Dokter Post - Diagnosis dan Terapi Hematuria Asimtomatik: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum

Diagnosis dan Terapi Hematuria Asimtomatik: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum

6 Sep 2025 • urologi

Deskripsi

Diagnosis dan Terapi Hematuria Asimtomatik: Panduan Komprehensif untuk Dokter Umum

1. Pendahuluan: Mengenali Hematuria Asimtomatik dan Peran Krusial Dokter Umum dalam "Diagnosis dan Terapi Hematuria"

Hematuria, atau keberadaan darah dalam urin, merupakan salah satu kelainan urologi yang sering dijumpai dan dapat menandakan berbagai kondisi, mulai dari yang jinak hingga yang mengancam jiwa. Secara klinis, hematuria diklasifikasikan menjadi hematuria makroskopik (gross hematuria), di mana darah terlihat secara kasat mata, dan hematuria mikroskopik, di mana darah hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan mikroskop urin. 

Artikel ini akan berfokus pada Hematuria Mikroskopik Asimtomatik (AMH), suatu kondisi di mana hematuria mikroskopik ditemukan tanpa adanya gejala klinis lain yang menyertai.

Menurut panduan terkini dari American Urological Association (AUA), AMH didefinisikan sebagai temuan tiga atau lebih sel darah merah per lapang pandang besar (≥3 RBC/HPF) pada evaluasi mikroskopik sedimen urin dari satu spesimen urin yang dikumpulkan dengan benar. 

Definisi standar ini penting untuk diagnosis yang konsisten dan menjadi dasar bagi alur evaluasi selanjutnya. Perlu ditekankan bahwa hasil positif pada tes dipstick urin untuk darah harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopik, mengingat tingginya angka positif palsu dari tes dipstick saja. 

Sebuah studi bahkan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil pasien yang didiagnosis dengan hematuria mikroskopik berdasarkan dipstick oleh dokter layanan primer yang benar-benar memenuhi kriteria mikroskopik (>3 RBC/HPF), menggarisbawahi pentingnya konfirmasi ini untuk menghindari investigasi yang tidak perlu.

Signifikansi klinis AMH terletak pada spektrum penyebabnya yang luas. AMH adalah temuan yang relatif umum di layanan primer, dengan prevalensi yang dilaporkan bervariasi antara 2.4% hingga 31.1% pada populasi sehat, tergantung pada karakteristik populasi yang dievaluasi. 

Meskipun seringkali AMH disebabkan oleh kondisi jinak seperti infeksi saluran kemih (ISK), hiperplasia prostat jinak (BPH), atau batu saluran kemih , kondisi ini juga dapat menjadi penanda awal dari penyakit yang lebih serius, termasuk keganasan pada sistem urogenital. Diperkirakan hingga 5% pasien dengan AMH dapat ditemukan memiliki keganasan saluran kemih. 

Berbeda dengan hematuria makroskopik yang memiliki risiko keganasan lebih dari 10% dan memerlukan rujukan segera ke ahli urologi , AMH juga menuntut evaluasi yang sistematis dan cermat. Tingginya prevalensi AMH namun relatif rendahnya risiko keganasan secara keseluruhan seringkali menempatkan dokter umum pada dilema: bagaimana menyeimbangkan kewaspadaan untuk tidak melewatkan diagnosis serius dengan upaya menghindari investigasi berlebihan yang dapat membebani pasien dan sistem layanan kesehatan. 

Mengingat AMH bersifat asimtomatik, pasien mungkin tidak menyadari urgensi evaluasi lebih lanjut. Oleh karena itu, peran dokter umum sangat krusial dalam mengedukasi pasien mengenai signifikansi temuan ini dan pentingnya investigasi lanjutan, bahkan jika pasien merasa sehat. Artikel ini bertujuan untuk menyediakan panduan praktis dan berbasis bukti terkini bagi para dokter umum mengenai "Diagnosis dan Terapi Hematuria" asimtomatik, sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan klinis yang tepat dan efisien.

2. Diagnosis Awal Hematuria Asimtomatik di Layanan Primer: Langkah Kunci dalam "Diagnosis dan Terapi Hematuria"

Langkah awal dalam menghadapi pasien dengan dugaan AMH melibatkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik yang cermat, dan pemeriksaan laboratorium dasar.

Anamnesis Komprehensif dan Pemeriksaan Fisik:

Anamnesis harus menggali riwayat medis lengkap, termasuk usia, jenis kelamin, dan faktor risiko utama keganasan seperti riwayat merokok (jumlah dan durasi). Faktor risiko lain yang perlu ditanyakan meliputi riwayat pekerjaan dengan potensi paparan bahan kimia karsinogenik, riwayat keluarga dengan keganasan urologi atau penyakit ginjal herediter, riwayat hematuria makroskopik sebelumnya, serta ada tidaknya gejala iritatif saat berkemih (yang mungkin mengarah ke ISK atau Carcinoma in Situ/CIS) atau gejala obstruktif (mengarah ke BPH). 

Nyeri pinggang dapat menjadi petunjuk adanya batu saluran kemih. Penting juga untuk menanyakan riwayat penggunaan obat-obatan, terutama antikoagulan atau antiplatelet; panduan AUA menegaskan bahwa pasien yang menggunakan obat-obatan ini tetap harus dievaluasi sama seperti pasien lain jika ditemukan AMH, karena obat tersebut tidak boleh dianggap sebagai satu-satunya penyebab tanpa evaluasi lebih lanjut. Riwayat infeksi sebelumnya, trauma, atau prosedur urologi juga relevan.

Pemeriksaan fisik harus mencakup pengukuran tekanan darah, karena hipertensi dapat menjadi tanda penyakit ginjal. Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk mencari adanya massa. Pada pasien wanita, pemeriksaan panggul mungkin diperlukan untuk menyingkirkan penyebab ginekologis hematuria, seperti perdarahan dari traktus genitalia yang dapat mengkontaminasi sampel urin. 

Jika terdapat keraguan mengenai sumber perdarahan pada wanita, misalnya saat periode menstruasi, pengambilan sampel urin melalui kateterisasi dapat dipertimbangkan untuk memastikan bahwa hematuria benar berasal dari saluran kemih.

Urinalisis: Konfirmasi Mikroskopik dan Penilaian Tambahan:

Kualitas sampel urin sangat menentukan akurasi diagnosis. Pengumpulan spesimen urin midstream clean-catch (porsi tengah urin setelah membersihkan area meatus uretra) sangat penting untuk meminimalkan risiko kontaminasi. Instruksi yang jelas mengenai cara pengumpulan sampel yang benar harus diberikan kepada pasien, baik pria maupun wanita. Kontaminasi, terutama pada wanita, dapat menyebabkan diagnosis AMH yang keliru dan memicu investigasi yang tidak perlu.

Konfirmasi mikroskopik adanya ≥3 eritrosit per lapang pandang besar (RBC/HPF) adalah standar diagnosis AMH. Selain jumlah eritrosit, urinalisis juga harus mengevaluasi tanda-tanda infeksi saluran kemih (ISK), seperti adanya leukosit, nitrit, atau bakteri. Jika ISK dicurigai, kondisi ini harus diobati terlebih dahulu. Setelah terapi ISK selesai, urinalisis perlu diulang untuk memastikan bahwa hematuria telah menghilang. 

Hematuria yang persisten setelah terapi ISK yang adekuat memerlukan evaluasi lebih lanjut sesuai alur AMH. Pemeriksaan sedimen urin juga dapat mengidentifikasi adanya eritrosit dismorfik (eritrosit dengan bentuk abnormal) atau silinder eritrosit (cetakan eritrosit berbentuk tabung dari tubulus ginjal). 

Temuan ini, bersama dengan proteinuria signifikan (misalnya, lebih dari 500 mg/hari atau rasio albumin-kreatinin urin >300 mg/g), sangat mengarah pada kemungkinan penyakit glomerular (penyakit pada unit penyaring ginjal) dan memerlukan rujukan ke ahli nefrologi.

Pemeriksaan Laboratorium Dasar:

Pemeriksaan kreatinin serum untuk menilai laju filtrasi glomerulus estimasi (eGFR) merupakan bagian penting dari evaluasi awal. Ini membantu mengidentifikasi adanya penyakit ginjal medis yang mendasari dan menilai fungsi ginjal secara keseluruhan.

Menyingkirkan penyebab non-urologi dan penyebab sementara seperti ISK atau sumber ginekologis sebelum melangkah ke evaluasi urologi yang lebih invasif merupakan prinsip triase yang efisien, mencegah rujukan yang tidak perlu dan memfokuskan sumber daya pada pasien yang benar-benar memerlukan investigasi urologi lanjutan.

Gambar 1. Algoritma Diagnosis dan Manajemen Hematuria Mikroskopik Insidental

3. Stratifikasi Risiko Keganasan Urologi pada AMH: Pendekatan Berbasis Panduan AUA Terkini

Setelah AMH dikonfirmasi dan penyebab jinak segera seperti ISK telah disingkirkan atau diobati, langkah selanjutnya adalah melakukan stratifikasi risiko keganasan urogenital. American Urological Association (AUA), bersama dengan Society of Urodynamics, Female Pelvic Medicine & Urogenital Reconstruction (SUFU), telah mengembangkan panduan berbasis risiko untuk evaluasi AMH. 

Pendekatan ini bertujuan untuk mengoptimalkan deteksi keganasan secara dini sekaligus meminimalkan investigasi yang berpotensi invasif dan mahal pada pasien dengan risiko rendah.

Panduan AUA/SUFU terkini (dengan pembaruan hingga tahun 2024 yang dirujuk dalam dokumen sumber) mengkategorikan pasien AMH ke dalam tiga kelompok risiko: rendah/dapat diabaikan (low/negligible), sedang (intermediate), dan tinggi (high) untuk keganasan urogenital. Stratifikasi ini didasarkan pada kombinasi beberapa faktor risiko kunci:

  • Usia: Risiko keganasan meningkat seiring bertambahnya usia.

  • Riwayat Merokok: Status merokok (tidak pernah, mantan perokok dengan durasi dan jumlah tertentu, perokok saat ini) merupakan faktor risiko yang sangat signifikan.

  • Jenis Kelamin: Pria umumnya memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan wanita.

  • Derajat Hematuria Mikroskopik: Jumlah eritrosit per lapang pandang besar (RBC/HPF) yang lebih tinggi dapat mengindikasikan risiko yang lebih besar.

  • Riwayat Hematuria Makroskopik: Adanya riwayat hematuria makroskopik sebelumnya secara signifikan meningkatkan kategori risiko.

  • Faktor Risiko Lain: Termasuk riwayat keluarga dengan kanker urotelial atau Sindrom Lynch, paparan okupasional terhadap karsinogen, riwayat iradiasi panggul, penggunaan siklofosfamid, dan adanya gejala iritatif berkemih yang persisten.

Akurasi dalam melakukan stratifikasi risiko oleh dokter umum sangatlah penting, karena kategori risiko ini akan menjadi dasar untuk menentukan langkah investigasi selanjutnya, apakah cukup dengan observasi dan pengulangan urinalisis, atau memerlukan pemeriksaan pencitraan dan/atau sistoskopi. 

Sebuah studi yang mengevaluasi sistem stratifikasi risiko AUA menemukan insiden kanker kandung kemih sebesar 0.4% pada kelompok risiko rendah, 1.0% pada risiko sedang, dan 6.3% pada risiko tinggi, yang menyoroti perbedaan signifikan antar kelompok dan pentingnya stratifikasi ini untuk konseling pasien. Studi lain bahkan melaporkan bahwa semua kasus kanker yang terdeteksi berada dalam kelompok risiko tinggi menurut kriteria AUA.

Berikut adalah rangkuman stratifikasi risiko dan rekomendasi evaluasi awal berdasarkan panduan AUA/SUFU terkini :

Tabel 1: Stratifikasi Risiko Keganasan Urogenital pada Pasien AMH (Adaptasi Panduan AUA/SUFU Terkini) dan Rekomendasi Evaluasi Awal


Kategori Risiko

Kriteria/Faktor Risiko Kunci (Contoh berdasarkan Panduan AUA )

Rekomendasi Evaluasi Urologi Awal (berdasarkan Panduan AUA )

Rendah/Dapat Diabaikan (Low/Negligible-Risk)

- Tidak pernah merokok ATAU mantan perokok (berhenti >10 tahun lalu DAN <30 pak-tahun)<br>- Wanita<br>- Usia <50 tahun<br>- Derajat hematuria 3-10 RBC/HPF<br>- Tidak ada faktor risiko lain (sesuai daftar AUA)

Ulangi urinalisis dalam 6 bulan. TIDAK direkomendasikan sistoskopi atau pencitraan segera.

Risiko Sedang (Intermediate-Risk)

- Perokok (saat ini ATAU mantan perokok berhenti <10 tahun lalu ATAU mantan perokok berhenti >10 tahun lalu TETAPI >30 pak-tahun)<br>- ATAU Pria<br>- ATAU Usia 50-59 tahun<br>- ATAU Derajat hematuria 11-25 RBC/HPF<br>- ATAU memiliki 1-2 faktor risiko lain (sesuai daftar AUA)

Rekomendasikan sistoskopi DAN USG ginjal. Dapat dipertimbangkan penggunaan biomarker urin (jika tersedia dan tervalidasi) untuk membantu keputusan mengenai utilitas sistoskopi, namun USG ginjal dan kandung kemih tetap dilakukan.

Risiko Tinggi (High-Risk)

- Riwayat hematuria makroskopik<br>- ATAU Usia ≥60 tahun<br>- ATAU Derajat hematuria >25 RBC/HPF<br>- ATAU memiliki ≥3 faktor risiko lain (sesuai daftar AUA)

Lakukan sistoskopi DAN pencitraan traktus urinarius atas aksial (CT Urografi atau MR Urografi).

Perlu dipahami bahwa stratifikasi risiko ini bukanlah proses yang statis. Seorang pasien yang awalnya diklasifikasikan sebagai risiko rendah dan memilih observasi, jika pada urinalisis ulang tetap menunjukkan hematuria persisten, mungkin perlu dievaluasi ulang status risikonya dan berpotensi direklasifikasi ke kategori risiko yang lebih tinggi, yang memerlukan investigasi lebih lanjut. 

Selain itu, bidang biomarker urin terus berkembang. Panduan AUA terbaru telah mulai mengakomodasi peran biomarker urin sebagai alat bantu keputusan, terutama untuk pasien risiko sedang, dalam menentukan perlunya sistoskopi. Penelitian menunjukkan bahwa biomarker berbasis genomik memiliki potensi untuk lebih mempertajam stratifikasi risiko dan memandu keputusan klinis di masa depan. 

Meskipun demikian, studi juga menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap panduan, bahkan di kalangan spesialis urologi, masih menjadi tantangan. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang baik, alat bantu keputusan yang jelas seperti tabel di atas, dan edukasi berkelanjutan bagi dokter umum untuk dapat menerapkan panduan ini secara konsisten dan efektif.

4. Investigasi Lanjutan dan Rujukan Berdasarkan Risiko: Menavigasi "Diagnosis dan Terapi Hematuria"

Berdasarkan stratifikasi risiko yang telah dilakukan, langkah investigasi lanjutan akan ditentukan. Tujuan utama adalah untuk mendeteksi atau menyingkirkan adanya keganasan urogenital atau kondisi patologis lain yang memerlukan intervensi.

Pencitraan Saluran Kemih Atas:

Pemilihan jenis pencitraan disesuaikan dengan tingkat risiko pasien.

  • Ultrasonografi (USG) Ginjal dan Kandung Kemih: Direkomendasikan sebagai pemeriksaan pencitraan awal untuk pasien yang dikategorikan sebagai risiko sedang, biasanya dilakukan bersamaan dengan sistoskopi. USG merupakan modalitas non-invasif, tanpa radiasi, dan relatif murah, yang baik untuk mendeteksi massa ginjal solid yang besar, hidronefrosis (pembengkakan ginjal akibat sumbatan aliran urin), dan batu ginjal atau kandung kemih yang cukup besar.

  • CT Urografi (CTU) atau MR Urografi (MRU):

  • CT Urografi dianggap sebagai modalitas pilihan untuk evaluasi traktus urinarius atas (ginjal dan ureter) pada pasien AMH yang dikategorikan sebagai risiko tinggi. CTU, yang melibatkan pemberian kontras intravena, memberikan gambaran detail mengenai parenkim ginjal, sistem pelviokalises (saluran pengumpul urin di ginjal), ureter, dan kandung kemih. Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi massa ginjal atau urotelial yang kecil, batu saluran kemih (termasuk yang non-opak pada foto polos), dan kelainan struktural lainnya.

  • MR Urografi dapat menjadi alternatif CTU pada pasien dengan kontraindikasi terhadap kontras iodin (misalnya, riwayat alergi berat), pada kehamilan, atau jika ada keinginan kuat untuk menghindari paparan radiasi ionisasi. Meskipun demikian, MRU mungkin kurang sensitif dibandingkan CTU dalam mendeteksi batu saluran kemih yang kecil. Pemahaman mengenai pemilihan jenis pencitraan yang tepat sasaran ini penting. Menggunakan CTU untuk semua pasien AMH akan berisiko over-investigasi dan paparan radiasi yang tidak perlu. Sebaliknya, hanya mengandalkan USG untuk pasien risiko tinggi dapat berisiko melewatkan lesi urotelial kecil di ureter atau sistem pelviokalises.

Sistoskopi:

Sistoskopi adalah prosedur endoskopik yang memungkinkan visualisasi langsung uretra dan kandung kemih menggunakan alat tipis ber kamera (sistoskop).

  • Prosedur ini direkomendasikan untuk semua pasien AMH yang dikategorikan sebagai risiko sedang dan risiko tinggi.

  • Tujuan utama sistoskopi adalah untuk mendeteksi adanya lesi di dalam kandung kemih, terutama kanker kandung kemih (termasuk carcinoma in situ atau CIS, yaitu kanker tahap awal yang terbatas pada lapisan permukaan), serta untuk mengidentifikasi kelainan lain seperti striktur (penyempitan) uretra, pembesaran prostat jinak (BPH), atau batu kandung kemih.

  • Sistoskopi cahaya putih (White Light Cystoscopy) merupakan standar pemeriksaan untuk evaluasi AMH awal. Teknik sistoskopi dengan pencitraan yang ditingkatkan (enhanced cystoscopy), seperti Blue Light Cystoscopy, umumnya tidak digunakan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk AMH. Meskipun ada kemajuan dalam biomarker urin, sistoskopi tetap menjadi komponen inti evaluasi untuk pasien risiko sedang dan tinggi karena kemampuannya untuk visualisasi langsung dan pengambilan sampel biopsi jika ditemukan area yang mencurigakan.

Sitologi Urin dan Biomarker Urin:

  • Sitologi Urin (pemeriksaan sel-sel yang terlepas dalam urin di bawah mikroskop) TIDAK direkomendasikan sebagai bagian dari evaluasi rutin awal AMH. Penggunaannya sangat terbatas; dapat dipertimbangkan pada pasien risiko tinggi dengan temuan sistoskopi yang meragukan atau jika terdapat kecurigaan klinis yang tinggi terhadap CIS (misalnya, pasien dengan gejala iritatif berkemih yang berat dan persisten). Studi menunjukkan bahwa penggunaan sitologi urin yang berlebihan merupakan salah satu bentuk ketidakpatuhan terhadap panduan yang ada.

  • Biomarker Urin: Seperti yang telah disinggung sebelumnya, biomarker urin, terutama yang berbasis analisis genomik, menunjukkan potensi di masa depan untuk memperbaiki stratifikasi risiko dan membantu dalam pengambilan keputusan mengenai perlunya sistoskopi, khususnya pada pasien risiko rendah dan sedang. Namun, saat ini penggunaannya belum menjadi standar universal dan masih dalam tahap pengembangan serta validasi lebih lanjut untuk aplikasi klinis yang luas.

Indikasi Rujukan ke Spesialis:

Dokter umum memegang peran penting dalam menentukan kapan pasien AMH perlu dirujuk ke spesialis.

  • Rujukan ke Ahli Urologi:

  • Semua pasien dengan hematuria makroskopik harus segera dirujuk.

  • Pasien AMH yang berdasarkan stratifikasi risiko AUA/SUFU masuk dalam kategori Risiko Sedang atau Risiko Tinggi (untuk pelaksanaan sistoskopi dan pencitraan yang sesuai).

  • Pasien AMH Risiko Rendah yang menunjukkan hematuria persisten pada pemeriksaan urinalisis ulang, atau jika terdapat kekhawatiran klinis lain meskipun risiko awal rendah.

  • Setiap temuan abnormal pada pemeriksaan awal oleh dokter umum, misalnya terabanya massa abdomen.

  • Rujukan ke Ahli Nefrologi (Spesialis Ginjal dan Hipertensi):

  • Rujukan ke ahli nefrologi diindikasikan jika terdapat kecurigaan kuat adanya penyakit ginjal medis atau penyakit glomerular sebagai penyebab hematuria. Tanda-tanda yang mengarah ke kondisi ini meliputi:

  • Proteinuria yang signifikan (misalnya, proteinuria >500 mg per 24 jam atau rasio albumin-kreatinin urin >300 mg/g).

  • Penurunan fungsi ginjal (peningkatan kadar kreatinin serum atau penurunan laju filtrasi glomerulus estimasi).

  • Ditemukannya eritrosit dismorfik atau silinder eritrosit pada pemeriksaan mikroskopik sedimen urin.

  • Adanya hipertensi yang baru timbul atau menjadi sulit dikontrol.

  • Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal tertentu.

  • Penting untuk diingat bahwa meskipun pasien dirujuk ke ahli nefrologi, evaluasi urologi berbasis risiko untuk menyingkirkan keganasan tetap harus dilakukan, karena kedua jenis kondisi (penyakit ginjal medis dan masalah urologi) dapat terjadi secara bersamaan. Pada beberapa kasus, pasien mungkin memerlukan evaluasi dari kedua spesialis, dan dokter umum berperan sebagai koordinator awal dalam mengidentifikasi kebutuhan ini.

5. Tata Laksana Beberapa Penyebab Umum AMH: Fokus "Terapi Hematuria" dan "Dosis Obat Hematuria"

Penting untuk dipahami bahwa "terapi hematuria" dan "dosis obat hematuria" pada dasarnya merujuk pada tata laksana kondisi yang mendasari hematuria tersebut, bukan pengobatan simtomatik untuk menghentikan perdarahan urin tanpa mengatasi penyebabnya. Berikut adalah beberapa penyebab umum AMH dan prinsip tata laksananya yang relevan bagi dokter umum:

  • Infeksi Saluran Kemih (ISK):

  • Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan gejala klinis (jika ada, meskipun pada AMH mungkin minimal atau tidak ada), temuan urinalisis (leukosituria, bakteriuria, nitrit positif), dan dapat dikonfirmasi dengan kultur urin jika diperlukan.

  • Terapi utama adalah antibiotik yang dipilih berdasarkan perkiraan pola kuman penyebab dan hasil uji sensitivitas (jika tersedia).

  • Poin Kritis: Setelah pengobatan ISK selesai, sangat penting untuk melakukan urinalisis ulang guna memastikan bahwa hematuria telah benar-benar menghilang. Hematuria yang persisten setelah terapi ISK yang adekuat menandakan bahwa ISK mungkin bukan satu-satunya penyebab atau bahkan bukan penyebab utama hematuria, sehingga evaluasi lebih lanjut sesuai alur AMH tetap diperlukan. Kegagalan melakukan konfirmasi ini dapat menyebabkan diagnosis kondisi lain yang lebih serius menjadi tertunda.

  • Hiperplasia Prostat Jinak (BPH):

  • BPH merupakan penyebab umum AMH, terutama pada pria usia lanjut. Diagnosis biasanya didasarkan pada gejala saluran kemih bawah (LUTS), temuan pemeriksaan colok dubur (prostat membesar, konsistensi kenyal), dan terkadang pemeriksaan kadar Prostate-Specific Antigen (PSA).

  • Terapi Medikamentosa (fokus "Dosis Obat Hematuria" untuk BPH):

  • Alpha-blockers (Penyekat Alfa): Obat golongan ini bekerja dengan merelaksasi otot polos di prostat dan leher kandung kemih, sehingga memperbaiki aliran urin dan mengurangi gejala LUTS.

  • Tamsulosin: Dosis yang umum digunakan adalah 0.4 mg sekali sehari. Tamsulosin dalam formulasi modified-release tidak memerlukan titrasi dosis awal dan memiliki onset kerja yang relatif cepat. Sebuah meta-analisis jaringan menunjukkan bahwa tamsulosin 0.4 mg memiliki probabilitas tertinggi untuk perbaikan skor gejala prostat internasional (IPSS), volume residu urin pasca berkemih (PVR), dan laju aliran urin maksimal (Qmax) dibandingkan plasebo dan beberapa alfa-bloker lain.

  • Alfuzosin: Dosis yang umum digunakan adalah 10 mg sekali sehari untuk formulasi prolonged-release (lepas lambat). Efektivitasnya sebanding dengan formulasi immediate-release (lepas segera) 2.5 mg tiga kali sehari, namun dengan insiden efek samping terkait vasodilatasi (seperti pusing) yang lebih rendah.

  • Silodosin: Dosis umum adalah 8 mg sekali sehari. Meskipun efektif dalam memperbaiki LUTS, silodosin lebih sering dikaitkan dengan efek samping berupa gangguan ejakulasi (ejakulasi retrograd).

  • 5-alpha reductase inhibitors (5-ARIs) (Penghambat 5-alfa reduktase): Contohnya adalah finasteride dan dutasteride. Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi volume prostat secara bertahap, sehingga lebih cocok untuk pasien dengan prostat yang ukurannya sudah cukup besar. Efek terapeutiknya biasanya baru terlihat setelah beberapa bulan penggunaan. Kombinasi tamsulosin 0.4 mg dengan dutasteride 0.5 mg telah diteliti untuk tata laksana LUTS/BPH sedang hingga berat, terutama pada pasien dengan volume prostat ≥30 mL.

  • Dokter umum dapat memulai terapi dengan alfa-bloker untuk pasien BPH dengan LUTS yang simtomatik. Namun, jika AMH tetap persisten meskipun gejala LUTS membaik dengan terapi BPH, evaluasi urologi lebih lanjut untuk mencari penyebab lain hematuria tetap harus dilakukan.

  • Batu Saluran Kemih (Urolitiasis):

  • Batu saluran kemih dapat menyebabkan hematuria, baik mikroskopik maupun makroskopik, dan seringkali disertai dengan nyeri pinggang hebat yang bersifat kolik. Namun, pada beberapa kasus, AMH bisa menjadi satu-satunya manifestasi.

  • Diagnosis baku emas untuk batu saluran kemih adalah CT scan non-kontras pada abdomen dan pelvis. USG dapat mendeteksi batu di ginjal, tetapi kurang sensitif untuk batu yang berada di ureter, terutama yang berukuran kecil.

  • Manajemen awal untuk episode akut kolik renal akibat batu meliputi pemberian analgesia yang adekuat, biasanya dengan kombinasi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan opioid jika nyeri sangat berat. Pemberian hidrasi intravena secara cepat (guyur cairan) tidak terbukti memberikan manfaat signifikan dalam mempercepat keluarnya batu.

  • Rujukan ke ahli urologi dipertimbangkan untuk batu yang berukuran besar, menyebabkan obstruksi aliran urin yang signifikan, disertai tanda-tanda infeksi, nyeri yang tidak terkontrol dengan analgesia standar, atau jika diagnosis masih belum pasti. Batu yang berukuran kecil (umumnya <5 mm) seringkali dapat keluar secara spontan dengan terapi konservatif.

  • Penyakit Glomerular (Penyakit pada Unit Penyaring Ginjal):

  • Nefropati IgA (IgAN): Merupakan salah satu penyebab paling umum hematuria mikroskopik yang berasal dari glomerulus, baik pada anak-anak maupun dewasa. IgAN dapat disertai dengan berbagai tingkat proteinuria (protein dalam urin) dan hipertensi.

  • Manajemen suportif yang dapat dimulai atau dikoordinasikan oleh dokter umum (sambil menunggu atau bekerjasama dengan ahli nefrologi) meliputi:

  • Kontrol tekanan darah yang ketat: Target tekanan darah umumnya <130/80 mmHg, dan bahkan lebih rendah (<125/75 mmHg) pada pasien dengan proteinuria signifikan (>1 gram/hari), sesuai prinsip umum panduan KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcomes).

  • ACE inhibitors (ACEi) atau Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs): Obat golongan ini adalah pilihan utama untuk mengontrol hipertensi dan mengurangi proteinuria pada pasien IgAN. Dosisnya dititrasi secara bertahap hingga mencapai dosis maksimal yang dapat ditoleransi pasien atau hingga target tekanan darah dan reduksi proteinuria tercapai. Informasi dosis spesifik untuk setiap jenis ACEi/ARB pada IgAN sebaiknya mengikuti panduan dari ahli nefrologi, namun prinsip "mulai dosis rendah, titrasi bertahap" berlaku. Ini adalah salah satu aspek penting dalam "Dosis Obat Hematuria" yang terkait dengan penanganan proteinuria pada penyakit glomerular.

  • Terapi kortikosteroid atau imunosupresan lain (seperti siklofosfamid, mikofenolat mofetil) dipertimbangkan dan dikelola oleh ahli nefrologi untuk pasien IgAN dengan risiko tinggi progresi menjadi gagal ginjal kronis (misalnya, proteinuria yang tetap tinggi >1 gram/hari meskipun sudah mendapat terapi suportif maksimal dengan ACEi/ARB, atau terjadi penurunan fungsi ginjal yang progresif). Sebuah studi pada anak-anak dengan IgAN melaporkan regimen metilprednisolon intravena dosis tinggi diikuti prednison oral jangka pendek , namun regimen untuk dewasa ditentukan oleh spesialis.

  • Thin Basement Membrane Disease (TBMD) / Benign Familial Hematuria:

  • TBMD adalah penyebab umum AMH yang persisten dan seringkali bersifat familial (diturunkan dalam keluarga). Kondisi ini disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkode kolagen tipe IV, komponen utama membran basalis glomerulus.

  • Dahulu, TBMD sering dianggap sebagai kondisi yang "jinak" dan disebut sebagai "hematuria familial benigna". Namun, istilah ini tidak lagi sepenuhnya disukai karena pemahaman yang lebih baik menunjukkan bahwa sebagian kecil pasien dengan TBMD dapat mengalami perkembangan proteinuria, hipertensi, atau bahkan penurunan fungsi ginjal seiring waktu, meskipun progresinya biasanya lambat.

  • Diagnosis definitif TBMD memerlukan pemeriksaan biopsi ginjal, yang akan menunjukkan gambaran penipisan difus pada membran basalis glomerulus.

  • Manajemen TBMD umumnya bersifat suportif karena tidak ada terapi spesifik untuk kelainan genetiknya. Pemantauan rutin (tahunan atau dua tahunan) terhadap tekanan darah, urinalisis (untuk memantau proteinuria), dan fungsi ginjal (kadar kreatinin serum/eGFR) sangat direkomendasikan. Rujukan ke ahli nefrologi diperlukan jika terjadi perkembangan proteinuria yang signifikan, timbul hipertensi, atau terdeteksi penurunan fungsi ginjal.

Dokter umum memiliki peran penting dalam manajemen jangka panjang kondisi kronis penyebab AMH seperti BPH, IgAN, atau TBMD. Setelah diagnosis ditegakkan oleh spesialis, pasien seringkali kembali ke dokter umum untuk pemantauan lanjutan, penyesuaian terapi suportif (misalnya, dosis antihipertensi), dan edukasi mengenai modifikasi gaya hidup, yang semuanya dilakukan dalam koordinasi dengan spesialis terkait.

6. Tindak Lanjut Pasien AMH dengan Evaluasi Awal Negatif: Kapan Harus Tenang, Kapan Tetap Waspada?

Evaluasi awal yang negatif didefinisikan sebagai kondisi di mana pasien telah menjalani serangkaian pemeriksaan berbasis risiko sesuai panduan AUA (misalnya, sistoskopi dan pencitraan traktus urinarius atas yang sesuai) dan tidak ditemukan etiologi signifikan yang menjelaskan hematuria, terutama tidak ditemukannya keganasan.

Setelah evaluasi awal yang komprehensif dan hasilnya negatif, keputusan mengenai tindak lanjut, termasuk apakah perlu dilakukan urinalisis ulang di masa depan, idealnya melibatkan proses pengambilan keputusan bersama (shared decision-making) antara dokter dan pasien. Pendekatan ini mengakui bahwa tidak ada satu strategi tindak lanjut yang cocok untuk semua pasien, dan preferensi serta toleransi risiko masing-masing individu memainkan peran penting.

Jika diputuskan untuk melakukan urinalisis ulang (misalnya, dalam rentang waktu 12 bulan pasca evaluasi awal, atau sesuai kesepakatan) dan hasilnya menunjukkan bahwa hematuria sudah tidak ada lagi (negatif), maka evaluasi lebih lanjut untuk AMH umumnya dapat dihentikan. Namun, jika hematuria mikroskopik persisten atau kembali muncul pada urinalisis tindak lanjut, diskusi lebih lanjut dengan pasien mengenai perlunya evaluasi tambahan perlu dilakukan.

Data penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan ditemukannya keganasan baru pada evaluasi ulang lengkap (meliputi sistoskopi dan pencitraan ulang) setelah hasil work-up awal yang negatif adalah rendah. Sebuah studi melaporkan angka kejadian kanker kandung kemih baru sekitar 1.2% pada sistoskopi ulang dan massa ginjal baru yang mencurigakan sekitar 1.3% pada pencitraan ulang, setelah periode tindak lanjut rata-rata 39 bulan pada pasien dengan AMH persisten/rekuren pasca evaluasi awal negatif. 

Informasi ini penting untuk menenangkan pasien dan dokter bahwa risiko terlewatnya diagnosis keganasan setelah evaluasi awal yang komprehensif dan negatif adalah sangat kecil. Hal ini membantu menghindari siklus investigasi ulang yang tidak perlu, yang berpotensi menimbulkan kecemasan, ketidaknyamanan, dan biaya tambahan bagi pasien. 

Meskipun demikian, panduan AUA tetap merekomendasikan pertimbangan untuk evaluasi ulang pada kasus hematuria yang persisten atau berulang, terutama jika ada perubahan karakteristik atau timbulnya gejala baru.

Evaluasi ulang yang lebih agresif atau percepatan investigasi diindikasikan jika pasien yang sebelumnya memiliki evaluasi negatif kemudian mengalami kondisi berikut:

  • Timbulnya hematuria makroskopik (darah terlihat jelas dalam urin).

  • Terjadi peningkatan signifikan derajat hematuria mikroskopik (misalnya, dari beberapa RBC/HPF menjadi banyak RBC/HPF).

  • Munculnya gejala urologi baru yang relevan, seperti nyeri panggul atau pinggang yang tidak dapat dijelaskan, gejala iritatif berkemih yang berat (sering kencing, nyeri saat kencing, urgensi), atau gejala obstruktif (pancaran urin lemah, mengedan saat kencing).

Untuk pasien yang telah memiliki diagnosis spesifik kondisi non-ganas sebagai penyebab AMH (misalnya, TBMD yang stabil atau IgAN yang terkontrol), tindak lanjut selanjutnya disesuaikan dengan protokol pemantauan untuk kondisi tersebut, yang biasanya dikoordinasikan oleh ahli nefrologi atau dokter umum yang merawat. 

Pentingnya dokumentasi medis yang jelas dan komunikasi yang baik antar dokter (misalnya, antara dokter umum dan spesialis, atau jika pasien pindah layanan kesehatan) tidak dapat ditekankan lagi. Riwayat evaluasi AMH sebelumnya, termasuk detail temuan, tingkat risiko awal, dan hasil pemeriksaan, sangat krusial untuk menghindari pengulangan tes yang tidak perlu dan memastikan kesinambungan perawatan yang optimal.

7. Kesimpulan: Optimalisasi "Diagnosis dan Terapi Hematuria" Asimtomatik di Tangan Dokter Umum

Hematuria Mikroskopik Asimtomatik (AMH) adalah temuan klinis yang umum dijumpai di layanan primer dan memerlukan pendekatan evaluasi yang sistematis dan berbasis bukti. Peran dokter umum sebagai garda terdepan dalam "Diagnosis dan Terapi Hematuria" asimtomatik sangatlah krusial, mulai dari deteksi dini, pelaksanaan evaluasi awal yang komprehensif, hingga koordinasi perawatan lanjutan dengan spesialis jika diperlukan.

Poin-poin kunci yang perlu diingat oleh dokter umum meliputi:

  • AMH didefinisikan sebagai ≥3 RBC/HPF pada satu spesimen urin yang dikumpulkan dengan benar, dan konfirmasi mikroskopik setelah tes dipstick positif adalah wajib.

  • Evaluasi awal yang cermat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium dasar (termasuk kreatinin serum dan urinalisis detail) adalah langkah fundamental.

  • Stratifikasi risiko keganasan urogenital berdasarkan panduan AUA/SUFU terkini (mempertimbangkan usia, riwayat merokok, jenis kelamin, derajat hematuria, dan riwayat hematuria makroskopik) adalah inti dari pengambilan keputusan untuk investigasi lanjutan.

  • Pemahaman mengenai penyebab umum AMH (seperti ISK, BPH, batu saluran kemih, penyakit glomerular seperti IgAN dan TBMD) dan prinsip-prinsip tata laksananya, termasuk pengetahuan mengenai "Dosis Obat Hematuria" yang relevan untuk kondisi spesifik yang mendasarinya (misalnya, alfa-bloker untuk BPH, ACE inhibitor/ARB untuk proteinuria pada IgAN), sangat penting.

  • Kemampuan untuk mengidentifikasi secara tepat kapan pasien memerlukan rujukan ke ahli urologi (untuk evaluasi keganasan atau masalah urologi lain) atau ahli nefrologi (jika dicurigai penyakit ginjal medis/glomerular) adalah kunci.

  • Pelaksanaan tindak lanjut yang tepat dan berbasis shared decision-making untuk pasien dengan evaluasi awal yang negatif, dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda yang memerlukan evaluasi ulang.

Dokter umum berperan lebih dari sekadar "perujuk"; mereka adalah manajer kasus awal yang melakukan triase penting, memulai investigasi dasar, dan mengoordinasikan perawatan multidisiplin. Dengan mencapai keseimbangan antara kewaspadaan untuk tidak melewatkan kondisi serius dan pragmatisme untuk menghindari investigasi berlebihan pada kasus berisiko rendah, dokter umum dapat secara signifikan meningkatkan hasil akhir pasien dengan AMH. 

Bidang urologi dan nefrologi terus berkembang, termasuk pengembangan biomarker baru yang menjanjikan. Oleh karena itu, komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan akan memastikan bahwa dokter umum tetap update dengan panduan dan teknologi terbaru dalam manajemen AMH, demi memberikan pelayanan terbaik bagi pasien.

Referensi

  1. Grossfeld, G.D. & Litwin, M.S. (2019). Gross and microscopic hematuria. StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30480952/ [Diakses 28 Mei 2025].

  2. Davis, R. & Jones, J.S. (2019). Hematuria. StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31030828/ [Diakses 28 Mei 2025].

  3. American Urological Association (2025). AUA Guideline: Microhematuria (Unabridged Version). Tersedia di: https://www.auanet.org/documents/Guidelines/PDF/2025%20Guidelines/MH%20Unabridged%2002.2025FINAL4.pdf [Diakses 28 Mei 2025].

  4. Nielsen, M. & Qaseem, A. (2013). Assessment of asymptomatic microscopic hematuria in adults. Annals of Internal Medicine, 158(11), 840–849. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24364522/ [Diakses 28 Mei 2025].

  5. Grossfeld, G.D., Litwin, M.S., Wolf, J.S., Hricak, H., Shuler, C.L., Agerter, D.C. & Carroll, P.R. (2001). Asymptomatic microscopic hematuria in adults: Summary of the AUA Best Practice Policy recommendations. American Family Physician, 63(6), 1145–1154. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11277551/ [Diakses 28 Mei 2025].

  6. Barocas, D.A., Boorjian, S.A., Alvarez, R.D. et al. (2025). Microhematuria: AUA/SUFU Guideline (2025). American Urological Association. Tersedia di: https://www.auanet.org/guidelines-and-quality/guidelines/microhematuria [Diakses 28 Mei 2025].

  7. American Urological Association (2020). AUA/SUFU Guideline: Microhematuria. Tersedia di: https://www.auanet.org/documents/guidelines/pdf/microhematuria%20guideline.pdf [Diakses 28 Mei 2025].

  8. Shkolyar, E., Ren, Q., Meng, X. et al. (2022). A urine-based genomic assay improves risk stratification for patients with hematuria. European Urology, 82(2), 123–131. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36089502/ [Diakses 28 Mei 2025].

  9. Halpern, J.A., Chughtai, B. & Ghomrawi, H. (2021). Comparison of microscopic hematuria guidelines as applied in a diverse metropolitan population. Journal of Urology, 206(2), 320–327. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33971192/ [Diakses 28 Mei 2025].

  10. Wollin, D.A., Singla, N., Gupta, N. et al. (2021). Evaluation of the new American Urological Association Guidelines on microhematuria: A multicenter study. Journal of Urology, 206(1), 67–73. Tersedia di: https://www.auajournals.org/doi/10.1097/JU.0000000000001550 [Diakses 28 Mei 2025].

  11. Gilling, P., Nabi, G., Keeley, F.X. et al. (2023). Practice patterns of academic urologists for evaluating microscopic hematuria: How well are we following the guidelines?. BJU International, 132(2), 220–227. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37312387/ [Diakses 28 Mei 2025].

  12. Chapple, C.R., Abrams, P., de la Rosette, J.J.M.C.H. et al. (2002). Tamsulosin: A review of its pharmacology and therapeutic efficacy in the management of lower urinary tract symptoms. Drugs & Aging, 19(2), 135–161. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11950378/ [Diakses 28 Mei 2025].

  13. Liu, X., Wang, Y., Huang, J. et al. (2023). Comparative efficacy and safety of alpha-blockers as monotherapy for benign prostatic hyperplasia: A systematic review and network meta-analysis. The Lancet Healthy Longevity, 4(5), e323–e333. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38750153/ [Diakses 28 Mei 2025].

  14. Kirby, R.S., Chapple, C.R. & Roehrborn, C. (2002). Alfuzosin: A review of the therapeutic use of the prolonged-release formulation in the management of benign prostatic hyperplasia. BJU International, 89(5), 409–415. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11893233/ [Diakses 28 Mei 2025].

  15. McKeage, K. & Plosker, G.L. (2015). Silodosin: A review of its use in the treatment of the signs and symptoms of benign prostatic hyperplasia. Drugs & Aging, 32(5), 401–410. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25575983/ [Diakses 28 Mei 2025].

  16. Yuan, J.Q., Mao, C., Wong, S.Y.S. et al. (2018). Efficacy of newer medications for lower urinary tract symptoms attributed to benign prostatic hyperplasia: A systematic review. BMJ Open, 8(1), e019091. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29394114/ [Diakses 28 Mei 2025].

  17. Foo, K.T., Chia, S.J., Li, M.K. et al. (2024). Tamsulosin and Dutasteride combination therapy for Asian men with moderate-to-severe lower urinary tract symptoms secondary to benign prostatic hyperplasia: A systematic review. Asian Journal of Urology, 11(2), 155–163. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39346571/ [Diakses 28 Mei 2025].

  18. Türk, C., Knoll, T., Petrik, A. et al. (2011). Renal calculi: Emergency department diagnosis and treatment. European Urology, 60(3), 478–483. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22164398/ [Diakses 28 Mei 2025].

  19. Rule, A.D., Krambeck, A.E. & Lieske, J.C. (2018). Leave no stone unturned: Defining recurrence in kidney stone formers. Kidney International, 94(5), 958–960. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30531469/ [Diakses 28 Mei 2025].

  20. Yoshikawa, N., Ito, H., Yoshioka, K. et al. (1991). Thin basement membrane disease in patients with asymptomatic hematuria and/or proteinuria: A clinicopathological study. Clinical Nephrology, 35(4), 176–182. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/1875554/ [Diakses 28 Mei 2025].

  21. Vivante, A., Afek, A., Frenkel-Nir, Y. et al. (2013). Hematuria and risk for end-stage kidney disease. JAMA, 310(7), 703–711. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23449218/ [Diakses 28 Mei 2025].

  22. Kawamura, T., Yoshikawa, N., Ohta, K. et al. (2018). Initial treatment with pulse methylprednisolone followed by short-term prednisolone and tonsillectomy for childhood IgA nephropathy. Pediatric Nephrology, 33(7), 1193–1201. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29520517/ [Diakses 28 Mei 2025].

  23. Silva, G.E., Fernandes, P.F., Barros, R.T. & Woronik, V. (2006). Behçet's disease and IgA nephropathy: Report of this association in a patient from Brazil and literature review. Clinical Nephrology, 66(6), 445–448. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17176908/ [Diakses 28 Mei 2025].

  24. Kashtan, C.E. (2023). Thin basement membrane nephropathy. Clinics in Journal of the American Society of Nephrology (CJASN), 18(9), 1425–1435. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37603625/ [Diakses 28 Mei 2025].

  25. Halpern, J.A., Shoag, J.E., Mittal, S. et al. (2021). Diagnostic yield of repeat evaluation for asymptomatic microscopic hematuria. Journal of Urology, 205(2), 514–520. Tersedia di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33339726/ [Diakses 28 Mei 2025].