Meningitis bakteri adalah kegawatdaruratan yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat. Gejala utama yang menyertai biasanya adalah demam disertai dengan penurunan kesadaran. Prognosis penyakit ini tidak terlalu baik, sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang tepat dan ketat.
Artikel dibawah ini merangkum pedoman rekomendasi PAPDI yang dapat sejawat baca lebih lanjut di Buku EIMED PAPDI Biru. Artikel ini hanya fokus pada aspek diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan saja. Aspek yang lebih lengkap (epidemiologi, patofisiologi, diagnosis banding dan prognosis) dapat sejawat baca pada buku tersebut.
Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Bakteri
Diagnosis meningitis bakterial ditegakkan dengan pendekatan klinis (trias meningitis) dan dibuktikan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Pendekatan diagnosis yang sistematis akan sangat membantu dalam membuat keputusan klinis untuk memilih modalitas terapi yang sesuai. Pemilihan antibiotik yang tepat masih menjadi modalitas terapi farmakologis utama, yang perlu didukung dengan berbagai terapi non-farmakologis.
Diagnosis Meningitis Bakterial
Diagnosis meningitis bakterial sering kali tumpang tindih dengan meningitis viral. Dalam hal ini pemeriksaan cairan serebrospinal menjadi kunci untuk membedakan meningitis bakterial atau virus.
Anamnesis
Anamnesis pada kasus meningitis bakterial selain digunakan untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk memilih terapi yang sesuai. Setidaknya ada 10 pertanyaan penting yang harus digali sebelum pengobatan antibiotik meningitis bakterialis diberikan. Apakah pasien memiliki:
- Riwayat alergi obat
- Ada terpapar dengan seseorang dengan meningitis sebelumnya
- Sedang mengalami infeksi (terutama pernapasan atau infeksi telinga)
- Menggunakan antibiotik dalam beberapa hari
- Baru melakukan perjalanan terutama ke daerah dengan penyakit mening-okokus endemik sepert sub-Sahara Afrika
- Riwayat penggunaan narkoba suntik
- Petekie atau ekimosis progresif (kemungkinan mengarah ke infeksi menginokokus)
- Riwayat trauma kepala
- Otorea atau rinorea
- Infeksi HIV atau memiliki faktor risiko terinfeksi HIV atau kondisi immuno-promised lain
Pemeriksaan Fisik
Kecurigaan terhadap meningitis sangat bergantung pada penilaian awal sindrom meningitis. Penelitian di Belanda pada orang dewasa, dikenal trias klasik untuk meningitis bakterialis yaitu demam, kaku kuduk dan perubahan status mental. Hampir semua pasien (98-100%) dengan meningitis bakterialis memiliki sedikitnya satu dari trias klasik tersebut.
Laboratorium
Tujuan utama pemeriksaan laboratorium pada meningitis bakterialis adalah untuk mengidentifikasi bakteri penyebab. Beberapa pemeriksaan yang direkomendasikan pada pasien yang diduga mengalami menigitis bakterialis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Hasil analisis cairan serebrospinal, dapat digunakan untuk membedakan meningitis bakterialis atau meningitis virus atau meningitis bakterialis kronis. Sebagai perbandingan analisis varian serebrospinal pasien meningitis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan LCS sangat pentig untuk mengkonfirmasi diagnosis dan pemberian antibiotik secepat mungkin pada pasien yang dicurigai menderita meningitis. Pada kebanyakan pasien yang mengalami meningitis bakterialis akut, LP dapat dilakukan dengan aman tanpa harus dilakukan pemeriksaan radiologis terlebih dahulu.
Ada beberapa keadaan dimana pemeriksaan CT-scan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan LP yaitu:
- Trauma kepala
- Keadaan immunocompromised
- Terdapat kejang (dalam 7 hari terakhir)
- Tingkat kesadaran yang abnormal
- Kelemahan fokal, berbicara abnormal
- Abnormalitas lapangan pandang atau gaze paresis
- Ketidakmampuan untuk mengikuti perintah atau menjawab pertanyaan dengan tepat
- Ada riwayat satu dari keadaan berikut: lesi massa (SOL), infeksi fokal, atau stroke.
Infectious Disease Society of America (IDSA) (2004) merekomendasikan penggunaan kriteria untuk pemeriksaan CT-scan pada pasien suspek meningitis dewasa sebelum dilakukan lumbal pungsi (Rekomendasi B-II).
Tatalaksana Meningitis Bakteri
Tatalaksana meningitis bakterial secara sederhana dapat dibagi menjadi terapi non-farmakologik (manajemen cairan, pengurangan tekanan intrakranial,
Terapi Non-Farmakologik
Manajemen Cairan
Manajemen cairan dan keseimbangan elektrolit sangat penting, karena baik kelebihan dan kekurangan status hidrasi akan berpengaruh pada meningitis bakterialis.
Sebuah metanalisis mengevaluasi tiga penelitian randomized controlled trial, terapi dengan menggunakan volume cairan yang berbeda pada cairan pemeliharaan (maintanance) dibandingkan pembatasan cairan yang diberikan pada pengelolahan awal meningitis bakteri. Disimpulkan bahwa penggunaan cairan intravena pemeliharaan lebih baik dibandingkan pembatasan cairan dalam 48 jam pertama.
Pengurangan Tekanan Intrakranial (TIK)
Pasien meningitis bakterialis yang memiliki TIK yang tinggi, dan yang mengalami penurunan kesadaran (stupor atau koma) dapat dipertimbangkan untuk penggunaan perangkat pemantauan TIK (ICP monotoring device).
Tekanan TIK yang melebihi 20 mmHg harus segera diberikan terapi. Namun dapat juga dipertimbangkan untuk diterapi pada TIK yang lebih rendah (diatas 15 mmHg) dengan alasan untuk menghindari peningkatan tekanan TIK yng lebih tinggi yang dapat menyebabkan herniasi otak dan kerusakan batang otak yang ireversibel.
Metode untuk mengurangi TIK meliputi elevasi kepala 30 derajat dan hiperventilasi untuk mempertahankan PaCO2 antara 27 dan 30 mmHg. Metode lain yang telah dievaluasi untuk mengurangi TIK adalah dengan pemberian agen hiperosmolar yaitu gliserol per oral.
Namun, penelitian secara acak pada pasien meningitis bakterialis dewasa di Malawi menunjukkan angka kematian kelompok gliserol lebih tinggi dibandingkan kelimpok kontrol dengan alasan yang belum jelas. Namun kemungkinan berhubungan dengan peningkatan insiden terjadinya kejang pada pasien yang menyebabkan gliserol.
Alasan lain mungkin berupa peningkatan TIK yang mengalami rebound setelah gliserol dihentikan. Penelitian lain pada pasien meningitis bakterialis anak-anak telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, meskipun data lebih lanjut diperlukan sebelum dapat direkomendasikan.
Analisis Liquor Serebro Spinal (LCS) Ulangan
Belum ada manfaat yang bermakna melakukan lumbal pungsi ulangan secara rutin untuk menilai respon terhadap terapi pada meningitis bakterialis. Suatu penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa dan protein serta jumlah sel yang ditemukan pada akhir pengobatan pada pasien yang terbukti sembuh sangat bervariasi.
Selain itu, pengulangan pemeriksaan LCS juga ditemukan masih abnormal pada pasien yang memang sudah sembuh. Sehingga perbaikan tanda-tanda klinis adalah indikator yang lebih baik untuk menilai respon terapi dibandingkan hasil analisis LCS setelah pengobatan.
Walaupun pemeriksaan LCS ulangan secara rutin tidak direkomendasikan, namun ada beberapa keadaan pemeriksaan ulang LCS seharusnya dilakukan yaitu:
- Ketika tidak ada bukti perbaikan dengan 48 jam setelah mulai terapi yang tepat.
- Dua sampai tiga hari setelah mulai terapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri resisten terhadap agen anti-mikroba standar (misalnya infeksi oleh pneumokokus resisten-panisilin) terutama bagi pasien yang telah menerima terapi ajuvan deksametason dan tidak ada respon seperti yang diharapkan atau untuk infeksi yang disebabkan oleh basil Gram negatif sering menyebabkan infeksi nosokomial.
- Demam persisten selama lebih dari delapan hari tanpa ada penyebab lain
Kultur LCS ulangan setelah terapi diharapkan steril. Pasien dengan kultur LCS ulang masih positif meskipun terapi antibiotik parenteral sudah sesuai, maka pemberian antibiotik intratekal (atau intraventrikular) dapat dipertimbangkan.
Terapi Farmakologis
Waktu Pemberian Antibiotik
Pada meningitis bakterialis terapi mikroba harus diberikan sesegera mungkin tanpa menunggu hasil laboratorium. Pungsi lumbal harus dilakukan, bila mungkin sebaiknya sebelum pemberian antibiotik. Pengobatan antibiotik pada kasus yang dicurigai meningokokus tidak boleh ditunda ketika lumbal pungsi tidak dapat dilakukan pada saat awal.
Jika lumbal pungsi dan pemeriksaan darah tidak mendukung, tetapi gambaran klinis menunjukkan meningitis, maka pengobatan anti-mikroba harus segera dimulai. Hal ini juga jika LCS tidak mengarah ke meningitis bakterialis tetapi gejala dan tanda-tanda mengarah ke meningokokus septikemia maka terapi antibiotik jangan ditunda untuk dapat menyelamatkan jiwa pasien.
Lama Pemberian Antibiotik
European Federation of Neurological Societies (EFNS) merekomendasikan lama pemberian antibiotik bergantung pada etiologi meningitis bakterialis, yaitu:
- Meningitis bakterialis non-spesifik: 10-14 hari [Rekomendasi 4C].
- Meningitis pneumokokus: 10-14 hari [4A].
- Meningitis meningkokus: 5-7 hari [4A].
- Meningitis Hib: 7-14 hari [4B].
- Meningitis listerial: 21 hari [4B].
- Meningitis Psudomonal dan Basil Gram-Negatif: 21-28 hari [4B]
Pilihan Antibiotik
Banyak antibiotik yang aktif terhadap meningkokus secara in vitro, tetapi hanya yang cukup bagus menembus ruang serebrospinal dan terjangkau yang harus digunakan. Outcome klinis pada meningitis bakterialis secara langsung berkaitan dengan konsentrasi bakteri dan antigen bakteri pada cairan serebrospinal.
Selama 48 jam pertama terapi antibiotik yang tepat, kultur terhadap cairan serebrospinal selalu menjadi akan steril pada meningitis piogenik. Penisilin dan ampisilin parenteral adalah antibiotik terpilih. Kloramfenikol adalah alternatif yang baik dan murah. Sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson dan sefotaksim merupakan alternatif yang sangat baik.
Meskipun kontrimoksazol oral (Trimetoprin-Sulfametoksazol) merupakan antibiotik murah dan memiliki penetrasi yang baik ke cairan serebrospina, namun banyak bakteri yang telah resisten sehingga antibiotik golongan ini tidak dianjurkan kecuali uji sensitivitas telah dilakukan.
Pada pedoman penanganan meningitis bakterialis terbaru, sefalosporin generasi ketiga secara umum dianggap sebagai standar pengobatan meningitis bakterialis secara empiris pada kasus dewasa dan anak-anak. Berbagai penelitian telah banyak dibandingkan Seftriakson atau sefotaksim dengan meropenem pada orang dewasa dan anak-anak dan menunjukkan efikasi yang sama. Oleh karena itu, sefriakson dan sefotaksim harus dipertimbangkan disamping penggunaan vankomisin.
Jika telah dikonfirmasi atau diduga kuat (dengan ditemukannya ruam yang khas) adalah meningitis meningokokus harus ditangani dengan benzil penisilin atau sefalosporin generasi ketiga, atau kloramfenikol jika ada riwayat alergi terhadap betta-laktam.
Listeria resisten terhadap sefalosporin dan jika dicurigai meningitis yang terjadi disebabkan oleh Liseria maka harus diobati dengan ampisilin IV dosis tinggi atau amoksilin yang bisanya besamaan dengan gentamisin IV (1-2 mg/kg 8 jam) selama 7-10 hari pertama, atau dengan konrimoksazol IV dosis tiggi bila ada riwayat alergi terhadap penisilin.
Hingga sekarang, belum ada uji coba acak terkontrol untuk pengobatan meningiitis Stafilokokal yang biasa terjadi secara nosokomial (misalnya infeksi pada prosedur shunt).
Linezolid telah digunakan dalam sejumlah laporan kasus dengan sukses dan bisa menjadi pilihan untuk pengobatan meningitis stafilokokus resisten-metisilin dan ventriculitis. Namun demikian Lizezolid harus digunakan secara berhati-hati, karena efek samping dan interaksi obat, terutama dalam perawatan intensif ketika agen vasoaktif juga digunakan.
Penggunaan antibiotik intrakranial atau intraventrikular harus dipertimbangkan pada pasien yang gagal dengan pengobatan konvensional.
Vankomisin intraventricular dapat mencapai konsentrasi cairan serebrsopinal lebih baik jika dibandingkan dengan rute intra-vena dan penambahan aminoglikosida intratekal atau intraventrikular sebagai antibiotika tembahan merupakan pilihan yang harus dipertimbangkan jika pada pasien meningitis bakterialis basil Gram-negatif yang tidak berespon baik dengan penggunaan monoterapi.
Europan Federation of Neurological Societies (EFNS) mengeluarkan rekomendasi penggunaan antibiotik pada meningitis bakterialis sebagai berikut:
- Pemberian antibiotik inisial harus secara parenteral [1A].
- Terapi antibiotik empirik pada kasus tersangka (suspected) adalah menggunakan sefriakson 2 g setiap 12-24 jam atau sefotaksim 2 g tiap 6-8 jam [3B]. Terapi alternatif adalah meropenem 2 g tiap 8 jam [3C] atau kloramfenikol 1 g tiap 6 jam. Jika diperkirakan bakteri penyebabnya adalah penumokokus yang resisten dengan Penisilin atau sefalosporin maka gunakan Seftriakson atau Sefotaksim ditambah dengan Vankomisin loading dose 15 mg/kg dan 60 mg/kg/24 jam (dosis pemeliharaan disesuaikan dengan fungsi ginjal pasien) [4A]. Pada diduga kasus listeria maka berikan Ampisilin/Amoksisilin 2 g tiap 4 jam [4A].
- Terapi Antibiotik Terhadap Patogen Spesifik
- European Federation of Neurological Societies (EFNS) mengeluarkan rekomendasi pemilihan antibiotik terhadap patogen spesifik penyebab meningitis bakterialis sebagai berikut:
- Meningitis pnumokokus yang sensitif penisilin (dan termasuk spesies Streptokokus yang sensitif): Benzil Penisilin 250.000 U/kg/hari (setara dengan 2,4 g tiap 4 jam [4A] atau Ampisilin/Amoksisilin 2 g tiap 4 jam atau Seftriakson 2g tiap 12 jam atau Sefotaksim 2 g tiap 6-8 jam. Alternatif terapi: Meropenem 2 g tiap 8 jam [4C] atau vankomisin 60 mg/kg 24 jam per infus (disesuaikan dengan fungsi ginjal pasien) seteah loading dose 15 mg/kg ditambah Rifampisin 600 mg tiap 12 [4C] atau Moksifloksasin 400 mg per 24 jam [4C].
- Penumokokus yang kurang sensitif terhadap Penisilin atau Sefalosporin: Seftriakson atau Sefotaksim ditambah Vancomycin ± Rifampicin [IV]. Alternatif terapi Moksifloksasin, Meropenem atau Linezolid 600 mg dikombinasi dengan Rifampisin [4C]
- Meningitis meningokokus: Benzil Penisilin atau Seftriakson atau Seftriakson [4]. Terapi alternatif: Meropenem atau Kloramfenikol atau Meoksifloksasin [4C]
- Haemophilius infuenzae tipe B (Hib): Seftriakson atau Sefotaksim [4C]. Terapi alternatif: Kloramfenikol-Ampisilin/Amoksisilin [4C].
- Meningitis listerial: Ampisilin atau Amoksisilin 2 g tiap 4 jam ± Gentamisin 1-2 mg tiap 8 jam pada 7-10 hari pertama [4C]. Terapi alternatif Trimetoprim Sulfametoksazol 10-20 mg/kg tiap 6-12 jam atau Moropenem [4].
- Spesies Stafilokokus: Flucloxacillin 2 g tiap 4 jam [4] atau Vankomisin jika alergi [4]. Linezolid untuk meningitis yang disebabkan Stafilokokus resisten-metasilin [4C]
- Enterobacteriaceae Gram-negatif: Seftriakson atau Sefotaksim atau Moropenem
- Meningitis pseudumonal: Moropenem ± Gentamisin.
Terapi Ajuvan
Dari semua terapi ajuvan atau terapi tambahan pada meningitis bakterialis, hanya korikosteroid sudah benar-benar dievaluasi dalam uji klinis. Alasan untuk menggunakan kortikosteroid dalam pengobatan meningitis bakterialis adalah bahwa ruang sub-araknoid akan menyempit karena adanya peradangan.
Edema vasogenik pada meningitis memiliki efek yang berpotensi merusak dan memperburuk keadaan klinis pasien EFNS (2008) merekomendasikan beberapa hal mengenai pemberian kortikosteroid pada meningitis bakterialis sebagai berikut:
- Deksametason ajuvan dianjurkan bersamaan atau sesaat sebelum pemberian
antibiotik parenteral pertama pada semua pasien dewasa yang mengalami meningitis pneumokokus yang sebelumnya dalam keadaan baik atau tidak dalam kondisi imunosupresi dengan dosis 10 mg setiap 6 jam selama 4 hari [1A]. - Semua pasien yang secara klinis dicurigai meningitis pneumokokus (atau Hib) (dengan tanda neurologis fokal dini), disarankan menggunakan deksametason dengan dosis 10 mg setiap 6 jam selama 4 hari [4C].
Semoga bermanfaat
=
Sponsored Content
Sudah punya DVD Emergency Cardio dari dr Ragil, SpJP?
Ada sebuah video 30 menit yang menjelaskan tentang
- Tatalaksana Syok Kardiogenik
- Algoritma Penanganan Pasien Sindroma Koroner Akut
- Tatalaksana Henti Jantung
- Tatalaksana Bradiaritmia
- Tataaksana Takiaritmia
Harganya cuma Rp 156.000,00 (Belum Ongkir)
Namun, kamu bisa dapatkan DVD tersebut secara gratis dengan pesan EIMED MERAH atau EIMED BIRU via DokterPost.com
Mau pesan? Bisa langsung kontak CS Dokter Post SMS/WA 085608083342 (Yahya) atau via kontakin.com/dokterpost