2 Sep 2025 • urologi
1. Pendahuluan: Kegawatdaruratan Urologi yang Mengancam Testis
Torsio testis merupakan salah satu kegawatdaruratan urologi yang paling krusial, di mana intervensi medis sesegera mungkin menjadi penentu utama viabilitas testis. Kondisi ini, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, dapat berujung pada konsekuensi serius seperti infark testis, nekrosis, atrofi progresif, dan yang paling dikhawatirkan adalah gangguan fertilitas permanen. Lebih jauh lagi, kehilangan testis atau fungsinya dapat menimbulkan beban psikologis yang signifikan bagi pasien.
Dalam alur penanganan kondisi ini, dokter umum yang bertugas di fasilitas kesehatan primer (faskes primer) memegang peranan sentral dan tak tergantikan. Sebagai lini pertama kontak pasien dengan sistem layanan kesehatan, kemampuan dokter umum untuk secara akurat mengenali gejala, melakukan tatalaksana awal yang sesuai, dan merujuk kasus torsio testis secara cepat dan tepat waktu akan sangat memengaruhi prognosis akhir pasien.
Keputusan klinis yang diambil di faskes primer bukan hanya sekadar langkah awal, melainkan fondasi penting yang menentukan keberhasilan penyelamatan organ. Studi menunjukkan bahwa institusi tempat pasien pertama kali mencari pertolongan (faskes primer atau langsung ke fasilitas tersier) dapat menjadi prediktor independen terhadap keberhasilan penyelamatan testis.
Hal ini menggarisbawahi bahwa efisiensi dan ketepatan alur diagnostik serta rujukan yang dimulai di faskes primer adalah kritikal. Keterlambatan yang disebabkan oleh keraguan diagnostik, penundaan rujukan, atau mismanajemen di tingkat primer dapat menghabiskan "golden hours" yang sangat berharga, sekalipun pasien telah datang tepat waktu ke faskes primer.
Oleh karena itu, pemahaman mendalam dan kesiapan dokter umum dalam menghadapi torsio testis adalah intervensi kunci untuk meningkatkan angka penyelamatan testis secara nasional.
2. Mengenal Torsio Testis: Definisi, Epidemiologi Singkat, dan Patofisiologi
Torsio testis secara definitif adalah kondisi terpuntirnya korda spermatika pada sumbu longitudinalnya. Puntiran ini menyebabkan obstruksi pada pembuluh darah yang menyuplai testis, sehingga aliran darah ke testis dan struktur sekitarnya menjadi terganggu atau bahkan terhenti sama sekali. Derajat puntiran korda spermatika, yang umumnya berkisar antara 180° hingga 720°, bersama dengan durasi sejak terjadinya torsio, akan menentukan tingkat keparahan iskemia dan potensi kerusakan jaringan testis.
Secara epidemiologis, torsio testis dapat terjadi pada pria di segala usia, namun menunjukkan insidensi tertinggi pada kelompok usia muda. Terdapat dua puncak kejadian utama: pertama pada periode perinatal (neonatus) dan kedua pada masa pubertas, yakni antara usia 12 hingga 18 tahun, dengan frekuensi tertinggi tercatat pada usia 13-14 tahun.
Perkiraan insidensi tahunan adalah sekitar 1 dari 4000 laki-laki di bawah usia 25 tahun, atau setara dengan 3,8 kasus per 100.000 laki-laki di bawah usia 18 tahun. Penting untuk dicatat bahwa kejadian torsio testis pada populasi dewasa ternyata lebih sering daripada yang diyakini sebelumnya, sehingga kewaspadaan tetap diperlukan pada semua kelompok usia.
Patofisiologi torsio testis dimulai ketika puntiran pada korda spermatika menyebabkan obstruksi aliran balik vena. Hal ini mengakibatkan kongesti vena dan edema pada testis. Jika puntiran tidak segera dikoreksi, tekanan di dalam sistem vena akan terus meningkat hingga menyamai atau bahkan melebihi tekanan arteri. Pada titik ini, aliran darah arteri ke testis akan terhenti total, menyebabkan iskemia akut pada jaringan testis.
Terdapat beberapa faktor predisposisi yang diketahui meningkatkan risiko terjadinya torsio testis. Faktor anatomis yang paling sering diidentifikasi adalah deformitas bell-clapper. Pada kondisi normal, tunika vaginalis melekat erat pada aspek posterolateral testis. Namun, pada deformitas bell-clapper, tunika vaginalis justru mengelilingi seluruh testis dan epididimis secara longgar, menyebabkan testis menggantung bebas di dalam kantong skrotum seperti "bandul lonceng" dan lebih mudah terpuntir.
Faktor predisposisi lainnya meliputi riwayat trauma pada skrotum, faktor lingkungan seperti cuaca dingin yang dapat memicu refleks kremaster yang hiperaktif, dan adanya riwayat torsio testis dalam keluarga. Deformitas bell-clapper seringkali bersifat bilateral. Implikasi klinis dari fakta ini sangat penting: jika seorang pasien mengalami torsio pada satu testis akibat deformitas ini, testis kontralateralnya juga memiliki risiko tinggi untuk mengalami torsio di kemudian hari.
Oleh karena itu, meskipun detorsi manual berhasil dilakukan atau testis yang terkena berhasil diselamatkan melalui operasi, tindakan orkidopeksi (fiksasi testis) profilaksis pada testis kontralateral mutlak diperlukan dan menjadi standar penanganan bedah. Pemahaman akan dasar patofisiologis ini memperkuat argumen mengapa rujukan untuk intervensi bedah definitif tetap krusial, bahkan setelah detorsi manual yang tampak berhasil di faskes primer.
3. Diagnosis Torsio Testis di Faskes Primer: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik adalah Kunci
Diagnosis torsio testis di faskes primer sangat bergantung pada anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gejala klasik yang paling sering dikeluhkan pasien adalah nyeri hebat pada salah satu sisi skrotum yang timbul secara mendadak dan seringkali disertai dengan rasa mual dan/atau muntah. Durasi nyeri biasanya akut, kurang dari 24 jam sejak onset.
Tidak jarang, pasien melaporkan bahwa nyeri pertama kali muncul saat mereka sedang tidur atau beristirahat. Riwayat adanya episode nyeri skrotum serupa yang hilang timbul sebelumnya (dikenal sebagai intermittent testicular torsion atau ITT) juga dapat menjadi petunjuk penting yang mengarah ke diagnosis torsio. Perlu diwaspadai bahwa pada sebagian kasus, terutama pada anak-anak, keluhan awal bisa berupa nyeri perut bagian bawah atau nyeri inguinal, bukan nyeri skrotum yang dominan.
Pada pemeriksaan fisik, beberapa temuan kunci dapat memperkuat kecurigaan terhadap torsio testis. Testis pada sisi yang terkena umumnya akan tampak membengkak, sangat nyeri tekan secara difus, dan seringkali terletak lebih tinggi dibandingkan testis sisi kontralateral (high-riding testis atau dikenal juga sebagai Brenzel sign). Posisi testis juga bisa abnormal, misalnya terletak secara horizontal (transversal).
Refleks kremaster, yang normalnya menyebabkan elevasi testis ipsilateral saat paha bagian dalam dirangsang, seringkali tidak ditemukan atau menurun secara signifikan pada sisi yang mengalami torsio. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa kehadiran refleks kremaster tidak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan torsio testis, terutama pada kasus puntiran inkomplit atau variasi individual.
Ketergantungan berlebihan pada satu tanda klinis dapat menyesatkan. Prehn's sign, di mana pengangkatan testis yang nyeri akan mengurangi rasa sakit pada kasus epididimitis namun tidak pada torsio (bahkan bisa memperburuk nyeri), dapat membantu namun memiliki keterbatasan dalam akurasi diagnostik. Testis yang mengalami torsio juga dapat teraba lebih keras dari biasanya.
Untuk membantu objektivitas diagnosis klinis, terutama di setting faskes primer dengan keterbatasan alat penunjang, skor TWIST (Testicular Workup for Ischaemia and Suspected Torsion) dapat menjadi alat bantu yang sangat berguna. Skor ini telah divalidasi untuk stratifikasi risiko torsio testis, khususnya pada populasi anak, namun prinsipnya dapat diaplikasikan secara lebih luas.
Tabel 1: Skor TWIST (Testicular Workup for Ischaemia and Suspected Torsion) dan Interpretasinya
Kriteria Klinis | Skor |
Pembengkakan Testis | 2 |
Testis Teraba Keras | 2 |
Refleks Kremaster Absen | 1 |
Mual dan/atau Muntah | 1 |
Testis Letak Tinggi (High-Riding) | 1 |
Total Skor Maksimal | 7 |
Interpretasi Skor Total: | |
0-2 (Risiko Rendah): | Torsio testis kurang mungkin. Pertimbangkan diagnosis banding. USG Doppler dapat dipertimbangkan jika tersedia dan tidak menunda evaluasi lebih lanjut jika gejala persisten. |
3-4 (Risiko Intermediate): | Kecurigaan torsio testis sedang. USG Doppler sangat direkomendasikan jika dapat dilakukan segera. Jika USG tidak tersedia atau akan menunda, pertimbangkan rujukan segera berdasarkan penilaian klinis keseluruhan. |
≥5 (Risiko Tinggi): | Kecurigaan torsio testis sangat tinggi. Rujuk SEGERA ke UGD rumah sakit dengan fasilitas bedah urologi untuk eksplorasi bedah. USG Doppler tidak boleh menunda rujukan pada kelompok ini. |
Penggunaan skor TWIST mendorong pendekatan diagnostik yang lebih holistik dan terstruktur, mengurangi ketergantungan pada satu atau dua tanda klinis yang mungkin tidak selalu muncul. Hal ini penting agar dokter umum tidak terpaku pada satu temuan saja dan tetap mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi jika gambaran klinis secara keseluruhan mengarah ke torsio, meskipun beberapa tanda klasik tidak sepenuhnya terpenuhi.
4. Diagnosis Banding yang Sering Mengecoh
Skrotum akut, yaitu keluhan nyeri dan/atau pembengkakan skrotum yang timbul mendadak, dapat disebabkan oleh beberapa kondisi selain torsio testis. Kemampuan untuk membedakan kondisi-kondisi ini sangat penting karena pendekatan tatalaksananya sangat berbeda. Berikut adalah diagnosis banding yang paling sering ditemui dan berpotensi mengecoh:
Epididimitis atau Orkitis (Epididimo-orkitis): Peradangan pada epididimis dan/atau testis ini biasanya memiliki onset yang lebih gradual dibandingkan torsio testis. Pasien seringkali mengeluhkan demam, menggigil, dan gejala saluran kemih bawah (LUTS) seperti disuria atau frekuensi. Riwayat aktivitas seksual yang relevan atau infeksi saluran kemih sebelumnya juga bisa menjadi petunjuk. Pada pemeriksaan fisik, nyeri tekan biasanya lebih terlokalisir atau paling dominan pada epididimis (terletak di kutub atas dan posterior testis). Refleks kremaster umumnya masih intak, dan Prehn's sign (berkurangnya nyeri saat testis dielevasi) biasanya positif.
Torsio Apendiks Testis (TAT) atau Torsio Apendiks Epididimis: Apendiks testis dan apendiks epididimis adalah sisa-sisa jaringan embrionik kecil yang dapat mengalami torsio. Nyeri pada TAT bisa timbul gradual maupun akut, namun intensitasnya seringkali tidak sehebat nyeri pada torsio testis. Keluhan mual dan muntah juga lebih jarang dilaporkan. Ciri khasnya adalah nyeri yang sangat terlokalisir pada satu titik, biasanya di kutub atas testis, di mana apendiks tersebut berada. Pada beberapa kasus, dapat teraba nodul kecil yang sangat nyeri tekan pada area tersebut. Tanda "blue dot sign" (tampak sebagai titik kebiruan pada kulit skrotum di atas apendiks yang mengalami nekrosis) adalah tanda klasik TAT, namun seringkali sulit terlihat atau tertutup oleh edema skrotum yang berkembang. TAT lebih sering terjadi pada anak laki-laki usia pra-pubertas.
Membedakan antara torsio testis dengan kondisi-kondisi di atas bisa menjadi tantangan, terutama pada tahap awal atau jika presentasi klinisnya atipikal. Konsekuensi dari melewatkan diagnosis torsio testis jauh lebih berat dibandingkan misdiagnosis pada kondisi lain yang umumnya bersifat self-limiting atau dapat ditangani secara konservatif.
Torsio testis adalah kegawatdaruratan bedah yang memerlukan intervensi segera untuk menyelamatkan testis, sementara epididimitis/orkitis umumnya ditangani dengan antibiotik (jika disebabkan oleh bakteri) dan terapi suportif, dan torsio apendiks testis seringkali hanya memerlukan analgesia, istirahat, dan observasi.
Mengingat prinsip "waktu adalah testis" , dan kesulitan yang mungkin timbul dalam membedakan diagnosis secara pasti di faskes primer tanpa fasilitas penunjang yang memadai, maka sikap yang lebih aman adalah memiliki ambang batas yang rendah untuk merujuk pasien jika terdapat keraguan diagnostik yang signifikan.
Lebih baik merujuk pasien dengan kecurigaan torsio, meskipun nantinya terbukti diagnosisnya adalah kondisi lain yang lebih ringan, daripada mengambil risiko tidak merujuk pasien yang sebenarnya mengalami torsio testis.
5. Peran Pemeriksaan Penunjang: Kapan Diperlukan di Faskes Primer?
Di faskes primer, peran pemeriksaan penunjang dalam kasus dugaan torsio testis perlu dipertimbangkan secara bijaksana, dengan prioritas utama tetap pada kecepatan rujukan jika kecurigaan klinis tinggi.
Urinalisis (UA): Pemeriksaan urinalisis tidak digunakan untuk mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis torsio testis secara langsung. Namun, UA dapat memberikan informasi tambahan yang berguna untuk diagnosis banding. Jika ditemukan adanya piuria (leukosit dalam urin) atau bakteriuria, hal ini dapat mengarahkan kecurigaan ke arah epididimitis atau infeksi saluran kemih yang menyertai. Sebaliknya, hasil urinalisis yang normal tidak serta merta menyingkirkan kemungkinan torsio testis, karena torsio testis sendiri umumnya tidak menyebabkan perubahan pada hasil UA.
Color Doppler Ultrasound (CDU): CDU merupakan pemeriksaan pencitraan pilihan dan dianggap sebagai standar emas untuk mengevaluasi aliran darah ke testis dan mendiagnosis torsio testis. Pemeriksaan ini memiliki tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi ada atau tidaknya aliran darah pada testis yang terkena. Gambaran khas pada CDU untuk torsio testis adalah penurunan signifikan atau tidak adanya sama sekali sinyal aliran darah pada testis yang sakit, seringkali disertai dengan gambaran puntiran pada korda spermatika ("whirlpool sign") dan perubahan ekogenisitas parenkim testis.
Gambar 1. Doppler Ultrasound. (A) Spermatic cord curiga torsi. (B) gambar menunjukkan cord terpelintir, masih terdapat pembuluh darah
Meskipun CDU adalah alat diagnostik yang sangat berharga, akses cepat terhadap pemeriksaan ini mungkin menjadi kendala di banyak faskes primer, terutama di luar jam kerja atau di daerah terpencil. Di sinilah prinsip utama penanganan torsio testis harus ditegakkan: jika kecurigaan klinis terhadap torsio testis sangat tinggi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan/atau skor TWIST yang tinggi (misalnya, skor ≥5), pasien harus segera dirujuk ke fasilitas yang mampu melakukan eksplorasi bedah tanpa menunggu hasil CDU.
Penundaan rujukan hanya untuk menunggu pemeriksaan CDU dapat berakibat fatal dan menyebabkan hilangnya testis yang sebenarnya masih bisa diselamatkan. CDU lebih memiliki peran pada kasus-kasus dengan kecurigaan klinis sedang atau rendah, atau ketika diagnosis banding sulit dibedakan secara klinis, dan jika pemeriksaan tersebut dapat dilakukan tanpa menyebabkan penundaan yang berarti pada potensi intervensi bedah.
Ketergantungan mutlak pada CDU sebagai syarat sebelum merujuk dapat menjadi bottleneck yang berbahaya. Dokter umum harus diberdayakan untuk membuat keputusan rujukan darurat berdasarkan penilaian klinis yang kuat, bahkan tanpa konfirmasi CDU, demi menyelamatkan waktu dan testis pasien.
6. Tatalaksana Awal Torsio Testis di Faskes Primer: "Waktu adalah Testis"
Prinsip utama dalam tatalaksana awal torsio testis di faskes primer adalah kecepatan. Setiap menit yang terbuang akan mengurangi kemungkinan penyelamatan testis. Oleh karena itu, prioritas tertinggi adalah melakukan rujukan segera ke fasilitas kesehatan yang memiliki kemampuan untuk melakukan eksplorasi bedah darurat. Sambil mempersiapkan rujukan, beberapa tindakan dapat dipertimbangkan:
Detorsi Manual:
Indikasi: Detorsi manual dapat dipertimbangkan sebagai tindakan intervensi sementara jika akses ke fasilitas bedah definitif diperkirakan akan mengalami penundaan yang signifikan (misalnya, lebih dari 2 hingga 6 jam). Penting untuk ditekankan bahwa upaya detorsi manual tidak boleh menunda proses rujukan jika intervensi bedah dapat segera dilakukan.
Teknik: Torsio testis paling sering terjadi dengan arah puntiran ke medial (ke arah dalam, menuju garis tengah tubuh). Oleh karena itu, detorsi manual dilakukan dengan prinsip "membuka buku" (open book method). Testis yang mengalami torsio diputar ke arah lateral (ke arah luar, menjauhi garis tengah tubuh). Secara spesifik, untuk testis kanan, putaran dilakukan berlawanan arah jarum jam; sedangkan untuk testis kiri, putaran dilakukan searah jarum jam (jika dilihat dari bawah oleh pemeriksa yang menghadap pasien). Derajat putaran yang diperlukan bisa bervariasi, mulai dari 180°, 360°, hingga terkadang lebih, tergantung pada derajat torsio awal.
Evaluasi Keberhasilan: Keberhasilan detorsi manual dapat dinilai dari beberapa tanda, yaitu berkurangnya nyeri skrotum secara signifikan dan cepat, kembalinya posisi testis ke letak yang lebih normal (lebih rendah dan dalam posisi vertikal), serta idealnya, kembalinya aliran darah ke testis yang dapat dikonfirmasi dengan Point-of-Care Ultrasound (POCUS) atau Doppler genggam jika tersedia di faskes primer.
Peringatan Penting: Sekalipun detorsi manual tampak berhasil dan keluhan pasien mereda, pasien tetap mutlak memerlukan eksplorasi bedah dan orkidopeksi bilateral sesegera mungkin.. Hal ini bertujuan untuk memastikan detorsi telah komplit, menilai viabilitas testis secara langsung, melakukan fiksasi (orkidopeksi) pada testis yang terkena untuk mencegah rekurensi, dan yang tidak kalah penting, melakukan orkidopeksi profilaksis pada testis kontralateral yang juga berisiko. Tingkat keberhasilan detorsi manual tidak diketahui secara pasti dan seringkali tidak mengembalikan posisi anatomis secara sempurna atau permanen. Keberhasilan sementara tidak boleh menimbulkan rasa aman yang palsu (false sense of security) yang menunda tatalaksana definitif, karena risiko re-torsio atau detorsi inkomplit tetap ada.
Manajemen Nyeri Akut: Pemberian analgesia yang adekuat sangat penting untuk kenyamanan pasien. Namun, manajemen nyeri tidak boleh sampai menunda proses diagnosis atau rujukan ke fasilitas bedah.
Tabel 2: Pilihan Analgesik dan Dosis Rekomendasi untuk Nyeri Akut Torsio Testis di Faskes Primer
Jenis Analgesik | Rute Pemberian | Dosis Dewasa Umum | Catatan Penting |
Parasetamol | Oral | 500 – 1000 mg setiap 4-6 jam (maks 4g/hari) | Pilihan pertama untuk nyeri ringan-sedang. |
Ibuprofen | Oral | 400 – 600 mg setiap 6-8 jam (maks 2.4g/hari) | NSAID, efektif untuk nyeri ringan-sedang. Hati-hati pada pasien dengan riwayat gastritis atau gangguan ginjal. 3 |
Ketorolak | IM / IV | 30 mg dosis tunggal IM, atau 15-30 mg IV | NSAID poten, untuk nyeri sedang-berat. Pertimbangkan risiko perdarahan dan efek samping ginjal. Tidak untuk penggunaan jangka panjang. |
Morfin Sulfat | IV / SC / IM | IV/SC: 0.05–0.1 mg/kg atau dosis tetap 4–6 mg. IM: 5-10 mg. | Opioid poten untuk nyeri hebat. Perlu pemantauan efek samping (depresi napas, mual, muntah). Ketersediaan dan kewenangan di faskes primer bervariasi. |
Fentanil | IV | 0.5–1 µg/kg atau dosis tetap 25–75 µg. | Opioid kerja cepat dan singkat. Hanya jika fasilitas dan kompetensi memadai. Risiko depresi napas. |
Tramadol | Oral / IM / IV | Oral: 50–100 mg setiap 4-6 jam. IM/IV: 50-100 mg. | Opioid lemah-sedang. Efektivitas analgesik mungkin terbatas untuk nyeri sangat hebat. Risiko mual, pusing. |
Pemberian analgesik opioid harus dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan potensi efek samping seperti mual, muntah, dan depresi pernapasan. Selain itu, meredanya nyeri setelah pemberian analgesik kuat dapat sedikit mengaburkan gambaran klinis jika diagnosis belum sepenuhnya pasti, meskipun pada kasus torsio testis yang khas, diagnosis biasanya sudah cukup jelas sebelum pemberian analgesik kuat.
7. Rujukan Segera: Kriteria dan Komunikasi Efektif dengan Spesialis Urologi/UGD
Setiap pasien dengan kecurigaan klinis yang mengarah pada torsio testis, baik berdasarkan anamnesis, temuan pemeriksaan fisik, maupun skor TWIST (terutama skor tinggi, atau skor intermediate dengan tingkat keraguan yang tinggi), harus dianggap sebagai kasus darurat yang memerlukan rujukan SEGERA. Rujukan ditujukan ke Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah urologi atau dapat langsung menghubungi spesialis urologi jika alur memungkinkan.
Sangat penting untuk tidak menunda proses rujukan hanya untuk menunggu hasil pemeriksaan penunjang seperti USG Doppler jika kecurigaan klinis sudah sangat kuat, karena setiap penundaan akan mengurangi kesempatan penyelamatan testis.
Komunikasi yang jelas, ringkas, dan komprehensif antara dokter perujuk di faskes primer dengan dokter penerima rujukan di rumah sakit sangat krusial untuk memastikan kesinambungan perawatan dan meminimalkan penundaan lebih lanjut. Informasi kunci yang harus disampaikan saat merujuk meliputi :
Identitas lengkap pasien dan data demografi.
Waktu pasti onset gejala: Ini adalah informasi paling kritis untuk menentukan prognosis dan urgensi tindakan.
Ringkasan anamnesis: Keluhan utama (nyeri skrotum mendadak), gejala penyerta (mual, muntah), riwayat episode nyeri serupa sebelumnya (ITT).
Temuan pemeriksaan fisik yang signifikan: Sisi testis yang terkena, testis letak tinggi (high-riding), posisi abnormal (transversal), adanya pembengkakan, tingkat nyeri tekan, status refleks kremaster.
Skor TWIST (jika telah dihitung), karena ini dapat memfasilitasi komunikasi dan pengambilan keputusan di tingkat rujukan.
Tindakan yang sudah dilakukan di faskes primer: Jenis analgesia yang diberikan beserta dosis dan waktu pemberian, upaya detorsi manual (apakah dilakukan, berhasil atau tidak, arah putaran yang dicoba, dan respons pasien terhadap tindakan tersebut).
Hasil pemeriksaan penunjang yang mungkin sudah ada (misalnya, hasil urinalisis).
Kondisi umum pasien saat ini dan tanda-tanda vital.
Nomor kontak dokter perujuk yang mudah dihubungi untuk koordinasi lebih lanjut.
Untuk mempermudah dan menstandarisasi proses serah terima informasi dalam situasi darurat seperti ini, penggunaan semacam checklist atau format rujukan standar dapat sangat membantu. Ini dapat mengurangi risiko terlewatnya informasi penting dan meningkatkan efisiensi proses rujukan, terutama ketika komunikasi dilakukan di bawah tekanan waktu. Faskes primer juga dianjurkan untuk membangun jalur komunikasi dan koordinasi yang sudah mapan dengan UGD atau unit urologi di rumah sakit rujukan untuk kasus-kasus darurat seperti torsio testis, sehingga proses transfer pasien dapat berjalan lebih cepat dan lancar.
8. Prognosis dan Komplikasi Akibat Keterlambatan Tatalaksana
Prognosis torsio testis, terutama terkait kemungkinan penyelamatan organ, sangat bergantung pada faktor waktu. Semakin cepat diagnosis ditegakkan dan intervensi bedah dilakukan, semakin besar peluang testis untuk dapat diselamatkan dan berfungsi normal kembali.
Tingkat Penyelamatan Testis:
Jika intervensi bedah (detorsi dan orkidopeksi) dilakukan dalam kurang dari 6 jam sejak onset gejala, tingkat penyelamatan testis dilaporkan mencapai 90-100%. Periode ini sering disebut sebagai "golden hours".
Jika intervensi dilakukan antara 6 hingga 12 jam, angka penyelamatan testis menurun drastis menjadi sekitar 20-50%.
Apabila intervensi baru dilakukan setelah lebih dari 12 jam, tingkat penyelamatan testis menjadi sangat rendah, yaitu kurang dari 10-20%.
Jika penanganan tertunda hingga lebih dari 24 jam, kemungkinan untuk menyelamatkan testis hampir tidak ada, dan biasanya orkidektomi (pengangkatan testis) menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Selain durasi, derajat puntiran korda spermatika juga turut memengaruhi prognosis. Puntiran dengan derajat yang lebih tinggi (misalnya, >360° atau bahkan >495-860°) umumnya berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan kerusakan jaringan yang lebih cepat.
Komplikasi Akibat Keterlambatan:
Keterlambatan dalam diagnosis dan tatalaksana torsio testis dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius, antara lain:
Orkidektomi: Pengangkatan testis yang sudah mengalami nekrosis (kematian jaringan) akibat iskemia berkepanjangan.
Atrofi Testis: Bahkan jika testis berhasil "diselamatkan" melalui orkidopeksi pada saat operasi, testis tersebut masih berisiko mengalami atrofi (pengecilan ukuran) dan penurunan fungsi di kemudian hari. Tingkat kejadian atrofi pasca-orkidopeksi dilaporkan dapat mencapai 25.7% hingga 50%. Ini menunjukkan bahwa "penyelamatan" saat operasi tidak selalu berarti pemulihan fungsional jangka panjang yang sempurna. Pemahaman akan risiko ini penting untuk konseling pasien.
Gangguan Fertilitas atau Infertilitas: Kerusakan atau hilangnya jaringan testis dapat mengganggu proses spermatogenesis (produksi sperma), yang berujung pada penurunan kesuburan atau bahkan infertilitas.
Gangguan Fungsi Endokrin: Testis juga berfungsi memproduksi hormon testosteron. Kehilangan fungsi testis, terutama jika kedua testis terdampak atau pasien hanya memiliki satu testis yang kemudian hilang, dapat menyebabkan defisiensi testosteron.
Dampak Psikologis dan Kosmetik: Kehilangan testis dapat menimbulkan dampak psikologis, seperti penurunan rasa percaya diri dan masalah citra tubuh, serta masalah kosmetik.
Informasi mengenai risiko atrofi testis meskipun testis berhasil diselamatkan saat operasi adalah poin penting yang perlu ditekankan. Hal ini memiliki implikasi signifikan untuk konseling pasien jangka panjang dan manajemen ekspektasi mereka.
9. Kesimpulan: Peran Krusial Dokter Umum dalam Diagnosis dan Terapi Awal Torsio Testis di Faskes Primer
Torsio testis adalah suatu kondisi kegawatdaruratan urologi absolut yang menuntut diagnosis cepat dan intervensi segera untuk mencegah kerusakan permanen pada testis. Diagnosis di faskes primer sangat bergantung pada ketajaman klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang dapat didukung secara objektif oleh penggunaan skor TWIST.
Tatalaksana awal di faskes primer difokuskan pada manajemen nyeri yang adekuat dan, jika diindikasikan serta memungkinkan, upaya detorsi manual sebagai tindakan sementara sambil mempersiapkan rujukan darurat.
Peran dokter umum di fasilitas kesehatan primer tidak dapat diremehkan; mereka adalah garda terdepan yang memegang kunci keberhasilan dalam alur penanganan torsio testis. Kecepatan, ketepatan, dan kepercayaan diri dokter umum dalam mengenali, mengambil keputusan, dan merujuk kasus dugaan torsio testis secara langsung akan berdampak pada kemungkinan penyelamatan testis, fertilitas, dan kualitas hidup pasien di masa depan.
Oleh karena itu, peningkatan kesadaran akan urgensi torsio testis, kewaspadaan klinis yang tinggi, serta penguasaan keterampilan diagnostik dan tatalaksana awal menjadi sangat penting bagi setiap dokter umum. Edukasi berkelanjutan dan ketersediaan sumber daya informasi yang praktis dan berbasis bukti, seperti panduan ini, merupakan investasi penting dalam sistem kesehatan untuk menekan angka morbiditas akibat torsio testis.
Dengan pemahaman yang komprehensif dan kesiapan yang optimal, dokter umum di faskes primer dapat memainkan peran yang lebih signifikan dalam menyelamatkan testis dan menjaga kesehatan reproduksi pria.
Cummings, J.M., Boullier, J.A. & Sekhon, D. (2020). Testicular torsion in the emergency room: A review of detection and management. Cureus, 12(9), e10440. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7567548/ [Diakses 28 Mei 2025].
Stone, K.T. & McDowell, J. (2023). Acute scrotum pain. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470335/ [Diakses 28 Mei 2025].
Howe, A.S., Vasudevan, V., Kongnyuy, M., Rychik, K., Routh, J.C. & Campbell, J.B. (2022). Testicular torsion in adults: Demographics and 30-day outcomes after orchiopexy or orchiectomy. Translational Andrology and Urology, 11(1), 49–56. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8772749/ [Diakses 28 Mei 2025].
Wallace, M., McVicar, R., Carthy, H. & Healy, D. (2022). Improving testicular examinations on paediatric patients in the emergency department. BMJ Open Quality, 11(2), e001571. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9051351/ [Diakses 28 Mei 2025].
Yang, C., Song, B., Tan, J., Liu, X. & Wei, G. (2017). Degree of twisting and duration of symptoms are prognostic factors of testicular salvage in testicular torsion: A retrospective study of 236 patients. Medicine (Baltimore), 96(43), e8720. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5760391/ [Diakses 28 Mei 2025].
Figueroa, V., Pippi Salle, J.L., Braga, L.H., Romao, R.L.P., Koyle, M., Bägli, D.J. & Lorenzo, A.J. (2018). A 26-year-old male with a 14-year history of left intermittent testicular torsion. Case Reports in Urology, 2018, 1–4. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5903465/ [Diakses 28 Mei 2025].
Li, H., Chen, L., Liu, X. & Xu, Y. (2023). Clinical characteristics of testicular torsion and factors influencing testicular salvage after surgery: A retrospective study of 307 cases. Frontiers in Pediatrics, 11, 1149845. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10955544/ [Diakses 28 Mei 2025].
Liang, T., Metcalfe, P., Sevcik, W. & Noga, M. (2017). Distinguishing testicular torsion from torsion of the appendix testis by clinical features and Doppler ultrasound. Canadian Urological Association Journal, 11(1-2), E19–E23. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5587186/ [Diakses 28 Mei 2025].
Zhou, Y., Zhang, Y., Chen, R. & Wang, J. (2024). Clinical characteristics and management strategies of testicular torsion: A multicenter retrospective study. Asian Journal of Andrology, 26(3), 291–297. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11833526/ [Diakses 28 Mei 2025].
Ringdahl, E. & Teague, L. (2018). Testicular torsion. American Family Physician, 88(12), 835–840. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6168322/ [Diakses 28 Mei 2025].
Sharp, V.J., Kieran, K. & Arlen, A.M. (2023). Testicular torsion. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448199/ [Diakses 28 Mei 2025].
Gunther, P. & Schenk, J.P. (2015). Scrotal pain: Evaluation and management. Deutsches Ärzteblatt International, 112(39), 693–704. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4294852/ [Diakses 28 Mei 2025].
Fegan, T. (2013). Acute scrotal pain. Australian Family Physician, 42(11), 790–792. Tersedia di: https://www.racgp.org.au/afp/2013/november/acute-scrotal-pain [Diakses 28 Mei 2025].
Yeo, A., Wong, F., Keat, C.H. & Das, S. (2024). Hurdles to boys with acute scrotal pain being evaluated and treated promptly in the UK healthcare system. Annals of the Royal College of Surgeons of England, 106(3), 190–196. Tersedia di: https://publishing.rcseng.ac.uk/doi/10.1308/rcsann.2024.0078 [Diakses 28 Mei 2025].
Trojian, T.H., Lishnak, T.S. & Heiman, D. (2023). Orchitis. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553165/ [Diakses 28 Mei 2025].
Moursy, E.E., El-Dakhakhny, A., El-Shafey, A., Osman, Y., Dawaba, M., & Kotb, M. (2024). Manual detorsion in pediatric testicular torsion: A narrative review of the literature. African Journal of Urology, 30(1), 1–7. Tersedia di: https://www.researchgate.net/publication/380464322_Manual_detorsion_in_pediatric_testicular_torsion_A_narrative_review_of_the_literature [Diakses 28 Mei 2025].
Motov, S., Strayer, R., Hayes, B.D., Reiter, M., Rosenbaum, S., Richman, M., Kaye, A.D. & Levy, P. (2022). Pain management in the emergency department: A clinical review. Pain and Therapy, 11(2), 673–694. Tersedia di: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC8743674/ [Diakses 28 Mei 2025].