Dokter Post - Aspek Farmakologi Obat Kejang Neonatus: Panduan Praktis Fenobarbital, Fenitoin, dan Diazepam untuk Dokter Umum

Aspek Farmakologi Obat Kejang Neonatus: Panduan Praktis Fenobarbital, Fenitoin, dan Diazepam untuk Dokter Umum

28 Jun 2025 • Pediatri

Deskripsi

Aspek Farmakologi Obat Kejang Neonatus: Panduan Praktis Fenobarbital, Fenitoin, dan Diazepam untuk Dokter Umum

Pendahuluan: Diagnosis dan Tantangan Terapi Kejang pada Neonatus

Kejang pada neonatus merupakan salah satu kegawatdaruratan neurologis yang paling sering ditemui pada bayi baru lahir. Kondisi ini mempengaruhi sekitar 1 hingga 5 per 1.000 kelahiran hidup dan memerlukan diagnosis serta penanganan segera untuk meminimalkan risiko kerusakan otak permanen. Proses Diagnosis dan Terapi Kejang pada Neonatus memiliki tantangan tersendiri. 

Otak neonatus memiliki fisiologi yang unik, termasuk sistem inhibisi yang belum matang, perbedaan fungsi reseptor, dan gradien klorida yang dapat mempengaruhi kerja obat-obatan yang bekerja pada sistem GABAergik seperti Fenobarbital dan Diazepam. Perbedaan fisiologis ini berkontribusi pada fakta bahwa obat-obatan antikejang standar seringkali menunjukkan efikasi yang tidak lengkap pada populasi ini. 

Data menunjukkan bahwa lebih dari separuh neonatus mungkin tidak merespon sepenuhnya terhadap dosis muatan awal obat antikejang , dengan beberapa studi melaporkan tingkat keberhasilan kontrol kejang awal dengan Fenobarbital atau Fenitoin saja hanya sekitar 43-45%. Kesenjangan efikasi ini menggarisbawahi pentingnya pemantauan ketat dan potensi perlunya peningkatan atau penambahan terapi.

Pemantauan elektroensefalogram (EEG) berkelanjutan merupakan standar emas untuk diagnosis dan penilaian respons terapi, karena manifestasi klinis kejang pada neonatus bisa sangat halus, tidak spesifik, atau bahkan tidak tampak sama sekali meskipun aktivitas kejang terekam di EEG (fenomena disosiasi elektro-klinis atau uncoupling). 

Selain tantangan farmakologis, penting juga untuk diingat bahwa penyebab dasar kejang, seperti ensefalopati hipoksik-iskemik (HIE), stroke, infeksi, gangguan metabolik, atau kelainan genetik, sangat mempengaruhi prognosis dan berpotensi mempengaruhi respons terhadap terapi. 

Sebagai contoh, kecurigaan adanya channelopathy dapat mengarahkan pemilihan Fenitoin sebagai lini pertama. Konteks klinis ini sangat vital bagi dokter umum dalam pengelolaan awal bayi dengan kejang.

Artikel ini akan mengulas aspek farmakologi dari tiga obat antikejang (ASM) yang umum digunakan pada neonatus—Fenobarbital, Fenitoin, dan Diazepam—dengan fokus pada informasi praktis yang relevan bagi Dokter Umum.

Fenobarbital (PB): Pilihan Lini Pertama dengan Perhatian Khusus

Fenobarbital secara luas direkomendasikan sebagai ASM lini pertama oleh organisasi kesehatan seperti WHO dan International League Against Epilepsy (ILAE) untuk sebagian besar etiologi kejang neonatus. Secara historis, obat ini digunakan sebagai lini pertama di lebih dari 90% pusat perawatan tersier.

  • Mekanisme Kerja & Farmakodinamik: Fenobarbital bekerja pada reseptor GABAA, memperpanjang durasi pembukaan kanal klorida. Hal ini menyebabkan hiperpolarisasi membran sel saraf dan meningkatkan inhibisi sinaptik. Namun, perlu diingat bahwa sistem GABAergik pada otak neonatus yang sedang berkembang berbeda dari orang dewasa, yang berpotensi mempengaruhi efektivitas obat ini.

  • Farmakokinetik Neonatal: Farmakokinetik Fenobarbital pada neonatus sangat kompleks dan bervariasi. Absorpsi oral dapat menurun karena pH lambung neonatus yang lebih tinggi. Volume distribusinya (Vd) sekitar 3,83 L untuk bayi 3,4 kg dan dapat dipengaruhi oleh kondisi kritis seperti penggunaan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) yang cenderung meningkatkan Vd. Metabolisme utamanya terjadi di hati melalui enzim CYP2C9 (mayoritas) serta CYP2C19 dan CYP2E1 (minoritas). Jalur metabolisme ini belum sepenuhnya matang pada neonatus. Sekitar 25% dosis diekskresikan dalam bentuk tidak berubah melalui ginjal , dan klirens obat meningkat seiring bertambahnya usia. Prosedur seperti continuous venovenous hemodiafiltration (CVVHDF) selama ECMO dapat secara signifikan meningkatkan klirens Fenobarbital hingga 6 kali lipat. Waktu paruh eliminasi (t1/2) Fenobarbital sangat panjang dan bervariasi pada neonatus, yaitu sekitar 103 jam pada bayi cukup bulan dan 141 jam pada bayi prematur, dengan penurunan seiring pertambahan usia (misalnya menjadi sekitar 67 jam pada usia 4 minggu). Ikatan proteinnya tergolong rendah hingga sedang. Karakteristik farmakokinetik yang sangat bervariasi ini—waktu paruh yang panjang, metabolisme yang belum matang, dan pengaruh signifikan dari kondisi kritis serta terapi suportif seperti ECMO/CVVHDF—membuat kadar obat dalam darah sulit diprediksi hanya berdasarkan dosis standar.

  • Rekomendasi Dosis Obat Kejang pada Neonatus:

  • Dosis Muatan (IV): Umumnya 15-20 mg/kg. Beberapa protokol mengizinkan dosis tambahan hingga total kumulatif 40 mg/kg jika kejang belum terkontrol. Dosis mungkin perlu disesuaikan pada kondisi khusus; misalnya, dosis muatan 30 mg/kg disarankan untuk neonatus dengan ECMO tanpa CVVHDF, dan dosis lebih tinggi mungkin diperlukan jika disertai CVVHDF.

  • Dosis Pemeliharaan (IV/Oral): Biasanya 3-5 mg/kg/hari, dibagi dalam beberapa pemberian. Dosis lebih tinggi mungkin diperlukan pada kondisi tertentu, seperti 6-7 mg/kg/hari pada pasien ECMO, dan dosis yang jauh lebih tinggi jika disertai CVVHDF.

  • Pemantauan Kadar Obat (TDM): Sangat penting dilakukan karena variabilitas farmakokinetik yang tinggi. Target kadar serum total Fenobarbital umumnya adalah 15-40 µg/mL (mcg/mL). Pada kasus refrakter, kadar hingga 100 µg/mL pernah dilaporkan. TDM menjadi krusial, terutama pada situasi klinis kompleks seperti penggunaan ECMO atau terapi pengganti ginjal. Waktu pengambilan sampel darah untuk TDM (puncak atau lembah) tidak secara spesifik disebutkan dalam materi yang tersedia. Kebutuhan TDM ini menggarisbawahi bahwa pengelolaan Fenobarbital pada neonatus memerlukan pendekatan individual dan pemantauan laboratorium untuk mengoptimalkan terapi dan meminimalkan toksisitas.

  • Efikasi: Laporan mengenai efikasi Fenobarbital bervariasi. Studi klasik oleh Painter dkk. (1999) menemukan efikasi 43%, serupa dengan Fenitoin. Namun, studi oleh Pathak dkk. (2013) melaporkan efikasi 72,2%, lebih unggul dari Fenitoin. Studi lain oleh Sharpe dkk. (2020) menunjukkan efikasi 80%, lebih baik dari Levetiracetam. Studi-studi lain melaporkan tingkat respons sekitar 35-66%. Sebuah meta-analisis tidak menemukan perbedaan signifikan dibandingkan Fenitoin atau Levetiracetam dalam kontrol kejang setelah dosis pertama. Secara umum, efikasi Fenobarbital sebagai monoterapi lini pertama sering dikutip berada di kisaran 40-60%.

  • Efek Samping:

  • Akut: Efek samping yang paling umum adalah depresi pernapasan (terutama jika diberikan setelah Benzodiazepin), sedasi atau rasa mengantuk berlebihan, dan hipotensi.

  • Kekhawatiran Jangka Panjang: Terdapat kekhawatiran signifikan mengenai potensi neurotoksisitas Fenobarbital. Studi pada hewan menunjukkan bahwa Fenobarbital dapat meningkatkan apoptosis (kematian sel terprogram) neuron pada otak yang sedang berkembang. Beberapa studi observasional pada manusia juga mengaitkan paparan Fenobarbital pada masa bayi dengan defisit kognitif atau luaran neurodevelopmental yang lebih buruk di kemudian hari. Efek samping kronis lainnya termasuk iritabilitas dan penurunan nafsu makan. Dilema klinis muncul antara kebutuhan untuk mengontrol kejang secara efektif saat ini dengan potensi risiko jangka panjang. Kekhawatiran ini mendorong eksplorasi agen yang lebih baru seperti Levetiracetam, meskipun data efikasinya dibandingkan Fenobarbital masih bervariasi.

  • Menyusui: Fenobarbital diekskresikan ke dalam ASI. Ibu menyusui yang menggunakan Fenobarbital perlu berhati-hati dan memantau bayinya terhadap tanda-tanda kantuk berlebihan atau kenaikan berat badan yang buruk.

Fenitoin (PHT): Alternatif dengan Profil Farmakokinetik Kompleks

Fenitoin secara tradisional digunakan sebagai ASM lini kedua jika Fenobarbital gagal mengontrol kejang. Namun, kadang-kadang digunakan sebagai lini pertama. Rekomendasi ILAE terbaru menyarankan Fenitoin sebagai lini pertama hanya jika ada kecurigaan kuat channelopathy sebagai penyebab kejang; jika tidak, Fenitoin dianggap sebagai opsi lini kedua.

  • Mekanisme Kerja & Farmakodinamik: Fenitoin bekerja dengan memblokir kanal natrium bergerbang voltase (voltage-gated sodium channels), sehingga menghambat letupan potensial aksi berfrekuensi tinggi yang berulang dan mencegah penyebaran fokus kejang.

  • Farmakokinetik Neonatal: Farmakokinetik Fenitoin pada neonatus sangat kompleks dan sulit diprediksi. Absorpsi oral bisa lambat dan tidak menentu, serta dapat berkurang karena pH lambung yang lebih tinggi. Fosphenytoin, sebuah prodrug, memungkinkan pemberian intramuskular (IM) atau intravena (IV) dengan profil toleransi lokal yang lebih baik. Fenitoin terdistribusi luas ke seluruh jaringan, termasuk sistem saraf pusat. Metabolisme utamanya terjadi di hati melalui sistem enzim P450 (terutama CYP2C9 dan CYP2C19). Yang terpenting, metabolisme Fenitoin bersifat saturable (kinetika orde nol) pada dosis terapeutik. Ini berarti bahwa begitu enzim metabolismenya jenuh, peningkatan kecil pada dosis dapat menyebabkan peningkatan kadar obat dalam serum yang tidak proporsional dan sangat besar, meningkatkan risiko toksisitas. Metabolisme pada neonatus juga belum matang, menambah kompleksitas. Fenitoin memiliki ikatan protein yang tinggi, sekitar 90% pada orang dewasa. Namun, pada neonatus, fraksi obat yang terikat protein lebih rendah karena kadar albumin yang lebih rendah dan kompetisi pengikatan dengan zat endogen seperti bilirubin. Hal ini memiliki implikasi klinis yang signifikan: kadar Fenitoin total yang terukur mungkin tidak secara akurat mencerminkan kadar obat bebas yang aktif secara farmakologis. Kadar total yang tampak "terapeutik" bisa jadi sudah toksik karena fraksi bebas yang tinggi, atau sebaliknya, kadar total yang "subterapeutik" mungkin sudah cukup efektif. Ini membuat interpretasi TDM menjadi sulit dan menekankan pentingnya pemantauan klinis yang cermat.

  • Rekomendasi Dosis Obat Kejang pada Neonatus:

  • Dosis Muatan (IV): Biasanya 15-20 mg/kg. Fosphenytoin seringkali lebih disukai untuk pemberian IV/IM karena risiko reaksi di tempat infus yang lebih rendah.

  • Dosis Pemeliharaan (IV/Oral): Sangat sulit ditentukan karena farmakokinetik yang kompleks dan saturable. Dosis pemeliharaan 2,5 mg/kg/hari disebutkan dalam satu protokol , tetapi penyesuaian dosis harus dilakukan dengan sangat hati-hati berdasarkan respons klinis dan TDM.

  • TDM: Mutlak diperlukan. Target kadar Fenitoin total dalam serum adalah 10-20 µg/mL (mcg/mL). Idealnya, kadar Fenitoin bebas juga dipantau (target umumnya 1-2 µg/mL, meskipun satu sumber menyebutkan target 3 µg/mL ), tetapi fasilitas ini mungkin tidak selalu tersedia. Interpretasi kadar total harus selalu mempertimbangkan kadar albumin serum dan potensi adanya zat lain yang dapat menggeser ikatan protein.

  • Efikasi: Umumnya dianggap kurang efektif atau paling banter sama efektifnya dengan Fenobarbital sebagai lini pertama. Studi Painter dkk. (1999) menemukan efikasi 45% (serupa Fenobarbital). Studi Pathak dkk. (2013) melaporkan efikasi hanya 14,5% (inferior terhadap Fenobarbital). Meta-analisis juga tidak menemukan perbedaan signifikan dibandingkan Fenobarbital dalam kontrol kejang dosis pertama. Fenitoin juga seringkali gagal mengontrol kejang bahkan ketika digunakan sebagai lini kedua.

  • Efek Samping:

  • Terkait Infus Akut: Risiko signifikan hipotensi dan aritmia jantung (bradikardia, blok AV, asistol), terutama jika infus diberikan terlalu cepat (kecepatan infus pada dewasa tidak boleh melebihi 50 mg/menit; pada neonatus harus lebih lambat). Efek kardiovaskular ini sering dikaitkan dengan pelarut propilen glikol dalam formulasi Fenitoin IV. Fosphenytoin memiliki risiko kardiovaskular yang lebih rendah. Keharusan infus lambat dan pemantauan ketat membuat administrasi Fenitoin IV lebih rumit dan intensif sumber daya.

  • Reaksi Lokal: "Purple glove syndrome" adalah komplikasi serius berupa cedera jaringan parah (edema, perubahan warna, nekrosis) akibat ekstravasasi atau iritasi vena oleh infus Fenitoin IV. Pencegahannya memerlukan pemasangan jalur IV yang aman, idealnya pada vena besar, dan pengawasan ketat.

  • Neurotoksisitas: Bergantung pada kadar obat dalam darah, dapat bermanifestasi sebagai nistagmus, ataksia, bicara cadel, letargi, hingga koma. Kejang justru dapat terjadi pada kadar yang sangat tinggi.

  • Lain-lain: Seperti Fenobarbital, Fenitoin juga dikaitkan dengan potensi apoptosis neuronal pada model hewan. Reaksi hipersensitivitas (ruam, sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik terkait HLA-B*15:02) dapat terjadi. Toksisitas hematologi dan hepar dapat muncul subakut. Penggunaan kronis dapat menyebabkan defisiensi folat dan neuropati perifer.

Gambar 1. Algoritma terapi yang disarankan untuk kejang rekuren pada neonates

Diazepam (DZP) & Benzodiazepin (BZD): Peran dalam Tatalaksana Kejang Akut

Diazepam dan golongan Benzodiazepin lainnya (seperti Midazolam dan Lorazepam) umumnya tidak digunakan sebagai terapi pemeliharaan lini pertama untuk kejang neonatus. Peran utama mereka adalah untuk penghentian kejang akut atau status epileptikus, seringkali sebagai terapi tambahan atau penyelamat (rescue therapy). Midazolam direkomendasikan sebagai salah satu opsi lini kedua oleh ILAE.

  • Mekanisme Kerja & Farmakodinamik: Benzodiazepin adalah modulator alosterik positif pada reseptor GABAA. Berbeda dengan Fenobarbital yang memperpanjang durasi pembukaan kanal, Benzodiazepin meningkatkan frekuensi pembukaan kanal klorida sebagai respons terhadap GABA, sehingga meningkatkan inhibisi GABAergik. Obat ini bekerja cepat karena sifatnya yang sangat lipofilik, memungkinkannya menembus sawar darah otak dengan cepat.

  • Efek Paradoksikal: Ini adalah fenomena penting yang perlu dipahami. Pada otak neonatus yang sangat imatur (terutama prematur), konsentrasi klorida intraseluler ([Cl-]i) masih tinggi. Akibatnya, aktivasi reseptor GABAA oleh GABA justru dapat menyebabkan aliran klorida keluar sel, menimbulkan depolarisasi dan efek eksitasi, bukan inhibisi. Karena Benzodiazepin memperkuat efek GABA, pemberiannya pada kondisi ini secara paradoks dapat memperburuk atau bahkan mencetuskan kejang atau mioklonus. Hal ini menunjukkan bahwa Benzodiazepin mungkin tidak selalu efektif dan berpotensi berbahaya pada populasi neonatus tertentu.

  • Farmakokinetik Neonatal: Absorpsi setelah pemberian IV atau rektal sangat cepat. Sifat lipofilik yang tinggi menyebabkan Diazepam cepat masuk ke sistem saraf pusat (onset cepat) namun juga cepat terdistribusi kembali ke jaringan perifer (lemak). Redistribusi cepat inilah yang menyebabkan durasi kerja antikonvulsan Diazepam setelah dosis tunggal menjadi singkat, meskipun waktu paruh eliminasinya bisa panjang. Pemahaman ini penting: Diazepam efektif menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi tidak efektif mencegah kejang berikutnya karena cepat "keluar" dari otak. Ini berbeda dengan Fenobarbital yang memiliki durasi kerja sangat panjang. Lorazepam, yang kurang lipofilik, memiliki durasi kerja di SSP yang lebih lama dibandingkan Diazepam. Metabolisme Benzodiazepin terjadi di hati, dan klirensnya mungkin lebih lambat pada bayi dibandingkan dewasa. Data farmakokinetik spesifik pada neonatus masih terbatas. Diazepam dapat melewati plasenta dan menyebabkan sindrom putus obat atau floppy infant syndrome jika digunakan pada akhir kehamilan.

  • Rekomendasi Dosis Obat Kejang pada Neonatus (Akut):

  • Diazepam IV: 0,15-0,20 mg/kg per dosis, dapat diulang sekali jika perlu (Maksimal 10 mg/dosis). Studi lain menggunakan 0,2 mg/kg (maksimal 8 mg). Protokol lama menyebutkan 0,25 mg/kg.

  • Diazepam Rektal: 0,2-0,5 mg/kg per dosis (Maksimal 20 mg/dosis). Satu studi menggunakan 0,5 mg/kg. Tabel dosis rektal menyarankan 0,1 mL/kg dari larutan 10mg/2mL untuk berat <4kg (setara 0,5 mg/kg). Penggunaan rektal terbatas untuk manajemen intermiten.

  • Lorazepam IV: 0,05-0,1 mg/kg.

  • Midazolam IV/IM/Bukal/IN: Berbagai dosis digunakan.

  • TDM: Target kadar serum Diazepam disarankan 200-600 ng/mL , namun TDM umumnya tidak dilakukan untuk pemberian akut Benzodiazepin.

  • Efikasi: Efektif untuk menghentikan kejang yang sedang berlangsung dengan cepat. Rute rektal mungkin kurang dapat diandalkan dibandingkan IV. Efikasi dapat berkurang pada bayi prematur karena potensi efek paradoksikal. Satu RCT kecil menemukan Lorazepam lebih efektif dari Fenobarbital untuk kontrol kejang dosis pertama. Penggunaan Benzodiazepin sebelumnya dapat mempengaruhi efikasi Fenobarbital atau Levetiracetam yang diberikan setelahnya.

  • Efek Samping: Efek samping utama adalah depresi pernapasan, hipotensi, dan sedasi. Risiko meningkat dengan dosis berulang. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan ketergantungan dan sindrom putus obat. Efek eksitasi paradoksikal juga merupakan risiko. Floppy infant syndrome dapat terjadi jika ibu menggunakan Diazepam pada trimester akhir.

Gambar 2. Algoritma terapi status epilepticus pada anak

Tabel Perbandingan Obat Antikejang Neonatus

Tabel berikut merangkum perbandingan praktis ketiga obat untuk Dokter Umum:

Fitur

Fenobarbital (PB)

Fenitoin (PHT)

Diazepam (DZP)

Mekanisme Utama

Modulator GABAA (Durasi ↑)

Bloker Kanal Na+

Modulator GABAA (Frekuensi ↑)

Status Umum

Lini Pertama (Pemeliharaan)

Lini Kedua / Alternatif (Pemeliharaan)

Tatalaksana Akut / Rescue

PK Neonatal Kunci

T1/2 panjang, Metabolisme hepar (belum matang), Ekskresi ginjal

Ikatan protein rendah (fraksi bebas ↑), Metabolisme hepar (saturable), Kompleks

Lipofilik tinggi, Redistribusi cepat (durasi kerja singkat)

Dosis Muatan IV

15-20 mg/kg

15-20 mg/kg

0,15-0,2 mg/kg

Efek Samping Utama

Depresi napas, Sedasi, Hipotensi, Potensi neurotoksisitas jangka panjang

Hipotensi/Aritmia (infus cepat), Purple Glove Syndrome (ekstravasasi), Neurotoksisitas (tergantung kadar)

Depresi napas, Sedasi, Hipotensi, Potensi eksitasi paradoksikal (terutama prematur)

TDM

Ya (Target Total: 15-40 µg/mL)

Ya (Target Total: 10-20 µg/mL; Perhatikan fraksi bebas)

Tidak rutin untuk dosis akut

Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis untuk Dokter Umum

Manajemen farmakologi kejang neonatus merupakan tantangan klinis yang signifikan. Fenobarbital tetap menjadi pilihan lini pertama untuk terapi pemeliharaan berdasarkan pedoman saat ini, sementara Fenitoin berfungsi sebagai alternatif atau lini kedua, dan Diazepam (serta Benzodiazepin lain) berperan penting dalam menghentikan kejang akut. 

Terapi Kejang pada Neonatus harus mempertimbangkan farmakokinetik dan farmakodinamik yang unik pada populasi ini. Metabolisme obat yang belum matang, ikatan protein yang berbeda, waktu paruh yang panjang (untuk PB), metabolisme saturable (untuk PHT), dan potensi efek paradoksikal (untuk BZD) semuanya berkontribusi pada variabilitas respons dan risiko efek samping.

Efek samping yang perlu diwaspadai meliputi depresi pernapasan, hipotensi, dan sedasi (terutama PB dan BZD), serta risiko spesifik terkait infus Fenitoin IV (aritmia, purple glove syndrome). Kekhawatiran jangka panjang mengenai potensi neurotoksisitas Fenobarbital dan Fenitoin juga perlu menjadi pertimbangan dalam diskusi prognosis. Penting untuk diingat bahwa efikasi obat-obatan lini pertama tradisional ini seringkali terbatas, dengan kurang dari separuh neonatus mencapai kontrol kejang penuh dengan monoterapi awal.

Beberapa rekomendasi praktis bagi Dokter Umum meliputi:

  1. Prioritaskan Fenobarbital sebagai lini pertama sesuai pedoman, namun selalu waspada terhadap efek samping akut dan potensi masalah jangka panjang.

  2. Gunakan Fenitoin dengan hati-hati, terutama pemberian IV, karena farmakokinetiknya yang kompleks dan risiko terkait infus. Pertimbangkan pemantauan kadar bebas jika memungkinkan, dan pastikan protokol infus yang aman.

  3. Cadangkan Diazepam/Benzodiazepin untuk penghentian kejang akut, pahami durasi kerjanya yang singkat akibat redistribusi dan waspadai potensi efek paradoksikal pada bayi prematur.

  4. Jangan lupakan etiologi: Identifikasi dan tata laksana penyebab dasar kejang sangat penting untuk luaran jangka panjang.

  5. Lakukan pemantauan ketat: Kombinasikan pemantauan klinis dengan TDM (untuk PB dan PHT) untuk menyesuaikan Dosis Obat Kejang pada Neonatus secara individual.

  6. Bersiap untuk lini kedua: Ingat bahwa lebih dari separuh pasien mungkin memerlukan terapi lini kedua atau tambahan.

  7. Tetap terinformasi: Penelitian terus berlanjut untuk menemukan terapi yang lebih efektif dan aman untuk kejang neonatus.

Dengan pemahaman yang baik mengenai aspek farmakologi obat-obatan ini dan tantangan unik pada neonatus, Dokter Umum dapat berperan penting dalam Diagnosis dan Terapi Kejang pada Neonatus awal yang tepat dan rujukan yang sesuai, demi mengoptimalkan luaran neurologis jangka panjang bagi pasien.

Referensi

  1. Treatment of seizures in the neonate: Guidelines and consensus ..., diakses April 29, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37655702/

  2. Neonatal Seizure - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 29, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554535/

  3. Levetiracetam Compared to Phenobarbital as a First Line Therapy for Neonatal Seizures: An Unexpected Influence of Benzodiazepines on Seizure Response - PMC - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7887881/

  4. Efficacy of Levetiracetam vs Phenobarbital as First Line Therapy for the Treatment of Neonatal Seizures - PMC, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11472408/

  5. Phenobarbital compared with phenytoin for the treatment of neonatal seizures - PubMed, diakses April 29, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10441604/

  6. Sources of pharmacokinetic and pharmacodynamic variability and clinical pharmacology studies of antiseizure medications in the pediatric population - National Institutes of Health (NIH), diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11017206/

  7. Antiseizure medications for neonates with seizures - PMC, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8956200/

  8. Effect of neonatal seizure burden and etiology on the long-term outcome: data from a randomized, controlled trial, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10449023/

  9. Novel Therapeutics for Neonatal Seizures - PMC - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8608938/

  10. Diazepam effect during early neonatal development correlates with ..., diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4693588/

  11. Levetiracetam in Neonatal Seizures: A Review - PMC, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4418685/

  12. Levetiracetam Versus Phenobarbital for Neonatal Seizures: A Randomized Controlled Trial - PMC - National Institutes of Health (NIH), diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7263056/

  13. Pharmacological Treatment of Neonatal Seizures: A Systematic Review - PMC, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3805825/

  14. Treating the symptom or treating the disease in neonatal seizures: a systematic review of the literature - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8028713/

  15. Recommendations for the design of therapeutic trials for neonatal seizures - PMC, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6760680/

  16. Clinical Pharmacology of Phenobarbital in Neonates: Effects ..., diakses April 29, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26496779/

  17. Pharmacokinetics of drugs: newborn perspective - Bansal - Pediatric Medicine, diakses April 29, 2025, https://pm.amegroups.org/article/view/7227/html

  18. Population Pharmacokinetics of Phenobarbital in Neonates and ..., diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8214808/

  19. Management of acute seizures in children: A review with special consideration of care in resource-limited settings - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6246874/

  20. Pharmacokinetics and clinical effect of phenobarbital in children with severe falciparum malaria and convulsions - PMC - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1884365/

  21. Barbiturates - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 29, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539731/

  22. Phenobarbitone versus phenytoin for treatment of neonatal seizures: an open-label randomized controlled trial - PubMed, diakses April 29, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23502660/

  23. Phenobarbital - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 29, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532277/

  24. Levetiracetam Versus Phenobarbital for Neonatal Seizures: A Randomized Controlled Trial - PubMed, diakses April 29, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32385134/

  25. Efficacy and Safety of Phenobarbitone as First-Line Treatment for Neonatal Seizure: A Systematic Review and Meta-Analysis - PubMed, diakses April 29, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33598701/

  26. Efficacy and Safety of Phenobarbitone as First-Line Treatment for Neonatal Seizure: A Systematic Review and Meta-Analysis | Journal of Tropical Pediatrics | Oxford Academic, diakses April 29, 2025, https://academic.oup.com/tropej/article-abstract/67/1/fmab008/6141527

  27. Anti‐seizure medications for neonates with seizures - PMC - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10594593/

  28. Etiology of neonatal seizures and maintenance therapy use: a 10-year retrospective study at Toulouse Children's hospital, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6487521/

  29. Experience and pharmacokinetics of Levetiracetam in Korean neonates with neonatal seizures - Clinical and Experimental Pediatrics, diakses April 29, 2025, https://www.e-cep.org/m/journal/view.php?doi=10.3345/kjp.2017.60.2.50

  30. Comparative Outcomes of Levetiracetam and Phenobarbital Usage in the Treatment of Neonatal Seizures: A Retrospective Analysis, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11011900/

  31. Phenytoin - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 29, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551520/

  32. Clinical Pharmacogenetics Implementation Consortium Guidelines ..., diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4206662/

  33. Pharmacokinetics and anticonvulsant effects of diazepam in children ..., diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1874558/

  34. Diazepam - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 29, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537022/

  35. Population Pharmacokinetics and Exploratory Exposure‐Response ..., diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6263663/

  36. Pharmacotherapy for Pediatric Convulsive Status Epilepticus - PMC, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6982635/

  37. A Short Review on the Intranasal Delivery of Diazepam for Treating Acute Repetitive Seizures - PMC - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7761129/

  38. Benzodiazepines - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 29, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470159/

  39. Clinical Pharmacology of Midazolam in Neonates and Children: Effect of Disease—A Review - PMC - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3948203/

  40. Benzodiazepines in the Management of Seizures and Status Epilepticus: A Review of Routes of Delivery, Pharmacokinetics, Efficacy, and Tolerability - PubMed Central, diakses April 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9477921/