Dokter Post - Tatalaksana Komprehensif TB Paru pada Ibu Hamil: Panduan Diagnosis, Terapi, dan Dosis Obat untuk Dokter Umum

Tatalaksana Komprehensif TB Paru pada Ibu Hamil: Panduan Diagnosis, Terapi, dan Dosis Obat untuk Dokter Umum

26 Jul 2025 • Pulmonologi , Obgyn

Deskripsi

Tatalaksana Komprehensif TB Paru pada Ibu Hamil: Panduan Diagnosis, Terapi, dan Dosis Obat untuk Dokter Umum

I. Pendahuluan: Mengapa TB Paru pada Kehamilan Perlu Perhatian Khusus?

Tuberkulosis (TB) paru pada kehamilan merupakan isu kesehatan masyarakat yang signifikan dengan implikasi serius bagi ibu dan janin. Diagnosis dan penanganan yang tepat waktu menjadi krusial untuk mencegah luaran yang tidak diinginkan.

  • A. Beban dan Risiko TB Paru Selama Kehamilan:

Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal secara global, terutama pada wanita usia reproduktif. Diperkirakan sekitar 500.000 wanita meninggal akibat TB setiap tahunnya, dengan sebagian besar terjadi pada masa reproduksi mereka. Kehamilan itu sendiri dapat memodifikasi perjalanan penyakit TB. 

Selama masa kehamilan, terjadi penekanan respons imun seluler, khususnya respons proinflamasi T-helper 1 (Th1). Kondisi ini berpotensi menyamarkan gejala awal TB, namun di sisi lain dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi baru atau reaktivasi TB laten.

Setelah persalinan, terjadi pemulihan respons Th1 yang dapat memicu perburukan gejala TB, mirip dengan sindrom pemulihan imun pada pasien HIV yang memulai terapi antiretroviral. Studi menunjukkan bahwa wanita pada periode pasca persalinan dini memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk mengembangkan TB aktif dibandingkan wanita yang tidak hamil.


Risiko bagi ibu yang menderita TB paru selama kehamilan dan tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat sangatlah besar. Terdapat peningkatan risiko morbiditas maternal hingga tiga kali lipat. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi anemia, kebutuhan rawat inap antenatal yang lebih sering , keguguran , perdarahan pervaginam, toksemia maternal, dan persalinan prematur. 

Lebih jauh, TB maternal yang tidak tertangani juga dapat berdampak pada masalah kesuburan dan performa reproduksi di masa mendatang, menambah urgensi intervensi dini dan komprehensif. Kegagalan mendiagnosis dan mengobati TB pada satu kehamilan dapat memiliki konsekuensi berkelanjutan bagi kemampuan wanita untuk hamil atau membawa kehamilan berikutnya hingga cukup bulan, sebuah aspek yang mungkin tidak langsung terpikirkan jika fokus hanya pada kehamilan saat ini.


Dampak TB maternal yang tidak diobati juga sangat merugikan bagi janin dan neonatus. Risiko yang mengintai meliputi peningkatan angka kematian perinatal, kemungkinan terjadinya TB kongenital, berat badan lahir rendah (BBLR), kelahiran prematur, dan pertumbuhan janin terhambat (PJT). TB kongenital, meskipun jarang, memiliki prognosis yang buruk dengan angka mortalitas yang dapat mendekati 50% jika tidak terdiagnosis dan diobati secara cepat.

  • B. Peran Krusial Dokter Umum dalam Deteksi Dini dan Tatalaksana Awal:
    Dokter Umum (DU) yang bertugas di fasilitas layanan kesehatan primer memegang peranan sentral karena seringkali menjadi titik kontak pertama bagi ibu hamil. Kemampuan untuk melakukan deteksi dini, memberikan tatalaksana awal sesuai kewenangan, atau melakukan rujukan yang tepat waktu sangat menentukan luaran kesehatan ibu dan bayi. Artikel ini disusun untuk memberikan panduan praktis yang didasarkan pada bukti ilmiah terkini mengenai Diagnosis dan Terapi TB Paru pada Ibu hamil, serta menyajikan informasi penting terkait Dosis Obat TB Paru pada Ibu Hamil yang aman dan efektif.

II. Diagnosis TB Paru pada Ibu Hamil: Mengenali Tantangan dan Memilih Metode Tepat

Mendiagnosis TB paru pada ibu hamil memiliki tantangan tersendiri yang memerlukan kewaspadaan dan pendekatan yang cermat.

  • A. Tantangan Diagnostik:

Salah satu tantangan utama adalah gejala TB yang seringkali tersamarkan atau tumpang tindih dengan keluhan umum selama kehamilan. Gejala seperti kelelahan, sesak napas ringan, berkeringat di malam hari, atau bahkan penurunan berat badan (yang mungkin tidak kentara karena kenaikan berat badan fisiologis selama kehamilan) dapat keliru dianggap sebagai bagian dari perubahan normal kehamilan Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis yang berakibat fatal. 

Selain itu, masih terdapat keraguan di kalangan praktisi medis untuk melakukan pemeriksaan radiografi toraks pada ibu hamil karena kekhawatiran akan potensi paparan radiasi terhadap janin, meskipun penundaan diagnosis justru membawa risiko yang jauh lebih besar.

  • B. Pendekatan Diagnostik Komprehensif:

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan pendekatan diagnostik yang komprehensif:

  • Anamnesis Mendalam: Lakukan anamnesis yang cermat untuk menggali faktor risiko dan gejala. Tanyakan riwayat kontak erat dengan pasien TB aktif, riwayat penyakit TB sebelumnya, apakah pasien berasal dari negara atau daerah dengan endemisitas TB tinggi, atau apakah pasien bekerja atau tinggal di lingkungan dengan risiko penularan TB yang tinggi (misalnya, penjara, panti sosial). Gali secara spesifik gejala TB paru seperti batuk produktif yang berlangsung lebih dari dua hingga tiga minggu, batuk darah, dan nyeri dada. Jangan lupakan gejala sistemik seperti demam yang tidak jelas penyebabnya (terutama sore atau malam hari), keringat malam berlebih, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan oleh kondisi kehamilan. Penting untuk diingat bahwa sekitar 20% hingga 67% wanita hamil dengan TB paru mungkin tidak menunjukkan gejala yang signifikan atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka sakit. Oleh karena itu, skrining TB (minimal dengan anamnesis gejala dan faktor risiko, dilanjutkan dengan tes tuberkulin atau IGRA jika ada indikasi) pada ibu hamil dengan faktor risiko tinggi seperti kontak TB, koinfeksi HIV, atau berasal dari area endemis, pada kunjungan antenatal pertama merupakan strategi kunci untuk deteksi dini.

  • Pemeriksaan Fisik: Meskipun pemeriksaan fisik mungkin tidak menunjukkan tanda spesifik TB paru pada tahap awal, pemeriksaan ini tetap penting untuk menilai status kesehatan umum pasien dan mencari tanda-tanda penyakit sistemik lainnya.

  • Investigasi Penunjang:

  1. Tes Tuberkulin (Mantoux/TST) dan Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs): Kedua tes ini aman dan valid untuk digunakan selama kehamilan guna mendeteksi adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Hasil positif pada TST atau IGRA mengindikasikan bahwa pasien pernah terinfeksi TB, namun tidak dapat membedakan antara infeksi TB laten (LTBI) dengan penyakit TB aktif. IGRA lebih dianjurkan untuk individu yang pernah menerima vaksinasi BCG karena tidak dipengaruhi oleh status vaksinasi tersebut. Kehamilan sendiri tidak secara signifikan memengaruhi hasil TST maupun IGRA dibandingkan dengan populasi umum. Interpretasi hasil TST didasarkan pada ukuran indurasi: ≥5 mm dianggap positif pada individu dengan kontak erat pasien TB atau HIV positif, ≥10 mm pada individu dengan risiko sedang hingga tinggi (misalnya, berasal dari daerah endemis), dan ≥15 mm pada individu dengan risiko rendah.

  2. Radiografi Toraks: Pemeriksaan ini diindikasikan jika ibu hamil menunjukkan gejala yang mengarah ke TB atau jika hasil TST/IGRA positif, dengan tujuan untuk menyingkirkan atau mengkonfirmasi adanya TB aktif. Radiografi toraks dianggap aman dilakukan selama kehamilan, termasuk pada semua trimester jika terdapat indikasi klinis yang kuat, dengan syarat penggunaan pelindung abdomen (perisai timbal) untuk meminimalkan paparan radiasi pada janin (paparan <0.3 mrads). Magnetic Resonance Imaging (MRI) toraks dapat menjadi alternatif setelah trimester pertama jika diperlukan, karena MRI tidak menggunakan radiasi pengion, meskipun data keamanannya pada trimester pertama masih terbatas. Gambaran radiologis yang khas pada TB paru dapat berupa infiltrat, konsolidasi, kavitas (terutama di lobus atas paru), efusi pleura, atau pada kasus yang berat dapat ditemukan pola milier.

Gambar 1. Foto thorax menngambarkan reticuloalveolar “Miliary” infiltrate

Figure 1
  1. Pemeriksaan Sputum: Merupakan kunci untuk diagnosis pasti TB aktif karena dapat mengidentifikasi bakteri Mycobacterium tuberculosis.

  • Mikroskopis Basil Tahan Asam (BTA): Ini adalah metode yang cepat dan relatif murah. Namun, sensitivitasnya dapat menurun pada pasien dengan koinfeksi HIV, TB non-kavitas, atau pada kondisi imunosupresi relatif seperti kehamilan.

  • Tes Cepat Molekuler (TCM) / Xpert MTB/RIF: Sangat direkomendasikan sebagai tes diagnostik awal, terutama pada ibu hamil dengan kecurigaan TB, koinfeksi HIV, atau suspek TB resisten obat (TB-RO). Xpert MTB/RIF memiliki sensitivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan mikroskopis BTA (sekitar 70-90% berbanding 50% pada beberapa penelitian), khususnya pada kasus BTA negatif. Keunggulan lainnya adalah kemampuannya untuk mendeteksi resistensi terhadap Rifampisin dalam waktu sekitar 2 jam. Mengingat tantangan diagnostik dan potensi hasil BTA negatif pada ibu hamil , Xpert MTB/RIF menjadi alat yang sangat berharga. Kemampuannya mendeteksi TB dan resistensi Rifampisin dengan cepat secara signifikan mempercepat diagnosis dan inisiasi terapi yang tepat, yang krusial untuk mencegah luaran buruk pada ibu dan janin. Penggunaan Xpert MTB/RIF sebagai tes awal pada ibu hamil simtomatik sangat dianjurkan.

  • Kultur M. tuberculosis: Merupakan standar emas (gold standard) untuk diagnosis TB. Selain mengkonfirmasi keberadaan bakteri, kultur juga memungkinkan dilakukannya uji kepekaan obat (UKO) secara komprehensif terhadap berbagai jenis OAT. Kelemahannya adalah memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil, biasanya antara 2 hingga 8 minggu.

Untuk memudahkan pemilihan metode diagnostik, berikut adalah tabel perbandingan:

Tabel 1: Perbandingan Metode Diagnostik TB Paru pada Kehamilan


Metode Diagnostik

Keunggulan

Keterbatasan/Risiko pada Kehamilan

Pertimbangan Penggunaan/Keamanan

Tes Tuberkulin (TST)

Deteksi infeksi TB, aman digunakan

Tidak membedakan infeksi aktif dan laten

Aman, baik untuk skrining pada kelompok risiko.

IGRA

Deteksi infeksi TB, aman, tidak dipengaruhi vaksinasi BCG

Tidak membedakan infeksi aktif dan laten

Aman, pilihan utama jika ada riwayat vaksinasi BCG.

Radiografi Toraks

Deteksi TB aktif, visualisasi luasnya lesi paru

Kekhawatiran paparan radiasi (minimal jika dengan pelindung abdomen)

Aman dengan pelindung timbal jika ada indikasi klinis kuat, dapat dilakukan di semua trimester.

Mikroskopis Sputum (BTA)

Cepat, biaya murah

Sensitivitas rendah, terutama pada ibu hamil atau HIV positif

Tes awal yang mudah, namun hasil negatif tidak menyingkirkan TB jika kecurigaan klinis tinggi; perlu konfirmasi lebih lanjut.

Xpert MTB/RIF (TCM)

Cepat (hasil <2 jam), sensitivitas tinggi (terutama pada BTA negatif), deteksi resistensi Rifampisin

Biaya lebih tinggi dibandingkan BTA

Sangat direkomendasikan sebagai tes diagnostik awal pada ibu hamil dengan suspek TB.

Kultur Sputum

Standar emas, memungkinkan uji kepekaan obat lengkap

Waktu hasil lama (2-8 minggu)

Penting untuk konfirmasi diagnosis dan penentuan regimen pengobatan yang tepat, terutama pada kasus resisten obat.

III. Terapi TB Paru pada Ibu Hamil: Prinsip Pengobatan dan Dosis Obat yang Aman

Pengobatan TB aktif pada ibu hamil harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan janin.

  • Prinsip Umum Pengobatan:

Prinsip utama adalah bahwa TB aktif selama kehamilan merupakan kondisi yang harus diobati segera. Risiko yang timbul akibat penyakit TB yang tidak diobati jauh lebih besar dan lebih berbahaya bagi ibu maupun janin dibandingkan dengan potensi risiko dari pengobatan itu sendiri. 

Tujuan pengobatan TB pada ibu hamil sama dengan tujuan pengobatan pada pasien tidak hamil, yaitu untuk menyembuhkan ibu, mencegah kematian, mencegah kekambuhan penyakit, dan menghentikan penularan kuman TB kepada orang lain, termasuk kepada bayinya. Kabar baiknya, sebagian besar Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama yang digunakan dalam regimen standar umumnya aman dan efektif bila digunakan selama masa kehamilan. 

Obat-obat ini diketahui dapat melewati barier plasenta dan mencapai sirkulasi janin, namun dalam dosis terapeutik yang direkomendasikan, tidak terbukti bersifat teratogenik atau menyebabkan kelainan kongenital pada janin.

  • Regimen Standar Pengobatan untuk TB Sensitif Obat:

Regimen pengobatan standar untuk TB paru yang masih sensitif terhadap OAT lini pertama terdiri dari dua fase:

  • Fase Intensif: Berlangsung selama 2 bulan pertama pengobatan. Pada fase ini, pasien diberikan kombinasi empat jenis obat, yaitu Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E), yang diminum setiap hari. Regimen ini dikenal dengan singkatan 2HRZE.

  • Fase Lanjutan: Berlangsung selama 4 bulan berikutnya, setelah fase intensif selesai. Pada fase ini, pasien diberikan kombinasi dua jenis obat, yaitu Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), yang juga diminum setiap hari. Regimen ini dikenal dengan singkatan 4HR. Dengan demikian, total durasi pengobatan standar untuk TB paru sensitif obat pada ibu hamil adalah 6 bulan.

  • Dosis Obat TB Paru pada Ibu Hamil (OAT Lini Pertama):

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) pada umumnya merekomendasikan dosis OAT yang sama untuk ibu hamil seperti dosis yang diberikan kepada orang dewasa yang tidak hamil. Dosis dapat disesuaikan berdasarkan berat badan pasien jika diperlukan, namun terdapat dosis harian standar yang sering digunakan.

  • Isoniazid (INH): Dosis yang direkomendasikan adalah 5 mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimum harian 300 mg. Beberapa pedoman menyebutkan rentang dosis 4-6 mg/kgBB/hari.

  • Rifampisin (RMP): Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimum harian 600 mg. Beberapa pedoman menyebutkan rentang dosis 8-12 mg/kgBB/hari.

  • Pirazinamid (PZA): Dosis yang direkomendasikan adalah 25 mg/kgBB/hari (rentang 20-30 mg/kgBB/hari) atau 15-30 mg/kgBB/hari. Dosis juga dapat ditentukan berdasarkan pita berat badan: untuk berat badan 40 hingga <55 kg dosisnya 1000 mg; untuk berat badan ≥55 hingga 75 kg dosisnya 1500 mg; dan untuk berat badan >75 kg dosisnya 2000 mg.

  • Etambutol (EMB): Dosis yang direkomendasikan adalah 15 mg/kgBB/hari (rentang 15-20 mg/kgBB/hari) atau 15-25 mg/kgBB/hari. Studi farmakokinetik menunjukkan bahwa profil INH, PZA, dan EMB tidak banyak mengalami perubahan signifikan selama masa kehamilan, sehingga penyesuaian dosis standar umumnya tidak diperlukan. Paparan terhadap Rifampisin juga dilaporkan hanya sedikit meningkat selama kehamilan.

  • Kontroversi dan Rekomendasi Penggunaan Pirazinamid (PZA):

Terdapat perbedaan panduan antara WHO dan CDC mengenai penggunaan Pirazinamid (PZA) pada ibu hamil. WHO secara konsisten merekomendasikan penggunaan PZA sebagai bagian dari regimen standar 2HRZE/4HR untuk ibu hamil dengan TB sensitif obat Sebaliknya, CDC di Amerika Serikat cenderung lebih berhati-hati. 

Kehati-hatian CDC ini didasarkan pada pertimbangan bahwa data mengenai potensi efek samping PZA pada janin dianggap masih kurang memadai (PZA diklasifikasikan sebagai FDA Kategori C, yang berarti studi pada hewan menunjukkan risiko atau tidak ada studi adekuat pada manusia, namun manfaat mungkin melebihi risiko). 

Oleh karena itu, CDC menyarankan agar keputusan penggunaan PZA pada ibu hamil dilakukan setelah evaluasi risiko-manfaat kasus per kasus. PZA mungkin memberikan manfaat yang lebih besar pada kasus TB berat, TB ekstraparu, atau pada ibu hamil dengan koinfeksi HIV.10 

Jika diputuskan untuk tidak menggunakan PZA (mengikuti panduan CDC atau pertimbangan klinis lainnya), maka regimen alternatif yang direkomendasikan adalah kombinasi 2HRE/7HR. Ini berarti Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (fase intensif), diikuti dengan Isoniazid dan Rifampisin setiap hari selama 7 bulan berikutnya (fase lanjutan). 

Dengan regimen ini, total durasi pengobatan menjadi 9 bulan. Perbedaan panduan ini menuntut dokter untuk tidak hanya mengikuti satu panduan secara kaku, tetapi memahami justifikasi di baliknya. Keputusan penggunaan PZA harus melibatkan diskusi dengan pasien mengenai potensi risiko (meskipun rendah menurut WHO) dan manfaat (pengobatan lebih pendek dan poten), terutama jika ada faktor pemberat seperti HIV atau TB berat. Ketersediaan dan pemahaman regimen 9 bulan tanpa PZA adalah esensial.

  • Pentingnya Suplementasi Piridoksin (Vitamin B6):

Suplementasi Piridoksin (Vitamin B6) wajib diberikan kepada semua ibu hamil (dan juga ibu menyusui) yang mendapatkan terapi Isoniazid (INH). Tujuan utama suplementasi ini adalah untuk mencegah terjadinya efek samping neuropati perifer yang dapat disebabkan oleh INH. Dosis Piridoksin yang direkomendasikan adalah 25-50 mg per hari.10 Beberapa sumber lain ada yang menyebutkan dosis 10 mg per hari 16, namun dosis 25-50 mg lebih umum direkomendasikan untuk kehamilan.

  • OAT yang Harus Dihindari (Kontraindikasi) Selama Kehamilan:

Beberapa jenis OAT diketahui memiliki risiko signifikan terhadap janin dan oleh karena itu penggunaannya dikontraindikasikan atau harus dihindari selama masa kehamilan:

  • Streptomisin dan Aminoglikosida lainnya (misalnya, Kanamisin, Amikasin): Obat-obat golongan ini berisiko tinggi menyebabkan ototoksisitas permanen pada janin. Kerusakan yang dapat terjadi meliputi gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan. Streptomisin secara khusus dikontraindikasikan, terutama penggunaannya pada trimester pertama kehamilan.

  • Fluorokuinolon (misalnya, Levofloksasin, Moksifloksasin): Penggunaan golongan obat ini umumnya dihindari selama kehamilan. Studi pada hewan menunjukkan potensi risiko artropati (kerusakan sendi) pada janin. Selain itu, terdapat juga kekhawatiran mengenai potensi toksisitas pada ginjal, jantung, dan sistem saraf pusat janin. Fluorokuinolon hanya boleh dipertimbangkan penggunaannya jika tidak ada alternatif OAT lain yang lebih aman dan efektif, dan jika manfaat yang diharapkan jelas melebihi potensi risiko terhadap janin.

Berikut adalah tabel ringkasan dosis OAT lini pertama yang direkomendasikan untuk ibu hamil:

Tabel 2: Rekomendasi Dosis OAT Lini Pertama pada Ibu Hamil


Nama Obat

Dosis per kgBB (mg/kgBB/hari)

Dosis Harian Maksimum Dewasa (mg)

Catatan Khusus

Isoniazid (H)

5 (rentang 4-6)

300

Wajib diberikan bersama Piridoksin (Vitamin B6) 25-50 mg/hari.

Rifampisin (R)

10 (rentang 8-12)

600

Dapat menyebabkan warna oranye/merah pada cairan tubuh. Dapat menurunkan efektivitas kontrasepsi hormonal.

Pirazinamid (Z)

25 (rentang 15-30)

2000 (atau sesuai pita BB)

WHO merekomendasikan. CDC: pertimbangkan risiko-manfaat; jika tidak digunakan, total terapi menjadi 9 bulan (2HRE/7HR).

Etambutol (E)

15 (rentang 15-25)

1600 (atau sesuai pita BB)

Pantau keluhan gangguan penglihatan.

IV. Pemantauan Komprehensif Selama Terapi TB pada Ibu Hamil

Pemantauan yang cermat selama pengobatan TB pada ibu hamil sangat penting untuk memastikan efektivitas terapi dan keamanan bagi ibu serta janin.

  • A. Monitoring Efek Samping Obat:

  • Hepatotoksisitas: Ini adalah salah satu efek samping yang paling signifikan dan perlu diwaspadai dari penggunaan OAT, terutama Isoniazid (INH), Rifampisin (RMP), dan Pirazinamid (PZA). Studi menunjukkan bahwa ibu hamil memiliki risiko mengalami hepatotoksisitas yang jauh lebih tinggi secara signifikan dibandingkan wanita tidak hamil yang menjalani pengobatan TB. Satu penelitian melaporkan frekuensi hepatotoksisitas berat mencapai 40% pada kelompok ibu hamil, dibandingkan hanya 6% pada kelompok wanita tidak hamil. Peningkatan risiko ini juga teramati pada periode hingga 3 bulan pasca persalinan jika terapi TB dimulai pada masa tersebut. Temuan klinis ini menggarisbawahi bahwa kehamilan merupakan faktor risiko independen yang signifikan untuk drug-induced liver injury (DILI) akibat OAT.

  • Pemantauan Fungsi Hati: Pemeriksaan enzim hati, khususnya Alanin Aminotransferase (SGPT/ALT), direkomendasikan untuk dilakukan pada awal pengobatan (sebagai nilai dasar) dan secara berkala selama masa pengobatan, terutama pada ibu hamil. Beberapa ahli juga menyarankan pemantauan ini untuk semua pasien berusia di atas 35 tahun, atau mereka yang memiliki faktor risiko lain seperti riwayat konsumsi alkohol kronis, penggunaan obat hepatotoksik lain secara bersamaan, adanya penyakit hati kronis sebelumnya (misalnya hepatitis B atau C), atau koinfeksi HIV. Mengingat risiko yang jauh lebih tinggi pada kehamilan, pemantauan fungsi hati yang ketat dan cermat adalah mandatori, bukan opsional, pada populasi ini.

  • Ambang Batas Interupsi Terapi: Pengobatan OAT harus dihentikan sementara jika terjadi peningkatan kadar ALT lebih dari tiga kali batas atas nilai normal (ULN) yang disertai dengan gejala hepatitis (seperti mual, muntah, nyeri perut, atau ikterus), ATAU jika terjadi peningkatan kadar ALT lebih dari lima kali ULN meskipun tanpa disertai gejala klinis. Setelah penghentian, mungkin diperlukan penyesuaian regimen OAT atau pengenalan kembali obat secara bertahap setelah fungsi hati membaik.

  • Efek Samping Lain yang Perlu Diwaspadai:

  • Etambutol: Dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa neuritis retrobulbar. Pasien harus diedukasi untuk segera melaporkan setiap perubahan pada penglihatannya, seperti pandangan kabur atau buta warna. Risiko ini minimal pada dosis standar 15 mg/kgBB.

  • Isoniazid (INH): Dapat menyebabkan neuropati perifer, yang manifestasinya berupa kesemutan atau rasa baal pada tangan dan kaki. Efek samping ini dapat dicegah dengan pemberian suplementasi Piridoksin (Vitamin B6) secara rutin.

  • Rifampisin: Dapat menyebabkan perubahan warna cairan tubuh (seperti urin, keringat, air mata) menjadi oranye atau kemerahan; ini adalah efek yang normal dan tidak berbahaya. Gejala gastrointestinal, reaksi kulit, dan sindrom mirip flu (terutama pada pemberian dosis intermiten) juga dapat terjadi. Penting untuk diingat bahwa Rifampisin dapat menurunkan efektivitas kontrasepsi hormonal.

  • Pirazinamid (PZA): Dapat menyebabkan hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat dalam darah), yang umumnya asimtomatik, serta artralgia (nyeri sendi). Penting untuk memberikan edukasi yang jelas kepada pasien mengenai potensi efek samping ini dan kapan mereka harus segera menghubungi dokter.

  • B. Pemantauan Status Gizi Ibu:

Tuberkulosis adalah penyakit yang bersifat katabolik, yang berarti dapat menyebabkan pemecahan jaringan tubuh dan penurunan berat badan, sehingga memperburuk status gizi pasien Kondisi kehamilan sendiri sudah meningkatkan kebutuhan nutrisi ibu secara signifikan. Kombinasi TB dan kehamilan dapat menyebabkan defisiensi nutrisi yang lebih berat. 

Malnutrisi diketahui berdampak negatif terhadap luaran pengobatan TB, termasuk memperlambat konversi sputum (dari positif menjadi negatif) dan menurunkan angka keberhasilan pengobatan secara keseluruhan Oleh karena itu, penilaian status gizi ibu hamil dengan TB harus dilakukan secara berkala. 

Dukungan nutrisi, yang dapat berupa konseling gizi individual, pemberian makanan tambahan jika diperlukan, atau suplementasi mikronutrien, harus menjadi komponen integral dari perawatan TB pada ibu hamil untuk mengoptimalkan respons terhadap pengobatan dan meningkatkan kesehatan ibu serta janin.

  • C. Pemantauan Kesejahteraan Janin:

Meskipun OAT lini pertama umumnya dianggap aman untuk janin bila digunakan sesuai dosis yang direkomendasikan, pemantauan rutin kondisi kehamilan dan perkembangan janin oleh dokter spesialis kebidanan dan kandungan tetap merupakan bagian esensial dari tatalaksana. Pemantauan ini meliputi pemeriksaan ultrasonografi (USG) berkala, pemantauan pertumbuhan janin, dan evaluasi kondisi umum kehamilan lainnya. 

Tidak ada rekomendasi spesifik dari sumber yang tersedia untuk pemantauan janin yang khusus terkait penggunaan OAT pada ibu, selain dari pemantauan obstetrik standar yang komprehensif. Snippet 31 membahas dampak Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) pada luaran janin/bayi, bukan pemantauan selama pengobatan TB aktif pada ibu. Kolaborasi erat antara dokter umum, spesialis paru, dan spesialis kandungan sangat penting dalam hal ini.

V. Tatalaksana Neonatus dari Ibu dengan TB Paru

Bayi yang lahir dari ibu dengan TB paru memerlukan evaluasi dan tatalaksana khusus untuk mencegah penularan atau mengobati infeksi TB.

  • A. Evaluasi dan Diagnosis TB Kongenital atau Perinatal:

TB Kongenital, yaitu infeksi TB yang didapat janin selama dalam kandungan atau saat proses persalinan, merupakan kondisi yang jarang terjadi. Risiko lebih tinggi jika ibu menderita TB diseminata (menyebar ke seluruh tubuh) atau TB pada organ genital Penularan dapat terjadi secara transplasental (melalui plasenta) atau akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi oleh janin. 

Manifestasi klinis TB kongenital seringkali tidak spesifik dan dapat menyerupai infeksi neonatal lainnya. Gejala yang mungkin timbul meliputi demam, kesulitan menyusu atau makan, gagal tumbuh (berat badan tidak naik sesuai usia), hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa), distres pernapasan, dan limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening). Gejala ini biasanya muncul dalam minggu pertama kehidupan hingga beberapa minggu setelah lahir.

Untuk membantu diagnosis TB kongenital, digunakan Kriteria Cantwell, yang meliputi: (1) ditemukannya lesi TB pada bayi dalam minggu pertama kehidupan; (2) adanya kompleks primer di hepar atau granuloma kaseosa (perkejuan) di hepar; (3) terbuktinya infeksi TB pada plasenta atau traktus genitalis ibu; dan (4) telah disingkirkannya kemungkinan penularan TB secara postnatal (setelah lahir) melalui investigasi kontak yang cermat.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada bayi baru lahir dengan kecurigaan TB kongenital atau perinatal meliputi radiografi toraks, tes tuberkulin (TST), IGRA, pemeriksaan bilasan lambung atau aspirat trakea untuk BTA dan kultur M. tuberculosis, ultrasonografi abdomen, dan pungsi lumbal jika ada kecurigaan TB meningitis Biopsi hati atau kelenjar getah bening dapat dipertimbangkan jika ada indikasi kuat.

  • B. Pemberian Terapi Pencegahan Isoniazid (TPI) pada Bayi:

Pemberian Terapi Pencegahan Isoniazid (TPI) sangat direkomendasikan untuk semua bayi yang lahir dari ibu yang menderita TB aktif dan menular. Kriteria ibu yang dianggap menular antara lain jika hasil pemeriksaan sputum BTA positif, terdapat kavitas pada foto toraks, atau jika ibu baru memulai pengobatan TB kurang dari 2 minggu sebelum melahirkan, atau jika terdapat keraguan mengenai kepatuhan ibu dalam menjalani pengobatan.

Dosis INH untuk profilaksis pada neonatus bervariasi antar panduan, namun umumnya adalah 10 mg/kgBB/hari (dengan rentang yang dilaporkan antara 7-15 mg/kgBB/hari, bahkan beberapa ahli menyarankan hingga 20 mg/kgBB/hari). TPI ini biasanya diberikan selama 3 hingga 6 bulan American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan durasi TPI selama 6 hingga 9 bulan, atau minimal 3 bulan hingga ibu dinyatakan kultur sputum negatif. 

Selama mendapatkan TPI, bayi juga harus diberikan suplementasi Piridoksin (Vitamin B6). Mengingat keragaman dalam rekomendasi dosis INH profilaksis neonatal dan durasinya, sangat disarankan bagi dokter umum untuk berkolaborasi erat dengan dokter spesialis anak (neonatolog) dan/atau ahli TB. Keputusan harus disesuaikan dengan kondisi klinis ibu dan bayi, serta mengikuti pedoman nasional yang berlaku.

  • C. Jadwal Vaksinasi BCG:

Jadwal pemberian vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) pada bayi yang lahir dari ibu dengan TB juga menunjukkan variasi dalam berbagai rekomendasi:

  • Beberapa panduan menyarankan agar vaksinasi BCG tetap diberikan saat lahir jika bayi dalam kondisi sehat dan tidak ada bukti TB aktif, meskipun ibu sedang atau akan mendapatkan TPI untuk bayinya. Panduan dari Indian Academy of Pediatrics (IAP) mendukung pendekatan ini.

  • Panduan lain, termasuk dari WHO, AAP, New Zealand, dan South African Society for Paediatric Infectious Diseases (SASPID), merekomendasikan untuk menunda pemberian vaksinasi BCG hingga TPI selesai diberikan kepada bayi (biasanya setelah 3 hingga 6 bulan).

  • Pertimbangan penundaan ini adalah karena INH yang diberikan sebagai profilaksis dapat mengganggu replikasi strain vaksin BCG, sehingga berpotensi mengurangi efektivitas vaksinasi. Jika BCG diberikan saat lahir pada bayi yang kemudian mendapatkan TPI, beberapa ahli menyarankan untuk melakukan tes tuberkulin ulang setelah TPI selesai. Jika hasilnya negatif, vaksinasi BCG dapat diberikan atau diulang. Mengingat variasi rekomendasi ini, keputusan mengenai waktu pemberian vaksin BCG sebaiknya dikoordinasikan dengan dokter spesialis anak dan/atau ahli TB, dengan mempertimbangkan status TB ibu, risiko transmisi, dan pedoman nasional atau lokal yang berlaku.

VI. Menyusui Saat Menjalani Pengobatan TB: Aman atau Tidak?

Keputusan mengenai menyusui saat ibu menjalani pengobatan TB seringkali menimbulkan kekhawatiran. Namun, berdasarkan bukti ilmiah, menyusui umumnya aman dan dianjurkan.

  • A. Keamanan OAT Lini Pertama Selama Menyusui:

Ibu yang sedang menjalani pengobatan TB dengan OAT lini pertama, yang meliputi Isoniazid (INH), Rifampisin (RMP), Etambutol (EMB), dan Pirazinamid (PZA), sangat dianjurkan untuk tetap menyusui bayinya. Konsentrasi OAT lini pertama yang diekskresikan ke dalam Air Susu Ibu (ASI) sangatlah kecil dan tidak dianggap bersifat toksik atau berbahaya bagi bayi yang disusui.

Jumlah obat yang diterima bayi melalui ASI juga tidak cukup untuk memberikan efek terapeutik (pengobatan) maupun profilaksis (pencegahan) TB pada bayi itu sendiri. Oleh karena itu, jika bayi memerlukan pengobatan atau profilaksis TB, ia harus mendapatkan dosis obat tersendiri yang sesuai. 

Meskipun terdapat satu sumber literatur lama yang menyatakan bahwa data keamanan PZA selama menyusui "tidak jelas", sumber-sumber yang lebih baru dan pedoman umum dari organisasi kesehatan seperti WHO dan CDC menganggap PZA kompatibel dengan menyusui sebagai bagian dari regimen standar.

Perlu diketahui bahwa Rifampisin dapat menyebabkan ASI (dan cairan tubuh lainnya) berwarna oranye kemerahan; hal ini adalah efek yang normal, tidak berbahaya, dan akan hilang seiring waktu. Manfaat ASI bagi tumbuh kembang dan imunitas bayi sangatlah besar. 

Mengingat konsentrasi OAT lini pertama dalam ASI rendah dan dianggap aman, penghentian menyusui tidak dianjurkan dan justru dapat merugikan bayi. Edukasi dan dukungan bagi ibu untuk melanjutkan menyusui saat dalam pengobatan TB adalah krusial.

  • B. Pertimbangan pada TB Resisten Obat (TB-RO):

Situasinya menjadi lebih kompleks jika ibu menderita TB Resisten Obat (TB-RO) dan memerlukan pengobatan dengan OAT lini kedua. Data mengenai sejauh mana OAT lini kedua diekskresikan ke dalam ASI dan tingkat paparan pada bayi yang disusui masih sangat terbatas. 

Oleh karena itu, keputusan mengenai menyusui pada kasus TB-RO harus dilakukan dengan sangat hati-hati, mempertimbangkan kasus per kasus secara individual, dan idealnya setelah mendapatkan konsultasi dari tim ahli yang terdiri dari spesialis paru, spesialis anak, dan ahli farmakologi.

  • C. Isolasi Ibu dari Bayi:

Isolasi ibu dari bayinya umumnya tidak diperlukan jika ibu telah mendapatkan pengobatan TB yang efektif setidaknya selama 2 minggu dan menunjukkan respons klinis yang baik (misalnya, perbaikan gejala dan penurunan jumlah kuman dalam sputum), yang menandakan bahwa ia tidak lagi menular. 

Namun, tindakan isolasi mungkin perlu dipertimbangkan jika ibu masih dalam fase sangat menular (misalnya, hasil pemeriksaan sputum BTA masih sangat positif), jika ibu menderita TB-RO dengan respons pengobatan yang belum optimal, atau jika terdapat keraguan mengenai kepatuhan ibu dalam minum obat. 

Meskipun tidak diisolasi, tindakan pencegahan penularan standar seperti penggunaan masker oleh ibu saat berinteraksi dekat dengan bayi dan memastikan ventilasi ruangan yang baik tetap sangat penting untuk meminimalkan risiko transmisi.

VII. Kesimpulan: Poin Kunci untuk Praktik Dokter Umum

Tatalaksana TB paru pada ibu hamil memerlukan pendekatan yang komprehensif, cermat, dan kolaboratif. Dokter umum memiliki peran vital dalam deteksi dini dan manajemen awal kasus ini.

  • A. Ringkasan Rekomendasi Kunci:

  • Tingkatkan kewaspadaan untuk Diagnosis TB Paru pada Ibu hamil mengingat gejala yang seringkali tidak khas dan tumpang tindih dengan keluhan kehamilan. Pertimbangkan faktor risiko dan gunakan pendekatan diagnostik yang komprehensif, termasuk Xpert MTB/RIF sebagai alat diagnostik awal yang penting.

  • Mulai Terapi TB Paru pada Ibu hamil sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan dengan menggunakan regimen OAT lini pertama yang aman. Perhatikan dengan seksama Dosis Obat TB Paru pada Ibu Hamil yang tepat sesuai berat badan dan jangan lupakan suplementasi Piridoksin (Vitamin B6) jika Isoniazid digunakan.

  • Pahami adanya perbedaan panduan mengenai penggunaan Pirazinamid (PZA) antara WHO dan CDC, dan ketahui pilihan regimen alternatif jika PZA tidak digunakan.

  • Lakukan pemantauan yang ketat terhadap potensi efek samping obat, terutama hepatotoksisitas yang risikonya meningkat pada kehamilan, serta pantau status gizi ibu secara berkala.

  • Pastikan neonatus yang lahir dari ibu dengan TB mendapatkan evaluasi dan tatalaksana yang adekuat, termasuk pemeriksaan untuk TB kongenital/perinatal, pemberian Terapi Pencegahan Isoniazid (TPI) jika terindikasi, dan perencanaan jadwal vaksinasi BCG yang tepat.

  • Dukung dan anjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI eksklusif, karena OAT lini pertama umumnya aman selama menyusui.

  • B. Pentingnya Kolaborasi Multidisiplin:

Tatalaksana TB paru pada kehamilan idealnya melibatkan kerjasama tim multidisiplin. Sangat ditekankan perlunya komunikasi dan koordinasi yang baik antara dokter umum dengan dokter spesialis paru, dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis anak (terutama neonatolog), serta petugas program TB di tingkat layanan kesehatan primer maupun rujukan. Kasus-kasus yang kompleks, seperti TB dengan komorbiditas berat atau TB resisten obat, harus dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan kemampuan tatalaksana yang lebih lengkap.

  • C. Peran Edukasi Pasien:

Edukasi yang komprehensif kepada pasien dan keluarganya adalah kunci keberhasilan pengobatan. Jelaskan mengenai pentingnya kepatuhan minum obat secara teratur dan tuntas, potensi efek samping obat yang mungkin timbul dan kapan harus melapor, serta langkah-langkah pencegahan penularan TB kepada anggota keluarga lain, terutama kepada bayi yang baru lahir. Dukungan psikososial juga penting untuk membantu pasien menjalani pengobatan jangka panjang.

Referensi

  1. Tuberculosis in Pregnant and Postpartum Women: Epidemiology, Management, and Research Gaps - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3491857/

  2. Tuberculosis in Pregnancy - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7975823/

  3. Tuberculosis in Pregnancy: A Review - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3206367/

  4. Management of newborn infant born to mother suffering from ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4181157/

  5. Difficulties in diagnosing tuberculosis in pregnancy - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2813636/

  6. Tuberculosis in pregnancy - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8169139/

  7. Tuberculosis in Pregnancy - CDC, diakses Mei 8, 2025, https://www.cdc.gov/tb/about/pregnancy.html

  8. Role of GeneXpert MTB/Rif Assay in Diagnosing Tuberculosis in ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4538769/

  9. Tuberculosis Overview - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

  10. Tuberculosis Clinical Care and Treatment During Pregnancy - CDC, diakses Mei 8, 2025, https://www.cdc.gov/tb/hcp/clinical-care/pregnancy.html

  11. Drug treatment for tuberculosis during pregnancy: safety ... - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11444726/

  12. Tuberculosis Disease during Pregnancy and Treatment Outcomes in ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5094729/

  13. Population Pharmacokinetics of Isoniazid, Pyrazinamide, and ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7038290/

  14. WHO recommendations on antenatal care for a positive pregnancy experience: screening, diagnosis and treatment of tuberculosis disease in pregnant women, diakses Mei 8, 2025, https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/365953/9789240057562-eng.pdf

  15. TB 101 - Preferred TB Disease Treatment Regimen - CDC, diakses Mei 8, 2025, https://www.cdc.gov/tb/webcourses/TB101/page16413.html

  16. Essential first-line antituberculosis drugs - Treatment of Tuberculosis ..., diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK138747/

  17. Latent Tuberculosis Infection Treatment Regimens - CDC, diakses Mei 8, 2025, https://www.cdc.gov/tb/media/pdfs/2024/07/Latent_TB_Infection_Treatment_Regimen_Table.pdf

  18. Treatment of Active Pulmonary Tuberculosis in Adults: Current Standards and Recent Advances: Insights from the Society of Infectious Diseases Pharmacists - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2862594/

  19. Updates on the Treatment of Drug-Susceptible and Drug-Resistant Tuberculosis: An Official ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice Guideline - PMC - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11755361/

  20. Updates on the Treatment of Drug-Susceptible and Drug-Resistant Tuberculosis: An Official ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice Guideline | American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, diakses Mei 8, 2025, https://www.atsjournals.org/doi/10.1164/rccm.202410-2096ST

  21. Ethambutol - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559050/

  22. Toward Earlier Inclusion of Pregnant and Postpartum Women in ..., diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4772846/

  23. Antitubercular Medications - StatPearls - NCBI Bookshelf, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557666/

  24. Treatment for Drug-Susceptible Tuberculosis Disease - CDC, diakses Mei 8, 2025, https://www.cdc.gov/tb/hcp/treatment/tuberculosis-disease.html

  25. Treatment of tuberculosis during pregnancy - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/6996549/

  26. A review of antibiotic safety in pregnancy—2025 update - PMC, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11998890/

  27. Treating Active Tuberculosis Disease - CDC, diakses Mei 8, 2025, https://www.cdc.gov/tb/treatment/active-tuberculosis-disease.html

  28. An official ATS statement: hepatotoxicity of antituberculosis therapy, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17021358/

  29. Increased risk of hepatotoxicity and temporary drug ... - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32592906/

  30. Negative effects of undernutrition on sputum smear conversion and treatment success among retreatment cases in Uganda: A quasi-experimental study, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10907175/

  31. Tuberculosis Preventive Treatment for Pregnant People With Human Immunodeficiency Virus in South Africa: A Modeling Analysis of Clinical Benefits and Risks - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39544107/

  32. Management of newborn infant born to mother suffering from tuberculosis: current recommendations & gaps in knowledge - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25222775/

  33. Treatment of TB in children - Guidance for National Tuberculosis Programmes on the ... - NCBI, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK214449/

  34. Prevention of TB in children - Guidance for National Tuberculosis Programmes on the ... - NCBI, diakses Mei 8, 2025, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK214436/

  35. Delaying BCG vaccination from birth to 10 weeks of age may result in an enhanced memory CD4 T cell response - PubMed Central, diakses Mei 8, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC2745558/

  36. The safety of antituberculosis medications during breastfeeding, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10205455/

  37. Breastfeeding in women living with tuberculosis - PubMed, diakses Mei 8, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33156754/