Dokter Post - BAK Tidak Tuntas pada Pria: Apakah Selalu BPH? Panduan Diagnosis dan Terapi BPH untuk Dokter Umum

BAK Tidak Tuntas pada Pria: Apakah Selalu BPH? Panduan Diagnosis dan Terapi BPH untuk Dokter Umum

8 Sep 2025 • urologi

Deskripsi

BAK Tidak Tuntas pada Pria: Apakah Selalu BPH? Panduan Diagnosis dan Terapi BPH untuk Dokter Umum

I. Pendahuluan: Misteri di Balik Keluhan BAK Tidak Tuntas

Keluhan "BAK tidak tuntas," atau sensasi pengosongan kandung kemih yang tidak lampias, merupakan salah satu Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang sering dijumpai oleh dokter umum dalam praktik sehari-hari, terutama pada pasien pria seiring bertambahnya usia. Ketika seorang pasien pria datang dengan keluhan ini, Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) seringkali menjadi diagnosis pertama yang terpikirkan. 

Hal ini wajar, mengingat BPH adalah salah satu penyakit urologi paling umum yang menyerang pria lanjut usia. Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya dekade kehidupan, mulai dari sekitar 50% pada pria usia 50 tahun hingga mencapai 80% pada usia 80 tahun ke atas.

Gambar 1. Hiperplasia jaringan prostat menekan uretra

Namun, penting untuk dipahami bahwa sensasi BAK tidak tuntas bukanlah gejala yang patognomonik atau spesifik hanya untuk BPH. Meskipun BPH adalah penyebab umum, keluhan ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi lain. Oleh karena itu, pendekatan diagnostik yang sistematis dan komprehensif sangat diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain sebelum menegakkan diagnosis BPH. 

Fokus tunggal pada BPH tanpa mempertimbangkan diagnosis banding dapat berisiko melewatkan kondisi lain yang mungkin lebih serius dan memerlukan penanganan berbeda, seperti infeksi kronis, gangguan neurologis, atau bahkan keganasan. Persepsi pasien mengenai "BAK tidak tuntas" juga bisa bersifat subjektif. 

Dokter perlu menggali lebih dalam apa arti keluhan tersebut bagi pasien, seberapa sering terjadi, bagaimana dampaknya terhadap kualitas hidup (QoL), dan apakah ada gejala penyerta lainnya. Penggunaan kuesioner terstandardisasi seperti International Prostate Symptom Score (IPSS) dan penilaian QoL dapat membantu mengobjektifikasi keluhan ini.

Artikel ini bertujuan untuk memberikan panduan praktis bagi dokter umum, khususnya yang berusia muda (25-35 tahun), mengenai langkah-langkah diagnosis dan terapi BPH di tingkat layanan primer, serta kriteria kapan seorang pasien sebaiknya dirujuk ke spesialis urologi.

II. Mengenal Lebih Dekat BPH: Bukan Sekadar Pembesaran Prostat

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) secara definitif adalah pertumbuhan non-maligna atau hiperplasia jaringan prostat, yang melibatkan proliferasi sel stroma dan sel epitel. Pertumbuhan ini umumnya terjadi di zona transisional prostat yang mengelilingi uretra. Penting untuk selalu menekankan kepada pasien bahwa BPH bukanlah kanker dan tidak akan berkembang menjadi kanker prostat. Edukasi ini krusial untuk mengurangi kecemasan pasien yang seringkali khawatir bahwa gejala LUTS yang dialaminya adalah tanda keganasan.

Patofisiologi BPH bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks antara faktor hormonal dan proses inflamasi.

  1. Peran Hormonal: Ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan metabolitnya yang lebih poten, yaitu dihydrotestosterone (DHT), memegang peranan kunci. Testosteron, yang diproduksi oleh testis, akan dikonversi menjadi DHT di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase. DHT inilah yang kemudian berikatan dengan reseptor androgen di sel prostat dan memediasi proses proliferasi sel, baik sel stroma maupun epitel, yang menyebabkan pembesaran kelenjar prostat.

  2. Peran Inflamasi: Selain faktor hormonal, proses inflamasi kronis juga diketahui berkontribusi signifikan dalam patogenesis dan progresi BPH. Jaringan prostat pada pasien BPH seringkali menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi dan peningkatan kadar berbagai mediator pro-inflamasi, seperti interleukin-17 (IL-17). IL-17 dapat memicu pelepasan sitokin lain (misalnya IL-6, IL-8) yang selanjutnya mendorong proliferasi sel prostat dan memperburuk kondisi BPH.

Pembesaran prostat ini kemudian dapat menyebabkan kompresi uretra pars prostatika, yang dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO) atau obstruksi aliran keluar kandung kemih. Obstruksi mekanis ini, bersama dengan respons sekunder dari kandung kemih (seperti hipertrofi otot detrusor atau perkembangan hiperaktivitas detrusor), akan menimbulkan berbagai gejala LUTS. 

Sensasi BAK tidak tuntas pada BPH dapat timbul karena beberapa mekanisme: pertama, adanya sisa urin yang signifikan dalam kandung kemih (Post-Void Residual urine/PVR) akibat pengosongan yang tidak efisien karena obstruksi. Kedua, obstruksi kronis dapat menyebabkan perubahan pada fungsi kontraktilitas kandung kemih itu sendiri, membuatnya menjadi kurang efektif dalam memompa urin keluar. 

Ketiga, iritasi kronis atau perubahan sensorik pada dinding kandung kemih akibat obstruksi juga dapat menimbulkan persepsi pengosongan yang tidak lampias meskipun sisa urin mungkin tidak terlalu banyak. Pemahaman akan dasar patofisiologi yang melibatkan hormonal dan inflamasi ini juga membuka wawasan bahwa target terapi BPH tidak hanya terbatas pada mengatasi obstruksi mekanis, tetapi juga dapat diarahkan pada jalur hormonal (dengan obat 5-ARI) atau potensi target inflamasi di masa depan.

III. Langkah Awal Diagnosis BPH di Ruang Praktik Anda

Pendekatan diagnostik yang sistematis di layanan primer adalah kunci untuk diagnosis dan terapi BPH yang tepat. Proses ini meliputi anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang terfokus, dan pemeriksaan penunjang dasar.

Anamnesis

Anamnesis yang baik harus menggali informasi detail mengenai:

  • Karakterisasi LUTS: Penting untuk membedakan antara gejala penyimpanan (storage symptoms) dan gejala pengosongan (voiding/emptying symptoms). Gejala penyimpanan meliputi frekuensi (sering BAK), urgensi (kebelet tidak bisa ditahan), dan nokturia (terbangun malam hari untuk BAK). Gejala pengosongan mencakup pancaran urin lemah, hesitansi (sulit memulai BAK), intermitensi (BAK terputus-putus), mengedan saat BAK, sensasi BAK tidak tuntas, dan post-void dribbling (menetes setelah BAK).

  • Skor Gejala dan Kualitas Hidup: Penggunaan kuesioner terstandardisasi seperti International Prostate Symptom Score (IPSS) sangat dianjurkan untuk mengukur secara objektif keparahan LUTS (Ringan: IPSS 0-7, Sedang: IPSS 8-19, Berat: IPSS 20-35). Selain IPSS, Quality of Life (QoL) score juga penting untuk menilai seberapa besar gejala tersebut mengganggu kehidupan pasien, karena skor QoL seringkali lebih berkorelasi dengan keputusan terapi dibandingkan IPSS semata. Perubahan sebesar 3 poin pada skor IPSS dianggap signifikan secara klinis dalam memantau respons terapi.

  • Riwayat Medis Lain: Tanyakan riwayat penyakit lain seperti kondisi neurologis (stroke, Parkinson, cedera tulang belakang), diabetes melitus, riwayat operasi urologi sebelumnya, dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi (misalnya diuretik, antikolinergik, dekongestan) yang dapat mempengaruhi fungsi berkemih.

  • Red Flags: Waspadai gejala "lampu merah" seperti hematuria (BAK berdarah), nyeri panggul atau tulang yang tidak jelas penyebabnya, atau penurunan berat badan yang signifikan, yang mungkin mengarah ke kondisi lebih serius seperti keganasan.

Pemeriksaan Fisik Kunci

  • Pemeriksaan Abdomen: Lakukan palpasi pada area suprapubik untuk mendeteksi adanya distensi kandung kemih, yang dapat menandakan retensi urin kronis. Jika ginjal teraba atau kandung kemih teraba/dapat diperkusi setelah pasien diminta berkemih dua kali, ini merupakan indikasi untuk rujukan spesialis.

  • Digital Rectal Examination (DRE) / Colok Dubur: Pemeriksaan ini wajib dilakukan pada setiap pasien pria dengan LUTS. Melalui DRE, dokter dapat menilai perkiraan ukuran prostat, konsistensinya (normalnya kenyal seperti ujung hidung pada BPH; keras atau berbenjol/nodular dapat mengarah pada kecurigaan keganasan), simetri, ada tidaknya nodul, serta tonus sfingter ani. Perlu diingat bahwa estimasi ukuran prostat melalui DRE dapat kurang akurat, terutama untuk prostat yang sangat besar atau tumbuh ke arah intravesikal. Namun, nilai DRE dalam mendeteksi abnormalitas konsistensi yang mengarah ke kanker prostat sangatlah tinggi.

Pemeriksaan Penunjang Dasar

Pemilihan pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia dan indikasi klinis:

  • Urinalisis: Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien dengan LUTS guna menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih (ISK), hematuria (darah dalam urin), proteinuria, atau glukosuria (gula dalam urin yang dapat mengindikasikan diabetes melitus).

  • Prostate-Specific Antigen (PSA): PSA bukanlah tes skrining rutin untuk BPH, namun pemeriksaannya dipertimbangkan dalam beberapa situasi: jika ada kecurigaan kanker prostat berdasarkan temuan DRE yang abnormal atau riwayat keluarga yang kuat, atau sebelum memulai terapi dengan golongan penghambat 5α-reduktase (5-ARI) atau merencanakan tindakan pembedahan. Kadar PSA juga dapat berkorelasi dengan volume prostat; kadar PSA >1.5 µg/L seringkali dikaitkan dengan volume prostat lebih dari 30 gram. Penting untuk mendiskusikan manfaat dan keterbatasan pemeriksaan PSA dengan pasien sebelum dilakukan. Nilai PSA >4 µg/L umumnya memerlukan evaluasi lebih lanjut oleh spesialis urologi. Interpretasi PSA harus dilakukan dengan hati-hati, mengintegrasikan hasil dengan temuan DRE, gejala klinis, dan rencana terapi, bukan hanya berdasarkan angka absolut.

  • Post-Void Residual (PVR) urine: PVR adalah volume urin yang tersisa di kandung kemih segera setelah pasien berkemih. Pengukuran PVR dapat memberikan informasi objektif mengenai efisiensi pengosongan kandung kemih. PVR dapat diukur menggunakan bladder scanner (USG non-invasif) atau melalui kateterisasi urin sesaat. Volume PVR >100 mL yang persisten setelah berkemih kedua, atau >150-200 mL, umumnya dianggap signifikan atau patologis. PVR yang tinggi dapat meningkatkan risiko komplikasi seperti ISK berulang, pembentukan batu kandung kemih, dan dalam jangka panjang, kerusakan fungsi ginjal. Pengukuran PVR direkomendasikan sebelum intervensi bedah dan berguna untuk memantau pasien, terutama jika ada gejala sisa atau risiko retensi.

  • Kreatinin Serum: Pemeriksaan fungsi ginjal ini diindikasikan jika ada kecurigaan adanya retensi urin kronis yang signifikan atau tanda-tanda hidronefrosis (pembengkakan ginjal akibat sumbatan aliran urin). Namun, pemeriksaan kreatinin serum tidak direkomendasikan secara rutin pada evaluasi awal LUTS tanpa adanya komplikasi atau kecurigaan tersebut.

  • Buku Harian Berkemih (Voiding Diary): Pencatatan waktu dan volume setiap kali berkemih serta asupan cairan selama 24 jam (biasanya selama 3 hari) sangat membantu, terutama pada pasien dengan keluhan utama frekuensi atau nokturia. Buku harian ini dapat membantu mengidentifikasi poliuria (produksi urin berlebih), poliuria nokturnal, atau kapasitas kandung kemih yang kecil.

IV. BAK Tidak Tuntas: Jika Bukan BPH, Apa Lagi? (Diagnosis Banding)

Sangat penting bagi dokter umum untuk menyadari bahwa LUTS, termasuk sensasi BAK tidak tuntas, tidak selalu disebabkan oleh BPH, terutama pada populasi pasien yang lebih muda. Anamnesis yang cermat terhadap riwayat penyakit neurologis, diabetes, penggunaan obat-obatan tertentu, dan ada tidaknya gejala non-urologi lainnya menjadi sangat krusial untuk membedakan BPH dari penyebab lain. 

Jika seorang pria berusia muda (misalnya, dalam rentang usia target dokter umum 25-35 tahun) datang dengan keluhan BAK tidak tuntas, BPH bukanlah diagnosis yang paling mungkin, sehingga diagnosis banding lain harus lebih kuat dipertimbangkan. Beberapa kondisi dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan BPH dan memerlukan pendekatan diagnosis serta manajemen yang berbeda.

Berikut adalah beberapa diagnosis banding utama yang perlu dipertimbangkan:

  1. Penyebab Obstruktif Lain (Selain BPH):

  • Striktur Uretra: Penyempitan abnormal pada saluran uretra, yang dapat disebabkan oleh trauma sebelumnya (misalnya, cedera straddle), infeksi (uretritis gonore atau non-gonore), atau iatrogenik (misalnya, pasca kateterisasi atau instrumentasi uretra). Gejala khasnya adalah pancaran urin yang kecil, tipis, atau bahkan bercabang.

  • Kanker Prostat: Meskipun BPH bersifat jinak, kanker prostat juga dapat menyebabkan obstruksi aliran keluar kandung kemih, terutama pada stadium yang lebih lanjut. Temuan DRE yang keras, nodular, atau asimetris, serta peningkatan kadar PSA yang signifikan, dapat menjadi petunjuk.

  • Kanker Kandung Kemih: Tumor yang terletak di area leher kandung kemih atau uretra proksimal dapat menyebabkan obstruksi dan LUTS. Hematuria seringkali menjadi gejala utama.

  • Batu Kandung Kemih atau Uretra: Batu yang menyumbat leher kandung kemih atau uretra dapat menyebabkan gejala obstruksi akut maupun kronis, termasuk sensasi BAK tidak tuntas.


Gambar 2. CT Pelvis menunjukkan batu kandung Kemih dengan hyperplasia prostat

  • Phimosis atau Paraphimosis: Kondisi pada preputium penis ini juga dapat mengganggu aliran urin.

  1. Disfungsi Kandung Kemih:

  • Kandung Kemih Neurogenik: Gangguan fungsi kandung kemih akibat kerusakan pada jalur saraf yang mengontrol proses berkemih. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit neurologis seperti stroke, penyakit Parkinson, cedera medula spinalis, diabetes melitus yang sudah berlangsung lama (neuropati diabetik), atau sklerosis multipel. Manifestasinya bisa berupa detrusor hipoaktif atau arefleksia (kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik, menyebabkan retensi urin dan PVR tinggi) atau sebaliknya, detrusor hiperaktif (menyebabkan urgensi, frekuensi, dan inkontinensia urin tipe urgensi).

  • Detrusor Underactivity / Hipokontraktilitas Detrusor: Kondisi di mana otot kandung kemih (detrusor) menjadi lemah dan tidak mampu berkontraksi secara adekuat untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya, meskipun tidak ada obstruksi anatomis yang signifikan.

  • Disfungsi Leher Kandung Kemih (Bladder Neck Dysfunction - BND): Kegagalan leher kandung kemih untuk membuka secara adekuat selama proses berkemih, menyebabkan obstruksi fungsional.

  1. Infeksi atau Inflamasi:

  • Prostatitis: Peradangan pada kelenjar prostat, baik akut maupun kronis, dapat menyebabkan gejala LUTS yang mirip dengan BPH, termasuk nyeri pada area perineum atau suprapubik, disuria, dan kadang-kadang demam (pada prostatitis akut). DRE dapat menunjukkan prostat yang nyeri tekan.

  • Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Uretritis: Infeksi pada saluran kemih atau uretra dapat menyebabkan gejala iritatif seperti disuria, frekuensi, dan urgensi, serta edema pada uretra yang dapat mengganggu aliran urin.

  1. Penyebab Lain:

  • Efek Samping Obat: Beberapa jenis obat dapat mempengaruhi fungsi berkemih, misalnya obat-obatan dengan efek antikolinergik (seperti beberapa antidepresan trisiklik, antihistamin generasi pertama), opioid, atau dekongestan yang mengandung agonis alfa (misalnya, pseudoefedrin) dapat menyebabkan retensi urin atau kesulitan berkemih.

  • Diabetes Melitus Tidak Terkontrol: Dapat menyebabkan poliuria (produksi urin berlebih) akibat diuresis osmotik, serta dalam jangka panjang dapat menyebabkan neuropati otonom yang mempengaruhi fungsi kandung kemih (kandung kemih neurogenik).

  • Poliuria Nokturnal: Produksi urin yang berlebihan pada malam hari dapat disebabkan oleh kondisi seperti gagal jantung kongestif (akibat redistribusi cairan saat berbaring), obstructive sleep apnea, atau kebiasaan minum banyak cairan sebelum tidur.

  • Konstipasi Berat: Feses yang keras dan menumpuk di rektum dapat menekan leher kandung kemih atau uretra, sehingga mengganggu pengosongan kandung kemih.

Beberapa kondisi dalam diagnosis banding ini mungkin memerlukan rujukan ke spesialis lain selain Urologi, misalnya ke Neurologi jika dicurigai adanya masalah persarafan primer. Peran dokter umum sebagai koordinator perawatan menjadi sangat penting dalam kasus-kasus seperti ini.

Untuk membantu dokter umum dalam praktik sehari-hari, berikut adalah tabel ringkas mengenai diagnosis banding utama untuk keluhan BAK tidak tuntas pada pria dewasa, selain BPH:

Tabel 1: Diagnosis Banding Utama BAK Tidak Tuntas pada Pria Dewasa (Selain BPH)

Kondisi

Petunjuk Klinis Khas (Anamnesis/PF)

Pemeriksaan Awal Relevan untuk GP

Striktur Uretra

Riwayat trauma pelvis/perineum, ISK berulang, riwayat kateterisasi/instrumentasi, pancaran urin kecil/bercabang

Uroflowmetri (jika ada/rujuk), pertimbangkan rujukan urologi

Kandung Kemih Neurogenik

Riwayat penyakit neurologis (stroke, DM lama, cedera spinal), DRE (tonus sfingter abnormal mungkin)

Gula darah, PVR, urinalisis, rujukan urologi/neurologi

Prostatitis

Nyeri perineum/suprapubik/saat ejakulasi, demam (akut), DRE (prostat nyeri tekan, mungkin bengkak)

Urinalisis, kultur urin (jika curiga infeksi bakteri)

Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin keruh/berbau

Urinalisis (leukosituria, nitrit positif), kultur urin

Kanker Prostat

Sering asimtomatik awal, DRE (nodul keras, asimetris), PSA meningkat signifikan, gejala metastasis

DRE, PSA, urinalisis (hematuria?), rujukan urologi

Efek Samping Obat

Penggunaan obat baru (antikolinergik, opioid, dekongestan), perbaikan setelah obat dihentikan

Tinjau riwayat pengobatan pasien

V. Pilihan Terapi BPH untuk Dokter Umum: Kapan dan Bagaimana? (Fokus pada "Diagnosis dan terapi BPH")

Tujuan utama penatalaksanaan BPH adalah untuk meringankan LUTS yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup (QoL) pasien, dan mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang seperti retensi urin akut, ISK berulang, batu kandung kemih, atau kerusakan fungsi ginjal. 

Pendekatan terapi harus bersifat individual, disesuaikan dengan tingkat keparahan gejala (berdasarkan skor IPSS), sejauh mana gejala tersebut mengganggu QoL pasien, perkiraan ukuran prostat, ada tidaknya komorbiditas, serta preferensi pasien itu sendiri.

Observasi Aktif (Watchful Waiting) dan Modifikasi Gaya Hidup

Untuk pasien dengan gejala LUTS yang ringan (IPSS 0-7) dan tidak merasa terganggu kualitas hidupnya, pendekatan observasi aktif atau watchful waiting merupakan pilihan yang tepat. Pendekatan ini melibatkan:

  • Edukasi kepada pasien mengenai kondisi BPH sebagai proses penuaan yang normal dan jinak, serta pemantauan gejala secara berkala (biasanya setiap 6-12 bulan).

  • Modifikasi gaya hidup yang dapat membantu mengurangi gejala, antara lain :

  • Mengatur asupan cairan: Mengurangi minum beberapa jam sebelum tidur atau sebelum bepergian jika frekuensi dan nokturia menjadi masalah.

  • Menghindari atau mengurangi konsumsi iritan kandung kemih seperti kafein dan alkohol.

  • Menghindari penggunaan obat-obatan yang dapat memperburuk LUTS, seperti dekongestan yang dijual bebas.

  • Teknik pengosongan kandung kemih ganda (double voiding): Setelah berkemih, tunggu beberapa saat lalu coba berkemih lagi untuk memastikan kandung kemih lebih kosong.

  • Latihan kandung kemih (bladder training): Untuk pasien dengan gejala urgensi dan frekuensi, dengan cara menahan keinginan berkemih secara bertahap untuk meningkatkan interval antar berkemih.

Terapi Farmakologis

Jika gejala LUTS masuk dalam kategori sedang hingga berat (IPSS ≥8) atau jika gejala ringan namun sudah mengganggu QoL pasien, maka terapi farmakologis dapat dipertimbangkan. Pilihan obat BPH bukan "satu untuk semua"; dokter umum perlu mempertimbangkan profil pasien secara keseluruhan. Edukasi pasien mengenai onset kerja obat dan potensi efek samping adalah kunci untuk meningkatkan kepatuhan dan kepuasan terapi.

  1. Antagonis Adrenergik Alfa-1 (Alfa-Blocker):

  • Mekanisme Kerja: Obat golongan ini bekerja dengan cara merelaksasi otot polos yang terdapat di leher kandung kemih dan stroma prostat. Relaksasi ini mengurangi komponen dinamik dari obstruksi, sehingga memperbaiki aliran urin dan mengurangi LUTS.

  • Pilihan Utama: Alfa-blocker seringkali menjadi pilihan pertama untuk mengatasi LUTS akibat BPH, terutama karena onset kerjanya yang relatif cepat, yaitu dalam beberapa hari hingga minggu.

  • Contoh Obat:

  • Selektif α1A/D: Tamsulosin (dosis umum 0.2 - 0.4 mg sekali sehari).

  • Uroselektif (lebih selektif ke saluran kemih bawah): Alfuzosin (10 mg sekali sehari).

  • Sangat selektif α1A: Silodosin (4 - 8 mg sekali sehari).

  • Non-selektif (juga memblok reseptor α1B di pembuluh darah): Doxazosin, Terazosin (memerlukan titrasi dosis bertahap untuk meminimalkan efek hipotensi).

  • Efikasi: Dapat mengurangi skor IPSS sekitar 30-45% dan meningkatkan laju pancaran urin maksimal (Qmax) sekitar 15-30%.

  • Efek Samping Umum: Pusing, hipotensi ortostatik (terutama pada obat non-selektif atau pada dosis awal), kelelahan, hidung tersumbat, dan gangguan ejakulasi (seperti ejakulasi retrograd atau anejakulasi, lebih sering pada tamsulosin dan silodosin). Perhatian khusus perlu diberikan pada pasien yang akan menjalani operasi katarak, karena alfa-blocker dapat menyebabkan Intraoperative Floppy Iris Syndrome (IFIS).

  1. Penghambat 5-Alfa-Reduktase (5-ARI):

  • Mekanisme Kerja: Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat enzim 5α-reduktase, yang bertanggung jawab mengubah testosteron menjadi DHT di dalam prostat. Penurunan kadar DHT akan menyebabkan apoptosis sel prostat dan penyusutan volume prostat secara keseluruhan, sehingga mengurangi komponen statik dari obstruksi dan berpotensi mengubah perjalanan penyakit BPH.

  • Indikasi: Umumnya direkomendasikan untuk pasien dengan LUTS sedang hingga berat yang disertai dengan pembesaran prostat yang signifikan (biasanya volume prostat >30-40 mL atau kadar PSA >1.5 ng/mL).

  • Contoh Obat: Finasteride (5 mg sekali sehari), Dutasteride (0.5 mg sekali sehari).

  • Efikasi: Onset kerja 5-ARI lebih lambat dibandingkan alfa-blocker, memerlukan waktu setidaknya 3-6 bulan untuk mencapai efek maksimal. Dapat mengurangi volume prostat hingga 20-30% dan secara signifikan menurunkan risiko terjadinya retensi urin akut serta kebutuhan akan intervensi bedah dalam jangka panjang. Penting untuk diingat bahwa 5-ARI akan menurunkan kadar PSA serum sekitar 50% setelah penggunaan selama 6-12 bulan; hal ini perlu diperhitungkan dalam interpretasi hasil PSA untuk skrining kanker prostat.

  • Efek Samping Umum: Efek samping utama berkaitan dengan fungsi seksual, seperti penurunan libido, disfungsi ereksi, dan gangguan ejakulasi (volume ejakulat berkurang). Ginekomastia (pembesaran payudara pada pria) juga dapat terjadi. Meskipun beberapa studi menunjukkan penurunan insiden kanker prostat secara keseluruhan, ada perhatian mengenai sedikit peningkatan risiko kanker prostat gradasi tinggi pada pengguna 5-ARI, sehingga pemantauan tetap diperlukan.

  1. Terapi Kombinasi (Alfa-Blocker + 5-ARI):

  • Kombinasi kedua golongan obat ini seringkali lebih superior dibandingkan monoterapi, terutama pada pasien dengan LUTS sedang hingga berat, prostat yang besar, dan memiliki risiko progresi penyakit yang tinggi (misalnya, usia tua, PSA tinggi, volume prostat besar). Kombinasi memberikan manfaat onset cepat dari alfa-blocker dan efek jangka panjang pengecilan prostat serta pencegahan progresi dari 5-ARI.

  1. Penghambat Fosfodiesterase-5 (PDE5-I):

  • Tadalafil dengan dosis 5 mg sekali sehari telah disetujui untuk pengobatan LUTS akibat BPH, baik dengan atau tanpa disfungsi ereksi. Mekanisme kerjanya pada LUTS/BPH diduga melalui relaksasi otot polos di prostat dan kandung kemih, serta peningkatan perfusi darah ke area tersebut.

  1. Antikolinergik/Antimuskarinik atau Agonis Beta-3 (Mirabegron):

  • Obat-obatan ini dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada pasien BPH yang memiliki gejala penyimpanan (iritatif) yang dominan, seperti urgensi dan frekuensi yang berat, yang diduga disebabkan oleh hiperaktivitas detrusor. Penggunaannya harus hati-hati dan hanya pada pasien dengan PVR yang rendah (<200-250 mL) untuk menghindari risiko retensi urin. Biasanya dikombinasikan dengan alfa-blocker.

Berikut adalah tabel ringkas yang merangkum pilihan obat utama untuk BPH di layanan primer:

Tabel 2: Pilihan Obat Utama untuk BPH di Layanan Primer

Kelas Obat

Contoh Obat (Nama Generik & Dosis Umum)

Mekanisme Kerja Singkat

Indikasi Utama/Kapan Dipilih

Onset Kerja

Efek Samping Utama yang Perlu Diwaspadai GP

Alfa-Blocker (Selektif α1A/D)

Tamsulosin 0.2-0.4 mg/hari; Alfuzosin 10 mg/hari

Relaksasi otot polos prostat & leher kandung kemih

LUTS sedang-berat, semua ukuran prostat

Cepat (hari-minggu)

Pusing, hipotensi ortostatik (jarang pada selektif), ejakulasi retrograd/anejakulasi, IFIS (Tamsulosin)

Penghambat 5-Alfa-Reduktase (5-ARI)

Finasteride 5 mg/hari; Dutasteride 0.5 mg/hari

Menghambat konversi testosteron ke DHT, mengurangi volume prostat

LUTS sedang-berat DENGAN prostat besar (>30-40mL atau PSA >1.5 ng/mL), pencegahan progresi

Lambat (3-6 bulan)

Penurunan libido, disfungsi ereksi, gangguan ejakulasi, ginekomastia, penurunan kadar PSA sekitar 50%

Terapi Kombinasi (Alfa-Blocker + 5-ARI)

Dosis standar masing-masing obat

Gabungan mekanisme alfa-blocker dan 5-ARI

LUTS sedang-berat, prostat besar, risiko progresi tinggi

Cepat & Lambat

Kombinasi efek samping kedua golongan obat

Penghambat PDE5

Tadalafil 5 mg/hari

Relaksasi otot polos, peningkatan perfusi (mekanisme pasti pada LUTS belum jelas)

LUTS/BPH, terutama jika disertai disfungsi ereksi

Beberapa minggu

Sakit kepala, dispepsia, nyeri punggung, hidung tersumbat, hipotensi (jika dengan nitrat/alfa-blocker non-selektif)

VI. "Lampu Merah": Kapan Pasien BPH Perlu Dirujuk ke Spesialis Urologi?

Meskipun banyak kasus LUTS/BPH dapat dikelola dengan baik di layanan primer, terdapat situasi tertentu di mana rujukan ke spesialis urologi menjadi penting. Mengenali "lampu merah" ini bukan berarti kegagalan penanganan di tingkat primer, melainkan bagian dari manajemen pasien yang bertanggung jawab untuk memastikan pasien mendapatkan evaluasi dan terapi yang optimal, serta mencegah komplikasi jangka panjang. Komunikasi yang baik antara dokter umum dan spesialis urologi, dalam model "perawatan bersama" (shared care), sangat krusial untuk kontinuitas perawatan pasien BPH.

Berikut adalah indikasi utama untuk merujuk pasien dengan LUTS/BPH ke spesialis urologi:

  1. Gejala Alarm (Red Flags) atau Kecurigaan Keganasan:

  • Hematuria: Adanya darah dalam urin, baik makroskopik (terlihat kasat mata) maupun mikroskopik yang persisten (setelah kemungkinan ISK diobati), memerlukan evaluasi urologi lebih lanjut untuk menyingkirkan keganasan saluran kemih.

  • Temuan DRE Curiga Ganas: Jika pada colok dubur teraba prostat yang keras, berbenjol-benjol (nodular), atau asimetris, ini merupakan tanda kecurigaan kanker prostat dan memerlukan rujukan segera.

  • Kadar PSA Abnormal: PSA yang sangat tinggi, meningkat dengan cepat dari waktu ke waktu, atau abnormal jika disesuaikan dengan usia dan ras pasien, memerlukan investigasi lebih lanjut oleh urolog.

  1. Kegagalan atau Respons Tidak Memuaskan terhadap Terapi Medis Awal:

  • Jika gejala LUTS tetap berat atau sangat mengganggu kualitas hidup pasien meskipun telah mendapatkan terapi farmakologis yang adekuat (dosis optimal dan durasi yang cukup) di layanan primer.

  1. Retensi Urin:

  • Retensi Urin Akut (AUR): Ketidakmampuan mendadak untuk berkemih, biasanya disertai nyeri hebat di area suprapubik. Kondisi ini memerlukan kateterisasi segera dan evaluasi urologi untuk menentukan penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya.

  • Retensi Urin Kronis dengan PVR Signifikan: Jika ditemukan volume sisa urin (PVR) yang tinggi secara konsisten (misalnya, >200-300 mL), terutama jika disertai komplikasi atau gejala yang memberat, rujukan diindikasikan.

  1. Komplikasi BPH:

  • Infeksi Saluran Kemih (ISK) Berulang: Dua atau lebih episode ISK dalam 6 bulan, atau tiga atau lebih episode dalam 1 tahun, yang berkaitan dengan BPH.

  • Batu Kandung Kemih: Pembentukan batu di kandung kemih yang diduga sekunder akibat stasis urin karena obstruksi BPH.

  • Hidronefrosis atau Insufisiensi Ginjal: Jika terdapat bukti adanya pembengkakan ginjal (hidronefrosis) pada pemeriksaan pencitraan atau penurunan fungsi ginjal (peningkatan kreatinin serum) yang diduga akibat obstruksi BPH jangka panjang.

  1. Kebutuhan Investigasi atau Terapi Lanjutan:

  • Jika diagnosis masih belum pasti setelah evaluasi awal yang komprehensif di layanan primer.

  • Jika diperlukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut yang biasanya dilakukan oleh urolog, seperti pemeriksaan urodinamik (untuk menilai fungsi kandung kemih dan derajat obstruksi secara objektif) atau sistoskopi (peneropongan saluran kemih bawah).

  • Jika pasien menginginkan atau merupakan kandidat yang cocok untuk terapi invasif, baik Minimally Invasive Surgical Therapies (MISTs) maupun pembedahan konvensional. Keinginan pasien, setelah mendapatkan informasi yang cukup, juga menjadi faktor penting dalam keputusan rujukan.

  1. Kondisi Khusus Lainnya:

  • Pasien dengan riwayat atau faktor risiko striktur uretra atau penyakit neurologis yang mempengaruhi fungsi berkemih.

  • Prostat yang dinilai sangat besar pada pemeriksaan, yang mungkin memerlukan pertimbangan terapi 5-ARI jangka panjang yang kompleks atau opsi bedah.

VII. Sekilas tentang Pilihan Terapi Lanjutan oleh Urolog (Untuk Wawasan GP)

Ketika terapi medis di layanan primer tidak memberikan hasil yang memuaskan, terdapat komplikasi, atau pasien memiliki preferensi untuk solusi yang lebih definitif, spesialis urologi akan mendiskusikan pilihan terapi yang lebih invasif. Pengetahuan dasar mengenai opsi-opsi ini akan membantu dokter umum dalam memberikan gambaran awal kepada pasien yang dirujuk. Lanskap terapi BPH invasif terus berkembang ke arah prosedur yang kurang invasif dengan profil efek samping yang lebih baik, terutama terkait pelestarian fungsi seksual.

  1. Prosedur Invasif Minimal (Minimally Invasive Surgical Therapies - MISTs):
    MISTs bertujuan untuk memberikan perbaikan LUTS yang signifikan dengan morbiditas yang lebih rendah, waktu pemulihan yang lebih cepat, dan risiko efek samping (terutama disfungsi seksual) yang lebih kecil dibandingkan operasi tradisional seperti TURP. Beberapa contoh MISTs yang umum dilakukan antara lain:

  • Prostatic Urethral Lift (PUL) / UroLift®: Prosedur ini melibatkan pemasangan implan kecil secara transuretral untuk menjepit dan menahan lobus prostat yang obstruktif, sehingga membuka saluran uretra. UroLift cocok untuk prostat ukuran kecil hingga sedang dan memiliki keunggulan dalam mempertahankan fungsi ejakulasi.

  • Water Vapor Thermal Therapy / Rezūm™: Menggunakan energi uap air panas yang disuntikkan secara terkontrol ke dalam jaringan prostat yang membesar. Panas dari uap air akan menyebabkan nekrosis sel dan ablasi jaringan prostat yang obstruktif, yang kemudian akan diserap oleh tubuh secara bertahap. Prosedur ini dapat dilakukan untuk berbagai ukuran prostat, termasuk yang memiliki lobus median, dan juga dikenal baik dalam mempertahankan fungsi seksual.

  • Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT): Menggunakan energi gelombang mikro yang dihantarkan melalui kateter khusus untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan prostat.

  • Transurethral Needle Ablation (TUNA): Menggunakan energi frekuensi radio yang dihantarkan melalui jarum untuk mengablasi jaringan prostat.

  1. Terapi Bedah:

  • Transurethral Resection of the Prostate (TURP): Masih dianggap sebagai "gold standard" untuk penanganan BPH simtomatik, terutama untuk prostat ukuran sedang hingga cukup besar. Prosedur ini melibatkan pengangkatan jaringan prostat yang obstruktif menggunakan alat resektoskop yang dimasukkan melalui uretra, dengan energi listrik untuk memotong dan mengkoagulasi jaringan.

  • Terapi Laser: Berbagai jenis laser dapat digunakan untuk mengatasi BPH:

  • Holmium Laser Enucleation of the Prostate (HoLEP): Prosedur ini melibatkan "pengupasan" (enukleasi) adenoma prostat dari kapsulnya menggunakan energi laser holmium. Jaringan yang dienukleasi kemudian diangkat keluar dengan morcellator. HoLEP sangat efektif untuk prostat berbagai ukuran, termasuk yang sangat besar, dan memiliki risiko perdarahan yang rendah.

  • Photoselective Vaporization of the Prostate (PVP) / GreenLight™ Laser: Menggunakan energi laser untuk menguapkan (vaporisasi) jaringan prostat yang obstruktif. Prosedur ini juga memiliki risiko perdarahan yang rendah dan cocok untuk pasien yang menggunakan antikoagulan.

  • Prostatektomi Terbuka atau Robotik: Jarang dilakukan untuk BPH, biasanya hanya dipertimbangkan untuk prostat dengan ukuran yang sangat besar (>80-100 gram) yang tidak dapat ditangani secara efektif dengan teknik transuretral.

Pilihan terapi invasif sangat individual, tergantung pada banyak faktor seperti ukuran dan bentuk prostat (misalnya, ada tidaknya pembesaran lobus median), kondisi komorbiditas pasien, preferensi pasien, serta ketersediaan teknologi dan keahlian ahli bedah.

VIII. Kesimpulan: Peran Dokter Umum dalam Menangani BAK Tidak Tuntas Akibat BPH

Keluhan "BAK tidak tuntas" pada pria merupakan gejala yang umum dijumpai di layanan primer dan memerlukan evaluasi yang cermat serta sistematis. Meskipun Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah penyebab yang sering ditemukan, terutama pada pria lanjut usia, penting untuk selalu mempertimbangkan diagnosis banding lainnya.

Dokter umum memegang peranan yang sangat vital sebagai garda terdepan dalam melakukan diagnosis dan terapi BPH awal. Kemampuan untuk melakukan anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik yang terfokus (terutama DRE), interpretasi pemeriksaan penunjang dasar seperti urinalisis, serta penggunaan skor gejala terstandardisasi (IPSS dan QoL) akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis yang akurat dan menentukan strategi penatalaksanaan yang tepat.

Manajemen awal BPH di layanan primer meliputi edukasi pasien, modifikasi gaya hidup, dan terapi farmakologis dengan alfa-blocker atau 5-ARI, atau kombinasi keduanya, yang disesuaikan dengan profil klinis masing-masing pasien. Pengenalan terhadap "lampu merah" atau kriteria rujukan menjadi kunci untuk memastikan pasien mendapatkan penanganan spesialistik yang tepat waktu jika diperlukan, sehingga dapat mencegah komplikasi jangka panjang dan meningkatkan kualitas hidup.

Pendekatan yang individual, melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan (shared decision-making), serta kolaborasi yang baik dengan spesialis urologi dalam kerangka "perawatan bersama" akan menghasilkan luaran yang optimal bagi pasien dengan LUTS akibat BPH.

Dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dokter umum dapat secara signifikan berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup pasien pria yang mengalami keluhan saluran kemih bawah. Pemberdayaan dokter umum dengan pengetahuan terkini tentang diagnosis dan terapi BPH juga dapat membantu mengurangi beban pada layanan spesialis dan meningkatkan efisiensi sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

Referensi

  1. Vos, T., Lim, S.S., Abbafati, C., et al. (2020) ‘Global, regional, and national incidence and years lived with disability for 354 diseases and injuries for 195 countries and territories, 1990–2017: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2017’, The Lancet, 392(10159), hlm. 1789–1858. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8326634/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  2. McVary, K.T. (2017) ‘Benign prostatic hyperplasia: Evaluation and medical management in primary care’, Cleveland Clinic Journal of Medicine, 84(1), hlm. 53–64. Tersedia pada: https://www.ccjm.org/content/84/1/53 (Diakses: 28 Mei 2025).

  3. Emberton, M. & Fitzpatrick, J.M. (2008) ‘Diagnosis and management of benign prostatic hyperplasia in primary care’, British Journal of General Practice, 58(547), hlm. 634–641. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2698785/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  4. Chen, Y., Liu, Z., Liu, Z., et al. (2024) ‘Portulaca oleracea Extract Ameliorates Testosterone Propionate-Induced Benign Prostatic Hyperplasia in Rats’, Frontiers in Pharmacology, 15, 1400792. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11687364/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  5. Wein, A.J. (2006) ‘Differential diagnosis and treatment of impaired bladder emptying’, Reviews in Urology, 8(Suppl 3), hlm. S24–S31. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1472851/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  6. Singapore Urological Association (2017) ‘Singapore Urological Association Clinical Guidelines for Male Lower Urinary Tract Symptoms/Benign Prostatic Hyperplasia’, Annals of the Academy of Medicine, Singapore, 46(9), hlm. 358–370. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5563527/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  7. Oelke, M. & Bachmann, A. (2023) Benign Prostatic Hyperplasia. StatPearls Publishing. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558920/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  8. Dmochowski, R.R. & Gomelsky, A. (2023) Female Urinary Retention. StatPearls Publishing. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538497/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  9. Dmochowski, R.R. & Reynolds, W.S. (2023) Male Urinary Retention: Acute and Chronic. StatPearls Publishing. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538499/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  10. Gravas, S., Cornu, J.N., Gacci, M., et al. (2017) ‘Current consensus and controversy on the diagnosis of male lower urinary tract symptoms/benign prostatic hyperplasia’, World Journal of Urology, 35(3), hlm. 411–420. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5509193/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  11. McConnell, J.D., Roehrborn, C.G., Bautista, O.M., et al. (2003) ‘Treatment options for benign prostatic hyperplasia in older men’, New England Journal of Medicine, 349(25), hlm. 2387–2398. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18591930/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  12. Lepor, H. (2007) ‘Diagnosis and management of benign prostatic hyperplasia’, New England Journal of Medicine, 357(25), hlm. 2482–2493. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18533373/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  13. McConnell, J.D. (1997) ‘Benign prostatic hyperplasia: Diagnosis and treatment guideline’, The Journal of Urology, 158(5), hlm. 1865–1875. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9101011/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  14. Roehrborn, C.G. (2023) ‘How Would You Manage This Patient With Benign Prostatic Hyperplasia?’, The Journal of Urology, 209(4), hlm. 732–734. doi:10.1097/JU.0000000000003419.

  15. Das, A.K., Teo, J.S., Koh, J.S.B., et al. (2023) ‘Pharmacological approaches in managing symptomatic relief of benign prostatic hyperplasia: A contemporary review’, Therapeutic Advances in Urology, 15, 17562872231150920. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38288222/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  16. ResearchGate. (2024) Minimally Invasive Surgical Techniques for Benign Prostatic Hyperplasia: Trends and Outcomes. Tersedia pada: https://www.researchgate.net/publication/389829598_Minimally_Invasive_Surgical_Techniques_for_Benign_Prostatic_Hyperplasia_Trends_and_Outcomes (Diakses: 28 Mei 2025).

  17. Bachmann, A., Tubaro, A., Barber, N., et al. (2017) ‘Minimally invasive surgical therapies for benign prostatic hypertrophy’, European Urology Supplements, 16(6), hlm. 337–349. Tersedia pada: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5448728/ (Diakses: 28 Mei 2025).

  18. Nickel, J.C., Méndez-Probst, C.E., Whelan, T.F., et al. (2018) ‘Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary symptoms: A guide for family physicians’, Canadian Family Physician, 64(3), hlm. 161–167. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29264228/ (Diakses: 28 Mei 2025).