obat antihipertensi oral yang tepat, dengan target penurunan tekanan darah secara bertahap, adalah kunci untuk menghindari komplikasi hipoperfusi.

Identifikasi faktor risiko, manajemen faktor pencetus, dan kemampuan untuk mengenali tanda-tanda bahaya ("red flags") yang memerlukan rujukan segera adalah kompetensi esensial. Lebih lanjut, keberhasilan jangka panjang sangat bergantung pada edukasi pasien yang efektif mengenai kondisi hipertensinya, pentingnya kepatuhan berobat, modifikasi gaya hidup, serta pemantauan tekanan darah mandiri. 

Pendekatan yang individual dan kolaboratif dengan pasien akan memastikan kesinambungan perawatan dan pencegahan rekurensi serta komplikasi kardiovaskular di masa mendatang. Optimalisasi terapi antihipertensi kronis dan jadwal kontrol yang teratur menjadi bagian integral dari manajemen pasca episode hipertensi urgensi.

Referensi

  1. Asymptomatic Hypertensive Urgency at a VA Emergency Department - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6368056/

  2. Hypertensive Emergency - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470371/

  3. Hypertensive Urgency - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513351/

  4. Management Strategies for Hypertensive Crisis: A Systematic Review - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11389756/

  5. Characteristics and Management of Patients Presenting to the ..., accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8109533/

  6. Treatment of hypertensive emergencies - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5440310/

  7. Pharmacologic Treatment of Hypertensive Urgency in the Outpatient ..., accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5880769/

  8. Hypertensive emergencies - PubMed, accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25307099/

  9. Emergency Room Management of Hypertensive Urgencies and ..., accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8101895/

  10. Treating hypertensive emergencies. Controlled reduction of blood pressure and protection of target organs - PubMed, accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8433961/

  11. Hypertensive Emergency (Nursing) - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK568676/

  12. Hypertensive Crises: Emergencies and Urgencies - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8109569/

  13. cdkjournal.com, accessed May 9, 2025, https://cdkjournal.com/index.php/cdk/article/download/520/479/531

  14. Malignant Hypertension - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507701/

  15. What is urgent about hypertensive urgency? - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5507232/

  16. Risk factors for hypertensive crisis in adult patients: a systematic ..., accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33555818/

  17. Treatment of hypertensive emergencies and urgencies with oral ..., accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/3513726/

  18. Hypertensive Crisis: A Review of Pathophysiology and Treatment - PubMed, accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26567490/

  19. KONSENSUS PENATALAKSANAAN HIPERTENSI 2021: Update Konsensus PERHI 2019 - PUSKESMAS BARU ILIR - Balikpapan Nyaman, accessed May 9, 2025, https://pkmbaruilir.balikpapan.go.id/files/20240902162459917181_6__konsensus-hipertensi-2021.pdf

  20. RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/4634/2021 TENTANG PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDO, accessed May 9, 2025, https://kemkes.go.id/app_asset/file_content_download/1700108499655598d3c61e16.60954826.pdf

  21. www.accp.com, accessed May 9, 2025, https://www.accp.com/docs/bookstore/ccsap/ccsap2018b1_sample.pdf

  22. Oral antihypertensives for hypertensive urgencies - PubMed, accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8193426/

  23. Captopril - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535386/

  24. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431051/

  25. Knowing the gap: medication use, adherence and blood pressure control among patients with hypertension in Indonesian primary care settings - PeerJ, accessed May 9, 2025, https://peerj.com/articles/13171/

  26. Clonidine - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459124/

  27. Nifedipine - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537052/

  28. Reducing the Use of Short-acting Nifedipine by Hypertensives Using a Pharmaceutical Database - NCBI, accessed May 9, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK20538/

  29. 2722-0877 LAPORAN KASUS Manifestasi Klinis pada Pasien Hipertensi Urgensi - Jurnal UMSU, accessed May 9, 2025, https://jurnal.umsu.ac.id/index.php/JIH/article/download/12448/pdf

  30. Formularium Obat RSUD Dr. SAIFUL ANWAR Tahun 2021, accessed May 9, 2025, https://rsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2022/01/50664_FORS-2021.pdf

  31. Panduan Pengenalan dan Tatalaksana Hipertensi Resisten Di Indonesia 2024 - Indonesian Society of Hypertension, accessed May 9, 2025, https://admin.inash.or.id/cdn/File/Konsensus%20InaSH%202024.pdf

  32. kardiologi.fk.unand.ac.id, accessed May 9, 2025, http://kardiologi.fk.unand.ac.id/attachments/article/166/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada_penyakit_Kardiovaskular_2015.pdf

  33. Slide konsensus penatalaksanaan hipertensi 2019 inash | PPT - SlideShare, accessed May 9, 2025, https://www.slideshare.net/slideshow/slide-konsensus-penatalaksanaan-hipertensi-2019-inash/141463994

  34. PNPK 2021 - Tata Laksana Hipertensi Dewasa - Kemenkes, accessed May 9, 2025, https://kemkes.go.id/id/pnpk-2021---tata-laksana-hipertensi-dewasa

  35. Panduan Penatalaksanaan Hipertensi pada Periode Peripartum - Indonesian Society of Hypertension, accessed May 9, 2025, https://admin.inash.or.id/cdn/File/2025.pdf

  36. PANDUAN PRAKTIK KLINIS, accessed May 9, 2025, https://manuver.tireg7.net/wp-content/uploads/2022/08/PPK-PERDOSKI-2021.pdf

  37. Hypertension Guidance for Primary Care: 1. Traffic light guide to blood pressure management (poster) 2. Hypertension (HT) diagno, accessed May 9, 2025, https://swlimo.southwestlondon.icb.nhs.uk/wp-content/uploads/2022/12/Hypertension-Guidance-for-Primary-Care-v2.2.pdf

  38. The Management of Elevated Blood Pressure in the Acute Care Setting: A Scientific Statement From the American Heart Association - PubMed, accessed May 9, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38804130/

  39. Pasien Hipertensi Minum Obat Hanya Bila Tekanan Darah Naik? Oh, No! - pjnhk, accessed May 9, 2025, https://pjnhk.go.id/artikel/pasien-hipertensi-minum-obat-hanya-bila-tekanan-darah-naik-ohno

  40. Hypertension Management: An Update - PMC - PubMed Central, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4106550/

  41. Pedoman Pengendalian Hipertensi Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, accessed May 9, 2025, https://diskes.badungkab.go.id/storage/diskes/file/Buku%20Pedoman%20Hipertensi%202024.pdf

  42. Hal | 1 JURNAL MASYARAKAT MANDIRI DAN BERDAYA Volume I, Nomor 1, Tahun 2022 Available Online at : https://e-journal.lppmdianhus, accessed May 9, 2025, https://e-journal.lppmdianhusada.ac.id/index.php/mbm/article/download/202/190

  43. Non‐pharmacological management of hypertension - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8678745/

  44. Nurse-Led Strategies for Lifestyle Modification to Control Hypertension in Older Adults: A Scoping Review - PMC, accessed May 9, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11945556/

  45. FORMULARIUM OBAT RSUD Dr. SAIFUL ANWAR PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2024, accessed May 9, 2025, https://rsusaifulanwar.jatimprov.go.id/file_upload/250016_FORS%202024_Fix.pdf

  46. Jurnal Cendikia Muda Volume 2, Nomor 2, Juni 2022 ISSN : 2807-3469 Putri, Penerapan Pemberian Relaksasi 246, accessed May 9, 2025, https://www.jurnal.akperdharmawacana.ac.id/index.php/JWC/article/download/343/204