Algoritma Diagnosis Praktis: Membedakan Urtikaria dan Dermatitis Kontak Alergi untuk Dokter Umum

30 Apr 2025 • Kulit

Deskripsi

Algoritma Diagnosis Praktis: Membedakan Urtikaria dan Dermatitis Kontak Alergi untuk Dokter Umum

I. Pendahuluan

Dokter umum di layanan primer seringkali dihadapkan pada pasien dengan keluhan ruam kulit yang gatal. Dua kondisi umum yang sering menimbulkan tantangan diagnostik adalah urtikaria (biduran) dan dermatitis kontak alergi (DKA). 

Keduanya merupakan presentasi yang lazim; urtikaria memiliki prevalensi seumur hidup mencapai 15-25% 1, sementara DKA juga merupakan diagnosis umum yang diperkirakan mempengaruhi hingga 20% anak-anak dan signifikan pada populasi dewasa.3 

Meskipun sama-sama menyebabkan gatal dan kemerahan, urtikaria yang ditandai dengan bentol/biduran sementara (wheals) dan DKA yang merupakan reaksi ekzematosa tertunda, memiliki patofisiologi, pemicu, dan pendekatan tata laksana yang berbeda secara fundamental.

Kegagalan membedakan kedua kondisi ini dapat berujung pada pemilihan terapi yang kurang tepat, memperpanjang penderitaan pasien, dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan. 

Misalnya, memberikan antihistamin saja mungkin tidak cukup untuk DKA berat, sementara penggunaan kortikosteroid jangka panjang tidak diperlukan untuk urtikaria akut sederhana. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai algoritma diagnosis yang sistematis sangat krusial. 

Artikel ilmiah populer ini bertujuan membekali dokter umum di Indonesia, khususnya yang berusia 25-35 tahun, dengan panduan praktis berbasis bukti ilmiah (dari jurnal terindeks PubMed) untuk membedakan urtikaria dan DKA. 

Pendekatan ini akan membantu memastikan "Diagnosis dan Terapi Urtikaria" yang tepat sasaran serta pemilihan "Dosis Obat Dermatitis Kontak Alergi" yang sesuai, sehingga meningkatkan kualitas pelayanan di tingkat primer. 

Tingginya prevalensi kedua kondisi ini 1 menjadikan algoritma ini relevan untuk praktik sehari-hari, membantu dokter umum menavigasi tantangan diagnostik yang sering muncul ini.4

II. Urtikaria: Gambaran Klinis Khas dan Pemicu Umum

Urtikaria, atau yang awam kenal sebagai biduran atau kaligata, adalah suatu kelainan peradangan kulit yang ditandai dengan munculnya bentol (wheal), angioedema, atau keduanya.5 Kondisi ini terjadi akibat degranulasi sel mast dan basofil yang melepaskan berbagai mediator inflamasi, terutama histamin.7 

Histamin inilah yang menyebabkan vasodilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas vaskular, menimbulkan edema di dermis superfisial (wheal) dan rasa gatal yang hebat.6

Secara klinis, urtikaria diklasifikasikan berdasarkan durasinya:

  • Urtikaria Akut: Berlangsung kurang dari 6 minggu.1 Bentuk ini seringkali memiliki pemicu yang dapat diidentifikasi, seperti infeksi (terutama infeksi virus saluran napas atas pada anak), alergi obat (misalnya NSAID, antibiotik), alergi makanan, atau sengatan serangga.8

  • Urtikaria Kronis: Berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan gejala muncul hampir setiap hari atau intermiten.1 Urtikaria kronis dibagi lagi menjadi:

  • Urtikaria Spontan Kronis (CSU): Muncul tanpa pemicu eksternal yang jelas dan seringkali bersifat idiopatik (80-90% kasus).2

  • Urtikaria Induksi Kronis (CIndU): Dipicu oleh stimulus fisik spesifik seperti tekanan (dermatografisme), dingin, panas, getaran, sinar matahari, air, atau aktivitas fisik/peningkatan suhu tubuh (kolinergik).8 Urtikaria kronis dapat sangat mengganggu kualitas hidup pasien, mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari.9

Gambaran klinis utama yang perlu dikenali dokter umum adalah:

  • Wheal (Biduran/Urtika): Lesi primer berupa papul atau plak edematosa (bengkak), berbatas tegas, berwarna kemerahan atau pucat di bagian tengah, dan dikelilingi eritema.5 Ukurannya bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter dan dapat menyatu membentuk lesi yang lebih besar (giant urticaria).7 Gejala paling menonjol adalah rasa gatal hebat (pruritus), terkadang disertai sensasi terbakar.8 Karakteristik paling penting dan menjadi kunci diagnostik utama adalah sifatnya yang sangat transien: setiap lesi wheal individual akan hilang timbul, biasanya bertahan kurang dari 24 jam (seringkali hanya beberapa jam) dan menghilang sempurna tanpa meninggalkan bekas seperti hiperpigmentasi atau skuama.5 Sifat transien ini disebabkan oleh pelepasan histamin yang cepat dari sel mast, menyebabkan edema dermal sementara yang kemudian diserap kembali.

Gambar 1. pembengkakan dengan bagian tengah yang pucat dikelilingi eritema6

  • Angioedema: Pembengkakan pada lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutan atau submukosa.2 Lokasi tersering adalah wajah (kelopak mata, bibir), lidah, ekstremitas, dan genitalia.2 Angioedema cenderung terasa nyeri atau tidak nyaman daripada gatal 6 dan resolusinya lebih lambat dibandingkan wheal, bisa memakan waktu hingga 48-72 jam.5 Sekitar separuh pasien urtikaria juga mengalami angioedema.9 Penting bagi dokter umum untuk waspada jika angioedema melibatkan saluran napas (lidah, laring) karena dapat mengancam jiwa dan memerlukan penanganan darurat.2

Gambar 2. Angioedema pada kelopak mata bagian atas yang menunjukkan pembengkakan tanpa merubah warna kulit6

  • Distribusi: Lesi dapat muncul di bagian tubuh mana saja, seringkali tersebar secara asimetris.2

Memahami pemicu umum sangat membantu dalam anamnesis. Untuk urtikaria akut, fokus pada kejadian baru seperti infeksi, penggunaan obat baru, atau makanan tertentu.9 Sementara itu, pada urtikaria kronis, meskipun seringkali idiopatik (CSU) 2, penting untuk menanyakan pemicu fisik.8 

Karena CSU seringkali idiopatik, pendekatan di layanan primer lebih berfokus pada pengendalian gejala jangka panjang setelah menyingkirkan tanda bahaya, daripada pencarian penyebab yang ekstensif yang seringkali tidak membuahkan hasil.2

III. Dermatitis Kontak Alergi (DKA): Reaksi Kulit Tertunda

Berbeda dengan urtikaria, Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah suatu reaksi hipersensitivitas tipe lambat (Tipe IV) yang dimediasi oleh sel T.3 Reaksi ini terjadi ketika kulit individu yang sebelumnya telah tersensitisasi terpapar kembali oleh alergen kontak spesifik (hapten), yaitu molekul kecil yang menjadi imunogenik setelah berikatan dengan protein kulit.15 Proses ini membutuhkan dua fase: fase sensitisasi (paparan awal yang mengaktifkan sel T spesifik) dan fase elisitasi (paparan ulang yang memicu reaksi inflamasi di kulit).15

Gambaran klinis DKA sangat berbeda dari urtikaria dan menjadi kunci pembeda:

  • Morfologi: Lesi DKA secara fundamental bersifat ekzematosa.15

  • Fase Akut: Ditandai dengan eritema (kemerahan), edema (bengkak), papul (bintil padat), dan yang khas adalah munculnya vesikel (lepuh kecil berisi cairan) atau bahkan bula (lepuh besar).3 Lesi akut seringkali disertai eksudasi (mengeluarkan cairan/basah) dan pembentukan krusta (koreng).3 Gejala subjektif utama adalah gatal hebat, namun bisa juga disertai rasa terbakar atau perih.15 Perbedaan morfologi ini mencerminkan patologi yang berbeda; DKA melibatkan peradangan pada epidermis dengan spongiosis (edema antar sel epidermis) yang menyebabkan terbentuknya vesikel 20, berbeda dengan edema dermal pada urtikaria.5

  • Fase Kronis: Jika paparan alergen berlanjut, lesi dapat menjadi kronis, ditandai dengan kulit yang menebal dan garis kulit yang tampak lebih jelas (likenifikasi), disertai skuama (sisik), fisura (pecah-pecah), dan terkadang hiperpigmentasi.3 Gatal biasanya tetap ada.

  • Onset: Karakteristik penting lainnya adalah onset yang tertunda. Gejala DKA baru muncul 24 hingga 72 jam setelah kontak dengan alergen, dengan puncak reaksi terjadi sekitar 72 hingga 96 jam.3 Keterlambatan ini merefleksikan waktu yang dibutuhkan untuk migrasi dan aktivasi sel T memori di kulit sebagai bagian dari reaksi hipersensitivitas tipe IV.16 Hal ini sangat kontras dengan onset cepat (menit hingga jam) pada urtikaria 8 atau dermatitis kontak iritan (DKI).23

  • Durasi Lesi: Berbeda dengan wheal urtikaria yang hilang dalam <24 jam, lesi DKA bersifat persisten, bertahan selama berhari-hari hingga berminggu-minggu sampai alergen dihilangkan dan proses inflamasi mereda.3

  • Distribusi: Pada fase akut, lesi DKA biasanya terbatas pada area kulit yang berkontak langsung dengan alergen, seringkali menunjukkan batas yang tegas atau pola yang sesuai dengan bentuk sumber alergen (misalnya, bentuk jam tangan, gesper ikat pinggang, atau garis bekas karet celana).3 Mengenali pola distribusi ini dapat memberikan petunjuk penting mengenai kemungkinan sumber alergen.21 Namun, dengan paparan berulang atau transfer alergen secara tidak sengaja (misalnya melalui tangan), lesi dapat menyebar ke area lain atau bahkan menjadi generalisata.21 Lokasi tersering meliputi tangan, wajah (terutama kelopak mata karena mudah terpapar alergen dari tangan atau produk kosmetik), kaki, dan area kulit yang tertutup perhiasan atau pakaian.17

Gambar 3. Kontak alergi dari plester luka

Dokter umum perlu mewaspadai beberapa pemicu/alergen DKA yang umum, antara lain: logam (terutama nikel pada perhiasan imitasi, kancing jeans, gesper), bahan pewangi dan pengawet dalam produk kosmetik dan perawatan pribadi (misalnya, fragrance mix, Peru balsam, methylisothiazolinone), antibiotik topikal (misalnya, neomisin), formaldehida, lateks atau akselerator karet (pada sarung tangan), tanaman (misalnya, getah poison ivy/oak/sumac yang mengandung urushiol), dan pewarna rambut (misalnya, para-phenylenediamine/PPD).3 

Penting diingat bahwa DKA dapat terjadi bahkan terhadap produk yang sudah lama digunakan tanpa masalah sebelumnya, mungkin karena perubahan formulasi produk atau karena sensitisasi baru terjadi setelah paparan berulang.17

IV. Algoritma Diagnosis Urtikaria vs DKA di Layanan Primer

Untuk membantu dokter umum membedakan urtikaria dan DKA secara sistematis, berikut adalah algoritma diagnosis yang berfokus pada anamnesis dan pemeriksaan fisik:

Langkah 1: Anamnesis Kunci (History Taking)

Fokus pada pertanyaan-pertanyaan yang dapat membedakan kedua kondisi:

  • Onset dan Durasi Lesi:

  • Kapan ruam pertama kali muncul? Apakah onsetnya mendadak (menit/jam) atau bertahap (hari)? (Onset cepat → Urtikaria/DKI; Onset lambat → DKA).3

  • Pertanyaan Kunci: Berapa lama satu bentol/lesi bertahan sebelum hilang? (Jika < 24 jam → Urtikaria; Jika > 24 jam → DKA atau diagnosis lain).5 Ini adalah salah satu pembeda terpenting.

  • Apakah ruam sudah berlangsung < 6 minggu (akut) atau > 6 minggu (kronis)?.1

  • Gejala Subjektif:

  • Apa keluhan utama? Gatal hebat? Atau gatal disertai rasa terbakar/nyeri? (Gatal dominan → Urtikaria; Gatal + terbakar/nyeri → DKA/DKI).9

  • Apakah ada gejala sistemik penyerta? Demam, nyeri sendi, sesak napas, pusing, nyeri perut? (Gejala sistemik berat → Waspada anafilaksis atau penyakit sistemik seperti urticarial vasculitis).2

  • Identifikasi Pemicu:

  • Untuk Urtikaria: Adakah riwayat infeksi (ISPA, dll.), penggunaan obat baru (terutama NSAID, antibiotik), makanan baru, stres, atau paparan fisik (dingin, panas, tekanan) sebelum onset?.8

  • Untuk DKA: Adakah penggunaan produk kosmetik/perawatan kulit baru, perhiasan baru, sarung tangan, paparan bahan kimia di tempat kerja/hobi, atau kontak dengan tanaman tertentu dalam 1-3 hari sebelum ruam muncul?.3

  • Riwayat Atopi: Apakah pasien atau keluarga memiliki riwayat eksim atopik, asma, atau rinitis alergi? (Meningkatkan kemungkinan Dermatitis Atopik, yang bisa mirip atau tumpang tindih dengan DKA).25

Langkah 2: Pemeriksaan Fisik (Physical Examination)

Fokus pada morfologi dan distribusi lesi:

  • Morfologi Lesi:

  • Apakah lesi berupa wheal (bentol edematosa, transien, tanpa skuama)? → Urtikaria.5

  • Ataukah lesi bersifat ekzematosa (kemerahan, papul, vesikel, basah/krusta pada fase akut; atau kering, menebal/likenifikasi, bersisik pada fase kronis)? → DKA.3

  • Periksa adanya angioedema (pembengkakan bibir, kelopak mata, dll.) → Lebih sering pada Urtikaria.5

  • Distribusi Lesi:

  • Apakah lesi tersebar luas, acak, dan asimetris? → Urtikaria.5

  • Ataukah lesi terlokalisir pada area kontak tertentu (misalnya, bawah jam tangan, area gesper, cuping telinga, kelopak mata, punggung tangan) atau menunjukkan pola geometris? → DKA.3

  • Pemeriksaan Tambahan:

  • Periksa tanda vital dan status respirasi untuk menyingkirkan anafilaksis.2

  • Cari tanda penyakit lain: lesi target (Eritema Multiforme), purpura/memar pada lesi urtikaria (curiga Vaskulitis Urtikaria).2

  • Lakukan tes dermatografisme (menggores kulit dengan objek tumpul) jika curiga urtikaria fisik.2

Langkah 3: Diagnosis Banding dan Tabel Perbandingan

Gunakan informasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk membedakan, dibantu tabel berikut:

Tabel Perbandingan Kunci: Urtikaria vs Dermatitis Kontak Alergi (DKA)


Fitur (Feature)

Urtikaria

Dermatitis Kontak Alergi (DKA)

Sumber (Source) Snippets

Mekanisme (Mechanism)

Degranulasi Sel Mast (Histamin)

Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Sel T)

6

Onset setelah Paparan

Cepat (Menit - Jam)

Lambat (24-72 jam, puncak 72-96 jam)

3

Durasi Lesi Individual

< 24 jam (Transien)

> 24 jam (Persisten, hari/minggu)

5, 3

Morfologi Primer

Biduran/Wheal (Edema, eritema, non-skuama)

Eksim (Eritema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi)

5, 15

Gejala Dominan

Gatal Hebat

Gatal, bisa disertai rasa terbakar/nyeri

9

Distribusi Awal

Generalisata, Asimetris

Area Kontak Langsung (sering berbatas tegas), bisa menyebar

5

Pemicu Umum (Primer)

Infeksi, Obat, Makanan, Fisik, Idiopatik

Alergen Kontak (Logam, Pewangi, Pengawet, Tanaman, dll)

9

Tes Diagnostik Kunci

Anamnesis, Pemeriksaan Fisik

Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Uji Tempel (Patch Test)

2

Penting untuk diingat bahwa DKA dapat menyerupai atau memperburuk kondisi eksim lain seperti Dermatitis Atopik (DA).25 Selain itu, lesi mirip urtikaria yang bertahan >24 jam, terasa nyeri, atau meninggalkan bekas memar harus menimbulkan kecurigaan terhadap Vaskulitis Urtikaria, yang memerlukan pendekatan diagnostik dan tata laksana berbeda (biasanya rujukan untuk biopsi kulit).10

Langkah 4: Investigasi Awal dan Indikasi Rujukan

  • Urtikaria:

  • Pemeriksaan laboratorium rutin umumnya tidak diindikasikan untuk urtikaria akut tanpa kecurigaan penyebab spesifik.2

  • Untuk urtikaria kronis (>6 minggu), pemeriksaan dasar seperti darah lengkap, LED/CRP, dan TSH dapat dipertimbangkan jika ada kecurigaan klinis, namun seringkali hasilnya normal pada CSU.2

  • Rujuk ke Spesialis (Dermatologi/Alergi) jika: diagnosis tidak pasti, urtikaria kronis tidak responsif terhadap antihistamin dosis tinggi (setelah 2-4 minggu), curiga vaskulitis urtikaria, atau curiga CIndU yang memerlukan tes provokasi spesifik.1

  • Dermatitis Kontak Alergi (DKA):

  • Diagnosis definitif DKA dan identifikasi alergen penyebab memerlukan Uji Tempel (Patch Test), yang merupakan baku emas.3

  • Uji tempel adalah prosedur khusus yang melibatkan aplikasi alergen standar dalam konsentrasi non-iritatif ke kulit punggung dan interpretasi reaksi setelah 48-96 jam.3 Prosedur ini memerlukan keahlian khusus dalam pemilihan alergen, aplikasi, dan interpretasi hasil, sehingga umumnya dilakukan oleh dokter spesialis kulit atau alergi, bukan di layanan primer.19

  • Indikasi Rujukan untuk Uji Tempel: Pasien dengan dermatitis kronis atau rekuren yang tidak jelas penyebabnya, kecurigaan kuat DKA berdasarkan anamnesis (pola paparan) dan distribusi lesi, dermatitis yang resisten terhadap pengobatan standar, atau dermatitis terkait pekerjaan.25 Peran utama dokter umum dalam diagnosis DKA adalah mengenali pola klinis yang sugestif dan melakukan rujukan yang tepat untuk konfirmasi melalui uji tempel.3

V. Prinsip Tata Laksana Awal: Fokus pada "Diagnosis dan Terapi Urtikaria" serta "Dosis Obat Dermatitis Kontak Alergi"

Setelah diagnosis ditegakkan atau dicurigai kuat berdasarkan algoritma di atas, langkah selanjutnya adalah memulai tata laksana awal yang sesuai di layanan primer.

Tata Laksana Urtikaria:

Pendekatan utama dalam "Diagnosis dan Terapi Urtikaria" adalah mengendalikan gejala gatal dan bentol.

1. Non-Farmakologis:

  • Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Dapat dilakukan di unit gawat darurat bersama-sama dengan/atau dikonsulkan ke Spesialis THT.47

  • Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan pada urtikaria kronik.
    • Target terapi adalah mengobati sampai dengan lesi hilang.

    • Pendekatan terapi meliputi: identifikasi dan eliminasi penyebab, hindari pencetus, menginduksi toleransi, penggunaan obat untuk mencegah mast cell mediator release ataupun efek dari mast cell mediators.

    • Pemberian terapi sesuai dengan keadaan penyakit, obat yang diberikan sebanyak yang dibutuhkan dan sesedikit mungkin. 47

  • Edukasi pasien mengenai sifat penyakitnya penting.7

  1. Farmakologis:

  • Topikal : Bedak kocok dibubuhi antipruritus mentol dan kamfer47

  • Lini Pertama: Antihistamin H1 Generasi Kedua: Ini adalah terapi utama dan pilihan pertama karena efikasi yang baik dengan efek samping sedasi yang minimal dibandingkan generasi pertama.1 Contohnya meliputi Cetirizine (10 mg/hari), Loratadine (10 mg/hari), Fexofenadine (180 mg/hari), Desloratadine (5 mg/hari), Levocetirizine (5 mg/hari).1 Untuk urtikaria kronis, pemberian dosis harian rutin lebih efektif daripada penggunaan bila perlu (prn).1

  • Peningkatan Dosis (Up-dosing): Jika dosis standar antihistamin generasi kedua tidak mengontrol gejala secara adekuat setelah 2-4 minggu, langkah selanjutnya yang direkomendasikan oleh panduan internasional adalah meningkatkan dosis hingga empat kali lipat dari dosis standar yang tertera di label.1 Ini merupakan langkah penting sebelum merujuk pasien.

  • Kortikosteroid Sistemik Jangka Pendek: Untuk episode urtikaria akut yang berat atau eksaserbasi urtikaria kronis yang parah, dapat diberikan kursus singkat kortikosteroid oral (misalnya, Prednison 0.5-1 mg/kg/hari selama 3-10 hari) untuk mengendalikan gejala dengan cepat. Namun, hindari penggunaan jangka panjang karena risiko efek samping.2 Durasi pendek ini cukup karena sifat urtikaria yang umumnya self-limiting atau responsif terhadap antihistamin dosis adekuat. Tidak boleh lebih dari 10 hari 47

  • Terapi Tambahan (Adjunctive): Penambahan antagonis H2 atau antagonis reseptor leukotrien (LTRA) memiliki bukti terbatas dan biasanya dipertimbangkan oleh spesialis.1 Antihistamin generasi pertama (misalnya, CTM, difenhidramin, hidroksizin) dapat ditambahkan pada malam hari untuk membantu tidur karena efek sedasinya, namun gunakan dengan hati-hati terutama pada lansia.2

  • Rujukan: Pasien yang tidak merespon terhadap antihistamin H1 generasi kedua dosis tinggi (hingga 4x lipat dosis standar) harus dirujuk ke spesialis untuk pertimbangan terapi lini kedua atau ketiga seperti Omalizumab atau Siklosporin.1

Gambar 4. Bagan alur Urtikaria47

Tata Laksana Dermatitis Kontak Alergi (DKA):

Fokus utama adalah menghilangkan peradangan dan mencegah kekambuhan melalui identifikasi dan penghindaran alergen.

  • Non-Farmakologis:

  • Identifikasi dan Penghindaran Alergen: Ini adalah tindakan terpenting dan satu-satunya cara untuk penyembuhan jangka panjang.3 Setelah alergen spesifik diidentifikasi melalui uji tempel oleh spesialis, pasien harus diedukasi secara rinci cara menghindari paparan terhadap alergen tersebut dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, membaca label produk, menggunakan pelindung).16

  • Perawatan Kulit Dasar: Penggunaan emolien/pelembap secara teratur membantu memperbaiki barier kulit yang terganggu dan mengurangi kekeringan.39

  • Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan, apron, sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit47

  • Farmakologis:

  • Kortikosteroid Topikal (KST): Merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi peradangan dan gatal pada DKA.15 Pemilihan "Dosis Obat Dermatitis Kontak Alergi" dalam konteks KST lebih mengacu pada pemilihan potensi yang tepat:

  • Pemilihan Potensi: Disesuaikan dengan lokasi lesi, usia pasien, dan tingkat keparahan dermatitis.41 Prinsipnya adalah menggunakan potensi terendah yang efektif.

  • Potensi Ringan (Kelas VI-VII): Misal: Hidrokortison 1%, 2.5%; Desonide 0.05%. Paling aman untuk area tipis (wajah, lipatan, genitalia), bayi/anak kecil, area luas, atau penggunaan jangka panjang.43

  • Potensi Sedang (Kelas IV-V): Misal: Triamsinolon asetonid 0.1%, Mometason furoat 0.1%, Flutikason propionat 0.05% krim. Cocok untuk badan dan ekstremitas pada dewasa/anak yang lebih besar dengan dermatitis sedang.41

  • Potensi Kuat - Sangat Kuat (Kelas I-III): Misal: Klobetasol propionat 0.05%, Betametason dipropionat teraugmentasi 0.05%. Digunakan untuk lesi berat, kulit tebal (telapak tangan/kaki), atau area resisten. Penggunaan harus jangka pendek (umumnya < 2-3 minggu) dan hindari pada wajah atau lipatan.41

  • Pelembab setelah bekerja disarankan pelembab yang kaya kandungan lipid. misalnya vaselin (petrolatum). Sesuai dengan gambaran klinis 47
    • Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%6

    • Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang sampai tinggi, misalnya mometason furoat, flutikason propionat, klobetasol butirat. 47

    • Bila dermatitis berjalan kronis dapat diberikan klobetasol propionate intermiten.47

  • Kortikosteroid Sistemik: Diindikasikan untuk DKA yang berat, luas, atau sangat mengganggu aktivitas (misalnya, DKA akibat poison ivy yang parah).44 Berbeda dengan urtikaria, DKA sering memerlukan kursus kortikosteroid sistemik yang lebih panjang, yaitu minimal 14-21 hari, dengan penurunan dosis bertahap (tapering off) untuk mencegah rebound atau kekambuhan dini.44 Hal ini disebabkan oleh sifat reaksi hipersensitivitas tipe IV yang lebih persisten. Penggunaan paket dosis singkat (misalnya, Medrol dose pack) seringkali tidak cukup.44 Dosis awal bisa dimulai dengan Prednison 0.5-1 mg/kg/hari.

Gambar 5. Bagan Alur DKA47

Perbedaan mendasar dalam konsep "dosis obat" antara kedua kondisi ini penting dipahami. Pada urtikaria, fokusnya adalah meningkatkan dosis antihistamin untuk mencapai kontrol gejala.1 Pada DKA, fokusnya adalah memilih potensi KST yang sesuai dengan lokasi dan keparahan.43 Demikian pula, durasi kortikosteroid sistemik yang dibutuhkan berbeda secara signifikan karena perbedaan durasi proses inflamasi yang mendasarinya.2

VI. Kesimpulan

Membedakan antara urtikaria dan dermatitis kontak alergi merupakan langkah krusial dalam praktik dokter umum sehari-hari. Diagnosis yang akurat bergantung pada kemampuan klinisi untuk menggali anamnesis secara cermat dan melakukan pemeriksaan fisik yang teliti, dengan fokus pada karakteristik kunci yang membedakan kedua kondisi tersebut.

Urtikaria ditandai oleh onset cepat dan lesi wheal (biduran) yang bersifat transien (hilang < 24 jam), sementara DKA memiliki onset lambat (24-72 jam) dengan lesi ekzematosa (vesikel, skuama, likenifikasi) yang persisten (> 24 jam). Menggunakan algoritma diagnosis yang terstruktur, termasuk tabel perbandingan fitur klinis utama, dapat secara signifikan meningkatkan akurasi diagnostik di layanan primer.

Penegakan diagnosis yang tepat akan mengarahkan pada "Diagnosis dan Terapi Urtikaria" yang efektif, yaitu penggunaan antihistamin H1 generasi kedua sebagai lini pertama dengan kemungkinan peningkatan dosis, serta penentuan "Dosis Obat Dermatitis Kontak Alergi" yang rasional, terutama pemilihan potensi kortikosteroid topikal yang sesuai dan strategi penghindaran alergen sebagai kunci utama. 

Pemahaman mengenai indikasi rujukan yang tepat, khususnya untuk uji tempel pada kecurigaan DKA atau penanganan urtikaria kronis refrakter, akan melengkapi tata laksana pasien secara komprehensif dan pada akhirnya meningkatkan luaran klinis pasien.

Karya yang dikutip

  1. Urticaria - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11629492/

  2. Acute and Chronic Urticaria: Evaluation and Treatment - AAFP, diakses April 14, 2025, https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2017/0601/p717.html

  3. Contact Dermatitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459230/

  4. Clinical review: The suggested management pathway for urticaria in primary care - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9533216/

  5. Urticaria: A Narrative Overview of Differential Diagnosis - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10136346/

  6. The urticarias: pathophysiology and management - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4954105/

  7. An approach to the patient with urticaria - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2492902/

  8. Diagnosis and treatment of urticaria in primary care - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6526977/

  9. Urticaria and infections - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2804274/

  10. Urticaria and mimickers of urticaria - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10569303/

  11. Approach to the Patient with Hives - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31757233/

  12. Diagnosis of urticaria - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3667285/

  13. A Patient Charter for Chronic Urticaria - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10796664/

  14. Treatment of allergic rhinitis and urticaria: a review of the newest antihistamine drug bilastine - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4835134/

  15. Allergic Contact Dermatitis | Request PDF - ResearchGate, diakses April 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/310745776_Allergic_Contact_Dermatitis

  16. Allergic Contact Dermatitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532866/

  17. Allergic contact dermatitis | Request PDF - ResearchGate, diakses April 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/303096934_Allergic_contact_dermatitis

  18. Advancing the understanding of allergic contact dermatitis: from pathophysiology to novel therapeutic approaches - Frontiers, diakses April 14, 2025, https://www.frontiersin.org/journals/medicine/articles/10.3389/fmed.2023.1184289/full

  19. Patch tests - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3900336/

  20. Diseases from the Spectrum of Dermatitis and Eczema: Can “Omics” Sciences Help with Better Systematics and More Accurate Differential Diagnosis? - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10342122/

  21. A practical guide to recognize allergic and immunologic skin diseases: diagnosis at first sight - Open Exploration Publishing, diakses April 14, 2025, https://www.explorationpub.com/Journals/eaa/Article/100955

  22. An Automated Approach for Diagnosing Allergic Contact Dermatitis Using Deep Learning to Support Democratization of Patch Testing - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11975759/

  23. Guideline contact dermatitis: S1-Guidelines of the German Contact ..., diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4484750/

  24. Contact Urticaria Syndrome: a Comprehensive Review - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9672538/

  25. The Role and Diagnosis of Allergic Contact Dermatitis in Patients ..., diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5948135/

  26. Airborne Contact Dermatitis - The Open Dermatology Journal, diakses April 14, 2025, https://www.opendermatologyjournal.com/VOLUME/14/PAGE/31/FULLTEXT/

  27. Advancing the understanding of allergic contact dermatitis: from pathophysiology to novel therapeutic approaches, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10239928/

  28. Differential Diagnosis of Urticarial Lesions - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36238930/

  29. Vitamin D in Atopic Dermatitis, Chronic Urticaria and Allergic Contact Dermatitis - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4985525/

  30. A Practical Guide to Patch Testing - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26054552/

  31. Differential diagnosis between urticarial vasculitis and chronic spontaneous urticaria: An international Delphi survey - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10587388/

  32. Allergic contact dermatitis: Patient diagnosis and evaluation - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27185421/

  33. Pediatric allergic contact dermatitis. Part I: Clinical features and common contact allergens in children - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33217510/

  34. Contribution of Patch Tests with Occupational Handled Products in the Diagnosis of Occupational Contact Dermatitis: A 10-year Review, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9377969/

  35. Insights into urticaria in pediatric and adult populations and its management with fexofenadine hydrochloride - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9103601/

  36. Urticaria and its subtypes: the role of second-generation antihistamines - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22153526/

  37. H1‐antihistamines for chronic spontaneous urticaria - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6481497/

  38. Contact Urticaria - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549890/

  39. Atopic eczema in under 12s: diagnosis and management - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK571009/

  40. Management of Patients with Atopic Dermatitis: The Role of Emollient Therapy - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3449106/

  41. Strategies for using topical corticosteroids in children and adults with eczema - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8916090/

  42. GUIDELINES OF CARE FOR THE MANAGEMENT OF ATOPIC DERMATITIS: Part 2, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4326095/

  43. Choosing Topical Corticosteroids | AAFP, diakses April 14, 2025, https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2009/0115/p135.html

  44. Poison Ivy Dermatitis Treatment Patterns and Utilization: A Retrospective Claims-based Analysis - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9391006/

  45. Diagnosis and Management of Atopic Dermatitis for Primary Care Providers, diakses April 14, 2025, https://www.jabfm.org/content/jabfp/33/4/626.full.pdf

  46. Consensus Recommendations for the Management of Atopic Dermatitis in the United Arab Emirates - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11393261/

  47. Urtikaria – Panduan Praktis Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia Tahun 2021