Obral Murah Nyawa Manusia Indonesia

Image Description
Admin Dokter post
Jan 14, 2016
Doctor Artist stripalllossy1ssl1


Berita kematian Allya Siska Nadya "booming" terjadi karena malpraktek. Dalam istilah etik, kita menyebut sebagai medical error. Namun, yang harus diluruskan adalah chiropractic bukan praktek kedokteran. Sayang, masyarakat sudah terlanjur memahami bahwa "chiropractic berdarah" adalah malpraktek yang dilakukan oleh dr. Randall Cafferty.

Dr. Randall Cafferty, dokter yang juga lulusan Cleveland Chiropractic College di Los Angeles pada tahun 1989, telah lama meninggalkan praktek kedokterannya dan menjalani profesi sebagai chiropractor. Dokter bule yang berpraktek di chiropractic first ini ternyata pernah tersandung kasus pencabutan izin praktek di negara asalnya, Amerika Serikat. Saya tidak habis pikir bagaimana seorang yang pernah dicekal di Amerika dapat lolos berpraktek di Indonesia.

Komitmen Pemerintah Terhadap Keselamatan Pasien

Dalam urusan keselamatan nyawa rakyatnya, pemerintah punya standar ganda. Industri kesehatan dan Penerbangan sama-sama erat dengan resiko kematian. Namun, pemerintah menetapkan standar tinggi untuk Industri penerbangan dalam menetapkan pilot yang dapat diberikan izin terbang. Untuk kesehatan, kita masih banyak temui terapis-terapis dengan kompetensi tidak jelas bebas berpraktek di negri ini.

Banyak kita jumpai di berbagai TV lokal maupun nasional yang memberikan ijin bagi "dukun-dukun" untuk talkshow mempromosikan "metode aneh" untuk menyembuhkan beragam penyakit, tanpa obat tanpa operasi! Fenomena ini adalah bentuk pembiaran pemerintah terhadap melayangnya satu demi satu nyawa rakyat karena perawatan kesehatan dengan standar yang tidak memadai. Itu adalah bentuk kegagalan fungsi regulasi dan pengawasan oleh pemerintah.

Sementara praktek kesehatan abal-abal menjamur, pemerintah menginginkan agar dokter menjadi pekerja yang super efisien. Beban kerja semaksimal mungkin, dengan upah seminimal mungkin. Skema tarif INA-CBGs dan sepak terjang BPJS di lapangan seakan menvalidasi dugaan ini. Dalam waktu dua tahun setelah BPJS diberlakukan, rumah sakit pemerintah kebanjiran pasien. Peningkatan kunjungan hingga 200% sudah menjadi hal biasa. Pendapatan rumah sakit juga meningkat 200%, sayangnya pendapatan dokter sebagian tidak berbanding lurus benar.

Jika jumlah pasien meningkat 2-3 kali lipat, remunerasi yang didapatkan dokter malah stagnan atau maksimal naik 50%. Rumah sakit mencari pembenaran bahwa tarif INA-CBGs yang terlampau murah memaksa mereka untuk menyesuaikan dengan jasa medik yang diterima dokter. Walhasil, dokter harus lembur, tapi uang lembur seperti tidak terasa.

Dokter paska BPJS adalah profil pekerja keras dengan tingkat kelelahan fisik yang tinggi, namun dipersulit untuk mencari "uang tambahan". Menkes bekerjasama dengan KPK untuk mengintai dokter dengan pasal gratifikasi. Tidak ada lagi "support" dari farmasi untuk upgrade ilmu meningkatkan kompetensi. Baru-baru ini dirjen kemenkes mengeluarkan ancaman bagi dokter yang berpraktek di lebih dari tiga rumah sakit. Yang pertama diincar pasti adalah dokter PNS yang bekerja di RS Pemerintah. RS Pemerintah gagal menyejahterakan dokter, namun ingin agar dokter cuma fokus bekerja di sana. D*mn!

Dokter yang bekerja terlalu banyak dan kurang tidur akan menyebabkan penurunan kinerja. Seorang dokter yang bergaji rendah di satu rumah sakit pemerintah akan mengurangi konsentrasinya melayani pasien karena mengejar penghasilan tambahan. Jadilah, dokter paska BPJS adalah dokter dengan tingkat kecapekan (Burn Out) luar biasa yang ilmu kedokterannya kurang update (kudet).

Dengan tingkat Burn Out yang tinggi, kelalaian medis akan lebih rentan terjadi. Dengan gaji dokter yang rendah dan beban kerja yang tinggi, nyawa pasien rentan hilang. Nampaknya, pemerintah menghargai nyawa rakyatnya terlampau murah.

Materialisme Dalam Dunia Kesehatan

Kematian Allya adalah pengingat bagi kita, bahwa masyarakat Indonesia sedang terinfeksi penyakit materialisme dalam dunia kesehatan. Dokter yang handal bukan dokter yang dapat mendiagnosis secara tepat, namun dokter yang memasang tarif selangit dan menganjurkan pemeriksaan 1001 macam dengan alat-alat canggih yang sulit dipahami masyarakat awam. Makin tidak paham, makin laris lah, karena dianggap canggih.

Itulah alasan kenapa chiropractic first, dengan metode aneh "tukang urut modern" yang praktek di Mall-Mall elit ramai diserbu pasien. Itu pula mengapa banyak "orang kaya baru" di negri ini yang menyerbu rumah sakit di Singapura agar saat arisan mereka bisa bangga cerita ke koleganya.

MEA sudah datang, pelaku industri kesehatan di Malaysia dan Singapura sudah siap menginvasi "Kue Besar Kesehatan" Indonesia dengan membawa seperagkat alat-alat canggih macam PCR, fMRI dsb untuk memanjakan masyarakat materialistis kita.

Semoga kita bisa bertahan.

Related articles

  • Jul 31, 2020
Tatalaksana Chest Clapping untuk Fisioterapi Dada Pasien PPOK

Mukus atau secret diperlukan oleh tubuh untuk melembabkan dan menangkap mikroorganisme kecil...

  • May 09, 2020
Perubahan Diagnosis Dengue ICD 11

Tau dong, WHO sudah meluncurkan ICD seri 11, untuk menggantikan ICD 10. Ada perubahan signifikan...

  • May 02, 2020
Rangkuman Webinar PAPDI 30 April 2020

Bagus banget webinar PAPDI kemarin, tanggal 30 April 2020. Terutama materi yang dijelaskan Dr....