23 May 2016 • Internal Medicine
Ensefalopati hepatik adalah spektrum kelainan neuropsiklatri pada pasien dengan disfungsi hati, setelah menyingkirkan kelainan di otak lainnya. Ensefalopatik hepatik ditandai dengan perubahan kepribadian, gangguan intelektual, dan berbagai tingkat penurunan kesadaran.
Ensefalopati hepatik dibagi menjadi 3 Tipe. Ensefalopati hepatik tipe A, merupakan ensefalopati yang terkait dengan kegagalan hati akut. Ensefalopati hepatik tipe B untuk menggambarkan gangguan akibat Bypass portal-sistemik tanpa ada penyakit hepatoselular intrinsik. Ensefalopati hepatik Tipe C, yaitu ensefalopati yang terkait dengan sirosis dan hipertensi portal atau pirai portal-sistemik. Ensefalopati hepatik tipe C memiliki subkategori episodik, menetap, atau minimal.
Grading gejala ensefalopati hepatik sesuai dengan sistem yang disebut klasifikasi West Haven:
Kelainan ini sebaiknya diwaspadai sejak masih dini, karena ensefalopati hepatik ringan pada pasien sirosis dapat memicu terjadinya kecelakaan pada penderita yang masih aktif mengemudikan kendaraan bermotor.
Idealnya, diagnosis ensefalopati hepatik ditegakkan dengan pemeriksaan neurofisiologis, komputerisasi, pennetuan kadar amonia. Pemeriksaan penunjang pencitraan yang dapat digunakan diantaranya adalah MRI dan CT-Scan, namun kurang spesifik.
Di Fasilitas kesehatan terbatas, diagnosis ensefalopati dapat ditegakkan secara sederhana secara klinis. Penggunaan pedoman grading ensefalopati hepatik di atas dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan gagal hati akut.
Pemeriksaan neurofisiologis yang lengkap adalah metode terbaik untuk menilai apakah penderita mengalami gangguan kognitif dan hubungannya dengan pola hidup sehari-hari. Tes umum Neurofisiologis yang digunakan adalah tes koneksi nomor, tes simbol digital, uji desain blok, dan lain-lain.
Alternatif lain adalah tes yang menggunakan komputerisasi. Tes waktureaksi terhadap cahaya atau suara disebut critical flicker frequency test. Pasien sirosis dengan nilai CFF kurang dari 38 Hz memiliki risiko tinggi untuk terjadinya ensefalopati hepatik.
Tingkat amonia darah tinggi merupakan kelainan klasik yang dilaporkan pada pasien dengan ensefalopati hepatik. Temuan ini dapat membantu dalam mendiagnosa secara tepat pasien sirosis dengan status mental berubah. Hanya saja spesimen darah vena harus diperiksa secara teliti ketika memeriksa tingkat amonia.
Darah diambil dari ekstremitas yang telah terpasang torniket dapat memberikan tingkat amonia tinggi palsu. Untuk mendapatkan hasil terbaik Specimen harus diambil tanpa memprovokasi aliran darah dan dibutuhkan media es saat mengirim ke laboratorium serta segera di periksa dalam waktu 30 menit setelah diambil.
EEG dapat menunjukkan penurunan frekuensi rata-rata dari aktivitas listrik otak yang terjadi pada ensefalopati hepatik. Perubahan EEG klasik yang terkait dengan ensefalopati hepatik adalah amplitudo gelombang frekuensi rendah dan gelombang trifasik.
Walaupun temuan ini tidak spesifik untuk ensefalopati hepatik tapi EEG dapat membantu dalam pemeriksaan awal pasien dengan sirosis dan perubahan status mental.
Computed tomography (CT) dan MRI otak mungkin penting dalam menyingkirkan kemungkinan lesi intrakranial bila diagnosis ensefalopati hepatik meragukan. MRI memiliki keuntungan tambahan yang mampu menunjukkan hiperintensitas dari globus pallidus, sebuah temuan yang umumnya dijumpai pada ensefalopati hepatik. Temuan ini mungkin berkolerasi dengan peningkatan deposisi mangan di Globus palidus otak.
Faktor pencetus umum adalah sebagai berikut:
Banyak modalitas terapi yang dapat diberikan pada pasien ensefalopati hepatik. Namun dalam artikel ini hanya akan dibahas modalitas terapi yang dapat diberikan pada fasilitas kesehatan dengan sumber daya terbatas. Modalitas terapi yang lebih lengkap dapat sejawat baca di BUKU EIMED BIRU.
Diet rendah protein selama ini secara rutin direkomendasikan untuk pasien dengan sirosis, dengan harapan penurunan produksi amonia usus dan mencegah eksaserbasi ensefalopati hepatik. Konsekuensi yang jelas adalah memburuknya kekurangan energi protein yang sudah ada sebelumnya.
Pembatasan protein mungkin cocok pada beberapa pasien segera setelah fase akut (misalnya, pada ensefalopati hepatik episodik). Namun, pembatasan protein tidak dibenarkan pada pasien dengan sirosis dan ensefalopati hepatik persisten, karena kekurangan gizi adalah masalah klinis yang lebih serius daripada ensefalopati hepatik untuk banyak pasien.
Diet protein dimulai dengan 0,5 mg/kgbb/hari dan secara progresif ditingkatkan menjadi 1-2 gr/kgbb/hari. Diet yang mengandung protein nabati tampaknya ditoleransi lebih baik daripada diet kaya protein hewani, terutama protein yang berasal dari daging merah. Ini mungkin karena kandungan serat makanan, merupakan sebuah katarsis alami, dan akan menurunkan asam amino aromatik.
Asam amino aromatik, perkursor untuk nuerotransmiter palsu tiramin dan octopamine, diperkirakan menghambat meurotransmisi dopaminergik dan memerburuk ensefalopati hapatik.
Luktosa (beta-galactosidofructose) dan licotil (beta-galactosidosorbitol) adalah disakarida yang tidak diserap usus, yang telah digunakan secara luas sejak awal 1970-an. Zat yang merupakan suatu osmotik laksatif ini terdegredasi oleh bakteri usus menjadi asam laktat dan asam organik lainnya.
Laktulosa menghambat produksi amonia usus melalui sejumlah mekanisme. Konversi Laktulosa menjadi asam laktat berfungsi dalam pengemasan lumen usus, konversi NH4 + ke NH3 dan perpindahan NH3 dari jaringan ke lumen, serta menghambat difusi balik ammonia ke sirkulasi. Pengasaman usus menghambat bakteri koliform ammoniagenik, mendorong peningkatan Laktobalisus non-ammoniagenik.
Laktulosa diduga menghambat aktivitas glutaminase di intestin. Laktulosa juga bekerja sebagai katarsis, mengurangi beban bakteri kolon.
Dosis awal Laktulosa adalah 30 mL secara oral, satu atau dua kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan bila ditoleransi dengan baik. Pasien harus diintruksi untuk mengurangi dosis laktulosa bila terjadi diare, kram perut, atau kembung. Pasien dikatakan menggunakan laktulosa cukup, bila telah BAB cair 2-4 per hari.
Dosis tinggi laktulosa dapat diberikan secara oral atau melalui pipa nasogastrik untuk pasien rawat inap dengan ensefalopati hepatik parah. Laktulosa dapat diberikan sebagai enema untuk pasien yang koma dan tidak mampu minum obat melalui mulut. Pemberian dosis yang dianjurkan adalah 300 ml laktulosa ditambahi 700 mL air, diberikan sebagai enema retensi setiap 4 jam sesuai kebutuhan.
Laktulosa telah menjadi subjek dari puluhan uji klinis selama hampir 4 dekade. Banyak percobaan menunjukkan hasil yang baik dalam pengobatan ensefalopati hepatik. Namun, terdapat mata-analisis yang bertentangan dengan percobaan diatas, dikatakan laktulosa tidak lebih efektif daripada plasebo pada gejala ensefalopati.
Dalam uji coba membandingkan laktulosa terhadap antibiotik (misalnya, neomisin, rifaximin), laktulosa justru menunjukan hasil lebih interior dibanding terapi antibiotik.
Neomycin dan antibiotik lainnya, seperi metronidazole, vankomisin oral, paromomycin, dan kuinolon oral, diberikan dalam upaya untuk menurunkan konsentrasi bakteri kolon ammoniagenik. Dosis neomisin awal adalah 250 mg per oral 2-4 kali sehari. Dosis setinggi 4000 mg/hari dapat diberikan.
Neomycin biasanya digunakan sebagai agen lini kedua, setelah mulai pengobatan dengan laktulosa. Pengobatan jangka panjang dengan aminoglikosida memiliki risiko ototoksisitas dan nefrotoksisitas.
Rifaximin, turunan rifampisin yang tidak diserap usus, telah digunakan di Eropa selama 18 tahun untuk berbagai indikasi. Pada tahun 2004, obat ini menerima persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk pengobatan "diare pada pelancong", dan baru pada tahun 2005, ia digunakan sebagai pengobatan untuk ensefalopati hepatik.
Berbeda dengan neomisin, yang profil tolerabilitas sebanding dengan plasebo. Beberapa uji klinis telah menunjukkan bahwa rifaximin pada dosis 400 mg secara oral 3 kali sehari sama efektifnya dengan laktulosa atau lactilol untuk memperbaiki gejala ensefalopati hepatik.
Demikian pula, rifaximin sama efektifnya dengan neomisin dan paromomycin. Rifaximin lebih baik ditoleransi daripada, laksan maupun antibiotik nonabsorbable lainnya.
Obat ini akan menghambat pertumbuhan bakteri aerob di intensine yang akan mengurangi produksi ammonia usus. Ia juga mengurangi aktivitas glutaminase di usus serta mengatasi pertumbuhan berlebihan bakteri usus halus.
Obat lain yang dapat dipergunakan adalah metronidazole, yang walaupun belum diterima oleh FDA tetapi ternyata setara dengan neomycin dengan dosis 2×250 mg, kerugiannya akumulasi obat pada penderita dengan penyakit hati lanjut, yang menimbulkan toksisitas CNS dan neuropati perifer. Nitazoxanide yang sedang dalam pengembangan, nampaknya cukup menjanjikan.
Di Fasilitas Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas, sebaiknya ensefalopati hepatik dirawat dengan setting ICU. Angka mortalitas ensefalopati hepatik yang masih tinggi, menjadi justifikasi tingkat kegawatdaruratan penyakit ini.
Semoga bermanfaat.
=
Sponsored Content
Buku EIMED BIRU (Emergency in Internal Medicine Advance) adalah buku yang anda butuhkan.
Buku Seberat 1,3 kg ini berisi puluhan topik kegawatdaruratan spesifik di bidang penyakit dalam
Jika anda sudah membaca EIMED MERAH (Emergency in Internal Medicine Basic), melengkap kompetensi anda dengan EIMED BIRU adalah pilihan cerdas di era BPJS dan MEA seperti saat ini.
Garansi 30 hari Free Retur, artinya jika dalam 30 hari anda menemukan kecacatan dalam cetakan buku (Halaman Kurang atau Halaman Tercetak Kosong) anda dapat mengirimkan kembali buku untuk kami tukar dengan buku yang baru, FREE ONGKIR!!!
Jadi Tunggu Apalagi, segera pesan buku EIMED BIRU melalui SMS/WA ke 081234008737!!!
Limited Stock^^
Perubahan Diagnosis Dengue ICD 11
9 May 2020
Rangkuman Webinar PAPDI 30 April 2020
2 May 2020
Bergabung dengan Dokter Post Untuk Karier Anda 🌟