7 Apr 2025 • Interna
Cegukan merupakan fenomena umum, namun ketika berlangsung lama, kondisi ini dapat menimbulkan dampak signifikan pada kualitas hidup pasien dalam praktik dokter umum.
Meskipun jarang menjadi keluhan utama di rumah sakit, cegukan persisten dan refrakter dapat mengganggu percakapan, konsentrasi, asupan oral, serta menyebabkan frustrasi, kelelahan, dan insomnia.
Pemahaman yang mendalam mengenai algoritma diagnosis dan terapi yang efektif sangat penting bagi dokter umum untuk dapat mengelola kondisi ini dengan tepat. Cegukan didefinisikan sebagai kontraksi involunter dan spasmodik otot diafragma, yang sering melibatkan kontraksi otot interkostal inspirasi, diikuti dengan penutupan dini glotis.
Berdasarkan durasinya, cegukan diklasifikasikan menjadi tiga kategori: akut (berlangsung kurang dari 48 jam), persisten (berlangsung lebih dari 48 jam atau 3 hari), dan refrakter atau intrakabel (berlangsung lebih dari satu bulan).
Artikel ini akan fokus pada pendekatan diagnosis dan terapi lini pertama untuk cegukan persisten, yang didefinisikan sebagai cegukan yang berlangsung lebih dari 3 hari, sesuai dengan permintaan Anda.
Penting untuk membedakan antara cegukan persisten dan refrakter karena implikasi diagnosis dan penatalaksanaannya yang berbeda. Pendekatan diagnosis cegukan persisten dimulai dengan anamnesis yang komprehensif.
Dokter perlu menggali riwayat penyakit pasien secara menyeluruh, termasuk faktor pencetus seperti makan terlalu banyak, stres emosional, atau konsumsi minuman berkarbonasi.
Gejala penyerta seperti refluks gastroesofageal, batuk, penurunan berat badan, dan nyeri perut juga perlu ditanyakan. Selain itu, riwayat pengobatan pasien sangat penting untuk diidentifikasi, karena beberapa obat dapat memicu terjadinya cegukan.
Pertanyaan mengenai gejala neurologis, pola tidur (apakah cegukan terjadi saat tidur), riwayat operasi, penyakit kanker, atau kemoterapi juga relevan untuk mengarahkan diagnosis.
Cegukan yang terjadi saat tidur jarang bersifat psikogenik dan dapat mengindikasikan gangguan gastroesofageal, neurologis, atau pulmonal. Pemeriksaan fisik yang teliti juga merupakan bagian penting dari evaluasi. Pemeriksaan harus fokus pada sistem saraf, gastrointestinal, serta kemungkinan adanya iritasi pada saraf frenikus atau vagus.
Evaluasi lengkap pada telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) dapat mengungkapkan adanya penyebab seperti rambut atau benda asing yang menekan membran timpani, massa, goiter, tonsilitis, atau faringitis.
Meskipun pemeriksaan fisik mungkin tidak secara langsung mengidentifikasi penyebab cegukan, temuan abnormal dapat memberikan petunjuk penting mengenai etiologi yang mendasarinya.
Cegukan persisten dapat disebabkan oleh berbagai kondisi yang melibatkan jalur refleks cegukan. Penyebab-penyebab ini dapat dikategorikan berdasarkan sistem organ atau mekanisme yang terlibat.
Tabel berikut merangkum penyebab umum cegukan persisten berdasarkan kategori:
Kategori | Contoh Penyebab |
Gastrointestinal | GERD, Distensi Lambung, Gastritis, Tukak Peptik, Pankreatitis, Kanker Esofagus/Lambung |
Neurologis | Stroke, Tumor Otak, Trauma Kepala, Multiple Sclerosis, Ensefalitis, Meningitis |
Metabolik | Alkohol, Diabetes Mellitus, Hipokalsemia, Hiponatremia, Uremia |
Psikogenik | Stres, Kecemasan, Eksitasi |
Obat-obatan | Steroid (Deksametason), Benzodiazepin (Diazepam, Midazolam), Kemoterapi, Alfa-metildopa |
Lain-lain | Iritasi Saraf Vagus/Frenikus (Goiter, Laringitis), Gangguan Toraks (Pneumonia, Aneurisma Aorta), Gangguan Kardiovaskular (Infark Miokard, Perikarditis), Pasca Operasi |
Refluks gastroesofageal (GERD) merupakan salah satu penyebab tersering cegukan persisten. Distensi lambung akibat makan berlebihan atau minum minuman berkarbonasi juga dapat memicu cegukan.
Selain itu, berbagai gangguan neurologis seperti stroke dan tumor otak dapat mengganggu pusat refleks cegukan di otak. Gangguan metabolik seperti ketidakseimbangan elektrolit (hipokalsemia, hiponatremia) dan uremia juga dapat menjadi penyebab.
Faktor psikogenik seperti stres dan kecemasan juga dapat memicu cegukan persisten. Beberapa jenis obat, terutama steroid seperti deksametason dan benzodiazepine, diketahui dapat menyebabkan efek samping berupa cegukan.
Iritasi pada saraf vagus atau frenikus akibat kondisi seperti goiter atau laringitis, serta gangguan pada toraks dan kardiovaskular juga perlu dipertimbangkan. Cegukan juga dapat terjadi setelah prosedur operasi.
Terapi lini pertama untuk cegukan persisten sebaiknya dimulai dengan metode non-farmakologis. Manuver vagal dan metode sederhana lainnya dapat dicoba untuk menghentikan cegukan.
Beberapa teknik yang dapat dianjurkan kepada pasien antara lain menahan napas, minum air dengan cepat dalam beberapa tegukan, bernapas ke dalam kantong kertas, makan satu sendok selai kacang, mengunyah lemon, atau menghirup lada untuk memicu bersin.
Minum air dingin dan memberikan tekanan supraorbital juga dapat dicoba. Metode-metode ini terkadang efektif dengan cara menstimulasi atau menghambat saraf-saraf yang terlibat dalam refleks cegukan atau dengan meningkatkan tekanan parsial karbon dioksida.
Jika terapi non-farmakologis tidak berhasil dan cegukan tetap persisten dan mengganggu, pertimbangkan terapi farmakologis. Pendekatan farmakologis lini pertama harus didasarkan pada kemungkinan penyebab yang mendasari.
Jika ada indikasi GERD, seperti riwayat mulas atau regurgitasi asam, pemberian Proton Pump Inhibitor (PPI) merupakan pilihan yang tepat.PPI umumnya aman dan dapat membantu mengatasi cegukan yang disebabkan oleh refluks asam lambung. Dosis PPI yang biasa digunakan untuk GERD, seperti omeprazole 20-40 mg per hari, dapat diberikan.
Untuk terapi simptomatik cegukan persisten, baclofen dan gabapentin sering dianggap sebagai pilihan lini pertama berdasarkan bukti yang tersedia. Baclofen, agonis reseptor GABA-B, telah terbukti efektif dalam beberapa uji klinis kecil dan studi kasus.
Dosis baclofen yang umum digunakan adalah 10 mg tiga kali sehari, meskipun dosis dapat bervariasi dari 5 mg dua kali sehari hingga 20 mg tiga kali sehari. Efek samping yang mungkin terjadi antara lain ataksia, delirium, pusing, dan sedasi.
Perlu diingat bahwa baclofen harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.Gabapentin, obat antikonvulsan, juga menunjukkan efektivitas dalam mengobati cegukan persisten.
Dosis yang efektif dilaporkan berkisar antara 900 hingga 1200 mg per hari, dibagi dalam beberapa dosis. Dalam beberapa kasus, dosis awal yang lebih rendah seperti 100 mg tiga kali sehari dapat ditingkatkan secara bertahap.
Efek samping gabapentin umumnya ringan, seperti kantuk sementara. Gabapentin dianggap aman, ekonomis, dan memiliki efek samping minimal serta interaksi obat yang sedikit.
Chlorpromazine merupakan satu-satunya obat yang disetujui oleh FDA untuk pengobatan cegukan, namun penggunaannya sering dibatasi karena potensi efek sampingnya. Dosis biasa chlorpromazine adalah 25 mg empat kali sehari, yang dapat ditingkatkan menjadi 50 mg jika diperlukan.
Metoclopramide, agen prokinetik, juga dapat digunakan, terutama jika dicurigai adanya keterlibatan gastrointestinal.
Dosis metoclopramide yang umum adalah 10 mg tiga kali sehari, meskipun dosis yang lebih tinggi juga pernah dilaporkan efektif dalam beberapa kasus. Efek samping metoclopramide dapat berupa kelelahan, perubahan suasana hati, dan pusing.
Cegukan persisten yang disertai dengan gejala neurologis (seperti kelemahan, perubahan sensorik, gangguan bicara), cegukan yang terjadi saat tidur, riwayat penyakit kanker, operasi baru-baru ini, atau penggunaan kemoterapi harus menjadi perhatian.
Selain itu, adanya gejala kardiovaskular (seperti nyeri dada), gangguan THT (seperti goiter atau massa di leher), atau gangguan toraks (seperti batuk kronis atau sesak napas) juga memerlukan investigasi lebih lanjut. Cegukan yang tidak responsif terhadap terapi lini pertama juga merupakan indikasi untuk konsultasi dengan spesialis.
Prognosis cegukan persisten sangat bervariasi tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Meskipun seringkali merupakan kondisi yang mengganggu namun tidak berbahaya, cegukan persisten yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan.
Komplikasi yang mungkin timbul antara lain kelelahan, malnutrisi, penurunan berat badan, dehidrasi, gangguan tidur, depresi, dan bahkan aspirasi pneumonia. Dalam kasus yang jarang, komplikasi yang lebih serius seperti aritmia jantung atau pneumomediastinum juga dapat terjadi.
Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab yang mendasari cegukan persisten untuk mencegah potensi komplikasi ini.
Kesimpulan:
Penatalaksanaan cegukan persisten memerlukan pendekatan diagnostik yang sistematis, dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab.
Dokter umum harus mempertimbangkan berbagai etiologi, termasuk gangguan gastrointestinal, neurologis, metabolik, psikogenik, dan efek samping obat.
Terapi lini pertama meliputi metode non-farmakologis dan, jika perlu, terapi farmakologis dengan PPI (jika ada indikasi GERD), baclofen, atau gabapentin.
Chlorpromazine dan metoclopramide dapat dipertimbangkan sebagai alternatif dengan memperhatikan potensi efek sampingnya. Penting untuk mengenali tanda dan gejala "red flag" yang memerlukan evaluasi lebih lanjut oleh spesialis.
Meskipun bukti definitif mengenai terapi cegukan persisten masih terbatas, pendekatan berbasis bukti dan pemahaman tentang potensi penyebab dan
terapi lini pertama akan membantu dokter umum dalam mengelola kondisi ini secara efektif dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Tabel 3: Terapi Farmakologis Lini Pertama Cegukan Persisten
Obat | Dosis Umum | Cara Pemberian | Efek Samping Potensial |
PPI (Omeprazole) | 20-40 mg per hari | Oral | Umumnya aman, efek samping ringan seperti sakit kepala, diare, atau nyeri perut. |
Baclofen | 10 mg tiga kali sehari (kisaran 5 mg BID - 20 mg TID) | Oral | Ataksia, delirium, pusing, sedasi. Perhatian pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. |
Gabapentin | 900-1200 mg per hari (dibagi dalam beberapa dosis) | Oral | Kantuk sementara. Umumnya ditoleransi dengan baik. |
Chlorpromazine | 25 mg empat kali sehari (dapat ditingkatkan menjadi 50 mg) | Oral | Sedasi, hipotensi, efek ekstrapiramidal. |
Metoclopramide | 10 mg tiga kali sehari (dosis lebih tinggi mungkin diperlukan) | Oral, Parenteral | Kelelahan, perubahan suasana hati, pusing. |
Referensi:
Managing hiccups - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3114667/
Interventions for treating persistent and intractable hiccups in adults - PMC, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6452787/
Hiccup: Mystery, Nature and Treatment - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3325297/
Hiccups: A Non-Systematic Review - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32384036/
Hiccups: a common problem with some unusual causes and cures - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5072913/
Singultus - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed March 23, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538225/
Chronic Hiccups - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31974814/
Protracted hiccups due to severe erosive esophagitis: a case series - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16633116/
Intractable Hiccups in a Patient With End-Stage Renal Disease: A Five-Month Ordeal Resolved Through Hemodialysis - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11226210/
Treatment of Idiopathic Persistent Hiccups with Positive Pressure Ventilation -A Case Report- - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3324734/
Persistent hiccups after treatment of COVID-19 with dexamethasone: A case report - PMC, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8431841/
Persistent Postoperative Hiccups - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7355363/
Systemic review: the pathogenesis and pharmacological treatment of hiccups - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26307025/
Baclofen for stroke patients with persistent hiccups: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4223604/
BACLOFEN IN THE TREATMENT OF PERSISTENT HICCUP: A CASE SERIES - PMC, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4976596/
Baclofen therapy for chronic hiccup - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7758557/
Baclofen for hiccups: a large mixed methods multisite study - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36787986/
Successful Treatment of Persistent Hiccups in an Advanced Palliative Cancer Patient With Gabapentin: A Case Report - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10149886/
Metoclopramide in hiccup - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/1183218/
High dose of prokinetics for refractory hiccups after chemotherapy or the return to a simple drug - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3822185/
Metoclopramide for patients with intractable hiccups: a multicentre, randomised, controlled pilot study - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25069531/
Diagnosis and management of hiccups in the patient with advanced cancer - PubMed, accessed March 23, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19731575/
An Unusual Cause of Intractable Hiccups - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10259643/
Pneumomediastinum Due to Intractable Hiccup as the Presenting Symptom of Multiple Sclerosis - PMC - PubMed Central, accessed March 23, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2823028/
Bergabung dengan Dokter Post Untuk Karier Anda 🌟