Dokter Post - Tatalaksana PPOK Terkini untuk Dokter Umum: Panduan Praktis Berbasis Bukti

Tatalaksana PPOK Terkini untuk Dokter Umum: Panduan Praktis Berbasis Bukti

30 Jul 2025 • Pulmonologi

Deskripsi

Tatalaksana PPOK Terkini untuk Dokter Umum: Panduan Praktis Berbasis Bukti

I. Pendahuluan: Mengenal PPOK Lebih Dekat

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan global yang signifikan. Pemahaman terkini mengenai definisi, patofisiologi, dan faktor risiko PPOK menjadi landasan penting bagi dokter umum dalam memberikan tatalaksana yang optimal.

Definisi PPOK (GOLD 2023): Penyakit Heterogen yang Dapat Dicegah dan Diobati

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) dalam laporannya tahun 2023 mendefinisikan PPOK sebagai "kondisi paru heterogen yang ditandai dengan gejala respiratorik kronis (dispnea, batuk, produksi sputum, dan/atau eksaserbasi) akibat abnormalitas saluran napas (bronkitis, bronkiolitis) dan/atau alveoli (emfisema) yang menyebabkan obstruksi aliran udara persisten dan seringkali progresif". 

Definisi ini menggarisbawahi bahwa PPOK bukanlah entitas penyakit tunggal, melainkan spektrum kondisi yang mendasari gejala dan obstruksi aliran udara. Pergeseran fokus ini mengakui adanya variasi dalam manifestasi penyakit, seperti predominansi bronkitis kronik atau emfisema, yang mungkin memerlukan pendekatan berbeda di masa depan, meskipun panduan saat ini masih mengelompokkan pasien untuk terapi awal. Penting untuk ditekankan bahwa PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan dapat diobati.

Sekilas Patofisiologi dan Faktor Risiko Utama

Secara patofisiologi, PPOK ditandai oleh respons inflamasi kronik pada saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas berbahaya. Inflamasi ini melibatkan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag teraktivasi, dan limfosit T CD8+. 

Proses ini menyebabkan perubahan struktural berupa penebalan dinding saluran napas, hipersekresi mukus, kerusakan parenkim paru (emfisema), dan fibrosis saluran napas kecil. Akibatnya, terjadi keterbatasan aliran udara ekspirasi yang persisten, air trapping, dan hiperinflasi paru, terutama saat aktivitas fisik, yang bermanifestasi sebagai sesak napas.

Faktor risiko utama PPOK adalah paparan asap rokok jangka panjang (umumnya >10 pak-tahun). Namun, PPOK juga dapat berkembang akibat interaksi kompleks seumur hidup antara faktor genetik dan lingkungan (konsep GETomics). 

Faktor risiko lain meliputi polusi udara (dalam dan luar ruangan, termasuk asap biomassa), paparan debu dan kimia di tempat kerja, faktor genetik (seperti defisiensi alfa-1 antitripsin), gangguan tumbuh kembang paru sejak dalam kandungan atau masa kanak-kanak (misalnya asma anak, infeksi saluran napas berulang), dan penuaan. 

Umumnya, gejala PPOK mulai muncul pada usia di atas 35-40 tahun. Pengakuan etiologi multifaktorial ini penting, karena PPOK perlu tetap dipertimbangkan bahkan pada pasien non-perokok jika terdapat riwayat paparan atau faktor risiko relevan lainnya.

Gambar 1. Patofisiologi PPOK

Figure 1

II. Menegakkan Diagnosis PPOK di Layanan Primer (Diagnosis dan Terapi PPOK)

Diagnosis PPOK di layanan primer memerlukan kombinasi antara kecurigaan klinis berdasarkan anamnesis dan gejala, serta konfirmasi objektif melalui pemeriksaan spirometri.

Kecurigaan Klinis: Anamnesis dan Gejala Kunci

Kecurigaan PPOK harus muncul pada individu berusia >35-40 tahun dengan riwayat paparan faktor risiko (terutama merokok) yang mengeluhkan satu atau lebih gejala respiratorik kronis. Gejala kunci yang perlu digali meliputi:

  • Dispnea: Bersifat progresif (memburuk seiring waktu), persisten (terjadi setiap hari), dan memberat saat aktivitas fisik.

  • Batuk Kronik: Dapat bersifat intermiten atau terjadi setiap hari, seringkali sepanjang hari, dan bisa produktif (disertai sputum) maupun tidak.

  • Produksi Sputum Kronik: Adanya produksi sputum secara rutin perlu ditanyakan.

Penting disadari bahwa gejala-gejala ini tidak spesifik dan dapat tumpang tindih dengan kondisi lain seperti asma atau gagal jantung. Oleh karena itu, kombinasi antara gejala kronis dengan riwayat paparan faktor risiko yang signifikan dan usia yang sesuai menjadi pemicu kuat untuk melanjutkan pemeriksaan objektif. 

Diagnosis PPOK seringkali terlambat, dan banyak pasien baru teridentifikasi setelah mengalami eksaserbasi yang mungkin sebelumnya salah didiagnosis sebagai bronkitis akut berulang.

Konfirmasi dengan Spirometri: Standar Emas Diagnosis

Spirometri merupakan pemeriksaan esensial dan menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis PPOK. Pemeriksaan ini harus dilakukan setelah pemberian bronkodilator (paska-bronkodilator) untuk menilai adanya obstruksi aliran udara yang persisten. Diagnosis PPOK dikonfirmasi jika ditemukan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) < 0.70 paska-bronkodilator.

Nilai FEV1 (% prediksi) paska-bronkodilator digunakan untuk menentukan derajat beratnya obstruksi aliran udara (lihat Tabel 1), namun parameter ini tidak lagi menjadi dasar utama dalam menentukan strategi terapi farmakologis awal. Meskipun demikian, derajat obstruksi tetap penting sebagai prediktor prognosis jangka panjang dan risiko eksaserbasi.

Meskipun pedoman menekankan kewajiban spirometri, studi menunjukkan bahwa pemeriksaan ini masih kurang dimanfaatkan di layanan primer. Hal ini berisiko menyebabkan kesalahan diagnosis (baik overdiagnosis maupun underdiagnosis) dan tatalaksana yang tidak tepat. Oleh karena itu, peningkatan akses dan pemanfaatan spirometri, atau rujukan untuk pemeriksaan ini, menjadi krusial dalam praktik sehari-hari.

Tabel 1: Klasifikasi Derajat Obstruksi Aliran Udara PPOK (GOLD 1-4) berdasarkan FEV1 Paska-Bronkodilator

Derajat (GOLD)

Klasifikasi Obstruksi

Nilai FEV1 (% prediksi) Paska-Bronkodilator

1

Ringan

≥80%

2

Sedang

50%≤FEV1​<80%

3

Berat

30%≤FEV1​<50%

4

Sangat Berat

<30%

FEV1 = Forced Expiratory Volume in one second (Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama); FVC = Forced Vital Capacity (Kapasitas Vital Paksa)

III. Penilaian Pasien PPOK: Menggunakan GOLD ABE Tool

Setelah diagnosis PPOK ditegakkan melalui spirometri, langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian komprehensif untuk memandu terapi awal. Pendekatan modern tidak lagi hanya berfokus pada derajat obstruksi (FEV1), melainkan pada dampak penyakit terhadap pasien, yaitu beban gejala dan risiko eksaserbasi di masa mendatang. Hal ini didasari temuan bahwa FEV1 memiliki korelasi yang rendah dengan kualitas hidup dan kapasitas fungsional pasien.

Menilai Beban Gejala dan Risiko Eksaserbasi

Penilaian ini menggunakan dua parameter utama:

  1. Beban Gejala: Diukur menggunakan kuesioner standar seperti modified Medical Research Council (mMRC) untuk menilai tingkat dispnea, atau COPD Assessment Test (CAT) untuk penilaian yang lebih komprehensif terhadap dampak PPOK pada kehidupan sehari-hari. Skor mMRC ≥2 atau CAT ≥10 menunjukkan beban gejala yang signifikan.

  2. Riwayat Eksaserbasi: Jumlah eksaserbasi yang dialami pasien dalam 12 bulan terakhir dicatat. Eksaserbasi didefinisikan sebagai perburukan akut gejala respiratorik yang memerlukan terapi tambahan. Dibedakan antara eksaserbasi sedang (memerlukan kortikosteroid sistemik dan/atau antibiotik) dan eksaserbasi berat (memerlukan kunjungan ke unit gawat darurat atau hospitalisasi). Riwayat eksaserbasi merupakan prediktor terbaik untuk risiko eksaserbasi di masa depan.

Aplikasi GOLD ABE Tool (2023) untuk Klasifikasi Pasien

Berdasarkan penilaian beban gejala dan riwayat eksaserbasi, pasien diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga grup menggunakan GOLD ABE tool (pembaruan dari sistem ABCD sebelumnya) :

  • Grup A: Gejala minimal (mMRC 0-1 atau CAT <10) DAN Risiko rendah (0-1 eksaserbasi sedang dalam setahun terakhir, tanpa riwayat hospitalisasi karena eksaserbasi).

  • Grup B: Gejala signifikan (mMRC ≥2 atau CAT ≥10) DAN Risiko rendah (0-1 eksaserbasi sedang dalam setahun terakhir, tanpa riwayat hospitalisasi karena eksaserbasi).

  • Grup E: Risiko tinggi ( ≥2 eksaserbasi sedang ATAU ≥1 eksaserbasi yang memerlukan hospitalisasi dalam setahun terakhir), terlepas dari tingkat beban gejalanya.

Pengenalan Grup E (menggabungkan grup C dan D sebelumnya) menyederhanakan klasifikasi pasien berisiko tinggi dan menekankan bahwa riwayat eksaserbasi yang signifikan merupakan faktor dominan yang memerlukan strategi terapi awal yang lebih intensif untuk pencegahan. Ini menggarisbawahi pentingnya pencegahan eksaserbasi sebagai target terapi utama pada kelompok pasien ini.

IV. Tatalaksana PPOK Stabil: Pendekatan Komprehensif

Tatalaksana PPOK stabil bertujuan untuk mengurangi gejala, meningkatkan toleransi aktivitas dan kualitas hidup, serta mencegah progresi penyakit dan eksaserbasi. Pendekatan tatalaksana bersifat holistik, meliputi intervensi non-farmakologis dan farmakologis yang disesuaikan secara individual.

Pilar Non-Farmakologis: Fondasi Tatalaksana

Intervensi non-farmakologis merupakan komponen fundamental yang harus diterapkan pada semua pasien PPOK, terlepas dari derajat keparahannya, dan menjadi dasar bagi keberhasilan tatalaksana jangka panjang. Intervensi ini meliputi:

  • Berhenti Merokok: Merupakan intervensi tunggal paling efektif untuk memperlambat penurunan fungsi paru. Setiap pasien yang masih merokok harus mendapatkan konseling dan dukungan kuat untuk berhenti.

  • Vaksinasi: Vaksinasi rutin terhadap influenza, pneumokokus, COVID-19, pertusis, dan herpes zoster sangat direkomendasikan untuk mengurangi risiko infeksi pemicu eksaserbasi.

  • Aktivitas Fisik dan Rehabilitasi Paru: Pasien didorong untuk tetap aktif secara fisik sesuai kemampuan. Pasien dengan beban gejala tinggi atau risiko eksaserbasi tinggi (Grup B dan E) sebaiknya dirujuk untuk program rehabilitasi paru terstruktur, yang terbukti memperbaiki dispnea, kapasitas latihan, dan kualitas hidup. Tele-rehabilitasi dapat menjadi alternatif.

  • Edukasi Pasien: Memberikan pemahaman mengenai PPOK, tujuan pengobatan, teknik penggunaan inhaler yang benar, strategi mengatasi sesak napas, dan pentingnya mengenali serta melaporkan gejala perburukan (eksaserbasi). Penyusunan rencana aksi mandiri (self-management plan) individual sangat dianjurkan.

  • Manajemen Nutrisi: Penilaian status nutrisi dan indeks massa tubuh (IMT) penting, karena baik malnutrisi (IMT <18.5 kg/m2) maupun obesitas (IMT >30 kg/m2) berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.

Terapi Farmakologis Awal Sesuai Grup GOLD ABE (2023) (Diagnosis dan Terapi PPOK; Dosis Obat PPOK)

Pemilihan terapi farmakologis awal didasarkan pada klasifikasi grup ABE pasien (Tabel 3). Bronkodilator merupakan terapi utama.

  • Grup A: Pasien dengan gejala minimal dan risiko rendah. Terapi awal dapat berupa bronkodilator kerja singkat (SABA atau SAMA) yang digunakan bila perlu (as needed), atau dapat dipertimbangkan pemberian bronkodilator kerja panjang (LABA atau LAMA) jika memberikan perbaikan gejala yang konsisten.

  • Grup B: Pasien dengan gejala signifikan namun risiko rendah. Rekomendasi utama saat ini adalah memulai dengan kombinasi dua bronkodilator kerja panjang (LABA + LAMA). Pendekatan ini bertujuan untuk memaksimalkan bronkodilatasi sejak awal guna mengontrol gejala secara lebih efektif dibandingkan monoterapi.

  • Grup E: Pasien dengan risiko eksaserbasi tinggi. Rekomendasi terapi awal juga LABA + LAMA. Namun, pada pasien Grup E dengan jumlah eosinofil darah ≥300 sel/μL, dapat dipertimbangkan untuk memulai langsung dengan terapi tripel (LABA + LAMA + ICS). Penggunaan kombinasi LABA + ICS sebagai terapi awal tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan superioritas LABA + LAMA atau LABA + LAMA + ICS.

Gambar 2. Terapi PPOK

Figure 3.

Pergeseran menuju penggunaan kombinasi bronkodilator (LABA+LAMA) lebih dini pada grup B dan E dalam pedoman GOLD 2023 mencerminkan strategi untuk mencapai kontrol penyakit yang lebih optimal sejak awal, baik dalam hal gejala maupun potensi pencegahan eksaserbasi.

Tabel 3: Rekomendasi Terapi Farmakologis Awal PPOK Stabil (GOLD 2023)

Grup GOLD

Karakteristik

Rekomendasi Terapi Farmakologis Awal

A

Gejala minimal (mMRC 0-1 / CAT <10) & Risiko Rendah (≤1 eksaserbasi sedang)

Bronkodilator (kerja singkat atau panjang)

B

Gejala signifikan (mMRC ≥2 / CAT ≥10) & Risiko Rendah

Kombinasi LABA + LAMA

E

Risiko Tinggi (≥2 eksaserbasi sedang / ≥1 hospitalisasi)

Kombinasi LABA + LAMA <br> Pertimbangkan LABA + LAMA + ICS jika Eosinofil Darah ≥300 sel/μL

LABA = Long-acting β2​-agonist; LAMA = Long-acting Muscarinic Antagonist; ICS = Inhaled Corticosteroid; mMRC = modified Medical Research Council; CAT = COPD Assessment Test.

Terapi Lanjutan dan Penyesuaian: Fokus pada Gejala dan Eksaserbasi

Tatalaksana PPOK bersifat dinamis. Setelah terapi awal dimulai, evaluasi respons pasien menjadi kunci untuk penyesuaian terapi selanjutnya. Fokus utama evaluasi adalah kontrol gejala (terutama dispnea) dan frekuensi eksaserbasi. Pendekatan ini dikenal sebagai treatable traits.

  • Jika Target Terapi adalah Mengatasi Dispnea Persisten:

  • Jika pasien menggunakan monoterapi bronkodilator (Grup A): tingkatkan menjadi kombinasi LABA + LAMA.

  • Jika pasien sudah menggunakan LABA + LAMA: evaluasi kembali teknik penggunaan inhaler, kepatuhan, pertimbangkan penggantian jenis molekul atau alat inhaler, dan cari kemungkinan penyebab dispnea lainnya (misalnya komorbiditas).

  • Jika Target Terapi adalah Mencegah Eksaserbasi Berulang:

  • Jika pasien menggunakan monoterapi bronkodilator: tingkatkan menjadi LABA + LAMA. Jika jumlah eosinofil darah ≥300 sel/μL, dapat dipertimbangkan langsung ke LABA + LAMA + ICS.

  • Jika pasien sudah menggunakan LABA + LAMA:

  • Jika eosinofil darah ≥100 sel/μL: tingkatkan menjadi LABA + LAMA + ICS.

  • Jika eosinofil darah < 100 sel/μL: pertimbangkan penambahan Roflumilast (inhibitor PDE4, terutama jika FEV1 <50% prediksi dan fenotipe bronkitis kronik) atau Azitromisin (makrolida jangka panjang, terutama pada mantan perokok).

  • Jika pasien sudah menggunakan LABA + LAMA + ICS dan masih eksaserbasi: pertimbangkan penambahan Roflumilast atau Azitromisin seperti di atas.

Peran Eosinofil Darah dan Terapi ICS: Jumlah eosinofil darah telah menjadi biomarker penting untuk memprediksi pasien mana yang kemungkinan besar mendapat manfaat dari penambahan ICS untuk mengurangi frekuensi eksaserbasi. Nilai ≥300 sel/μL mengindikasikan kemungkinan manfaat terbesar, sementara nilai ≥100 sel/μL menunjukkan kemungkinan masih ada manfaat. 

Namun, penggunaan ICS juga dikaitkan dengan peningkatan risiko pneumonia dan potensi infeksi mikobakteri non-tuberkulosis (NTM) , meskipun risiko mortalitas akibat pneumonia tidak tampak meningkat. Efek samping lokal seperti kandidiasis oral dan suara serak juga perlu diperhatikan. 

Keputusan menggunakan ICS memerlukan pertimbangan cermat antara potensi manfaat pengurangan eksaserbasi dan risiko efek samping pada setiap individu. De-eskalasi (penghentian) ICS dapat dipertimbangkan jika terjadi efek samping signifikan (seperti pneumonia berulang) atau jika respons terapi dinilai kurang, terutama pada pasien dengan eosinofil <300 sel/μL.

Terapi Tambahan Lainnya:

  • Inhibitor Fosfodiesterase-4 (PDE4): Roflumilast (500 mcg sekali sehari) dapat mengurangi eksaserbasi pada pasien PPOK berat (FEV1 <50% prediksi) dengan fenotipe bronkitis kronik dan riwayat eksaserbasi, biasanya sebagai tambahan pada terapi bronkodilator kerja panjang atau triple therapy. Efek samping gastrointestinal (diare, mual) dan penurunan berat badan perlu diwaspadai.

  • Mukolitik: Obat seperti N-asetilsistein (NAC), karbosistein, dan erdostein dapat dipertimbangkan pada pasien PPOK tertentu, terutama yang memiliki fenotipe bronkitis kronik, untuk mengurangi frekuensi eksaserbasi, meskipun efeknya dinilai tidak besar oleh GOLD.

Tabel 4: Contoh Obat PPOK dan Dosis Umum Dewasa untuk Layanan Primer (Dosis Obat PPOK)

Kelas Obat

Contoh Obat (Generik/Dagang)

Dosis Umum & Frekuensi

Keterangan/Sumber

Bronkodilator Kerja Singkat (Reliever)


SABA

Salbutamol (Ventolin®), Terbutaline

100-200 mcg bila perlu

Onset cepat (5 menit), durasi 4-6 jam

SAMA

Ipratropium Bromida (Atrovent®)

20-40 mcg bila perlu

Onset lebih lambat dari SABA

Bronkodilator Kerja Panjang (Controller)




LAMA

Tiotropium (Spiriva®)

5 mcg (Respimat®) / 18 mcg (Handihaler®) 1x/hari



Aclidinium (Eklira®/Genuair®)

322 mcg (EU) / 400 mcg (US) 2x/hari



Glycopyrronium (Seebri®/Breezhaler®)

44 mcg (EU) / 50 mcg (US) 1x/hari



Umeclidinium (Incruse®/Ellipta®)

55 mcg (EU) / 62.5 mcg (US) 1x/hari


LABA

Salmeterol (Serevent®)

50 mcg 2x/hari



Formoterol (Oxis®, Foradil®)

12 mcg 2x/hari

Onset relatif cepat


Indacaterol (Onbrez®/Breezhaler®)

75 mcg (US) / 150 mcg (EU, JP) / 300 mcg (EU) 1x/hari

Onset cepat


Olodaterol (Striverdi®/Respimat®)

5 mcg 1x/hari


Kombinasi Bronkodilator Kerja Panjang




LAMA/LABA

Tiotropium/Olodaterol (Spiolto®/Respimat®)

5/5 mcg 1x/hari



Umeclidinium/Vilanterol (Anoro®/Ellipta®)

55/22 mcg (EU) / 62.5/25 mcg (US) 1x/hari



Glycopyrronium/Indacaterol (Ultibro®/Breezhaler®)

43/85 mcg (EU) / 50/110 mcg (US) 1x/hari



Glycopyrrolate/Formoterol (Bevespi®/Aerosphere®)

9/4.8 mcg (EU) / 7.2/5 mcg (US) 2x/hari



Aclidinium/Formoterol (Duaklir®/Genuair®)

340/12 mcg (EU) / 400/12 mcg (US) 2x/hari


Kombinasi ICS/LABA/LAMA (Triple Therapy)





Fluticasone Furoate/Umeclidinium/Vilanterol (Trelegy®/Ellipta®)

100/62.5/25 mcg 1x/hari



Budesonide/Glycopyrrolate/Formoterol (Breztri®/Aerosphere®)

160/9/4.8 mcg atau 320/18/9.6 mcg 2x/hari



Beclomethasone/Formoterol/Glycopyrronium (Trimbow®)

100/6/10 mcg (EU) 2x/hari


Terapi Tambahan




Inhibitor PDE4

Roflumilast (Daliresp®)

500 mcg 1x/hari

Untuk PPOK berat + bronkitis kronik + riwayat eksaserbasi

Catatan: Ini adalah contoh dan dosis dapat bervariasi tergantung formulasi, negara, dan kondisi klinis pasien. Selalu merujuk pada informasi produk resmi dan pedoman lokal.

V. Mengelola Eksaserbasi Akut PPOK

Eksaserbasi PPOK adalah kejadian akut yang ditandai perburukan gejala respiratorik (sesak napas, batuk, dan/atau produksi sputum) melebihi variasi normal sehari-hari, yang memerlukan perubahan dalam pengobatan. Manajemen yang cepat dan tepat di layanan primer sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mencegah hospitalisasi.

Pengenalan dan Penilaian Awal di Layanan Primer

Saat pasien datang dengan dugaan eksaserbasi, lakukan penilaian cepat meliputi:

  • Tingkat keparahan gejala: Fokus pada peningkatan dispnea, frekuensi napas, penggunaan otot bantu napas.

  • Tanda vital: Saturasi oksigen (SpO2) sangat penting; penurunan atau adanya hipoksia baru (SpO2 <88-90%) merupakan tanda bahaya dan indikasi rujukan. Waspadai potensi ketidakakuratan pulse oximeter pada kondisi tertentu.

  • Tanda infeksi: Demam, peningkatan volume sputum, dan perubahan warna sputum menjadi purulen.

  • Status mental: Penurunan kesadaran dapat mengindikasikan hiperkapnia atau hipoksemia berat.

Tatalaksana Farmakologis Eksaserbasi Ringan-Sedang

Tatalaksana eksaserbasi PPOK di layanan primer umumnya meliputi :

  1. Bronkodilator: Tingkatkan dosis dan/atau frekuensi bronkodilator kerja singkat (SABA seperti Salbutamol, dengan atau tanpa SAMA seperti Ipratropium), biasanya melalui metered-dose inhaler (MDI) dengan spacer atau nebulizer (gunakan air-driven jika memungkinkan untuk menghindari peningkatan CO2). Lanjutkan penggunaan bronkodilator kerja panjang jika pasien sudah rutin menggunakannya.

  2. Kortikosteroid Sistemik: Untuk eksaserbasi sedang hingga berat, berikan Prednison oral 40 mg per hari (atau ekuivalennya) selama 5 hari. Durasi yang lebih pendek ini terbukti sama efektifnya dengan durasi lebih lama, namun dengan risiko efek samping yang lebih rendah (termasuk pneumonia).

  3. Antibiotik: Indikasi pemberian antibiotik adalah jika pasien menunjukkan tiga gejala kardinal (peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum) atau dua gejala kardinal jika salah satunya adalah peningkatan purulensi sputum, atau jika pasien memerlukan ventilasi mekanis. Pilihan antibiotik empiris disesuaikan dengan pola resistensi lokal (misalnya, Amoksisilin-klavulanat, Makrolida, atau Tetrasiklin) selama 5-7 hari. Penggunaan antibiotik yang bijaksana (antibiotic stewardship) sangat penting.

Peran Rencana Aksi (Self-Management Plan)

Edukasi pasien untuk mengenali gejala awal eksaserbasi dan memulai terapi sesuai rencana aksi yang telah disusun bersama dokter (misalnya, meningkatkan dosis SABA, memulai kortikosteroid oral jika ada stok) dapat mempercepat penanganan dan berpotensi mengurangi keparahan eksaserbasi. 

Namun, penyediaan rescue pack (paket obat darurat berisi steroid dan/atau antibiotik) untuk digunakan pasien secara mandiri dan berulang tidak direkomendasikan secara rutin karena risiko penggunaan yang tidak tepat.

Indikasi Rujukan/Hospitalisasi

Pasien dengan eksaserbasi PPOK perlu dirujuk ke rumah sakit jika terdapat satu atau lebih kondisi berikut :

  • Gejala berat (misalnya, dispnea berat saat istirahat, frekuensi napas tinggi, penurunan kesadaran).

  • Tanda hipoksemia baru atau perburukan hipoksemia (SpO2 < 88-90% atau penurunan signifikan dari baseline).

  • Gagal merespons terapi awal di layanan primer.

  • Adanya komorbiditas serius (misalnya, gagal jantung, aritmia baru).

  • Ketidakmampuan pasien merawat diri di rumah atau dukungan sosial yang tidak memadai.

Skema perawatan di rumah (hospital at home) atau virtual wards dapat menjadi alternatif rawat inap bagi pasien tertentu yang memenuhi kriteria.

Gambar 3. Follow up Terapi Farmakologis PPOK

Figure 4.

VI. Kesimpulan: Poin Kunci untuk Praktik Sehari-hari

Tatalaksana PPOK yang efektif di layanan primer memerlukan pendekatan yang sistematis dan berbasis bukti. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan kecurigaan klinis yang didukung riwayat paparan dan dikonfirmasi dengan spirometri paska-bronkodilator untuk menunjukkan obstruksi aliran udara persisten (Diagnosis dan Terapi PPOK)

Penilaian komprehensif menggunakan GOLD ABE tool (2023), yang fokus pada beban gejala dan riwayat eksaserbasi, menjadi panduan penting dalam menentukan terapi farmakologis awal. Tatalaksana PPOK bersifat holistik, mengintegrasikan pilar non-farmakologis (berhenti merokok, vaksinasi, aktivitas fisik, rehabilitasi paru, edukasi) yang fundamental bagi semua pasien, dengan terapi farmakologis yang individual. 

Terapi farmakologis awal kini lebih mengedepankan penggunaan kombinasi bronkodilator kerja panjang (LABA+LAMA) untuk pasien simtomatik (Grup B dan E). Penyesuaian terapi selanjutnya bersifat dinamis, dipandu oleh respons klinis terhadap target utama (kontrol dispnea dan pencegahan eksaserbasi), dengan peran eosinofil darah sebagai biomarker untuk mempersonalisasi penggunaan ICS. 

Pemilihan obat dan dosis obat PPOK harus mempertimbangkan efikasi, keamanan (termasuk risiko pneumonia terkait ICS), ketersediaan, biaya, dan preferensi serta kemampuan pasien dalam menggunakan alat inhaler (Dosis Obat PPOK).Manajemen eksaserbasi akut di layanan primer melibatkan penggunaan SABA/SAMA, kortikosteroid sistemik (durasi singkat 5 hari), dan antibiotik secara bijaksana berdasarkan indikasi klinis. 

Edukasi pasien dan rencana aksi mandiri memegang peranan penting dalam deteksi dini dan penanganan awal eksaserbasi. Mengenali indikasi rujukan ke rumah sakit juga krusial untuk mencegah perburukan kondisi pasien. Dengan pendekatan komprehensif dan individual ini, dokter umum dapat berperan signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan luaran klinis pasien PPOK.

Referensi

  1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 2023 Report: GOLD Executive Summary - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10111975/

  2. Editorial: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2023 Guidelines for COPD, Including COVID-19, Climate Change, and Air Pollution - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37777859/

  3. Chronic obstructive pulmonary disease - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7172377/

  4. GOLD in Practice: Chronic Obstructive Pulmonary Disease ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7886101/

  5. Chronic Obstructive Lung Disease: Treatment Guidelines and ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10815941/

  6. COPD - Causes and Risk Factors - Nhlbi.nih.gov, diakses Mei 8, 2025, https://www.nhlbi.nih.gov/health/copd/causes

  7. Diagnosing asthma and chronic obstructive pulmonary disease, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9197282/

  8. Importance of distinguishing between asthma and chronic ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9683358/

  9. Implications of the GOLD COPD Classification and Guidelines - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6375483/

  10. Table 1, Classification of COPD as Defined by Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) - NCBI, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK580644/table/ch1.tab1/

  11. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2023 Guidelines Reviewed, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11037508/

  12. Standards for the optimal management of COPD: a summary - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9552019/

  13. Chronic obstructive pulmonary disease. Major objectives of management - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8341621/

  14. Management of patients during and after exacerbations of chronic ..., diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21941453/

  15. GOLD 2024: a brief overview of key changes - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10760434/

  16. Pharmacological therapy for stable chronic obstructive pulmonary ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10249181/

  17. Delaying disease progression in COPD with early escalation to triple therapy: a modelling study (DEPICT-2), diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11973711/

  18. LABA/LAMA as First-Line Therapy for COPD: A Summary of the Evidence and Guideline Recommendations, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9692772/

  19. A comparison of GOLD 2019 and 2023 recommendations to contemporaneous real-world inhaler treatment patterns for chronic obstructive pulmonary disease management in Singapore - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10944796/

  20. Roflumilast: a review of its use in the treatment of COPD - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26792988/

  21. Reduction of exacerbations by the PDE4 inhibitor roflumilast--the importance of defining different subsets of patients with COPD - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21272339/

  22. Roflumilast (Daliresp): A Novel Phosphodiesterase-4 Inhibitor for the Treatment Of Severe Chronic Obstructive Pulmonary Disease - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3351880/

  23. Roflumilast – a phosphodiesterase-4 inhibitor licensed for add-on therapy in severe COPD, diakses Mei 8, 2025, https://smw.ch/index.php/smw/article/download/1535/1955?inline=1

  24. Inhaled corticosteroids in COPD: Benefits and risks - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7521468/

  25. Inhaled Corticosteroids in Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Benefits and Risks, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32800200/

  26. Mucolytic Therapy in COPD: Patient Usage and Preferences in Real-World Italian Settings, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11881622/

  27. Use of mucolytics in COPD: A Delphi consensus study - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33217537/

  28. Inhaled treatment for chronic obstructive pulmonary disease: what's new and how does it fit?, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4986426/

  29. Fixed-Dose Combinations of Long-Acting Bronchodilators for the Management of COPD: Global and Asian Perspectives - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6824447/

  30. Formoterol for the Treatment of Chronic Obstructive Pulmonary Disease - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7708267/

  31. Clinical and Economic Evaluation of Fluticasone Furoate/Umeclidinium/Vilanterol Versus Tiotropium/Olodaterol Therapy in Maintenance Treatment-Naive Patients with COPD in the US - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39968202/

  32. Spotlight on fluticasone furoate/umeclidinium/vilanterol in COPD: design, development, and potential place in therapy, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5221559/

  33. Budesonide/Glycopyrronium/Formoterol: A Review in COPD - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8384783/

  34. A phase III study of triple therapy with budesonide/glycopyrrolate/formoterol fumarate metered dose inhaler 320/18/9.6 μg and 160/18/9.6 μg using co-suspension delivery technology in moderate-to-very severe COPD: The ETHOS study protocol - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31605923/

  35. Managing COPD exacerbations in primary care - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38950975/

  36. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 2023 Report: GOLD Executive Summary - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10066569/