Obstruksi usus merupakan penyebab 15% dari kunjungan ke unit gawat darurat akibat nyeri perut. Beberapa komplikasi yang dapat muncul dari penyakit ini adalah iskemia dan perforasi usus yang merupakan prognosis buruk yang nyata.
Morbiditas dan mortalitas penyakit ini telah menurun dengan kemajuan teknologi medis. Dengan peralatan medis penunjuang diagnostik yang lengkap pun, masih merupakan perkara yang sulit untuk mendiagnosis ileus obstruktif.
Keadaan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, di perifer, yang masih serba kekurangan menjadikan tatalaksana (yang sebelumnya harus didahuli dengan penegakan diagnosis yang akurat) tantangan besar bagi dokter umum. Ketiadaan alat-alat canggih menyebabkan dokter umum sebagai penjaga garda terdepan kesehatan Indonesia harus mengandalakan senjata-senjata klasik seperti anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Artikel ini selanjutnya akan membahas mengenai ileus obstruktif dan tatalaksananya dalam praktik sehari-hari di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Etiologi dan Patofisiologi Ileus Obstruksi
Ileus didefinisikan sebagai distensi intestine dan menurun, atau menghilangnya, pasasi dari lumen tanpa adanya obstruksi mekanis. Ileus dapat diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah :
Tabel 1. Kausa Ileus Obstruktif
Etiologi yang mendasari ileus yang paling umum adalah pembedahan abdomen, disusul oleh infeksi/inflamasi, ketidakseimbangan elektrolit, serta pemberian obat-obatan. Setelah pembedahan pada abdomen atau trauma pada abdomen, motilitas dari traktus pencernaan akan terganggu.
Hal ini disebabkan oleh munculnya respon simpatis akibat stress yang diakibatkan pada pembedahan atau trauma. Selain stress pada jaringan, keluarnya mediator inflamasi serta efek samping dari pemberian obat analgesic dapat turut menyumbang kausa terjadinya ileus obstruktif.
Jadi perlu diperhatikan riwayat pembedahan pada pasien yang baru saja menjalani pembedahan atau trauma abdomen. Setelah masalah bedah berhasil ditangani, ileus biasanya tidak kembali sampai 24 jam setelah pembedahan.
Normalnya ileus dapat muncul bahkan tiga sampai lima hari setelah pembedahan. Monitoring munculnya kembali ileus harus ditunjukkan dari kemampuan pasien untuk kentut dan bukan kembalinya suara usus saat pemeriksaan auskultasi.
Anamnesis juga harus meliputi kausa-kausa lain dalam ileus obstruktif. Jika pasien baru saja mual muntah banyak, atau diare, keseimbangan elektrolit dapat terganggu dan pemeriksaan serum elektrolit menjadi rujukan selanjutnya.
Infeksi dan inflamasi juga menjadi salah satu kausa tertinggi dari ileus obstruktif. Anamnesis batuk dan gejala respiratorik dapat mengarah pada pneumonia. Tanda-tanda klasik inflamasi dan infeksi seperti demam juga perlu untuk ditanyakan pada anmnesis.
Obat-obatan yang dikonsumsi juga bisa menjadi faktor penyebab ileus obstruktif. Beberapa pasien dengan kanker yang diberikan opioid sebagai anti-nyeri dapat menyebabkan terdepresinya pasase dari usus. Penyakit lain yang harus diwaspadai terapinya dapat menyebabkan ileus adalah hipertensi dengan pemberian calcium channel blocker, dan depresi dengan pembeian antidepresan triskilik.
Sponsored Content
Tinggal 29 eks (bonus ebook Batu Saluran Kemih) => Pesan Sekarang
Kausa lain yang lebih jarang adalah kanker pada abdomen, dengan angka kejadian tertinggi pada kasus kanker kolon. Tanyakan riwayat kanker pada pasien atau jika belum terdiagnosis dapat ditanyakan perubahan dari kebiasaan buang air besar pasien.
Diagnosis Ileus Obstruktif
Secara umum ileus dapat muncul dengan tanda-tanda yang cukup jelas berupa :
- Ketidakmampuan untuk makan dan minum
- Mual dan muntah setelah makan dan minum
- Tidak bisa kentut dan tidak bisa buang air besar
- Suara usus tidak terdengar atau lemah
Jika ileus terjadi 3 – 5 hari pasa pembedahan abdomen, maka dapat diduga bahwa ileus disebabkan oleh pembedahan dan harus ditunggu sampai pasase usus kembali. Jika pasien tidak baru saja menjalani pembedahan, kausa-kausa lain harus disingkirkan. Kausa lain berupa obat dapat menjadi aspek diagnosis. Obat-obat yang diterima dan dikonsumsi pasien harus dikumpulkan dan diperiksa efek sampingnya.
Pada sebagian fasilitas kesehatan tingkat primer, sekarang ultrasonografi sudah tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk mengkonfirmasi temuan klinis. Ultrasonografi cukup sensitif untuk mendeteksi obstruksi intestinal, sensitivitasnya mendekati 85%.
Walaupun begitu, setelah terapi awal, pasien yang dicurigai ileus harus dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang memiliki dokter bedah dan peralatan lebih canggih untuk menegakkan diagnosis ileus.
Terapi Ileus Obstruktif
Ileus harus sesegera mungkin ditangani untuk menghindari komplikasi berupa iskemia dan perforasi intestinal. Prinsip dari terapi ileus dalah untuk tidak memperparah ileus dengan intak, dan mengurangi efek dari kebuntuan yang disebabkan ileus.
Jika ileus telah didagnosis (di fasilitas kesehatang tingkat lanjut) kausa ileus juga harus dihilangkan. Tatalaksana ileus yang bisa dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat primer adalah:
- Stabilisasi ABCD, pastikan jalan napas bebas, pernapasan baik.
- Berikan terapi cairan secara agresif
- Membatasi makan dan minum pada pasien (pasien dipuasakan)
- Jika distensi abdomen berlebihan, pipa nasogastrik dapat dipasang untuk dekompresi
- Jika ada, hentikan obat-obatan yang ileus
- Ketidakseimbangan elektrolit dapat dikoreksi salah satunya dengan pemberian cairan
- Berikan antibiotik jika ada tanda-tanda infeksi
Setelah pasien stabil, pasien dapat dirujuk. Jika pasien belum stabil, stabilisasi mutlak untuk dilakukan karena transportasi dengan keadaan tidak stabil dapat membahayakan nyawa pasien.
Algoritma Manajemen Obstruksi Usus Halus
Ada algoritma mudah yang dapat digunakan untuk memastikan pasien dengan obstruksi usus halus mendapatkan tatalaksana yang tepat.
Gambar 1. Algoritma penanganan obstruksi usus halus
Jika dokter berada di tempat yang jauh dari fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, atau pada saat perujukan tidak memungkinkan, ada tempat untuk melakukan penanganan secara konservatif.
Jika pasien tidak stabil setelah usaha stabilisasi, maka merujuk adalah satu-satunya opsi karena laparatomi eksploratif merupakan satu-satunya modalitas terapi. Salah satu tanda tidak stabilnya pasien adalah shock yang berkelanjutan setelah terapi cairan karena terdapat pendarahan intra-abdomen.
Setelah pemasangan pipa nasogastric dan pemberian cairan pasien menjadi stabil, maka pasien kemungkinan menderita obstruksi total dan obstruksi parsial. Jika tidak bisa merujuk, observasi pasien dalam 1-2 hari.
Jika dalam 1 sampai 2 hari ada perbaikan (pasien dapat BAB, suara usus menguat) maka sarankan pasien untuk melakukan diet tinggi serat. Namun jika dalam 1 dan dua hari pasien tidak mengalami perbaikan maka pasien harus segera dirujuk untuk dilakukan laparatomi eksploratif.
Ketepatan waktu dalam merujuk serta penanganan awal pada ileus obstruktif menjadi kunci utama dalam minimalisasi morbiditas dan mortalitas kasus ini. Saat dihadapkan pada kasus ileus dokter umum harus memiliki pola pikir untuk sesegera mungkin merujuk pasien ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut.
Hal ini dicerminkan dalam SKDI yang telah mengatur ileus sebagai kompetensi 2. Kecuali disebabkan oleh kausa-kausa yang tidak memungkinan untuk rujukan, menahan pasien di fasilitas kesehatan tingkat primer tidak disarankan.
Jika ada sebab-sebab yang tidak memungkinan rujukan terapi konservatif dapat dicoba dengan mempuasakan pasien, memasang pipa nasogastric, terapi cairan yang agresif, serta pemberian antibiotik. (RPG)
Sponsored Content
Buku Dissection adalah Buku Update Klinis di Bidang Ilmu Bedah.
Cocok untuk kamu yang
- Dokter IGD yang sering dapat kasus bedah
- Dokter umum yang pengen melanjutkan PPDS Bedah
- Sedang internship
Harga 156 ribu
Pesan sekarang di Yahya 085608083342 (WA)
Referensi
- Sabiston and Townsend, C. (2004). Sabiston textbook of surgery. Philadelphia: Elsevier Saunders.
- Schwartz, S. (2005). Principles of surgery. New York: McGraw-Hill, Health Professions Division.
- Dervisoglou, A. et al. (2005) ‘A causal factors and treatment of obstructive ileus in 369 patients’, Annali Italiani di Chirurgia, 76(5), pp. 477–480.
- Jackson, P. G. and Raiji, M. (2011) ‘Evaluation and management of intestinal obstruction’, American Family Physician, 83(2), pp. 159–165.