26 May 2025 • Kulit
Luka hipertrofik pasca acne merupakan masalah dermatologis yang umum dijumpai dan dapat secara signifikan menurunkan kualitas hidup pasien. Prevalensi kondisi ini cukup tinggi, dengan studi menunjukkan bahwa sekitar 23.80–26.94% pasien dengan bekas luka acne mengembangkan pathological scars (PSs), termasuk luka hipertrofik. Meskipun luka hipertrofik pasca acne lebih jarang terjadi dibandingkan bekas luka atrofi (yang mencapai 80-90% kasus), proporsinya tetap signifikan dan memerlukan perhatian klinis.
Dampak psikologis dari bekas luka ini tidak dapat diabaikan, karena dapat menyebabkan penurunan kepercayaan diri, masalah dalam kehidupan sosial, dan gangguan emosional. Mengingat tingginya prevalensi dan potensi dampak negatifnya, dokter umum memegang peranan penting dalam mengenali dan melakukan penanganan awal yang tepat pada kondisi ini.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan panduan berbasis bukti dari literatur ilmiah yang terindeks di PubMed mengenai diagnosis dan tata laksana awal luka hipertrofik pasca acne, sehingga dokter umum dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien mereka.
Diagnosis Luka Hipertrofik Pasca Acne
Diagnosis luka hipertrofik pasca acne melibatkan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang teliti. Riwayat acne pasien perlu digali secara mendalam, termasuk onset, durasi, tingkat keparahan, dan penanganan yang telah dilakukan sebelumnya. Tingkat keparahan acne berkorelasi positif dengan risiko dan tingkat keparahan bekas luka yang terbentuk. Informasi mengenai kapan tepatnya bekas luka muncul setelah peradangan acne mereda juga penting.
Luka hipertrofik biasanya muncul dalam waktu satu hingga dua bulan setelah cedera kulit akibat acne. Keluhan pasien terkait bekas luka, seperti rasa gatal (pruritus) atau nyeri, perlu dicatat karena dapat membantu dalam diagnosis banding dengan jenis bekas luka lain. Selain itu, riwayat keluarga dengan bekas luka abnormal, terutama keloid, perlu ditanyakan karena keloid memiliki predisposisi genetik yang kuat.
Pada pemeriksaan fisik, lokasi bekas luka perlu diperhatikan. Area dengan tegangan kulit yang tinggi, seperti dada anterior, bahu, dan garis rahang, lebih rentan terhadap pembentukan luka hipertrofik. Bekas luka hipertrofik memiliki karakteristik yang khas, yaitu batasnya tegas dan tidak meluas di luar batas luka acne awal.
Secara visual, bekas luka ini tampak berwarna merah muda (pink), terangkat dari permukaan kulit, dan terasa keras saat dipalpasi. Salah satu ciri penting yang membedakan luka hipertrofik dari keloid adalah kemampuannya untuk mengalami regresi atau perbaikan spontan seiring waktu.
Perbedaan klinis utama antara luka hipertrofik dan keloid sangat penting untuk ditegakkan. Keloid tumbuh meluas di luar batas luka awal, sedangkan luka hipertrofik tetap terbatas pada area luka. Selain itu, keloid tidak cenderung mengalami regresi spontan. Keloid juga lebih sering terjadi pada individu dengan warna kulit yang lebih gelap dan memiliki riwayat keluarga dengan keloid.
Dokter umum perlu merujuk pasien ke dokter spesialis dermatologi dalam beberapa situasi, termasuk diagnosis yang tidak pasti (terutama jika sulit dibedakan dari keloid), bekas luka yang luas, nyeri, atau sangat mengganggu secara kosmetik, serta bekas luka yang tidak menunjukkan respons terhadap penanganan awal.
Kombinasi antara riwayat pasien yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama merupakan kunci utama dalam diagnosis luka hipertrofik pasca acne. Kecenderungan luka hipertrofik untuk mengalami regresi spontan adalah informasi penting yang perlu disampaikan kepada pasien untuk mengelola ekspektasi pengobatan.
Gambar 1. Perbedaan hypertrophic scar dengan keloid
Tata Laksana Awal Luka Hipertrofik Pasca Acne
Tata laksana awal luka hipertrofik pasca acne bertujuan untuk mengurangi inflamasi, menghambat produksi kolagen berlebih, dan memperbaiki tampilan bekas luka. Beberapa pilihan terapi dapat dipertimbangkan oleh dokter umum:
Terapi Topikal:
Silicone Gel: Produk berbasis silikon, baik dalam bentuk gel maupun lembaran, merupakan salah satu solusi paling umum dan efektif dalam pencegahan dan pengobatan luka hipertrofik pasca acne. Mekanisme kerjanya diduga melibatkan peningkatan hidrasi stratum korneum, yang kemudian mengatur produksi fibroblast dan kolagen. Selain itu, silikon gel juga melindungi jaringan parut dari invasi bakteri dan memodulasi ekspresi faktor pertumbuhan seperti TGF-β dan FGF β. Cara aplikasinya cukup mudah, yaitu dengan mengoleskan lapisan tipis gel silikon dua kali sehari pada bekas luka yang telah dibersihkan dan dikeringkan 2. Untuk pengobatan, penggunaan minimal selama 8 minggu direkomendasikan, sedangkan untuk pencegahan pada pasien berisiko, durasinya dapat mencapai 12-16 minggu dan dimulai sesegera mungkin setelah risiko teridentifikasi. Terapi dengan silikon gel aman digunakan pada semua usia, termasuk anak-anak dan wanita usia subur, serta dapat digunakan sepanjang tahun. Efektivitas awal silikon gel dapat terlihat dari pengurangan ketebalan, perubahan warna menjadi lebih samar, dan perbaikan tekstur bekas luka. Kemudahan penggunaan dan profil keamanan yang baik menjadikan silikon gel sebagai pilihan lini pertama yang didukung oleh bukti ilmiah.
Kortikosteroid Topikal: Kortikosteroid topikal berperan dalam mengurangi inflamasi pada bekas luka hipertrofik. Beberapa jenis yang umum digunakan meliputi betamethasone valerate 0.1%, fluocinolone acetate cream 0.25%, dan clobetasol propionate 0.05%. Meskipun dapat dipertimbangkan untuk luka hipertrofik ringan, potensi efek samping seperti atrofi kulit, telangiectasia (pelebaran pembuluh darah kecil), dan hipopigmentasi (berkurangnya pigmen kulit) perlu diperhatikan, terutama pada penggunaan jangka panjang. Penggunaan kortikosteroid topikal sebaiknya dibatasi untuk durasi singkat dan dengan pemantauan yang cermat.
Retinoid dan Asam Glikolat: Retinoid topikal, seperti tretinoin, diketahui dapat meningkatkan produksi kolagen dan mengurangi hiperpigmentasi pasca inflamasi yang sering menyertai bekas luka acne. Asam glikolat, sebagai alpha-hydroxy acid (AHA), memiliki sifat keratolitik yang dapat membantu memperbaiki tekstur kulit dan mengurangi tampilan bekas luka atrofi. Kombinasi tretinoin 0.025% dan asam glikolat 12% telah menunjukkan perbaikan pada bekas luka acne. Asam glikolat sendiri dapat digunakan dalam berbagai konsentrasi (20-70%) untuk pengelupasan kimiawi. Meskipun retinoid dan asam glikolat lebih sering digunakan untuk bekas luka atrofi dan hiperpigmentasi, penggunaannya sebagai terapi tambahan dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki tekstur dan warna pada luka hipertrofik pasca acne, meskipun efektivitasnya mungkin tidak sekuat terapi lain yang lebih spesifik untuk luka hipertrofik.
Terapi Injeksi Intralesi:
Kortikosteroid (Triamcinolone Acetonide):
Injeksi kortikosteroid intralesi, terutama triamcinolone acetonide (TAC), merupakan salah satu terapi yang paling umum digunakan untuk luka hipertrofik yang tebal, menonjol, dan tidak responsif terhadap terapi topikal. TAC bekerja dengan menekan inflamasi, mengurangi produksi kolagen dan glikosaminoglikan, menghambat pertumbuhan fibroblast, dan meningkatkan degenerasi kolagen.
Dosis yang direkomendasikan umumnya berkisar antara 10-40 mg/mL per lesi, dan injeksi dapat diulang setiap 3-4 minggu. Untuk lesi yang lebih kecil atau yang terletak di wajah, dosis yang lebih rendah (2.5-5 mg/mL) lebih disarankan untuk meminimalkan risiko efek samping.
Beberapa studi menunjukkan bahwa dosis 7.5 mg/1 cm² efektif untuk pengobatan keloid. Efek samping yang mungkin terjadi meliputi atrofi kulit, telangiectasia, hipopigmentasi, dan nyeri pada tempat injeksi. Untuk mengurangi nyeri, injeksi sebaiknya didahului dengan aplikasi krim anestesi topikal atau injeksi lidokain lokal.
Penggunaan injeksi kortikosteroid intralesi merupakan pilihan yang kuat untuk penanganan awal luka hipertrofik yang lebih signifikan, namun dosis optimal perlu disesuaikan dengan ukuran dan lokasi lesi, serta potensi efek samping lokal harus dipertimbangkan dengan hati-hati.
Injeksi intralesional, terutama yang mengombinasikan 5-Fluorouracil (5-FU) dan triamcinolone acetonide (TAC), telah menunjukkan efikasi yang signifikan dalam mengurangi jaringan parut hipertrofik. Kombinasi ini dilaporkan dapat mencapai pengurangan ukuran jaringan parut dengan rata-rata standar (SMR) sebesar 64,1%, menjadikannya salah satu pengobatan yang paling efektif yang tersedia.
Pilihan Terapi Lain:
Cryotherapy: Terapi dengan menggunakan suhu sangat rendah (biasanya nitrogen cair) dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan injeksi steroid untuk mengobati luka hipertrofik dan keloid. Mekanisme kerjanya melibatkan kerusakan vaskular dan nekrosis jaringan. Cryotherapy dapat dipertimbangkan untuk lesi kecil, terutama yang berada di luar area wajah. Efek samping yang mungkin timbul termasuk hipopigmentasi, hiperpigmentasi, pembentukan lepuh (blistering), dan nyeri pasca tindakan. Risiko perubahan pigmentasi perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan warna kulit lebih gelap.
Pressure Therapy: Terapi dengan memberikan tekanan pada bekas luka, misalnya menggunakan perban elastis atau pakaian penekan, dapat membantu memperbaiki ketebalan, kemerahan (eritema), dan kekerasan luka hipertrofik. Metode ini umumnya digunakan untuk bekas luka bakar. Penerapannya pada bekas luka acne di wajah mungkin kurang praktis dan kenyamanan pasien perlu diperhatikan.
Laser Therapy: Perawatan laser, seperti laser CO2 fraksional (FCL) dan pulsed-dye (PDL), sering digunakan untuk hypertrophic scar.Modalitas ini sangat efektif untuk pasien dengan jenis kulit yang lebih terang (Fitzpatrick I-III) dan telah dikaitkan dengan kejadian efek samping yang minimal. FCL telah terbukti dapat memperbaiki gejala jaringan parut pada sebagian besar pasien, dengan kejadian efek samping yang rendah seperti eritema dan pengelupasan epidermal.
Algoritma Penanganan Awal (Usulan)
Berikut adalah usulan algoritma penanganan awal luka hipertrofik pasca acne yang dapat dipertimbangkan oleh dokter umum:
Lakukan diagnosis klinis luka hipertrofik pasca acne berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta bedakan dengan keloid.
Berikan edukasi kepada pasien mengenai kondisi yang dialami, pilihan terapi yang tersedia, dan ekspektasi hasil pengobatan.
Rekomendasikan penggunaan silicone gel sebagai terapi lini pertama untuk sebagian besar kasus. Jelaskan cara aplikasi yang benar dan durasi penggunaan minimal 8 minggu.
Untuk bekas luka yang lebih tebal, menonjol, atau tidak menunjukkan respons terhadap silicone gel setelah beberapa minggu, pertimbangkan injeksi kortikosteroid intralesi (Triamcinolone Acetonide) dengan dosis yang sesuai (lihat Tabel Dosis) berdasarkan ukuran dan lokasi bekas luka. Perhatikan potensi efek samping.
Cryotherapy dapat dipertimbangkan untuk lesi kecil, terutama di luar area wajah, dengan mempertimbangkan risiko perubahan pigmentasi.
Kortikosteroid topikal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi inflamasi ringan, namun penggunaan jangka panjang perlu diwaspadai.
Rujuk pasien ke dokter spesialis dermatologi jika diagnosis tidak pasti, bekas luka sangat luas atau mengganggu, terdapat keloid, atau tidak ada respons terhadap penanganan awal.
Dosis Obat yang Direkomendasikan
Tabel Dosis Triamcinolone Acetonide untuk Injeksi Intralesi:
Lokasi Bekas Luka | Ukuran Bekas Luka | Dosis Awal yang Direkomendasikan | Frekuensi Injeksi | Catatan |
Wajah | Kecil | 2.5 - 5 mg/mL | Setiap 3-4 minggu | Hati-hati dengan risiko atrofi kulit dan hipopigmentasi. |
Wajah | Sedang | 10 mg/mL | Setiap 3-4 minggu | Pantau respons dan efek samping. |
Tubuh | Kecil | 5 - 10 mg/mL | Setiap 3-4 minggu | |
Tubuh | Sedang | 10 - 20 mg/mL | Setiap 3-4 minggu | |
Tubuh | Besar/Tebal | 20 - 40 mg/mL | Setiap 3-4 minggu | Pertimbangkan kombinasi dengan cryotherapy. |
Catatan Penting: Dosis dapat disesuaikan berdasarkan respons klinis dan toleransi pasien. Total dosis per sesi injeksi tidak boleh melebihi batas yang aman.
Kortikosteroid Topikal: Kekuatan dan frekuensi aplikasi tergantung pada jenis kortikosteroid yang digunakan. Kortikosteroid potensi rendah hingga sedang dapat digunakan 1-2 kali sehari untuk durasi terbatas. Kortikosteroid potensi tinggi sebaiknya digunakan dengan hati-hati dan untuk periode yang lebih singkat di bawah pengawasan dokter.
Kesimpulan
Penanganan awal luka hipertrofik pasca acne oleh dokter umum memegang peranan krusial dalam mencegah perkembangan bekas luka yang lebih parah dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Diagnosis yang akurat, terutama dalam membedakan luka hipertrofik dari keloid, merupakan langkah awal yang sangat penting. Silicone gel adalah pilihan terapi topikal lini pertama yang aman dan efektif untuk sebagian besar kasus. Injeksi kortikosteroid intralesi dapat dipertimbangkan untuk bekas luka yang lebih tebal dan menonjol, dengan memperhatikan dosis yang tepat dan potensi efek samping.
Rujukan ke dokter spesialis dermatologi diperlukan untuk kasus-kasus yang kompleks, tidak responsif terhadap penanganan awal, atau jika terdapat keraguan dalam diagnosis. Dengan pemahaman yang baik mengenai diagnosis dan pilihan terapi awal yang berbasis bukti, dokter umum dapat memberikan kontribusi signifikan dalam penanganan luka hipertrofik pasca acne.
Acne-induced pathological scars: pathophysiology and current ..., accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10998535/
Acne Scars: Pathogenesis, Classification and Treatment - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2958495/
Acne Scarring—Pathogenesis, Evaluation, and Treatment Options ..., accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5749614/
Hypertrophic Scarring Keloids - StatPearls - NCBI Bookshelf, accessed March 30, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537058/
An Updated Review of Hypertrophic Scarring - PMC - National Institutes of Health (NIH), accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10000648/
The Efficacy of Silicone Gel for the Treatment of Hypertrophic Scars and Keloids - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2918339/
The Use of Silicone Adhesives for Scar Reduction - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4486716/
Real-world management of abnormal scarring using topical silicone gel: expert consensus and case series from the Asian SCARS Expert Group, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10321470/
A Comprehensive Review of Non-Surgical Treatments for Hypertrophic and Keloid Scars in Skin of Color - PubMed Central, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11193462/
The application of corticosteroids for pathological scar prevention ..., accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10025010/
Retinoic acid and glycolic acid combination in the treatment of acne scars - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4375771/
Innovative Therapies in the Treatment of Keloids and Hypertrophic Scars - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2922716/
Retinoic acid and glycolic acid combination in the treatment of acne scars - ResearchGate, accessed March 30, 2025, https://www.researchgate.net/publication/274262530_Retinoic_acid_and_glycolic_acid_combination_in_the_treatment_of_acne_scars
Glycolic acid peel therapy – a current review - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3875240/
Management of keloids and hypertrophic scars: current and emerging options - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3639020/
Keloid treatments: an evidence-based systematic review of recent advances - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10012475/
Intralesional injection - DermNet, accessed March 30, 2025, https://dermnetnz.org/topics/intralesional-injection
Successful Treatment of Intralesional Triamcilonon Acetonide Injection in Keloid Patients - PMC - PubMed Central, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6364710/
The Most Current Algorithms for the Treatment and Prevention of Hypertrophic Scars and Keloids: A 2020 Update of the Algorithms Published 10 Years Ago - PMC, accessed March 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8687618/