30 Jun 2025 • Pediatri
(Artikel ini membahas Diagnosis dan Terapi Pneumonia Neonatus serta Dosis Obat Pneumonia Neonatus berdasarkan sumber ilmiah terindeks PubMed)
Pneumonia pada neonatus (bayi berusia 0-28 hari) merupakan masalah kesehatan global yang serius, menjadi salah satu penyebab utama kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) di seluruh dunia. Setiap tahun, kondisi ini merenggut nyawa ratusan ribu bayi, menjadikannya salah satu penyebab kematian terdepan pada kelompok usia bayi muda (0-59 hari). Beban penyakit ini terasa lebih berat di negara-negara berkembang, termasuk kawasan Asia Selatan, di mana pneumonia menyumbang persentase signifikan terhadap angka kematian neonatal (AKN). Sebagai contoh, di India, sekitar 16% kematian neonatal disebabkan oleh pneumonia.
Tingginya angka kematian ini menggarisbawahi betapa pentingnya diagnosis dini dan tata laksana yang cepat dan tepat oleh tenaga medis lini terdepan, termasuk dokter umum. Kesalahan dalam diagnosis atau pemilihan terapi dapat berakibat fatal bagi neonatus. Neonatus, terutama yang lahir prematur, sangat rentan terhadap infeksi karena sistem kekebalan tubuh mereka yang belum matang. Kebutuhan akan alat bantu invasif seperti kateter sentral atau ventilator pada beberapa bayi baru lahir juga meningkatkan risiko infeksi. Namun, sebagian besar kematian terkait pneumonia pada bayi muda sebenarnya dapat dicegah melalui penanganan dini dan optimal, termasuk perawatan suportif, suplementasi oksigen jika diperlukan, dan yang terpenting, pemberian antibiotik yang tepat. Perbedaan beban penyakit antar negara juga menunjukkan bahwa faktor akses terhadap layanan kesehatan dan kapabilitas diagnostik turut berperan, menyoroti tantangan inheren dalam menangani kondisi ini secara global.
Memahami klasifikasi pneumonia neonatus berdasarkan waktu timbulnya gejala sangat penting karena berkaitan erat dengan kemungkinan penyebab (etiologi) dan pemilihan antibiotik awal. Secara umum, pneumonia neonatus dikategorikan menjadi:
Pneumonia Kongenital: Infeksi terjadi selama kehidupan janin, ditularkan secara transplasental (melalui darah) atau melalui infeksi asendens (naik) dari saluran genital ibu. Penyebabnya bisa berupa agen TORCH (Toxoplasma gondii, Cytomegalovirus/CMV, Herpes Simplex Virus/HSV, Treponema pallidum).
Pneumonia Onset Dini (Early-Onset Sepsis/Pneumonia - EOS): Gejala muncul dalam minggu pertama kehidupan, seringkali dalam 72 jam pertama. Infeksi didapat saat periode perinatal (intrauterin atau saat melewati jalan lahir) dari flora normal ibu. Patogen tersering adalah Streptococcus agalactiae (Group B Streptococcus/GBS) dan Escherichia coli. Patogen lain yang mungkin termasuk Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Enterococcus spp., dan Haemophilus spp.. E. coli merupakan penyebab mortalitas yang signifikan, terutama pada bayi prematur.
Pneumonia Onset Lambat (Late-Onset Sepsis/Pneumonia - LOS): Gejala muncul setelah minggu pertama kehidupan (seringkali setelah 72 jam). Infeksi didapat dari lingkungan setelah lahir, baik di komunitas maupun di rumah sakit (nosokomial). Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah salah satu subtipe LOS yang terjadi pada bayi yang menggunakan ventilator. Patogen penyebab LOS lebih bervariasi dan seringkali mencakup bakteri nosokomial yang resisten. Penyebab umum meliputi Staphylococcus koagulase-negatif (CoNS), S. aureus (termasuk Methicillin-resistant S. aureus/MRSA), Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Enterobacter spp., Serratia spp.), Pseudomonas aeruginosa, E. coli, dan Acinetobacter baumannii. Infeksi jamur (Candida spp., Aspergillus spp.) juga menjadi perhatian, terutama pada bayi prematur atau yang dirawat intensif. Infeksi virus seperti Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan Adenovirus juga sering menyebabkan gejala pneumonia.
Perbedaan profil patogen antara EOS dan LOS ini menjadi dasar fundamental mengapa strategi antibiotik empiris (terapi awal sebelum hasil kultur diketahui) berbeda. Terapi EOS menargetkan flora maternal, sementara LOS memerlukan cakupan yang lebih luas, termasuk kemungkinan patogen nosokomial dan resisten. Meskipun demikian, perlu diingat adanya tumpang tindih patogen (misalnya, GBS dapat menyebabkan LOS) dan variasi definisi waktu onset (72 jam vs 7 hari). Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa definisi patogen klasik untuk EOS mungkin perlu ditinjau ulang, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah (LLMICs) di mana S. aureus dilaporkan lebih dominan. Hal ini menekankan pentingnya mempertimbangkan konteks klinis individual pasien, tidak hanya berpatokan kaku pada waktu onset. Prinsip manajemen VAP, seperti pemilihan antibiotik awal (spektrum sempit jika memungkinkan), re-evaluasi setelah 24-36 jam, dan durasi terapi tertentu (misalnya 7-8 hari), dapat diterapkan pada bentuk LOS lainnya, terutama pneumonia nosokomial.
Tabel 1: Patogen Umum Pneumonia Neonatus Berdasarkan Onset
Onset | Bakteri Umum | Catatan |
Onset Dini (EOS) <br> (<7 hari / <72 jam) | - Group B Streptococcus (GBS) <br> - Escherichia coli <br> - Listeria monocytogenes <br> - Staphylococcus aureus <br> - Enterococcus spp. <br> - Haemophilus spp. <br> - Streptokokus lainnya | Dominasi GBS & E. coli. <br> Didapat dari flora maternal. <br> Di LLMICs, S. aureus mungkin lebih sering ditemukan. |
Onset Lambat (LOS) <br> (>7 hari / >72 jam) <br> (Termasuk VAP) | - Staphylococcus koagulase-negatif (CoNS) <br> - Staphylococcus aureus (termasuk MRSA) <br> - Enterobacteriaceae (Klebsiella, Enterobacter, Serratia, E. coli) <br> - Pseudomonas aeruginosa <br> - Acinetobacter baumannii <br> - Enterococcus spp. <br> - GBS <br> - Patogen lain (misal: Proteus, Citrobacter, Stenotrophomonas) | Spektrum lebih luas, seringkali patogen nosokomial. <br> Risiko resistensi antibiotik lebih tinggi. <br> Jamur (Candida, Aspergillus) dan Virus (RSV, Adenovirus, dll.) juga berperan. |
Menegakkan diagnosis pneumonia pada neonatus merupakan tantangan signifikan bagi klinisi. Gejala klinis seringkali tidak spesifik dan dapat menyerupai kondisi non-infeksi lainnya. Bayi mungkin menunjukkan tanda-tanda seperti malas menetek, letargi, instabilitas suhu (demam atau hipotermia), takipnea (napas cepat), retraksi dinding dada, merintih (grunting), atau bahkan apnea (henti napas). Gejala ini bisa tumpang tindih dengan transient tachypnea of the newborn (TTN) atau respiratory distress syndrome (RDS), terutama pada bayi prematur.
Pendekatan klinis dimulai dengan anamnesis yang cermat, menggali riwayat maternal (status GBS, korioamnionitis, ketuban pecah dini >18 jam), komplikasi persalinan, dan riwayat paparan infeksi. Pemeriksaan fisik difokuskan untuk mencari tanda-tanda distres pernapasan dan tanda infeksi sistemik, meskipun temuan auskultasi paru bisa minimal atau difus.
Pemeriksaan penunjang memiliki keterbatasan:
Kultur Darah: Merupakan baku emas, namun seringkali hasilnya negatif meskipun infeksi bakteri terjadi. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya tingkat bakteremia, volume sampel darah yang tidak adekuat (minimal 1 ml direkomendasikan), atau penggunaan antibiotik pada ibu sebelum persalinan. Hasil kultur juga membutuhkan waktu (24-48 jam atau lebih).
Biomarker: Pemeriksaan seperti hitung darah lengkap (CBC) dan C-reactive protein (CRP) memiliki nilai prediksi positif yang rendah untuk memastikan sepsis. Artinya, hasil yang abnormal belum tentu berarti ada infeksi bakteri. Namun, nilai prediktif negatifnya lebih baik; hasil yang secara konsisten normal atau rendah dapat membantu menyingkirkan kemungkinan infeksi. Neutropenia (jumlah neutrofil rendah) lebih spesifik daripada neutrofilia (jumlah neutrofil tinggi) sebagai penanda infeksi. Peningkatan rasio neutrofil imatur : total (I:T ratio >0.2) dapat mendukung diagnosis, tetapi juga bisa ditemukan pada bayi sehat. CRP baru mulai meningkat 6-8 jam setelah onset infeksi. Oleh karena itu, pengukuran serial lebih bermakna daripada pengukuran tunggal.
Radiografi Toraks (CXR): Sering diminta, namun interpretasinya untuk VAP memiliki reliabilitas antar-penilai yang rendah. Gambaran infiltrat atau konsolidasi dapat terlihat, tetapi seringkali tidak spesifik dan bisa ditemukan pada kondisi paru non-infeksi lainnya.
Pemeriksaan Lain: Pungsi lumbal (LP) untuk analisis cairan serebrospinal (CSF) direkomendasikan jika kultur darah positif atau ada kecurigaan keterlibatan sistem saraf pusat. Kultur urin umumnya tidak diperlukan untuk evaluasi EOS, tetapi perlu dipertimbangkan pada kasus LOS. Aspirat trakea untuk diagnosis VAP memiliki keterbatasan karena kemungkinan kontaminasi oleh kolonisasi bakteri.
Kesulitan diagnostik ini—gejala tidak spesifik, tes yang lambat atau tidak dapat diandalkan—menyebabkan praktik umum untuk memulai terapi antibiotik empiris berdasarkan kecurigaan klinis yang kuat, bahkan tanpa bukti definitif infeksi bakteri. Hal ini menjadikan prinsip antibiotic stewardship, terutama penghentian antibiotik yang tidak perlu, menjadi sangat krusial setelahnya. Meskipun tes seperti CRP dan kultur darah kurang baik untuk memastikan sepsis, nilai utamanya terletak pada kemampuannya membantu menyingkirkan infeksi jika hasilnya normal atau negatif secara konsisten. Kultur darah yang negatif setelah 36-48 jam pada bayi yang tampak baik secara klinis menjadi titik keputusan penting untuk menghentikan antibiotik empiris.
Tujuan utama terapi awal adalah memberikan antibiotik spektrum luas sesegera mungkin setelah kecurigaan infeksi muncul, sambil menunggu hasil kultur, untuk mencakup patogen yang paling mungkin menjadi penyebab.
Pilihan Lini Pertama:
EOS / Suspek Sepsis/Pneumonia (Dirawat di Rumah Sakit): Kombinasi Ampisilin DAN Gentamisin secara intravena (IV) adalah regimen empiris yang direkomendasikan secara luas oleh berbagai panduan, termasuk WHO. Kombinasi ini efektif melawan patogen EOS tersering (GBS, E. coli) dan juga Listeria monocytogenes.
Bayi 7-59 hari (Tidak Dirawat, Hanya Gejala Napas Cepat): WHO merekomendasikan Amoksisilin oral selama 7 hari. Jika disertai tanda bahaya atau infeksi berat, ditambahkan Gentamisin intramuskular (IM).
Pilihan Lini Kedua / Modifikasi:
Kecurigaan Meningitis: Karena penetrasi gentamisin ke sistem saraf pusat (SSP) kurang baik, Sefotaksim IV seringkali menggantikan atau ditambahkan ke gentamisin. Penting untuk diingat bahwa Seftriakson umumnya DIKONTRAINDIKASIKAN pada neonatus karena risiko menggeser bilirubin dari ikatannya dengan albumin, yang dapat menyebabkan kernikterus (kerusakan otak akibat kadar bilirubin tinggi). Meskipun WHO menyebutkannya sebagai opsi untuk meningitis, penggunaannya harus sangat hati-hati.
Kecurigaan LOS / Infeksi Nosokomial / VAP: Diperlukan cakupan yang lebih luas terhadap patogen nosokomial dan kemungkinan resistensi. Pilihan meliputi:
Vankomisin + Aminoglikosida (Gentamisin atau Amikasin): Untuk mencakup MRSA dan CoNS, serta Gram-negatif.
Nafsilin/Oksasilin/Kloksasilin + Aminoglikosida: Alternatif jika risiko MRSA rendah dan diduga infeksi S. aureus yang sensitif metisilin (MSSA). Studi menunjukkan nafsilin bisa menjadi alternatif aman untuk vankomisin pada kondisi yang tepat.
Piperasilin-Tazobaktam: Sering dikombinasikan dengan Vankomisin untuk cakupan Gram-negatif yang lebih luas, termasuk Pseudomonas aeruginosa.
Sefalosporin Generasi Ketiga (Sefotaksim, Seftazidim): Dapat digunakan, namun resistensi menjadi perhatian. Sefepim disebutkan tetapi data dosis neonatal spesifik terbatas.
Karbapenem (Meropenem, Imipenem): Dicadangkan untuk kasus dugaan infeksi Gram-negatif resisten-multiobat (MDR) atau penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL).
Situasi Resistensi Tinggi (WHO): Sefotaksim/Seftriakson IV; atau Piperasilin-Tazobaktam IV.
Pemilihan antibiotik empiris harus selalu dipandu oleh pola kepekaan (resistensi) kuman lokal di fasilitas kesehatan masing-masing. Meskipun Ampisilin+Gentamisin tetap menjadi landasan terapi empiris EOS karena cakupannya terhadap patogen utama, terdapat kekhawatiran yang berkembang mengenai peningkatan resistensi, terutama pada bakteri Gram-negatif (Klebsiella, E. coli, Enterobacter) penyebab LOS, khususnya di negara berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa panduan standar WHO mungkin menjadi kurang efektif di beberapa wilayah, sehingga data resistensi lokal menjadi sangat penting. Terapi empiris untuk LOS jelas memerlukan strategi berbeda yang memperhitungkan patogen nosokomial seperti S. aureus (termasuk MRSA) dan Pseudomonas, seringkali membutuhkan Vankomisin atau Nafsilin ditambah aminoglikosida atau beta-laktam anti-pseudomonas.
Pemberian dosis antibiotik yang tepat pada neonatus sangat krusial dan kompleks. Fisiologi neonatus yang unik—fungsi ginjal yang belum matang, perubahan komposisi tubuh dan volume distribusi cairan—secara signifikan mempengaruhi farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi) dan farmakodinamik (efek obat pada tubuh) antibiotik. Oleh karena itu, dosis harus disesuaikan secara individual.
Faktor kunci yang mempengaruhi penyesuaian dosis meliputi:
Usia Gestasi (GA): Bayi prematur memiliki klirens (kemampuan tubuh membersihkan obat) yang lebih rendah dibandingkan bayi cukup bulan.
Usia Pascanatal (PNA - Postnatal Age): Fungsi ginjal dan klirens obat mengalami pematangan yang cepat dalam beberapa hari hingga minggu pertama kehidupan. Interval pemberian dosis seringkali menjadi lebih pendek seiring bertambahnya PNA.
Berat Badan: Dosis hampir selalu dihitung berdasarkan berat badan (mg/kg).
Usia Postmenstrual (PMA = GA + PNA): Sering digunakan sebagai panduan interval dosis karena mencerminkan tingkat kematangan keseluruhan.
Fungsi Ginjal: Sangat penting untuk obat yang diekskresikan melalui ginjal seperti aminoglikosida (gentamisin, amikasin) dan banyak antibiotik beta-laktam. Kadar kreatinin serum dapat membantu penyesuaian dosis.
Pemantauan Kadar Obat (Therapeutic Drug Monitoring - TDM): Direkomendasikan untuk aminoglikosida dan vankomisin, terutama jika terapi diberikan >48 jam atau jika ada gangguan fungsi ginjal. Tujuannya adalah memastikan efikasi (kadar puncak/peak yang cukup) dan menghindari toksisitas (kadar lembah/trough yang terlalu tinggi). Target kadar bervariasi, namun umumnya: Gentamisin trough <1-2 mcg/ml, peak 5-12 mcg/ml; Vankomisin trough 10-15 atau 15-20 mcg/ml tergantung lokasi dan keparahan infeksi.
Durasi Terapi:
Durasi standar yang sering direkomendasikan WHO adalah 7-10 hari untuk pneumonia atau sepsis tanpa komplikasi. Untuk meningitis, durasi lebih lama (misalnya 21 hari). VAP sering diobati selama 7-8 hari. Namun, bukti terbaru mendukung kemungkinan pemberian kursus antibiotik yang lebih pendek, misalnya 5 hari, untuk kasus pneumonia atau sepsis dengan kultur darah negatif ("culture-negative") di mana bayi menunjukkan perbaikan klinis. Ini adalah bagian penting dari antibiotic stewardship. Penghentian antibiotik pada 36-48 jam jika kultur negatif dan bayi stabil secara klinis juga merupakan praktik kunci.
Dosis pada neonatus bersifat dinamis; dosis yang tepat pada hari pertama mungkin perlu disesuaikan seiring pematangan fungsi organ bayi. Kompleksitas ini menuntut penggunaan panduan dosis yang jelas dan terstandar, seperti yang diringkas dalam Tabel 2, yang mengacu pada rekomendasi WHO dan sumber relevan lainnya.
Tabel 2: Regimen dan Dosis Antibiotik Empiris Rekomendasi WHO untuk Infeksi Bakteri Serius pada Bayi Muda (0-59 hari) di Rumah Sakit
Usia / Kondisi Klinis | Regimen Lini Pertama | Pertimbangan Lini Kedua / Catatan |
Suspek Pneumonia <br> (0-6 hari) | Ampisilin 50 mg/kg IV setiap 12 jam <br> PLUS <br> Gentamisin 5 mg/kg IV setiap 24 jam <br> (Durasi: min. 7 hari) | - Jika diduga meningitis, pertimbangkan Sefotaksim. <br> - Sesuaikan dosis/interval Gentamisin berdasarkan GA/PMA/berat badan & fungsi ginjal (lihat panduan spesifik/TDM). <br> - Hentikan antibiotik pada 36-48 jam jika kultur negatif & klinis baik. Pertimbangkan durasi 5 hari jika kultur negatif & perbaikan klinis. |
Suspek Pneumonia <br> (7-59 hari) | Ampisilin 50 mg/kg IV setiap 8 jam <br> PLUS <br> Gentamisin 7.5 mg/kg IV setiap 24 jam <br> (Durasi: min. 7 hari) | - Sama seperti catatan di atas. |
Suspek Pneumonia Stafilokokus <br> (0-59 hari) | Kloksasilin 50 mg/kg IV setiap 12 jam (usia ≤7 hari) atau setiap 8 jam (usia >7 hari) <br> PLUS <br> Gentamisin (dosis sesuai usia di atas) <br> (Durasi: min. 7 hari) | - Alternatif: Vankomisin jika curiga MRSA atau resistensi Kloksasilin tinggi. <br> - TDM untuk Gentamisin & Vankomisin sangat dianjurkan. |
Suspek Meningitis <br> (0-59 hari) | Ampisilin 50 mg/kg IV setiap 12 jam (usia ≤7 hari) atau setiap 8 jam (usia >7 hari) <br> ATAU <br> Sefotaksim 50 mg/kg IV setiap 12 jam (usia ≤7 hari) atau setiap 6 jam (usia >7 hari) <br> PLUS <br> Gentamisin (dosis sesuai usia di atas) <br> (Durasi: min. 3 minggu) | - Seftriakson 100 mg/kg IV setiap 24 jam juga opsi WHO, TAPI umumnya dihindari pada neonatus karena risiko kernikterus. <br> - Jika curiga Listeria, berikan Ampisilin + Sefalosporin generasi 3 + Gentamisin. <br> - Dosis Ampisilin untuk meningitis mungkin perlu lebih tinggi (konsultasi spesialis/panduan lokal). <br> - LP ulang setelah 48 jam terapi. |
Catatan Umum: | - Dosis dan interval dapat bervariasi berdasarkan panduan lokal, berat badan, GA, PMA, dan fungsi ginjal. Selalu rujuk panduan dosis institusi/nasional yang terkini. <br> - Penyesuaian dosis Gentamisin sangat penting pada bayi prematur (interval lebih panjang, misal q36-48 jam). <br> - Rute pemberian umumnya IV/IM untuk terapi awal di rumah sakit. |
Antibiotik merupakan salah satu golongan obat yang paling sering digunakan di unit perawatan intensif neonatal (NICU). Penggunaannya seringkali bersifat empiris karena sulitnya diagnosis pasti infeksi pada neonatus. Diperkirakan 20-50% peresepan antibiotik pada neonatus mungkin tidak perlu atau tidak tepat.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan atau tidak tepat pada neonatus membawa risiko serius:
Resistensi Antimikroba (AMR): Penggunaan antibiotik yang luas mendorong perkembangan bakteri resisten, sebuah ancaman kesehatan global yang semakin nyata.
Luaran Neonatal yang Buruk: Paparan antibiotik yang tidak perlu atau berkepanjangan dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan pada bayi, termasuk gangguan mikrobiota usus (disbiosis), peningkatan risiko Necrotizing Enterocolitis (NEC), sepsis onset lambat (LOS), infeksi jamur (Kandidiasis), bahkan peningkatan mortalitas. Ada juga potensi dampak jangka panjang seperti asma dan penyakit alergi. Durasi antibiotik yang panjang secara spesifik berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, penerapan prinsip Antibiotic Stewardship (pengelolaan antibiotik yang bijaksana) sangat penting pada populasi neonatus. Strategi utama meliputi:
Pemilihan Empiris yang Tepat: Gunakan antibiotik spektrum sempit jika memungkinkan (misalnya, Ampisilin+Gentamisin untuk EOS) dan cadangkan agen spektrum luas hanya jika ada indikasi kuat (misalnya, kecurigaan LOS nosokomial, resistensi tinggi). Pertimbangkan pola resistensi lokal.
De-eskalasi atau Penghentian Cepat: Lakukan evaluasi ulang terapi antibiotik dalam 24-36 jam setelah dimulai. Hentikan antibiotik jika kultur darah negatif setelah 36-48 jam DAN bayi stabil atau membaik secara klinis. Sesuaikan (streamline) terapi berdasarkan hasil kultur dan uji kepekaan jika tersedia.
Durasi Optimal: Hindari pemberian antibiotik yang terlalu lama. Pertimbangkan durasi yang lebih pendek (misalnya 5 hari) untuk kasus pneumonia/sepsis kultur-negatif jika respons klinis baik. Patuhi durasi yang direkomendasikan untuk infeksi yang terkonfirmasi (misalnya 7-10 hari untuk pneumonia, lebih lama untuk meningitis atau kasus terkomplikasi).
Implementasi Program Peningkatan Kualitas (QI): Penerapan protokol standar, ronde antibiotik berkala (seperti WARN - Weekly Antibiotic Round in NICU), panduan klinis, dan program stewardship terbukti dapat secara signifikan dan aman mengurangi penggunaan antibiotik (tingkat penggunaan/AUR dan durasi) tanpa meningkatkan luaran buruk seperti kematian atau NEC.
Diagnosis Akurat: Upaya meningkatkan akurasi diagnosis, meskipun menantang, akan membantu menargetkan terapi dengan lebih baik.
Penting untuk dipahami bahwa stewardship bukan hanya tentang mengendalikan resistensi. Kaitan langsung antara penggunaan antibiotik yang tidak perlu/berkepanjangan dengan luaran buruk seperti NEC, LOS, dan mortalitas menjadikan stewardship sebagai isu inti keselamatan pasien neonatal. Mengurangi paparan antibiotik secara langsung bermanfaat bagi bayi. Keberhasilan program QI menunjukkan bahwa pengurangan penggunaan antibiotik secara sistematis adalah hal yang mungkin dan aman dilakukan. Mengingat tingginya angka pemberian antibiotik empiris karena ketidakpastian diagnostik, keputusan kapan dan bagaimana menghentikan antibiotik menjadi sama pentingnya dengan keputusan untuk memulai terapi.
Pneumonia neonatus adalah kondisi serius yang membutuhkan kewaspadaan tinggi dari dokter umum. Berikut adalah poin-poin kunci untuk praktik sehari-hari:
Kenali Risiko: Sadari tingginya risiko mortalitas dan presentasi klinis pneumonia neonatus yang seringkali tidak spesifik.
Bedakan Onset: Pertimbangkan waktu onset (dini vs lambat) untuk memperkirakan kemungkinan patogen penyebab.
Terapi Awal Cepat & Tepat (EOS): Untuk sebagian besar kasus suspek pneumonia/sepsis neonatus (terutama onset dini), segera mulai terapi empiris dengan Ampisilin IV + Gentamisin IV.
Dosis Tepat: Sesuaikan dosis antibiotik secara cermat berdasarkan usia gestasi (GA), usia pascanatal (PNA), dan berat badan menggunakan panduan yang terpercaya (rujuk Tabel 2 atau panduan lokal). Ingat kontraindikasi Seftriakson pada neonatus. Gunakan Sefotaksim jika sefalosporin generasi ketiga diperlukan (misal, meningitis).
Pertimbangkan LOS/Resistensi: Untuk kasus onset lambat, kecurigaan meningitis, atau di area dengan resistensi tinggi, pertimbangkan cakupan yang lebih luas (misalnya Vankomisin/Nafsilin, Sefotaksim, Piperasilin-Tazobaktam), idealnya dipandu data resistensi lokal.
Praktikkan Stewardship: Lakukan evaluasi ulang dalam 24-36 jam. Hentikan antibiotik jika kultur negatif setelah 36-48 jam dan kondisi klinis bayi baik/membaik. Gunakan durasi terapi efektif terpendek (pertimbangkan 5 hari untuk kasus kultur negatif). Hindari penggunaan antibiotik berlebihan untuk meminimalkan resistensi dan potensi bahaya langsung pada pasien (risiko NEC, disbiosis, dll.).
Menyeimbangkan antara kebutuhan terapi yang cepat untuk menyelamatkan nyawa dan penggunaan antibiotik yang bijaksana untuk mencegah resistensi dan efek samping adalah kunci tata laksana pneumonia neonatus yang optimal.