23 Jul 2015 • Internal Medicine
Sebuah panduan protokol penanganan HHS digambarkan dengan baik pada diagram di atas (Kitabchi dkk, 2006).
HHS dan DKA adalah kondisi emergensi di bidang endokrinologi. Dua kondisi di atas dapat dialami oleh penderita Diabetes Mellitus (DM).
Hyperosmolar Hyperglicemic State (HHS) adalah sindrom yang merupakan kumpulan gejala: hiperglikemia (+), hiperosmolar (+), ketonemia (-) dan ketonuria (-). Berdasar definisi sederhana tersebut jelas bahwa untuk menegakkan diagnosis HHS setidaknya dibutuhkan empat pemeriksaan penunjang penting: Kadar Gula darah, Osmolaritas serum/kadar elektrolit darah, kadar Keton di darah dan urin. Diagnosis HHS sudah dibahas lebih detail pada artikel sebelumnya.
HHS adalah momok bagi ahli endokrinologi di USA. Tercatat angka kejadian HHS mencapai 17,5 per 100.000 penduduk, dengan angka mortalitas 10-20%!!!
Di Indonesia lebih menakutkan. Angka kematian pasien HHS di Jakarta bisa mencapai 30-50%. Jadi kalo di Jakarta ada 1000 pasien HHS setiap tahun, itu artinya akan ada 300-500 pasien yang akan meninggal karena HHS setiap tahun. Bagaimana dengan angka mortalitas di daerah? Saya rasa tidak akan lebih rendah.
Gejala klinis HHS tidak mudah dibedakan dengan DKA, namun ada beberapa kata kunci yang bisa dijadikan clue:
Prinsip penatalaksanaan HHS hampir sama dengan DKA, hanya cairan yang digunakan bukan cairan istonis, melainkan hipotonis. Monitoring glukosa juga harus lebih disiplin, begitu juga dengan pemberian insulin.
Prinsip terapi HHS adalah:
Defisit cairan pada pasien HHS berkisar 100-200 mL/kgBB (rata-rata butuh 9L). Hati-hati terhadap komplikasi edema cerebri dan overload cairan. Pada pasien yang mengalami syok hipovolemik, pertimbangkan penggunaan plasma expanders. Jika mengalami syok kardiogenik, jangan lupa melakukan monitor hemodinamik ketat.
Target konsentrasi kalium adalah 4.0-5.0 mEq/L. Jika kadar kalium < 3.3 mEq/L maka pemberian insulin dapat ditunda. Jika kadar kalium 3.3-5.0 mEq/L, maka kombinasi kalium klorida: kalium fosfat (2:1) dapat diberikan dengan dosis 20-30 mEq setiap liter cairan intravena yang diberikan. Jika kadar kalium > 5.0 mEq/L, maka kadar kalium harus diturunkan hingga dibawah 5.0 mEq/L dengan monitoring setiap 2 jam.
Pastikan cairan telah diberikan secara adekuat sebelum memulai memberikan insulin. Inuslin inisiasi diberikan dengan bolus 0.15 U/kgBB secara IV, diikuti dengan drip 0.1 U/kgBB per jam, dengan target glukosa 250-300 mg/dL. Laju penurunan glukosa darah diharapkan 50-70 mg/dL setiap jam, jika belum mencapai angka tersebut maka dosis insulin dapat ditingkatkan. Jika kadar gula darah sudah mencapai < 300 mg/dL, insulin tetap diberikan dengan diturunkan dosis secara perlahan (sliding scale). Targetnya adalah kesadaran pasien yang membaik dan osmolaritas serum yang teresolusi.
Antibiotik dapat diberikan jika ada kecurigaan infeksi sebagai pencetus, mengingat infeksi adalah 57% penyebab HHS. Pengendalian berbagai faktor pencetus penting untuk dilakukan. Jangan lupa juga untuk senantiasa waspada pada komplikasi terapi: oklusi vaskular, infark miokard, Disseminater Intravascular Coagulation (DIC), Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan edema cerebri.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Jakarta: Interna Publishing
(dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi V).
Baca Juga: Pilih Glibenclamide atau Metformin?
Perubahan Diagnosis Dengue ICD 11
9 May 2020
Rangkuman Webinar PAPDI 30 April 2020
2 May 2020
Bergabung dengan Dokter Post Untuk Karier Anda 🌟