29 Jul 2025 • Pulmonologi
1. Pendahuluan: Tantangan Diagnosis Penyakit Obstruksi Saluran Napas pada Usia Dewasa
Membedakan antara berbagai penyakit obstruksi saluran napas pada pasien dewasa, khususnya antara asma onset lambat (LOA) dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), merupakan tantangan diagnostik yang signifikan dalam praktik klinis sehari-hari.
Kedua kondisi ini, meskipun memiliki karakteristik inflamasi dan jalur patogenesis yang berbeda, seringkali menunjukkan gejala klinis yang tumpang tindih dan sama-sama menyebabkan keterbatasan aliran udara.
Pentingnya penegakan diagnosis yang akurat tidak dapat ditekankan secara berlebihan, mengingat hal ini akan berdampak langsung pada pemilihan strategi "Diagnosis dan Terapi Asthma" maupun "Diagnosis dan Terapi PPOK" yang secara fundamental berbeda.
Kesalahan dalam diagnosis dapat berujung pada pemberian terapi yang tidak optimal, paparan pasien terhadap potensi efek samping obat yang tidak perlu, dan yang lebih mengkhawatirkan, progresi penyakit yang tidak terkontrol dengan baik.
Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup populasi global, prevalensi LOA menunjukkan tren peningkatan. Fenomena ini, ditambah dengan tingginya prevalensi PPOK pada kelompok usia yang sama – di mana lebih dari 10% lansia di atas 60 tahun menderita asma dan 20-30% individu di atas 70 tahun menderita PPOK – menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "badai diagnostik".
Dokter Umum akan semakin sering dihadapkan pada pasien dewasa tua dengan gejala obstruktif saluran napas yang ambigu, sehingga urgensi untuk memahami nuansa diferensiasi kedua penyakit ini menjadi semakin krusial. Lebih jauh lagi, konsekuensi dari misdiagnosis tidak hanya terbatas pada respons terapi yang buruk bagi individu.
Kesalahan diagnosis juga membawa implikasi sosioekonomi yang lebih luas, seperti peningkatan biaya perawatan kesehatan akibat penggunaan sumber daya yang tidak tepat, misalnya, rawat inap yang sebenarnya dapat dicegah atau penggunaan obat-obatan mahal yang tidak sesuai target.
Sebagai contoh, biaya utama dalam penanganan asma seringkali terkait dengan obat-obatan, sementara PPOK cenderung memiliki dampak ekonomi yang lebih besar karena tingginya angka rawat inap. Jika terjadi kesalahan diagnosis, alokasi sumber daya ini menjadi tidak efisien, memperbesar beban ekonomi baik bagi pasien maupun sistem kesehatan.
2. Memahami Asma Onset Lambat (LOA): Karakteristik Kunci
Asma Onset Lambat (LOA) didefinisikan sebagai kondisi asma yang onset gejalanya baru muncul pada usia dewasa, umumnya diklasifikasikan terjadi pada usia ≥40 tahun atau lebih luas lagi sebagai "usia dewasa" tanpa batasan usia spesifik yang disepakati secara universal. Kriteria penting lainnya adalah tidak adanya riwayat gejala respiratorik persisten sebelumnya pada pasien tersebut.
Karakteristik klinis LOA seringkali menunjukkan beberapa perbedaan dibandingkan asma onset dini (EOA). Pasien LOA cenderung non-atopik atau memiliki status atopi yang lebih rendah. Dari segi gender, wanita dilaporkan lebih sering terkena LOA dibandingkan pria. Obesitas juga diidentifikasi sebagai faktor risiko signifikan dan karakteristik yang sering menyertai LOA, dan pada kelompok ini, fenotip non-atopik seringkali dominan.
Selain itu, paparan di lingkungan kerja (okupasional) dapat menjadi penyebab pada sebagian kasus LOA, diperkirakan sekitar 9-15%. Meskipun asma klasik sering dikaitkan dengan status non-perokok, riwayat merokok bisa saja ditemukan pada pasien LOA, bahkan pada beberapa subgrup, prevalensi perokok bisa lebih tinggi dibandingkan EOA.
Dari segi fungsi paru, penurunan tahunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) pada pasien LOA bisa berlangsung lebih cepat, terutama jika pasien tersebut juga perokok atau berusia lanjut. Patofisiologi LOA bersifat heterogen dan dapat dibagi menjadi dua subtipe utama: tipe dengan inflamasi Th2-tinggi (dominan eosinofilik) dan tipe non-Th2 (seringkali dominan neutrofilik atau paucigranulositik).
Perubahan pada sistem imun yang berkaitan dengan penuaan (immunosenescence), peningkatan stres oksidatif, dan inflamasi persisten diduga memainkan peran penting dalam perkembangan LOA. Pada LOA dengan karakteristik Th2, sel limfoid innate tipe 2 (ILC2) diketahui terlibat dan dapat diaktivasi oleh polutan udara. Faktor genetik dan perubahan struktural paru yang terkait usia juga diduga berkontribusi terhadap patogenesisnya.
Heterogenitas patofisiologi ini memiliki implikasi penting. Karena terapi standar asma, khususnya kortikosteroid inhalasi (ICS), paling efektif untuk mengatasi inflamasi tipe 2 (eosinofilik), maka tidak semua pasien LOA akan memberikan respons yang sama terhadap terapi tersebut. Pasien LOA dengan fenotip non-Th2 mungkin menunjukkan respons yang suboptimal terhadap ICS.
Hal ini menekankan perlunya pendekatan diagnostik yang lebih mendalam, termasuk penggunaan biomarker seperti hitung eosinofil darah atau sputum dan pengukuran Fraksi Oksida Nitrat Hembusan Napas (FeNO), untuk membantu mengidentifikasi fenotip inflamasi yang mendasari dan memandu strategi "Diagnosis dan Terapi Asthma" yang lebih personal pada pasien LOA.
Lebih lanjut, keterkaitan yang kuat antara LOA dengan obesitas dan faktor metabolik lainnya membuka perspektif bahwa LOA pada beberapa individu mungkin bukan hanya sekadar penyakit saluran napas lokal, melainkan juga merupakan manifestasi dari disregulasi inflamasi sistemik. Mengingat obesitas sendiri merupakan kondisi pro-inflamasi sistemik, maka penanganan obesitas dapat menjadi komponen penting dalam "Diagnosis dan Terapi Asthma" pada subgrup pasien ini, melampaui intervensi farmakologis inhalasi semata.
3. Mengenal Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK): Gambaran Umum
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat persisten, biasanya progresif, dan berhubungan dengan respons inflamasi kronis yang meningkat di saluran napas dan paru-paru terhadap paparan partikel atau gas berbahaya.
Salah satu ciri khas PPOK adalah keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, berbeda dengan asma yang umumnya menunjukkan reversibilitas yang lebih baik. Faktor risiko utama dan paling umum untuk PPOK adalah merokok tembakau.
Namun, paparan jangka panjang terhadap polusi udara, baik di luar ruangan maupun di dalam ruangan (termasuk asap dari bahan bakar biomassa untuk memasak atau pemanas), serta paparan okupasional terhadap debu dan bahan kimia juga merupakan faktor risiko penting.
Faktor genetik, seperti defisiensi alfa-1 antitripsin (AATD), juga dapat menyebabkan PPOK, meskipun lebih jarang. Selain itu, gangguan pertumbuhan dan perkembangan paru selama masa janin atau kanak-kanak, serta riwayat infeksi saluran napas berat pada masa kanak-kanak, dapat meningkatkan risiko PPOK di kemudian hari.
Karakteristik klinis khas PPOK meliputi dispnea (sesak napas) yang bersifat progresif, terutama saat melakukan aktivitas fisik. Batuk kronik, yang bisa produktif (disertai sputum) maupun non-produktif, juga merupakan gejala umum. Mengi (wheezing) dapat ditemukan, namun seringkali tidak sevariabel seperti pada asma.
Pasien PPOK juga rentan mengalami eksaserbasi akut, yaitu perburukan gejala yang seringkali dipicu oleh infeksi saluran napas. Lebih lanjut, PPOK sering disertai dengan efek sistemik dan berbagai penyakit komorbid, seperti penyakit kardiovaskular, kelemahan otot skeletal (sarkopenia), osteoporosis, dan depresi.
Secara patofisiologis, PPOK ditandai oleh inflamasi kronis yang melibatkan sel-sel seperti neutrofil, makrofag, dan limfosit CD8+. Inflamasi ini menyebabkan perubahan struktural yang signifikan, termasuk remodeling saluran napas kecil (berupa penebalan dinding saluran napas dan fibrosis peribronkiolar) dan destruksi parenkim paru (emfisema). Emfisema mengakibatkan hilangnya rekoil elastis paru, yang selanjutnya memperburuk keterbatasan aliran udara. Hipersekresi mukus juga merupakan gambaran umum pada PPOK.
Gambar 1. Representasi skematik mekanisme pathogenesis PPOK
Meskipun PPOK secara klasik didefinisikan memiliki keterbatasan aliran udara yang "tidak sepenuhnya reversibel" , penting untuk dipahami bahwa sebagian pasien PPOK dapat menunjukkan respons bronkodilator yang signifikan pada pemeriksaan spirometri.
Jika hanya mengandalkan hasil uji reversibilitas tunggal tanpa mempertimbangkan gambaran klinis dan riwayat pasien secara menyeluruh (misalnya, riwayat merokok berat, onset gejala yang lambat dan progresif), hal ini dapat menimbulkan kebingungan diagnostik dengan asma.
Sebaliknya, asma kronis dengan remodeling saluran napas yang signifikan juga bisa menunjukkan keterbatasan aliran udara yang menetap. Ini menggarisbawahi keterbatasan uji reversibilitas sebagai satu-satunya kriteria pembeda. Selain itu, penekanan bahwa PPOK adalah penyakit yang "dapat dicegah" memiliki implikasi penting bagi Dokter Umum.
Edukasi pasien mengenai penghentian merokok dan penghindaran paparan faktor risiko lainnya merupakan pilar utama dalam "Diagnosis dan Terapi PPOK" jangka panjang. Intervensi ini sebaiknya dimulai sedini mungkin, bahkan sebelum diagnosis PPOK definitif ditegakkan, terutama pada pasien perokok dengan gejala sugestif.
4. Algoritma Diagnosis: Membedakan LOA dan PPOK secara Sistematis
Pendekatan diagnostik untuk membedakan LOA dan PPOK memerlukan evaluasi yang sistematis dan multifaset, dimulai dari anamnesis yang cermat, diikuti pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan fungsi paru objektif.
4.1. Anamnesis Mendalam: Menggali Petunjuk dari Riwayat Pasien
Anamnesis yang komprehensif adalah langkah awal yang krusial. Beberapa poin penting yang perlu digali meliputi:
Usia Onset Gejala: LOA umumnya muncul pada usia dewasa atau ≥40 tahun , sementara PPOK juga khas dengan onset pada usia pertengahan atau lebih tua (≥40 tahun). Adanya tumpang tindih usia onset ini menunjukkan perlunya evaluasi faktor lain.
Riwayat Merokok: Riwayat merokok berat, biasanya lebih dari 10-20 pak-tahun (pack-years), sangat sugestif untuk PPOK. Namun, perlu diingat bahwa LOA juga dapat terjadi pada perokok , dan PPOK, meskipun lebih jarang, dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok akibat paparan lingkungan atau okupasional lainnya. Anamnesis riwayat merokok harus sangat detail, mencakup durasi, intensitas (pak-tahun), usia mulai merokok, dan status merokok saat ini. Jika seorang pasien dengan riwayat merokok signifikan juga memiliki fitur atopik atau variabilitas gejala yang khas untuk asma, kemungkinan Asthma-COPD Overlap (ACO) harus dipertimbangkan sejak awal.
Riwayat Atopi dan Alergi: Adanya riwayat penyakit atopik pada diri pasien (seperti asma masa kanak-kanak, rinitis alergi, atau eksim) atau dalam keluarga sangat mendukung diagnosis asma, termasuk LOA. PPOK umumnya tidak terkait dengan atopi.
Riwayat Keluarga: Riwayat asma dalam keluarga memperkuat kemungkinan asma , sedangkan riwayat PPOK atau defisiensi alfa-1 antitripsin dalam keluarga lebih mengarah pada PPOK.
Pola dan Variabilitas Gejala: Ini adalah salah satu pembeda kunci.
Asma (termasuk LOA): Gejala seperti sesak napas, mengi, batuk, dan rasa berat di dada cenderung bersifat episodik. Intensitas dan frekuensinya dapat bervariasi dari waktu ke waktu (harian, mingguan, atau musiman), dan seringkali memburuk pada malam atau dini hari.
PPOK: Gejala, terutama sesak napas, bersifat lebih persisten dan progresif secara perlahan, meskipun pasien mungkin melaporkan adanya "hari baik dan buruk". Batuk kronik yang produktif juga sering ditemukan. Untuk menggali progresivitas dispnea pada PPOK, terutama pada pasien lansia yang mungkin mengatribusikan gejalanya pada proses penuaan, pertanyaan spesifik seperti, "Apa yang tidak bisa Anda lakukan sekarang dibandingkan 2-5 tahun lalu karena masalah pernapasan?" bisa sangat membantu.
Pemicu Gejala:
Asma (termasuk LOA): Gejala sering dipicu oleh paparan alergen spesifik (seperti debu rumah, serbuk sari, bulu hewan), iritan (asap rokok, bau menyengat), perubahan cuaca, udara dingin, aktivitas fisik, atau infeksi virus saluran napas atas.
PPOK: Eksaserbasi seringkali dipicu oleh infeksi saluran napas (baik bakteri maupun virus) atau paparan polusi udara. Gejala harian lebih sering berkaitan dengan tingkat aktivitas fisik.
Respons terhadap Terapi Sebelumnya: Jika pasien pernah mendapatkan terapi, respons yang baik dan cepat terhadap penggunaan kortikosteroid inhalasi (ICS) atau bronkodilator kerja singkat (SABA) lebih mengarah pada diagnosis asma.
Untuk memudahkan, berikut adalah tabel perbandingan karakteristik anamnestik utama:
Tabel 1: Perbandingan Karakteristik Anamnestik Utama LOA vs PPOK
Fitur Anamnestik | Asma Onset Lambat (LOA) | Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) | Catatan/Poin Pembeda Kunci |
Usia Onset Gejala | Dewasa (sering ≥40 tahun) | Usia pertengahan hingga lanjut (sering ≥40 tahun) | Tumpang tindih signifikan; onset sangat muda (<20 thn) lebih khas asma. |
Riwayat Merokok | Bisa ada, kadang signifikan | Umumnya >10-20 pak-tahun | Merokok berat sangat kuat mengarah ke PPOK, tapi LOA pada perokok mungkin. PPOK pada non-perokok jarang tapi mungkin. |
Riwayat Atopi/Alergi | Sering ada riwayat pribadi/keluarga | Jarang, tidak khas | Adanya atopi kuat mendukung asma. |
Riwayat Keluarga | Asma | PPOK, Defisiensi AAT | Riwayat keluarga asma mendukung asma. |
Pola Gejala | Episodik, variabilitas tinggi (harian/musiman) | Persisten, progresif lambat | Variabilitas gejala adalah pembeda penting. |
Gejala Malam/Dini Hari | Sering memburuk | Kurang khas dibandingkan asma | Gejala nokturnal lebih umum pada asma. |
Pemicu Khas | Alergen, iritan, olahraga, udara dingin, ISPA virus | Infeksi (bakteri/virus), polusi | Identifikasi pemicu spesifik (terutama alergen/olahraga) mengarah ke asma. |
Progresivitas Dispnea | Bisa stabil lama, memburuk saat serangan | Progresif seiring waktu, terutama saat aktivitas | Tanyakan "apa yang tidak bisa dilakukan sekarang vs dulu?". |
Batuk Kronik | Bisa ada, sering non-produktif atau saat serangan | Sering, bisa produktif (sputum kronis) | Batuk produktif kronis lebih khas PPOK. |
4.2. Pemeriksaan Fisik: Temuan yang Mungkin Membantu
Pemeriksaan fisik seringkali normal pada pasien asma, terutama jika dilakukan di luar episode serangan. Mengi ekspirasi dapat terdengar pada kedua kondisi, namun pada asma mungkin lebih bersifat episodik dan terkait dengan pemicu. Penting untuk diingat bahwa "tidak semua yang mengi adalah asma" , karena mengi juga bisa disebabkan oleh kondisi lain.
Pada PPOK tahap lanjut, dapat ditemukan tanda-tanda hiperinflasi paru seperti bentuk dada tong (barrel chest) dan pelebaran sela iga. Penggunaan otot bantu napas saat istirahat, penurunan suara napas secara generalisata, atau bahkan sianosis (pada kasus yang sangat berat) juga bisa menjadi temuan, yang mana ini jarang terlihat pada asma yang stabil.
Secara umum, pemeriksaan fisik memiliki keterbatasan diagnostik yang signifikan dalam membedakan LOA dan PPOK secara definitif. Ketiadaan temuan abnormal pada pemeriksaan fisik tidak dapat menyingkirkan diagnosis baik LOA maupun PPOK tahap awal. Oleh karena itu, Dokter Umum tidak boleh terlalu bergantung pada temuan fisik semata untuk membuat diagnosis definitif dan harus melanjutkan ke pemeriksaan objektif seperti spirometri.
Namun, adanya tanda-tanda gagal jantung kanan, seperti edema perifer atau peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), pada pasien dengan gejala obstruktif kronis lebih mengarah pada PPOK berat dengan komplikasi kor pulmonal, suatu kondisi yang jarang ditemui pada asma murni.
4.3. Peran Sentral Spirometri: Interpretasi FEV1, FVC, Rasio FEV1/FVC, dan Uji Reversibilitas Bronkodilator
Spirometri merupakan pemeriksaan objektif yang memegang peran sentral dalam diagnosis dan penilaian derajat obstruksi jalan napas. Parameter utama yang dinilai meliputi:
Volume Ekspirasi Paksa dalam Satu Detik (FEV1): Volume udara yang dapat dihembuskan secara paksa dalam detik pertama setelah inspirasi maksimal.
Kapasitas Vital Paksa (FVC): Total volume udara yang dapat dihembuskan secara paksa setelah inspirasi maksimal.
Rasio FEV1/FVC: Perbandingan antara FEV1 dan FVC.
Obstruksi jalan napas umumnya didefinisikan dengan rasio FEV1/FVC pasca-bronkodilator < 0,70 atau di bawah batas bawah nilai normal (Lower Limit of Normal/LLN) yang disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan pasien.
Perlu diperhatikan bahwa penggunaan nilai rasio tetap 0,70 dapat menyebabkan overdiagnosis PPOK pada lansia (karena rasio ini normal menurun seiring usia) dan underdiagnosis obstruksi pada dewasa muda (dimana nilai normalnya lebih tinggi). Oleh karena itu, penggunaan LLN, jika tersedia, lebih dianjurkan untuk akurasi yang lebih baik.
Gambar 2. Pendekatan untuk Mengonfirmasi dan menolak dugaan atau diagnosis klinis PPOK
Uji Reversibilitas Bronkodilator adalah komponen penting dari pemeriksaan spirometri. Setelah pengukuran baseline, pasien diberikan bronkodilator kerja singkat (misalnya, salbutamol), dan spirometri diulang.
Respons positif yang signifikan, yang sangat mendukung diagnosis asma, adalah adanya peningkatan FEV1 sebesar ≥12% DAN ≥200 mL dari nilai baseline.
Pada PPOK, respons terhadap bronkodilator umumnya terbatas atau tidak ada. Namun, penting dicatat bahwa sebagian pasien PPOK dapat menunjukkan respons bronkodilator yang memenuhi kriteria di atas. Sebaliknya, pasien asma kronis atau berat dapat mengalami remodeling jalan napas yang menyebabkan obstruksi menjadi ireversibel atau "fixed". Kriteria reversibilitas FEV1 (≥12% DAN ≥200 mL) lebih spesifik untuk asma tetapi tidak 100% sensitif (bisa negatif pada asma berat/kronik dengan remodeling) dan tidak 100% eksklusif (bisa positif pada sebagian PPOK). Oleh karena itu, interpretasi hasil uji reversibilitas harus selalu dikaitkan dengan gambaran klinis keseluruhan pasien.
Variabilitas Puncak Arus Ekspirasi (PEF) harian juga dapat memberikan informasi tambahan. Variabilitas diurnal PEF yang signifikan (misalnya, >20% pada dewasa jika diukur dua kali sehari selama dua minggu) lebih mendukung diagnosis asma, mencerminkan sifat variabel dari obstruksi jalan napas pada asma.
Namun, tes ini memiliki sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan spirometri dan sangat bergantung pada usaha serta kepatuhan pasien dalam melakukan pengukuran dan pencatatan.
Jika hasil spirometri awal menunjukkan nilai normal namun kecurigaan klinis terhadap asma tetap tinggi berdasarkan anamnesis (misalnya, gejala episodik yang khas), maka pemantauan variabilitas PEF harian atau pelaksanaan uji provokasi bronkus (jika fasilitas tersedia dan ada indikasi kuat) perlu dipertimbangkan. Langkah ini penting agar tidak melewatkan diagnosis asma intermiten atau asma yang sedang dalam periode remisi saat pemeriksaan.
Gambar 3. Pendekatan untuk mengonfirmasi atau menolak dugaan atau diagnosis klinis asthma Ketika akses spirometry tertunda
4.4. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: Kapan dan Mengapa Diperlukan
Pada beberapa kasus, terutama jika diagnosis masih belum jelas setelah anamnesis, pemeriksaan fisik, dan spirometri dasar, pemeriksaan penunjang lanjutan dapat dipertimbangkan.
Kapasitas Difusi Karbon Monoksida (DLCO): Tes ini mengukur kemampuan paru-rata untuk mentransfer gas dari alveoli ke dalam darah.
Pada LOA, nilai DLCO biasanya normal atau bahkan bisa sedikit meningkat.
Pada PPOK, terutama jika disertai emfisema yang signifikan, nilai DLCO seringkali menurun. Penurunan DLCO yang jelas sangat mengarah ke PPOK dengan komponen emfisema.
Hitung Eosinofil Darah Tepi dan/atau Sputum:
Pada LOA, terutama fenotip dengan inflamasi Tipe 2 (T2-high), sering ditemukan peningkatan jumlah eosinofil dalam darah (>150-300 sel/µL) atau dalam sputum (>2-3%).
Pada PPOK, hitung eosinofil umumnya rendah, meskipun bisa meningkat pada beberapa pasien PPOK dengan fenotip eosinofilik atau selama periode eksaserbasi.
Fraksi Oksida Nitrat Hembusan Napas (FeNO): FeNO adalah biomarker non-invasif untuk inflamasi saluran napas eosinofilik.
Pada LOA (terutama fenotip T2-high), kadar FeNO seringkali meningkat (biasanya ≥25-50 bagian per miliar/ppb).
Pada PPOK, kadar FeNO umumnya normal atau rendah. Perlu dicatat bahwa merokok dapat menekan kadar FeNO. Kombinasi antara DLCO yang normal atau tinggi dengan adanya eosinofilia darah/sputum atau FeNO yang tinggi pada pasien dengan obstruksi saluran napas sangat kuat mendukung diagnosis LOA dengan fenotip T2-high, bahkan jika terdapat riwayat merokok atau respons reversibilitas pada spirometri tidak signifikan. Ini penting karena pasien dengan profil inflamasi seperti ini kemungkinan besar akan mendapat manfaat dari terapi ICS.
Pencitraan Toraks (Rontgen Dada, High-Resolution Computed Tomography/HRCT):
Rontgen Dada: Pada LOA, hasil rontgen dada seringkali normal. Pada PPOK, terutama tahap lanjut, dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru, pendataran diafragma, atau bula. Fungsi utama rontgen dada adalah untuk menyingkirkan diagnosis banding lain seperti pneumonia atau keganasan.
HRCT Toraks: Tidak dilakukan secara rutin untuk membedakan LOA dan PPOK di layanan primer. Pada LOA, HRCT biasanya normal, meskipun kadang dapat menunjukkan adanya air trapping atau penebalan dinding bronkus. Pada PPOK, HRCT lebih sensitif dalam mengidentifikasi dan mengkuantifikasi emfisema, menilai penebalan dinding bronkus, dan mendeteksi adanya bronkiektasis komorbid. HRCT menjadi sangat berguna pada kasus-kasus yang kompleks, atipikal, atau jika ada kecurigaan komorbiditas atau diagnosis alternatif seperti bronkiektasis atau penyakit paru interstisial yang gejalanya bisa menyerupai LOA/PPOK.
Uji Provokasi Bronkus (misalnya dengan Metakolin atau Histamin): Tes ini bertujuan untuk menilai hiperreaktivitas saluran napas, yang merupakan ciri khas asma. Dipertimbangkan jika diagnosis asma masih diragukan meskipun riwayat klinis sangat sugestif, terutama jika hasil spirometri awal normal. Tes ini jarang dilakukan di fasilitas layanan primer dan lebih sering di pusat rujukan.
Keterbatasan aksesibilitas beberapa tes lanjutan seperti DLCO, FeNO, analisis eosinofil sputum, uji provokasi bronkus, dan HRCT di banyak fasilitas layanan primer menggarisbawahi pentingnya bagi Dokter Umum untuk mengetahui kapan saat yang tepat untuk merujuk pasien ke dokter spesialis paru untuk evaluasi lebih lanjut, terutama jika diagnosis tetap tidak pasti setelah pemeriksaan awal.
Tabel 2: Interpretasi Pemeriksaan Penunjang Lanjutan dalam Membedakan LOA dan PPOK
Pemeriksaan Penunjang | Temuan Khas pada LOA | Temuan Khas pada PPOK | Catatan/Poin Pembeda Kunci |
DLCO | Normal atau meningkat | Sering menurun (terutama jika ada emfisema) | Penurunan DLCO kuat mengarah ke PPOK (emfisema) atau ACO dengan komponen emfisema. |
Eosinofil Darah Tepi | Sering meningkat (>150-300 sel/µL) pada fenotip T2 | Umumnya normal/rendah, bisa meningkat saat eksaserbasi | Peningkatan eosinofil mendukung komponen asma/inflamasi T2. |
Eosinofil Sputum | Sering meningkat (>2-3%) pada fenotip T2 | Umumnya didominasi neutrofil | Lebih spesifik untuk inflamasi saluran napas T2 dibandingkan eosinofil darah. |
FeNO | Sering meningkat (≥25-50 ppb) pada fenotip T2 | Umumnya normal/rendah. Merokok menekan FeNO. | Peningkatan FeNO mendukung komponen asma/inflamasi T2. |
Rontgen Toraks | Sering normal | Bisa normal tahap awal; hiperinflasi, bula pada tahap lanjut | Kurang sensitif/spesifik untuk diagnosis, lebih untuk eksklusi penyakit lain. |
HRCT Toraks (jika indikasi) | Umumnya normal; mungkin air trapping, penebalan dinding bronkus | Emfisema, penebalan dinding bronkus, bronkiektasis | Tidak rutin; berguna pada kasus kompleks atau untuk identifikasi emfisema/bronkiektasis. |
Uji Provokasi Bronkus | Positif (menunjukkan hiperreaktivitas) | Negatif | Dilakukan jika spirometri normal tapi curiga asma kuat. |
5. Asthma-COPD Overlap (ACO): Ketika Batas Menjadi Kabur
Asthma-COPD Overlap (ACO), atau yang sebelumnya dikenal sebagai Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS), bukanlah suatu entitas penyakit tunggal dengan patofisiologi yang unik, melainkan lebih merupakan deskripsi klinis untuk pasien yang menunjukkan fitur-fitur dari kedua penyakit, baik asma maupun PPOK. Hingga saat ini, belum ada definisi atau kriteria diagnostik yang disepakati secara universal untuk ACO.
Kecurigaan terhadap ACO sebaiknya meningkat pada individu berusia 40 tahun atau lebih yang memiliki riwayat merokok signifikan (umumnya >10 pak-tahun) dan menunjukkan adanya obstruksi jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel (fixed airflow obstruction) pada pemeriksaan spirometri.
Namun, pasien ini juga harus memiliki karakteristik yang mengarah ke asma, seperti riwayat asma sebelumnya (terutama yang onsetnya pada usia muda), riwayat atopi, variabilitas gejala yang signifikan dari waktu ke waktu, respons bronkodilator yang sangat baik (meskipun obstruksi tetap ada), dan/atau adanya eosinofilia dalam darah atau sputum.
Beberapa ahli telah mengusulkan kriteria diagnostik yang mencoba menggabungkan berbagai elemen ini, termasuk riwayat asma, atopi, kadar IgE total, usia, riwayat merokok, hasil spirometri (FEV1/FVC pasca-bronkodilator <0,7), derajat reversibilitas FEV1, atau adanya eosinofilia sputum.
Pasien dengan ACO cenderung mengalami gejala yang lebih berat, memiliki kualitas hidup yang lebih buruk, dan mengalami frekuensi eksaserbasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang hanya menderita asma atau PPOK saja. Pendekatan diagnosis ACO bersifat pragmatis, dengan tujuan utama untuk memastikan bahwa pasien menerima komponen terapi yang sesuai untuk kedua kondisi yang mendasarinya.
Misalnya, pemberian ICS untuk mengatasi komponen inflamasi asmatik dan bronkodilator kerja panjang untuk meredakan obstruksi dan gejala yang terkait dengan komponen PPOK. Fokusnya adalah pada identifikasi dan penanganan "treatable traits" atau karakteristik yang dapat diobati pada pasien tersebut.
Dalam konteks ini, adanya eosinofilia darah atau sputum pada pasien perokok dengan obstruksi jalan napas yang persisten merupakan petunjuk kuat untuk ACO dengan komponen inflamasi Tipe 2. Identifikasi "treatable trait" ini sangat relevan karena pasien dengan profil inflamasi Tipe 2 adalah kandidat utama untuk mendapatkan manfaat dari terapi ICS, yang merupakan ciri khas penanganan asma atau ACO dengan komponen asma yang dominan.
6. Implikasi Diagnosis terhadap Pilihan Terapi Awal (Ringkas untuk SEO)
Penegakan diagnosis yang akurat antara LOA, PPOK, atau identifikasi ACO memiliki implikasi langsung dan fundamental terhadap pilihan strategi "Diagnosis dan Terapi Asthma" serta "Diagnosis dan Terapi PPOK".
Untuk LOA, landasan utama "Diagnosis dan Terapi Asthma" adalah penggunaan kortikosteroid inhalasi (ICS) untuk mengontrol inflamasi kronis di saluran napas. ICS sering dikombinasikan dengan bronkodilator kerja panjang (LABA) untuk kontrol gejala yang lebih baik dan pencegahan serangan. Terapi pelega simtomatik dapat menggunakan bronkodilator kerja singkat (SABA) atau, pada beberapa kasus, kombinasi ICS-formoterol dosis rendah sesuai kebutuhan.
Untuk PPOK, "Diagnosis dan Terapi PPOK" awal berfokus pada penggunaan bronkodilator kerja panjang, baik dari golongan antagonis muskarinik kerja panjang (LAMA) atau agonis beta-2 kerja panjang (LABA), atau kombinasi keduanya (LABA/LAMA). Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi gejala, meningkatkan toleransi aktivitas, dan mengurangi risiko serta frekuensi eksaserbasi. Penggunaan ICS pada PPOK lebih terbatas dan umumnya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat eksaserbasi berulang dan/atau adanya eosinofilia darah yang signifikan.
Untuk pasien dengan ACO, terapi seringkali memerlukan pendekatan kombinasi yang menargetkan kedua komponen penyakit, yaitu penggunaan ICS (untuk komponen asma) bersama dengan LABA dan/atau LAMA (untuk komponen PPOK dan asma).
Perbedaan fundamental dalam landasan terapi ini – yaitu pendekatan anti-inflamasi berbasis ICS untuk asma versus pendekatan bronkodilatasi primer untuk PPOK – menjadikan akurasi diagnostik sebagai prasyarat mutlak. Penggunaan ICS yang tidak tepat pada pasien PPOK non-eosinofilik dapat meningkatkan risiko efek samping, seperti pneumonia, tanpa memberikan manfaat yang signifikan.
Sebaliknya, tidak memberikan ICS pada pasien asma (termasuk LOA) dapat menyebabkan kontrol penyakit yang buruk, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan penurunan kualitas hidup. Lebih jauh, identifikasi fenotip inflamasi (misalnya, eosinofilik versus non-eosinofilik) melalui penggunaan biomarker menjadi semakin penting, tidak hanya untuk membantu membedakan LOA dan PPOK tetapi juga untuk memandu pilihan terapi yang lebih personal dan tepat sasaran dalam kedua kondisi tersebut, terutama terkait keputusan penggunaan ICS. Ini sejalan dengan konsep "personalized medicine" dan penargetan "treatable traits".
7. Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis untuk Dokter Umum
Membedakan antara asma onset lambat (LOA) dan PPOK pada pasien dewasa merupakan tantangan diagnostik yang memerlukan pendekatan komprehensif dan multifaset. Tidak ada satu pun gejala atau pemeriksaan tunggal yang dapat secara definitif membedakan kedua kondisi ini, terutama pada populasi lansia dan perokok.
Dokter Umum memegang peran kunci dalam melakukan evaluasi awal. Anamnesis yang mendalam mengenai usia onset gejala, riwayat merokok, riwayat atopi dan alergi, riwayat keluarga, pola dan variabilitas gejala, serta faktor pemicu adalah langkah fundamental. Pemeriksaan fisik, meskipun seringkali tidak memberikan temuan spesifik, tetap penting untuk menyingkirkan kondisi lain dan menilai status klinis pasien secara umum.
Spirometri dengan uji reversibilitas bronkodilator adalah pemeriksaan objektif utama yang harus dilakukan. Interpretasi hasil spirometri harus dilakukan dengan cermat, mempertimbangkan nilai LLN jika tersedia, dan memahami bahwa kriteria reversibilitas klasik tidak selalu absolut dalam membedakan kedua kondisi ini.
Penting bagi Dokter Umum untuk menghindari "diagnostic anchoring" atau terpaku pada satu diagnosis awal hanya berdasarkan satu fitur tunggal, seperti usia tua atau riwayat merokok yang langsung dianggap sebagai PPOK. Pendekatan yang terbuka, sistematis, dan mempertimbangkan semua kemungkinan diagnostik, termasuk Asthma-COPD Overlap (ACO), adalah kunci untuk mencapai diagnosis yang lebih akurat.
Dalam kondisi keterbatasan sumber daya diagnostik di layanan primer, fokus pada anamnesis yang sangat cermat mengenai pola gejala dan pemicu, serta interpretasi spirometri dasar yang benar, menjadi sangat krusial.
Jika diagnosis tetap ambigu setelah evaluasi awal atau jika diperlukan pemeriksaan penunjang lanjutan seperti DLCO, FeNO, hitung eosinofil sputum, atau HRCT toraks, rujukan tepat waktu ke dokter spesialis paru adalah bagian dari tata laksana yang baik dan bertanggung jawab.
Pemahaman yang baik mengenai algoritma diagnosis ini akan membantu Dokter Umum dalam memberikan "Diagnosis dan Terapi Asthma" serta "Diagnosis dan Terapi PPOK" yang lebih optimal dan berbasis bukti.
Asthma in the Elderly: Can We Distinguish It from COPD? - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3138061/
Differential Assessment and Management of Asthma vs Chronic ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2654706/
Late onset asthma: epidemiology, diagnosis and treatment - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11190418/
LABA/LAMA as First-Line Therapy for COPD: A Summary of the Evidence and Guideline Recommendations, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9692772/
Diagnosing asthma and chronic obstructive pulmonary disease, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9197282/
Late-onset asthma: current perspectives - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5810515/
Airway disease: similarities and differences between asthma, COPD and bronchiectasis - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3488995/
Clinical characteristics and biological treatment responses of patients with late-onset asthma phenotype - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40011985/
Chronic obstructive pulmonary disease - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7172377/
COPD - Causes and Risk Factors - Nhlbi.nih.gov, diakses Mei 8, 2025, https://www.nhlbi.nih.gov/health/copd/causes
Not every reversible airflow limitation is asthma - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11332880/
Importance of distinguishing between asthma and chronic ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9683358/
Asthma-COPD Overlap Syndrome - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6596430/
The Asthma-COPD Overlap Syndrome - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6375482/
Spirometric Assessment of Pulmonary Function Tests in Asthma Patients - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10972697/
Over- and under-diagnosis in asthma - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6481983/
Update on Asthma–COPD Overlap (ACO): A Narrative Review - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8216660/
Key recommendations for primary care from the 2022 Global Initiative for Asthma (GINA) update - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36754956/
LABA/LAMA as First-Line Therapy for COPD: A Summary of the Evidence and Guideline Recommendations - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36431099/