5 May 2025 • Kulit
Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Pitiriasis Rosea (PR) merupakan dua kondisi dermatosis umum yang sering dijumpai oleh dokter umum di layanan primer.1 Meskipun memiliki karakteristik yang berbeda, gambaran klinis keduanya terkadang dapat tumpang tindih, sehingga menimbulkan tantangan diagnostik bagi para klinisi, terutama dokter umum.3
Tantangan diagnostik ini memiliki implikasi langsung pada manajemen pasien dan luaran klinis. Kesalahan diagnosis PR sebagai DKI dapat menyebabkan rekomendasi penghindaran yang tidak perlu, sementara kesalahan diagnosis DKI sebagai PR dapat menunda identifikasi dan eliminasi iritan penyebab, yang berpotensi memperpanjang morbiditas, terutama pada kasus-kasus terkait pekerjaan.1
Artikel ilmiah populer ini bertujuan untuk menyajikan algoritma diagnostik yang jelas dan berbasis bukti, serta tinjauan tatalaksana terkini untuk membedakan antara DKI dan PR. Informasi yang disajikan dirancang khusus untuk dokter umum berusia 25-35 tahun dan didasarkan secara eksklusif pada literatur ilmiah yang terindeks di PubMed.
Penegakan diagnosis yang akurat sangat penting karena pendekatan tatalaksana kedua kondisi ini berbeda secara fundamental; DKI memerlukan strategi penghindaran iritan dan perbaikan barier kulit, sedangkan PR umumnya bersifat swasirna (self-limiting) dan ditangani secara simtomatik.4
Dengan menyediakan pendekatan terstruktur berdasarkan informasi klinis dan pemeriksaan penunjang yang relevan, artikel ini diharapkan dapat membantu dokter umum dalam praktik sehari-hari.
Dermatitis Kontak Iritan (DKI) didefinisikan sebagai reaksi inflamasi kulit non-spesifik yang bersifat non-alergik, disebabkan oleh kerusakan langsung pada kulit akibat paparan zat kimia atau fisik.6 Reaksi ini memicu pelepasan mediator inflamasi, terutama dari sel-sel epidermis.12
Penting untuk membedakannya dari Dermatitis Kontak Alergi (DKA), yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).6 DKI merupakan bentuk dermatitis kontak yang paling umum dan penyebab utama penyakit kulit akibat kerja.1
Etiologi DKI berkaitan dengan paparan terhadap agen iritan. Tingkat keparahan reaksi bergantung pada beberapa faktor, termasuk sifat iritan (jumlah, konsentrasi), durasi dan frekuensi paparan, faktor lingkungan (oklusi, kelembaban, suhu), serta kerentanan individu.9
Faktor individu meliputi jenis kulit (tipis, kering, riwayat kerusakan sebelumnya), usia (bayi dan lansia lebih rentan), dan kondisi kulit yang sudah ada sebelumnya, seperti kecenderungan atopik.8 Iritan umum meliputi air (pekerjaan basah), sabun, deterjen, pelarut, asam, basa, dan faktor fisik seperti gesekan.9
Reaksi dapat bersifat akut akibat paparan iritan kuat, atau bersifat kumulatif akibat paparan berulang terhadap iritan lemah.8 Konsep hubungan dosis-respons dan efek kumulatif ini sangat penting dipahami oleh dokter umum, karena menjelaskan mengapa zat yang tampak tidak berbahaya seperti sabun dan air dapat menyebabkan dermatitis signifikan melalui paparan berulang, misalnya pada tenaga kesehatan.9 Hal ini berbeda dengan DKA yang memerlukan sensitisasi terlebih dahulu.
Secara patofisiologis, DKI melibatkan kerusakan barier kulit, kerusakan langsung pada keratinosit, dan pelepasan sitokin pro-inflamasi (seperti IL-1α, IL-1β, TNF-α) yang mengaktivasi sistem imun bawaan.6 Proses ini menyebabkan perubahan seluler epidermal dan perekrutan sel-sel inflamasi ke lokasi paparan.10
Reseptor pengenal pola (seperti Toll-like receptors/TLRs) dan stres oksidatif juga berperan dalam patogenesis DKI.10 Adanya gangguan fungsi barier kulit sebelumnya, seperti pada dermatitis atopik, diketahui meningkatkan kerentanan terhadap DKI.8 Hal ini menyoroti pentingnya mengidentifikasi kondisi kulit yang mendasari pada pasien dengan keluhan dermatitis.
Gejala utama DKI meliputi rasa terbakar (burning), perih (stinging), nyeri, yang seringkali lebih dominan dibandingkan rasa gatal (pruritus), terutama pada fase awal.8 Hal ini berbeda dengan DKA yang umumnya didominasi oleh rasa gatal.8
Secara morfologi, DKI dapat bermanifestasi dalam tiga pola 12:
Fase Akut: Ditandai dengan eritema, edema, lesi vesikel atau pustul, eksudasi (basah), pembentukan krusta, dan nyeri tekan.12
Fase Subakut: Tampak krusta, skuama (sisik), dan hiperpigmentasi.12
Fase Kronik: Ditandai dengan likenifikasi (penebalan kulit dengan garis kulit yang tampak lebih jelas), skuama tebal, fisura (retakan kulit), dan hiperkeratosis.12
Perlu dicatat bahwa gambaran morfologi saja seringkali tidak cukup untuk membedakan DKI dari DKA.6
Distribusi lesi DKI biasanya terbatas pada area yang berkontak langsung dengan iritan dan seringkali memiliki batas yang tegas (well-demarcated), terutama pada fase akut.8 Tangan merupakan lokasi yang sangat umum terkena, khususnya pada kasus terkait pekerjaan.1
Onset dan perjalanan penyakit juga menjadi petunjuk penting. Reaksi iritan akut biasanya mencapai puncaknya dengan cepat, dalam hitungan menit hingga beberapa jam setelah paparan, dan mulai membaik relatif cepat setelah iritan dihilangkan.12 Hal ini kontras dengan DKA yang memiliki onset tertunda (24-72 jam setelah paparan) dan resolusi yang lebih lambat.12
Profil gejala (rasa terbakar > gatal) serta onset dan resolusi yang cepat relatif terhadap waktu paparan merupakan petunjuk klinis yang lebih kuat untuk DKI dibandingkan gambaran morfologi semata. Oleh karena itu, anamnesis yang teliti mengenai gejala dan waktu kemunculan lesi setelah kontak sangat penting.
Gambar 1. Gambar Dermatitis Kontak akibat nikel12
Pitiriasis Rosea (PR) adalah suatu erupsi papuloskuamosa akut yang bersifat swasirna (self-limiting).2 Penyebab pasti PR masih belum diketahui.2 Namun, hipotesis utama saat ini mengarah pada kemungkinan reaktivasi Human Herpesvirus 6 (HHV-6) dan/atau HHV-7.2
Hipotesis ini didukung oleh beberapa faktor seperti adanya variasi musiman, kadang-kadang didahului gejala prodromal mirip infeksi virus, dan adanya laporan kasus berkelompok (clustering).2 Selain itu, terdapat laporan erupsi menyerupai PR (PR-like eruption) yang muncul setelah pemberian obat-obatan tertentu atau vaksinasi.25
Adanya erupsi PR-like akibat obat ini menekankan pentingnya anamnesis riwayat pengobatan yang cermat pada pasien dengan ruam menyerupai PR, terutama jika presentasinya atipikal atau persisten.
Patofisiologi PR belum sepenuhnya dipahami.25 Temuan imunologis menunjukkan adanya respons yang dimediasi oleh sel T, dengan penurunan aktivitas sel Natural Killer (NK) dan sel B pada lesi PR, serta peningkatan jumlah sel T CD4+ dan sel Langerhans di dermis.3
Ditemukannya keratinosit anti-Immunoglobulin M (IgM) pada pasien PR diduga berkaitan dengan fase eksantema infeksi virus.25 Hubungan kuat dengan reaktivasi HHV-6/7 memberikan dasar biologis mengapa terapi antivirus (Acyclovir) menunjukkan efektivitas dalam beberapa uji klinis, meskipun PR bersifat swasirna.
Perjalanan klinis PR yang khas biasanya diawali dengan gejala prodromal ringan pada sebagian pasien, seperti malaise, sakit kepala, demam ringan, atau nyeri tenggorokan.3 Tanda paling khas adalah munculnya Herald Patch (juga disebut plak primer atau mother patch), yang ditemukan pada sekitar 50-90% kasus.2
Herald patch merupakan lesi tunggal berbentuk oval atau bulat, berwarna kemerahan, dengan skuama halus di permukaan, berukuran lebih besar (2-5 cm atau lebih) dibandingkan lesi sekunder, dan biasanya muncul di badan (trunkus) beberapa hari hingga minggu sebelum erupsi generalisata.3
Keberadaan herald patch merupakan petunjuk diagnostik yang sangat kuat untuk PR, meskipun ketiadaannya tidak menyingkirkan diagnosis, terutama pada bentuk atipikal.3
Sekitar 5 hingga 15 hari setelah herald patch, muncul erupsi sekunder berupa lesi-lesi multipel yang lebih kecil, berbentuk oval, berwarna merah muda atau salmon, dengan skuama halus.3
Lesi sekunder ini terutama tersebar di badan dan ekstremitas proksimal.3 Karakteristik penting adalah adanya skuama halus yang menyerupai kerah baju (collarette of scale), di mana tepi skuama melekat di perifer lesi sementara bagian tengahnya terangkat.3
Distribusi lesi sekunder di punggung seringkali mengikuti garis Langer (garis lipatan kulit), membentuk pola khas seperti pohon cemara terbalik (Christmas tree pattern).2
Gambar 2. Pityriasis rosea klasik pada dada dan leher, dengan macula oval disepanjang garis kulit “Christmas tree” pattern2
Rasa gatal (pruritus) bervariasi, dari ringan hingga berat, dan dialami oleh sekitar 50% pasien.3 PR umumnya bersifat swasirna, dengan resolusi spontan dalam waktu 6 hingga 8 minggu, meskipun kadang bisa bertahan hingga 12 minggu.3
Sekitar 20% kasus PR muncul dalam bentuk atipikal.3 Variasi atipikal ini dapat berbeda dalam hal morfologi, ukuran, distribusi lesi, gejala, atau perjalanannya. Beberapa bentuk atipikal yang umum meliputi:
PR Inversa: Lesi dominan di area fleksura (ketiak, lipat paha), wajah, atau akral (telapak tangan/kaki).3
PR Papular: Lesi berupa papul-papul kecil, sering pada anak-anak atau individu berkulit gelap.3
PR Vesikular: Terdapat lesi vesikel, sering pada anak-anak dan dewasa muda.3
Bentuk lain: Purpurik, Urtikarial, Mirip Eritema Multiforme, Folikular, Gigantea, Hipopigmentasi (pada kulit gelap), Akral, Unilateral, Keterlibatan mukosa, atau tanpa herald patch.2
Relaps atau rekurensi jarang terjadi tetapi mungkin.2 Presentasi atipikal, terutama yang melibatkan area akral atau berbentuk vesikular, secara signifikan memperluas diagnosis banding dan mungkin memerlukan investigasi lebih lanjut untuk menyingkirkan kondisi lain seperti tinea, dishidrosis, atau sifilis sekunder.3
Penegakan diagnosis yang tepat memerlukan pendekatan sistematis yang mengintegrasikan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan bila perlu, pemeriksaan penunjang. Kombinasi data klinis ini lebih kuat daripada mengandalkan satu fitur tunggal.3
Anamnesis yang cermat dan terarah adalah langkah awal yang krusial.10
Jika Mencurigai DKI: Fokus pada riwayat pekerjaan, hobi, paparan zat iritan spesifik (sabun, deterjen, bahan kimia, pekerjaan basah, penggunaan sarung tangan), waktu onset lesi relatif terhadap paparan, frekuensi dan durasi paparan, gejala utama (rasa terbakar/perih lebih dominan dari gatal), dan riwayat atopi.8 Tanyakan juga episode serupa sebelumnya yang terkait paparan.24
Jika Mencurigai PR: Tanyakan keberadaan dan waktu munculnya herald patch, gejala prodromal (misalnya infeksi saluran napas atas sebelumnya), evolusi ruam, pola distribusi, gejala dominan (gatal?), riwayat pengobatan atau vaksinasi terkini, riwayat seksual (untuk menyingkirkan sifilis), dan kejadian musiman.3
Pemeriksaan fisik harus berfokus pada morfologi dan distribusi lesi.3
Cari Tanda DKI: Lesi berbatas tegas di area kontak, tanda dermatitis akut (vesikel, basah) atau kronik (likenifikasi, fisura), dominasi rasa terbakar/perih saat ditanyakan.8
Cari Tanda PR: Herald patch (jika ada), lesi oval, skuama collarette, distribusi "pohon cemara" di badan/ekstremitas proksimal, biasanya tidak mengenai wajah/tangan/kaki (pada kasus tipikal).2 Periksa juga telapak tangan/kaki dan mukosa, terutama jika mencurigai sifilis atau PR atipikal.3
Pemeriksaan penunjang umumnya bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis banding, bukan untuk mengkonfirmasi DKI atau PR secara langsung (kecuali tes tempel untuk menyingkirkan DKA).3 Pilihan pemeriksaan bergantung pada kecurigaan klinis.
Tes Tempel (Patch Test): Merupakan baku emas untuk diagnosis DKA.12 Pada kasus dugaan DKI, tes tempel dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan DKA yang menyertai atau menyerupai DKI, karena DKI sendiri merupakan diagnosis eksklusi tanpa tes konfirmatif.1 Hasil tes tempel yang negatif, didukung riwayat paparan yang relevan, memperkuat diagnosis DKI.8 Tes ini biasanya memerlukan rujukan ke spesialis.
Pemeriksaan KOH (Kerokan Kulit): Direkomendasikan jika tinea korporis masuk dalam diagnosis banding, terutama pada lesi anular atau yang menyerupai herald patch.3 Pemeriksaan ini dapat dilakukan di tempat praktik dokter umum.
Serologi Sifilis (VDRL/RPR): Perlu dipertimbangkan pada individu aktif secara seksual dengan ruam menyerupai PR, terutama jika melibatkan telapak tangan/kaki atau presentasinya atipikal, karena sifilis sekunder merupakan diagnosis banding penting.3
Biopsi Kulit: Tidak rutin diperlukan untuk kasus DKI atau PR yang tipikal.2 Gambaran histopatologi keduanya dapat menunjukkan dermatitis spongiotik non-spesifik.7 Namun, biopsi dapat sangat membantu pada kasus atipikal, persisten, atau yang sulit didiagnosis untuk membedakannya dari kondisi lain seperti psoriasis, liken planus, erupsi obat, atau limfoma kulit T-sel.3 Beberapa petunjuk histologis halus mungkin ada, seperti ekstravasasi sel darah merah pada PR.7
Dermoskopi: Dapat menjadi alat bantu tambahan untuk membedakan PR (latar belakang kekuningan, skuama perifer, pembuluh darah titik terdistribusi patchy) 7 dari kondisi lain, berpotensi mengurangi kebutuhan biopsi pada beberapa kasus.20
Tabel berikut merangkum perbedaan kunci antara DKI dan PR sebagai panduan cepat:
Fitur (Feature) | Dermatitis Kontak Iritan (DKI) | Pitiriasis Rosea (PR) |
Etiologi Utama (Main Etiology) | Kontak langsung dengan iritan (kimia, fisik) 12 | Tidak diketahui, diduga reaktivasi HHV-6/7 2 |
Mekanisme (Mechanism) | Kerusakan kulit non-imunologis 6 | Kemungkinan dimediasi imun (sel T) 25 |
Gejala Dominan (Dominant Symptom) | Rasa terbakar, perih, nyeri > gatal 8 | Gatal (bervariasi, bisa hebat) 3 |
Onset Lesi (Lesion Onset) | Cepat (menit-jam) setelah kontak 12 | Herald patch dulu, ruam sekunder 5-15 hari kemudian 3 |
Herald Patch | Tidak ada | Ada pada ~80% kasus 4 |
Morfologi Khas (Typical Morph.) | Eritema, edema, vesikel (akut); Likenifikasi, fisura (kronik) 12 | Plak/papul oval, skuama halus 'collarette' 3 |
Distribusi Khas (Typical Distr.) | Area kontak, sering tangan, batas tegas 8 | Trunkal ('Christmas tree'), leher, ekstremitas proksimal 3 |
Tes Tempel (Patch Test) | Negatif (untuk menyingkirkan DKA) 8 | Negatif / Tidak relevan |
Pemeriksaan KOH (KOH Exam) | Negatif / Tidak relevan | Negatif (untuk menyingkirkan tinea) 3 |
Perjalanan Penyakit (Course) | Membaik setelah iritan dihindari 10 | Swasirna (Self-limiting) (biasanya 6-8 minggu) 3 |
Berikut adalah pendekatan langkah demi langkah yang disederhanakan:
Anamnesis & Pemeriksaan Fisik: Kumpulkan riwayat detail (paparan, prodrome, gejala) & lakukan pemeriksaan kulit lengkap (morfologi, distribusi).
Curigai DKI? Jika riwayat paparan iritan jelas, gejala dominan terbakar/perih, lesi terbatas area kontak -> Pertimbangkan DKI. Konfirmasi dengan observasi perbaikan setelah penghindaran iritan. Jika ragu, persisten, atau terkait pekerjaan -> Rujuk untuk Tes Tempel guna menyingkirkan DKA.8
Curigai PR? Jika ada herald patch, riwayat prodromal, ruam sekunder khas (oval, collarette, pola pohon cemara) -> Diagnosis klinis PR kemungkinan besar.3
Presentasi Atipikal / Diagnosis Meragukan?
Lesi anular? -> Lakukan pemeriksaan KOH untuk menyingkirkan tinea.3
Melibatkan telapak tangan/kaki? Riwayat seksual relevan? -> Pertimbangkan pemeriksaan VDRL/RPR untuk menyingkirkan sifilis sekunder.3
Ruam persisten (>3 bulan)? Morfologi sangat atipikal? -> Pertimbangkan biopsi kulit & Rujuk ke Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (Sp.KK/Sp.DV) untuk menyingkirkan diagnosis banding lain (psoriasis, CTCL, erupsi obat, dll.).10
Alur diagnosis ini seringkali bergantung pada identifikasi tanda positif PR (seperti herald patch dan pola khas) atau penyingkiran kondisi lain dan DKA untuk sampai pada diagnosis DKI. Dokter umum dapat dengan percaya diri mendiagnosis PR tipikal secara klinis, namun harus memiliki rencana investigasi atau rujukan yang jelas ketika menghadapi gambaran atipikal atau ketidakpastian diagnostik.
Prinsip utama dalam Diagnosis dan Terapi Dermatitis Kontak Iritan yang efektif adalah identifikasi dan penghindaran iritan penyebab.1 Tatalaksana DKI secara fundamental berfokus pada pencegahan dan pemulihan barier kulit, bukan semata intervensi farmakologis.
Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan iritan tersangka (1B)
Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan apron, sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit. (2B)
Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, serta perjalanan penyakit yang akan lama walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi lingkungan pekerjaan, perawatan kulit. (2B)
Anjuran penggunaan barrier cream/krim pelindung. (1B) Krim diaplikasikan sebelum dan sesudah bekerja (1A)45
Sistemik: simtomatis, sesuai gejala dan sajian klinis
Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid oral setara dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari).(1C)
Pelembap setelah bekerja/after work cream. Disarankan pelembap yang kaya kandungan lipid,petrolatum (1A).
Sesuai dengan sajian klinis
Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%.
Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang, misalnya flusinolon asetoid.(1A)
Bila dermatitis berjalan kronis dapat diberikan mometason furoate intermiten(1B)
Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid bisa diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi dengan BB/NB UVB (2B) atau obat sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin5 (1A). Bila ada superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal/sistemik (2C) 45
Edukasi Pasien: Edukasi mengenai cara menghindari iritan, perawatan kulit yang benar, dan penggunaan alat pelindung diri merupakan komponen vital dalam tatalaksana.10 Keberhasilan terapi sangat bergantung pada kepatuhan pasien terhadap strategi penghindaran dan perlindungan.
Gambar 3. Bagan Alur tatalaksana DKI45
Perlu ditekankan kembali bahwa PR umumnya merupakan penyakit swasirna yang akan sembuh sendiri dalam 6-8 minggu, sehingga seringkali hanya memerlukan reassurance (penentraman) dan tatalaksana simtomatik.3 Penilaian tingkat keparahan ruam dan dampaknya terhadap kualitas hidup pasien penting dilakukan.11
Terapi Simptomatik: Untuk mengatasi pruritus, dapat diberikan emolien, kortikosteroid topikal potensi rendah hingga sedang, dan antihistamin oral.25 Meskipun peran histamin dalam PR tidak jelas, antihistamin sering digunakan karena efek sedatifnya atau untuk meredakan gatal.39 Losio kalamin juga dapat membantu.39
Topikal
Bila gatal sangat mengganggu:
Larutan anti pruritus seperti calamine lotion. (1A)
Kortikosteroid topikal. (1A)
Apabila gatal sangat mengganggu dapat diberikan antihistamin seperti cetirizin 1x10 mg per hari. (1A)
Kortikosteroid sistemik. (1C)
Eritromisin oral 4x250 mg/hari selama 14 hari.7(1A)
Asiklovir3x400 mg/hari per oral selama 7 hari4,5 diindikasikan sebagai terapi pada awal perjalanan penyakit yang disertai flu-like symptoms atau keterlibatan kulit yang luas (1A)
Dapat pula dilakukan fototerapi: narrowband ultraviolet B (NB-UVB) dengan dosis tetap sebesar 250 mJ/cm2 3 kali seminggu selama 4 minggu. (1B) 45
Kehamilan: PR pada kehamilan dilaporkan berpotensi terkait dengan luaran kehamilan yang merugikan. Acyclovir dan Valacyclovir termasuk dalam Kategori B (berdasarkan sistem kategorisasi lama), sehingga penggunaannya pada kehamilan mungkin aman di bawah pengawasan spesialis.4
Membedakan antara Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Pitiriasis Rosea (PR) merupakan hal penting dalam praktik dokter umum karena perbedaan mendasar dalam penyebab dan tatalaksananya. DKI adalah reaksi non-imunologis terhadap paparan iritan eksternal yang memerlukan identifikasi, penghindaran iritan, dan perawatan barier kulit sebagai kunci manajemen.
Sebaliknya, PR adalah erupsi swasirna, kemungkinan terkait reaktivasi virus herpes, yang umumnya ditangani secara simtomatik untuk meredakan gatal. Namun, pada kasus PR yang berat, terapi antivirus Acyclovir oral terbukti dapat mempercepat penyembuhan dan mengurangi gejala.
Diagnosis yang akurat dapat dicapai melalui anamnesis yang teliti mengenai riwayat paparan (untuk DKI) atau adanya prodrome dan herald patch (untuk PR), serta pemeriksaan fisik yang cermat untuk mengidentifikasi morfologi dan pola distribusi lesi yang khas.
Pemeriksaan penunjang seperti tes tempel, KOH, serologi sifilis, atau biopsi kulit berperan penting dalam menyingkirkan diagnosis banding pada kasus yang meragukan atau atipikal. Penggunaan algoritma diagnostik yang disajikan dalam artikel ini diharapkan dapat membantu dokter umum dalam mengambil keputusan klinis yang tepat dan memberikan tatalaksana berbasis bukti yang optimal bagi pasien dengan kedua kondisi dermatosis umum ini.
Irritant Contact Dermatitis - a Review - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35433115/
Beyond the Herald Patch: Exploring the Complex Landscape of Pityriasis Rosea - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39798062/
Clinical variants of pityriasis rosea - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5480068/
Pityriasis Rosea: An Updated Review - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32964824/
Analysis of Types of Skin Lesions and Diseases in Everyday Infectious Disease Practice—How Experienced Are We?, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9319552/
Allergic and irritant contact dermatitis - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19447733/
Pityriasis rosea: A histopathologic study | Request PDF - ResearchGate, diakses April 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/46579210_Pityriasis_rosea_A_histopathologic_study
Irritant Contact Dermatitis - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30293200/
Causes of irritant contact dermatitis after occupational skin exposure: a systematic review, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34665298/
Irritant Contact Dermatitis — a Review - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8989112/
A position statement on the management of patients with pityriasis rosea - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27406919/
Contact Dermatitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459230/
Contact Dermatitis - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29083649/
Diseases from the Spectrum of Dermatitis and Eczema: Can “Omics” Sciences Help with Better Systematics and More Accurate Differential Diagnosis? - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10342122/
Contact dermatitis: evaluation and treatment - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10217916/
Irritant contact dermatitis: a review - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18186838/
Irritant contact dermatitis - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25274939/
Guideline contact dermatitis: S1-Guidelines of the German Contact Allergy Group (DKG) of the German Dermatology Society (DDG), the Information Network of Dermatological Clinics (IVDK), the German Society for Allergology and Clinical Immunology (DGAKI), the Working Group for Occupational and Environmental Dermatology (ABD) of the DDG, the, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4484750/
Interventions for pityriasis rosea - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31684696/
An Observational Study of Dermoscopic and Histopathological Correlation in Spongiotic Disorders - A Hospital Based Cross Sectional Study - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10869016/
(PDF) Management of contact dermatitis - ResearchGate, diakses April 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/369405173_Management_of_contact_dermatitis
Diagnosis and Management of Contact Dermatitis - AAFP, diakses April 14, 2025, https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2010/0801/p249.html
Atopic Dermatitis: Epidemiology and Clinical Phenotypes - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8648436/
Dermatologic Drug Reactions, Contact Dermatitis, and Common Skin Conditions | Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 11e | AccessPharmacy, diakses April 14, 2025, https://accesspharmacy.mhmedical.com/CONTENT.ASPX?bookid=2577§ionid=239762003
Pityriasis Rosea - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448091/
Pityriasis Rosea - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28846360/
Pityriasis rosea - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/14727822/
Pityriasis rosea: an update with a critical appraisal of its possible herpesviral etiology - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19615540/
Pityriasis Rosea: An Update on Etiopathogenesis and Management of Difficult Aspects, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4966395/
Pityriasis Rosea: Diagnosis and Treatment - AAFP, diakses April 14, 2025, https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2018/0101/p38.html
Concurrent pityriasis rosea and Bell's palsy - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5278325/
Pityriasis rosea-like adverse reaction: review of the literature and experience of an Italian drug-surveillance center - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16638369/
Pityriasis rosea - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26514823/
Allergic Contact Dermatitis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 14, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532866/
Diagnosis and management of contact dermatitis - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20672788/
Contact Dermatitis: Classifications and Management - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34264448/
Spongiotic reaction patterns in autoimmune bullous dermatoses (Review) - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8495556/
Dermatopathological Correlation of Clinically Challenging Cutaneous Lesions: a Single Center Experience of 2184 Cases, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9682974/
The use of antivirals in severe or recalcitrant cases of pityriasis rosea: A case series - PMC, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9489874/
Interventions for pityriasis rosea - PMC - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6819167/
Effectiveness of acyclovir in the treatment of pityriasis rosea. A systematic review and meta-analysis - PubMed Central, diakses April 14, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6106661/
Effectiveness of acyclovir in the treatment of pityriasis rosea. A systematic review and meta-analysis - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30156618/
The efficacy of oral acyclovir during early course of pityriasis rosea: a systematic review and meta-analysis - PubMed, diakses April 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30109959/
SEO for Doctors and Medical Practices - Rosemont Media, diakses April 14, 2025, https://www.rosemontmedia.com/search-engine-optimization/
Dermatitis Kontak Irritan – Panduan Praktik Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia Tahun 2021