20 Jun 2025 • Interna , Pulmonologi
Dokter umum di Indonesia seringkali dihadapkan pada tantangan diagnostik yang signifikan ketika pasien datang dengan keluhan demam berkepanjangan disertai gejala konstitusional seperti malaise atau penurunan nafsu makan.
Dua penyakit infeksi utama yang menjadi diagnosis banding utama dalam skenario ini adalah Demam Tifoid (selanjutnya disebut Tifoid) dan Tuberkulosis (TB). Keduanya merupakan penyakit endemik dengan beban kasus yang tinggi di Indonesia , dan manifestasi klinis awal yang seringkali tumpang tindih membuat pembedaan menjadi sulit.
Pentingnya diagnosis yang akurat dan tepat waktu tidak dapat dilebih-lebihkan. Diagnosis yang tepat mengarahkan pada "Diagnosis dan Terapi Demam Tifoid" atau "Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis" yang sesuai, yang krusial untuk manajemen pasien yang efektif, mencegah komplikasi serius seperti perforasi intestinal pada tifoid atau penyakit TB yang berat , serta mengendalikan penularan di komunitas.
Sifat gejala awal yang non-spesifik pada kedua penyakit ini mengharuskan adanya indeks kecurigaan yang tinggi dan pendekatan diagnostik yang terstruktur, tidak hanya mengandalkan gambaran klinis semata. Prevalensi kedua penyakit yang tinggi di Indonesia menjadikan diagnosis banding ini sangat relevan dan menantang dalam praktik sehari-hari dibandingkan dengan daerah dengan endemisitas yang lebih rendah.
Gambar 1. Manifestasi sistemik demam tifoid
Artikel ini bertujuan untuk menyajikan pendekatan diagnostik praktis berbasis bukti ilmiah dari literatur terindeks PubMed, yang dirancang khusus untuk dokter umum di Indonesia. Fokusnya adalah pada faktor pembeda kunci dalam epidemiologi, manifestasi klinis, dan strategi diagnostik, termasuk interpretasi dan keterbatasan tes yang tersedia, untuk membantu membedakan antara Tifoid dan TB.
Memahami epidemiologi d faktor risiko masing-masing penyakit dapat memberikan petunjuk awal dalam proses diagnosis banding.
Demam Tifoid:
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotipe Typhi (dan pada tingkat lebih rendah, serotipe Paratyphi A, B, C). Penularan utama terjadi melalui rute fekal-oral, terutama melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi feses penderita atau karier kronis. Oleh karena itu, faktor sanitasi, kebersihan, dan akses terhadap air bersih (Water, Sanitation, and Hygiene - WASH) merupakan determinan risiko utama.
Studi menunjukkan bahwa sumber air yang tidak terlindungi (misalnya, air permukaan, sumur tak terlindungi), penggunaan wadah air yang kotor, dan kurangnya fasilitas cuci tangan dengan sabun secara signifikan meningkatkan risiko. Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, memiliki beban kasus Tifoid yang tinggi, dengan studi menunjukkan insiden yang signifikan di Jakarta dan wilayah lain, terutama di area dengan sanitasi buruk.
Insiden puncak sering terjadi pada anak-anak usia sekolah dan dewasa muda. Meskipun karier kronis dapat menjadi sumber penularan, peran mereka dalam transmisi di daerah endemik seperti Indonesia mungkin belum sepenuhnya dipahami dibandingkan daerah non-endemik.
Gambar 2. Representasi etiologi mikroba yang paling sering berdasarkan Lokasi
Tuberkulosis:
TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Indonesia menempati peringkat tinggi secara global untuk insiden TB. Penyakit ini dapat bermanifestasi sebagai TB Paru (PTB), yang paling umum, atau TB Ekstra Paru (EPTB), yang melibatkan organ selain paru-paru seperti kelenjar getah bening, pleura, tulang, sendi, sistem saraf pusat, dll.
Proporsi EPTB cukup signifikan, dilaporkan sekitar 16-33% dari total kasus TB di berbagai studi, yang berarti presentasi TB bisa sangat bervariasi dan menyerupai infeksi sistemik lainnya, termasuk Tifoid. Faktor risiko utama untuk berkembang menjadi TB aktif (dari infeksi laten/LTBI) meliputi kondisi imunokompromais (infeksi HIV adalah faktor risiko utama ) diabetes melitus , malnutrisi, merokok, dan kontak erat dengan penderita TB aktif.
Sebagian besar individu yang terinfeksi Mtb akan mengalami LTBI, di mana bakteri berada dalam keadaan dorman namun berpotensi untuk reaktivasi di kemudian hari, terutama jika sistem imun melemah. Menariknya, satu studi di Beijing menemukan bahwa diabetes mungkin kurang berasosiasi dengan EPTB dibandingkan PTB.
Kondisi WASH yang buruk (faktor risiko Tifoid ) seringkali berjalan beriringan dengan faktor-faktor yang meningkatkan risiko TB, seperti kemiskinan, malnutrisi, dan kondisi hidup padat yang tersirat dari sanitasi yang buruk.
Tumpang tindih pada populasi rentan ini meningkatkan kemungkinan kedua penyakit ditemukan di komunitas yang sama, sehingga mempersulit diagnosis hanya berdasarkan latar belakang sosio-demografis.
Selain itu, meskipun Tifoid secara klasik memuncak pada usia anak/dewasa muda , TB dapat menyerang semua usia, dengan reaktivasi umum terjadi pada usia lanjut atau kondisi imunokompromais. Satu studi menunjukkan EPTB mungkin lebih sering pada wanita usia muda. Perbedaan usia/jenis kelamin ini dapat menjadi petunjuk ringan namun tidak definitif.
Meskipun gejala awal sering tumpang tindih, beberapa perbedaan dalam pola dan kelompok gejala dapat membantu mengarahkan diagnosis.
Pola Demam:
Tifoid: Secara klasik digambarkan memiliki onset bertahap dengan pola demam "step-ladder" (naik bertahap setiap hari), namun pola ini kini jarang terlihat karena penggunaan antibiotik dini. Demam tinggi yang (sustained) atau remiten selama lebih dari 7-14 hari adalah kunci.
TB: Demam berkepanjangan juga umum , seringkali memiliki pola diurnal (lebih tinggi di sore/malam hari) dan disertai keringat malam yang signifikan.
Gejala Konstitusional:
Kelelahan, malaise, anoreksia, dan penurunan berat badan dapat terjadi pada kedua penyakit. Penurunan berat badan mungkin lebih nyata atau bersifat kronis pada TB.
Gejala Gastrointestinal (GI):
Tifoid: Sangat umum. Nyeri/ketidaknyamanan perut, mual, muntah sering terjadi. Pola buang air besar bisa bervariasi, seringkali konstipasi di awal penyakit, diikuti diare ("pea soup stool") di minggu kedua atau ketiga. Risiko komplikasi serius seperti perdarahan atau perforasi usus perlu diwaspadai.
TB: Gejala GI kurang dominan pada PTB, namun menjadi gejala utama pada EPTB Abdomen (nyeri, perubahan kebiasaan BAB, tanda obstruksi).
Gejala Respirasi:
Tifoid: Batuk kering non-produktif dapat menyertai demam. Pneumonia tifosa merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
TB (Paru): Batuk persisten (>2-3 minggu) adalah gejala kardinal, awalnya mungkin kering lalu menjadi produktif, kadang disertai dahak bercampur darah (hemoptisis). Nyeri dada dan sesak napas juga bisa ditemukan.
TB (Pleura - EPTB): Nyeri dada pleuritik (tajam saat bernapas), batuk, dan demam.
Tanda Spesifik (jika ada):
Tifoid: Rose spots (ruam makulopapular merah muda pucat, diameter 2-4 mm, hilang bila ditekan, muncul di dada/perut pada minggu kedua, seringkali transien dan mudah terlewat) , bradikardia relatif (denyut nadi lebih lambat dari yang diharapkan untuk tingkat demam) , hepatomegali dan/atau splenomegali.
TB: Limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening, terutama servikal pada EPTB) , tanda-tanda spesifik sesuai lokasi EPTB (misal, defisit neurologis pada meningitis TB , pembengkakan sendi pada TB tulang ). Jari tabuh (clubbing) pada PTB lanjut.
Presentasi Atipikal:
Penting untuk diingat bahwa presentasi atipikal sering terjadi pada kedua penyakit, terutama pada pasien imunokompromais (HIV, diabetes), usia sangat muda, atau usia lanjut. Strain bakteri yang resisten terhadap obat (MDR/XDR) juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih berat.
Meskipun gejala individual banyak tumpang tindih, memperhatikan kelompok gejala yang khas dapat membantu. Misalnya, demam berkepanjangan + gangguan GI + sakit kepala lebih mengarah ke Tifoid, sedangkan demam berkepanjangan + batuk kronis + keringat malam + penurunan berat badan lebih mengarah ke PTB.
EPTB tetap menjadi pembaur utama. Selain itu, evolusi temporal gejala bisa informatif; Tifoid seringkali memiliki onset yang lebih akut/subakut (inkubasi 6-30 hari , gejala berkembang dalam 1-2 minggu), sementara TB (terutama reaktivasi) bisa lebih insidious dan kronis. Gejala tertentu, meskipun tidak selalu ada, merupakan tanda bahaya (red flags) yang kuat untuk salah satu penyakit atau komplikasinya (misalnya, nyeri perut hebat atau perdarahan GI untuk komplikasi Tifoid ; hemoptisis atau tanda neurologis fokal untuk TB ).
Tabel 1: Perbandingan Gambaran Klinis Umum Demam Tifoid vs Tuberkulosis
Fitur Klinis | Demam Tifoid | Tuberkulosis (Pulmoner & Ekstrapulmoner) |
Onset Demam | Umumnya bertahap (insidious) | Bervariasi, bisa insidious (terutama reaktivasi) |
Pola Demam | Klasik: Step-ladder; Umum: Sustained/Remiten | Sering diurnal (tinggi sore/malam), keringat malam |
Durasi Demam (tanpa terapi) | > 7-14 hari, bisa 3-4 minggu | Berkepanjangan (> 2-3 minggu) |
Batuk | Sering batuk kering | Kardinal PTB: > 2-3 minggu, produktif/hemoptisis |
Gejala Gastrointestinal | Sangat Umum: Nyeri perut, mual, konstipasi/diare | Kurang umum pada PTB; utama pada EPTB Abdomen |
Sakit Kepala | Sangat Umum | Bisa ada, terutama pada meningitis TB |
Keringat Malam | Bisa ada, tapi kurang khas | Sangat Khas untuk TB |
Penurunan Berat Badan | Bisa ada, terutama jika berkepanjangan | Umum dan sering signifikan pada TB |
Nyeri Sendi/Otot | Umum (Myalgia, Arthralgia) | Umum (Arthralgia); spesifik pada TB Tulang/Sendi |
Ruam Khas | Rose spots (jarang, transien) | Tidak ada ruam khas; bisa ada lesi kulit pada EPTB kulit |
Pembesaran Kelenjar Getah Bening | Jarang, bisa sedikit servikal/mesenterika | Umum pada EPTB Limfadenitis (sering servikal) |
Hepatosplenomegali | Cukup Umum | Bisa ada pada TB milier atau EPTB hati/limpa |
Bradikardia Relatif | Cukup Khas | Tidak Khas |
Pendekatan sistematis diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Terfokus:
Anamnesis: Gali durasi dan pola demam, gejala spesifik (GI, respirasi, neurologis, konstitusional), riwayat paparan (kontak TB, sumber air/makanan , perjalanan), faktor risiko (HIV, diabetes, obat imunosupresan ), dan riwayat vaksinasi (Tifoid ).
Pemeriksaan Fisik: Periksa tanda vital (cari bradikardia relatif pada Tifoid ), cari tanda spesifik (rose spots, limfadenopati, hepatosplenomegali, temuan auskultasi paru, defisit neurologis, tanda EPTB lain).
Investigasi Awal:
Darah Lengkap (CBC): Pada Tifoid, sering ditemukan leukopenia atau jumlah leukosit normal , mungkin disertai limfositosis relatif atau aneosinofilia. Pada TB, bisa leukositosis, normal, atau leukopenia; anemia penyakit kronis sering ditemukan. Trombositopenia dapat terjadi pada Tifoid berat.
Laju Endap Darah (LED) / C-Reactive Protein (CRP): Biasanya meningkat pada kedua kondisi sebagai penanda inflamasi non-spesifik. Peningkatan bisa sangat tinggi pada TB.
Fungsi Hati (LFT): Bisa sedikit terganggu pada Tifoid ; peningkatan signifikan menandakan komplikasi hepatitis. Dapat juga terpengaruh pada TB (EPTB hati atau efek obat).
Alur Diagnosis Spesifik:
Kecurigaan Tifoid:
Kultur Darah: Merupakan baku emas, namun sensitivitasnya moderat (40-80%) dan menurun drastis jika pasien sudah mengonsumsi antibiotik. Membutuhkan fasilitas laboratorium yang memadai. Penggunaan antibiotik yang luas dan seringkali empiris di Indonesia semakin menurunkan nilai diagnostik kultur darah negatif.
Kultur Sumsum Tulang: Sensitivitas lebih tinggi (~90%) dan kurang terpengaruh antibiotik sebelumnya, namun prosedurnya invasif dan tidak praktis untuk layanan primer.
Tes Serologi (Widal, Tes Cepat - TUBEX/Typhidot):
Widal: Tes klasik ini memiliki banyak keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas, terutama di daerah endemik karena paparan sebelumnya atau infeksi lain, sehingga berisiko tinggi overdiagnosis.
Tes Cepat (TUBEX, Typhidot): Mendeteksi IgM/IgG. Performanya sangat bervariasi dalam berbagai studi, dengan sensitivitas dan spesifisitas yang umumnya moderat. Studi WHO menunjukkan utilitas klinis yang suboptimal. Secara khusus, tes TUBEX TF yang umum digunakan di Indonesia, menunjukkan sensitivitas tinggi namun spesifisitas rendah dalam studi lokal, mengakibatkan banyak diagnosis positif palsu. Keterbatasan ini perlu dipahami oleh dokter.
PCR: Menjanjikan untuk diagnosis cepat, terutama nested PCR, namun laporan sensitivitas/spesifisitas bervariasi dan ketersediaannya terbatas. Belum semapan tes molekuler untuk TB.
Kecurigaan TB:
Rontgen Toraks (CXR): Langkah awal esensial jika curiga PTB. Temuan bervariasi tergantung tipe TB: primer (limfadenopati hilar, infiltrat lobus tengah/bawah) atau pasca-primer/reaktivasi (infiltrat/kavitas di apeks). CXR normal tidak menyingkirkan TB, terutama EPTB atau PTB dini.
Pemeriksaan BTA Sputum: Cepat dan murah, namun sensitivitas rendah, terutama pada EPTB, koinfeksi HIV, atau kasus paucibacillary (jumlah kuman sedikit). Perlu pemeriksaan minimal 3 sampel (SPS: Sewaktu-Pagi-Sewaktu).
Tes Cepat Molekuler (TCM) / GeneXpert MTB/RIF: Direkomendasikan oleh WHO/IDSA. Jauh lebih sensitif dibanding BTA, mendeteksi Mtb sekaligus resistensi terhadap Rifampisin dalam beberapa jam. Tes ini mengubah lanskap diagnosis TB. Xpert Ultra lebih sensitif namun berpotensi mendeteksi DNA non-viable. Ketersediaan dan pemanfaatannya di layanan primer atau pusat rujukan terdekat sangat krusial.
Kultur TB: Baku emas untuk konfirmasi dan Uji Kepekaan Obat (UKO/DST), namun hasilnya lama (berminggu-minggu). Sangat penting untuk panduan terapi TB Resisten Obat (TB RO).
Tes untuk EPTB: Menantang karena sifat paucibacillary. Membutuhkan spesimen dari lokasi yang terinfeksi (aspirasi KGB, cairan pleura, cairan serebrospinal, biopsi jaringan). Tes penunjang: Adenosine Deaminase (ADA) dalam cairan pleura/serebrospinal (kadar tinggi sugestif TB) , IGRA pada cairan tubuh (misal, cairan pleura), histopatologi (granuloma kaseosa). TCM/Xpert dapat digunakan pada sampel EPTB (sensitivitas bervariasi). Pemeriksaan untuk mencari PTB penyerta (sputum BTA/TCM, CXR) tetap penting. Diagnosis EPTB sering memerlukan rujukan ke spesialis untuk prosedur invasif.
Tes Imunologi (IGRA/TST): Mendeteksi adanya infeksi TB laten (LTBI), tidak dapat membedakan antara infeksi laten dan penyakit aktif. Dapat mendukung diagnosis dalam konteks klinis yang sesuai, namun hasil negatif tidak menyingkirkan TB aktif, terutama pada pasien imunokompromais atau sakit berat.
Gambar 3. Alur diagnosis TB
Tidak ada tes tunggal yang sempurna untuk kedua penyakit ini. Keterbatasan sensitivitas kultur darah Tifoid dan tes sputum TB , ketidakandalan tes serologi Tifoid , serta kesulitan diagnosis EPTB menciptakan ketidakpastian diagnostik. Hal ini memaksa klinisi mengandalkan kombinasi penilaian klinis, tes yang tersedia, dan konteks epidemiologi.
Membedakan Tifoid dan TB secara akurat sangat penting karena strategi pengobatan kedua penyakit ini sangat berbeda. Kesalahan diagnosis dapat berakibat fatal: memberikan obat anti-TB pada pasien Tifoid tidak akan efektif dan menunda terapi yang tepat, sementara memberikan antibiotik Tifoid pada pasien TB tidak akan menyembuhkan TB dan berisiko mendorong resistensi obat. Oleh karena itu, penegakan "Diagnosis dan Terapi Demam Tifoid" yang benar versus "Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis" yang benar adalah fondasi manajemen pasien yang berhasil.
Tantangan diperumit oleh meningkatnya resistensi antimikroba (AMR) pada kedua patogen:
Demam Tifoid: Munculnya dan penyebaran global S. Typhi yang resisten terhadap banyak obat (MDR - resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin, kotrimoksazol) dan resisten secara ekstensif (XDR - MDR ditambah resistensi terhadap fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ketiga) menjadi ancaman serius. Resistensi terhadap fluorokuinolon (misalnya, ciprofloxacin) sendiri sudah sangat luas, terutama di Asia. WHO saat ini merekomendasikan azitromisin, seftriakson, atau siprofloksasin sebagai pilihan utama, namun resistensi terhadap obat-obat ini pun telah dilaporkan. Strain XDR mungkin memerlukan terapi dengan azitromisin atau bahkan karbapenem. Diagnosis yang akurat dan pengetahuan tentang pola resistensi lokal (jika tersedia) menjadi krusial dalam pemilihan antibiotik yang efektif.
Tuberkulosis: TB Resisten Obat (TB RO), terutama MDR-TB (resisten terhadap isoniazid dan rifampisin) dan XDR-TB, merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar di Indonesia dan dunia. UKO/DST, baik melalui kultur atau tes molekuler cepat seperti TCM/Xpert MTB/RIF, sangat penting untuk memandu pemilihan rejimen pengobatan multi-obat yang tepat. Pedoman terbaru merekomendasikan rejimen pengobatan yang lebih pendek dan sepenuhnya oral untuk beberapa kasus TB RO, menggunakan obat-obat baru seperti bedaquiline dan linezolid.
Bagi dokter umum, implikasinya adalah kehati-hatian dalam pemberian terapi empiris. Pilihan antibiotik awal harus mempertimbangkan pola resistensi lokal yang mungkin ada dan diagnosis yang paling mungkin berdasarkan penilaian klinis dan hasil tes awal yang tersedia.
Mengingat kompleksitas pengobatan TB RO dan Tifoid berat atau resisten, rujukan segera ke spesialis atau fasilitas kesehatan yang lebih lengkap seringkali diperlukan untuk konfirmasi diagnosis, penentuan kepekaan obat, dan manajemen lanjutan.
Tantangan AMR yang signifikan pada kedua penyakit ini menekankan kembali pentingnya diagnosis akurat untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak tepat, yang dapat memperburuk masalah resistensi.
Ketersediaan tes diagnostik molekuler cepat yang dapat sekaligus mendeteksi patogen dan penanda resistensi kunci (seperti TCM/Xpert MTB/RIF untuk TB ) merupakan kemajuan besar karena menghubungkan diagnosis langsung dengan panduan terapi awal, suatu kemampuan yang saat ini lebih mapan untuk TB dibandingkan Tifoid dalam praktik rutin.
Membedakan Demam Tifoid dan Tuberkulosis pada pasien dengan demam berkepanjangan di layanan primer Indonesia merupakan tantangan diagnostik yang nyata karena kesamaan gejala awal dan prevalensi kedua penyakit yang tinggi. Pendekatan yang terstruktur dan berbasis bukti sangat penting untuk mencapai diagnosis yang akurat dan memulai terapi yang tepat.
Pesan Kunci untuk Dokter Umum:
Indeks Kecurigaan Tinggi: Pertahankan kecurigaan terhadap Tifoid dan TB pada pasien dengan demam > 7 hari, terutama jika disertai gejala konstitusional, riwayat paparan yang relevan, atau berasal dari area endemik/dengan kondisi WASH kurang baik.
Pendekatan Terstruktur: Gunakan kombinasi anamnesis mendalam (pola demam, gejala dominan GI vs. respirasi, faktor risiko), pemeriksaan fisik cermat (cari tanda spesifik), dan pemeriksaan penunjang awal (darah lengkap, LED/CRP).
Pahami Keterbatasan Tes: Waspadai keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas tes yang umum tersedia seperti Widal, tes cepat Tifoid (misalnya TUBEX), dan BTA sputum. Hasil negatif tidak selalu menyingkirkan penyakit, terutama jika ada riwayat penggunaan antibiotik atau kecurigaan EPTB/kasus paucibacillary.
Manfaatkan Teknologi Diagnostik: Gunakan Rontgen Toraks sebagai langkah awal penting jika curiga TB. Upayakan akses dan penggunaan Tes Cepat Molekuler (TCM/Xpert MTB/RIF) untuk diagnosis TB yang lebih cepat dan sensitif, serta deteksi resistensi Rifampisin.
Waspadai EPTB: Ingat bahwa TB tidak selalu bermanifestasi di paru. Curigai EPTB jika ada tanda/gejala spesifik organ (limfadenopati persisten, efusi pleura/perikardial, gejala neurologis, dll.). Diagnosis EPTB seringkali memerlukan rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut (biopsi, analisis cairan tubuh, ADA).
Kenali Tanda Bahaya: Identifikasi gejala atau tanda bahaya yang mengindikasikan penyakit berat atau komplikasi (misalnya, nyeri perut hebat/perdarahan GI pada Tifoid; hemoptisis masif, tanda meningitis pada TB) yang memerlukan tindakan segera atau rujukan.
Sadar Akan Resistensi Obat: Pahami bahwa AMR merupakan masalah signifikan baik pada Tifoid (MDR/XDR) maupun TB (MDR/XDR). Diagnosis yang akurat krusial untuk pemilihan terapi awal yang rasional dan mencegah perburukan AMR.
Ketahui Kapan Merujuk: Rujuk pasien ke spesialis atau fasilitas yang lebih lengkap jika diagnosis tidak pasti setelah pemeriksaan awal, pasien sakit berat, dicurigai komplikasi, dicurigai resistensi obat (terutama TB RO), atau memerlukan prosedur diagnostik invasif untuk EPTB.
Dokter umum berada di garda terdepan dan memainkan peran krusial dalam deteksi dini dan penentuan alur manajemen yang tepat untuk Tifoid dan TB. Kemampuan menerapkan algoritma diagnostik, mengenali keterbatasan sumber daya, dan melakukan rujukan tepat waktu akan sangat mempengaruhi prognosis pasien dan upaya kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Namun, keberhasilan dokter umum juga bergantung pada dukungan sistem kesehatan, termasuk peningkatan akses terhadap alat diagnostik yang andal seperti TCM/Xpert dan jalur rujukan yang jelas.
Enhancing Typhoid Fever Diagnosis Based on Clinical Data Using a Lightweight Machine Learning Metamodel - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11899580/
Typhoid and paratyphoid fever: a call to action - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6319573/
Tuberculous meningitis patient pathways and delays to diagnosis in Indonesia: a retrospective cohort study - PMC - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11812694/
An observational prospective cohort study of the epidemiology of ..., diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6977771/
The development of the national tuberculosis research priority in Indonesia: A comprehensive mixed-method approach - PubMed, diakses April 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36758064/
Clinical characteristics of enteric fever and performance of TUBEX ..., diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11315288/
Typhoid Fever - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 23, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557513/
Primary Lung Tuberculosis - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 23, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567737/
Clinical Manifestations - Tuberculosis in Adults and Children - NCBI Bookshelf, diakses April 23, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK344404/
Epidemiological characteristics of extrapulmonary tuberculosis patients with or without pulmonary tuberculosis - PMC - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9472030/
Diagnosis and management of severe pulmonary and extrapulmonary tuberculosis in critically ill patients: A mini review for clinicians - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11155508/
Extrapulmonary tuberculosis. A review - PubMed, diakses April 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/1341593/
Complications and mortality of typhoid fever: A global systematic review and meta-analysis, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7754788/
Typhoid fever: clinical presentation and associated factors in febrile patients visiting Shashemene Referral Hospital, southern Ethiopia - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6103867/
Introductory Article on Global Burden and Epidemiology of Typhoid Fever - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6128367/
Epidemiology of Extrapulmonary Tuberculosis among Inpatients, China, 2008–2017 - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6390737/
Clinical manifestations and diagnosis of extrapulmonary tuberculosis - PubMed, diakses April 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15227732/
Typhoid Fever - PubMed, diakses April 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32491445/
Typhoid Fever: Way Forward - PMC - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6128357/
Global Typhoid Fever Incidence: A Systematic Review and Meta-analysis - Oxford Academic, diakses April 23, 2025, https://academic.oup.com/cid/article/68/Supplement_2/S105/5371236
Typhoid fever - PubMed, diakses April 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38097589/
Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC1489205/
Diagnosis and Treatment of Extrapulmonary Tuberculosis - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4388900/
What pulmonologists need to know about extrapulmonary tuberculosis - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7910020/
Tuberculosis Overview - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses April 23, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/
Current Trends in the Management of Typhoid Fever - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4923770/
What Should We Be Recommending for the Treatment of Enteric Fever? - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10236504/
Overview of the impact of Typhoid and Paratyphoid fever. Utility of Ty21a vaccine (Vivotif®), diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5432773/
Treatment of Drug-Resistant Tuberculosis. An Official ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice Guideline - PMC - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6857485/
Treatment of enteric fever (typhoid and paratyphoid fever) with cephalosporins - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9686137/
Antimicrobial Resistance in Typhoidal Salmonella: Around the World in 3 Days | Clinical Infectious Diseases | Oxford Academic, diakses April 23, 2025, https://academic.oup.com/cid/article/71/Supplement_2/S91/5877831
Antibiotic Resistance and Typhoid | Clinical Infectious Diseases - Oxford Academic, diakses April 23, 2025, https://academic.oup.com/cid/article/68/Supplement_2/S165/5371231
Antimicrobial resistance and management of invasive Salmonella disease - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4469558/
Updates on the Treatment of Drug-Susceptible and Drug-Resistant Tuberculosis: An Official ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice Guideline - PMC - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11755361/
Updates on the Treatment of Drug-Susceptible and Drug-Resistant Tuberculosis: An Official ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice Guideline, diakses April 23, 2025, https://www.idsociety.org/practice-guideline/treatment-of-drug-susceptible-tb/treatment-of-drug-resistant-and-drug-susceptible-tb-2025-update/
Update of drug-resistant tuberculosis treatment guidelines: A turning point - PubMed, diakses April 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36918080/
ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice Guidelines for Treatment of Drug-Resistant Tuberculosis: A Two-edged Sword? - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7462409/
World Health Organization recommendations on the treatment of drug-resistant tuberculosis, 2020 update - PMC, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8176349/
Treatment of Drug-Resistant Tuberculosis - PMC - PubMed Central, diakses April 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7000172/
Treatment of Drug-Resistant Tuberculosis. An Official ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice Guideline - PubMed, diakses April 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31729908/
Updates on the Treatment of Drug-Susceptible and Drug-Resistant Tuberculosis: An Official ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice Guideline | American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, diakses April 23, 2025, https://www.atsjournals.org/doi/abs/10.1164/rccm.202410-2096ST
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran tata Laksana Tuberkulosis – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2020